Saturday, June 4, 2022

Worldview Islam dan Kapitalisme Barat (1)


Kata Pengantar

    Makalah yang bersumber dari Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Indonesia, membahas masalah “Worldview Islam dan Kapitalisme Barat” perlu di baca dan diperhatikan isinya.

  Hidup di awal millennium ke-3 perkembangan dunia dan apa yang terjadi mulai abad ke-21 ini perlu disimak. Pendekatan ‘Islam tradisional’ dalam melihat ‘dunia dan perkembangannya’ tidak cukup memadai lagi, melainkan - perlu ditambah dengan - menggunakan pendekatan-pendekatan kontemporer agar wawasan pembahasannya updated. Sementara di luar Dunia Islam telah ‘maju’ baik dalam iptek, ekonomi dan militer serta menejemen pengorgani-sasiannya.

  Francis Fukuyama dalam bukunya ‘The End of History, and the Last Man’ mengakui bahwa kini dunia Barat Posmodern dengan prinsip ‘free market” kapitalisme dan “liberalisme” merupakan babak akhir dari sejarah manusia (the end of History). Di dalam bukunya itu, Fukuyama menyatakan bahwa dalam politik Islam pernah menjadi tantangan bagi demokrasi liberal… Tapi kini menurutnya kekuatan Islam tidak demikian… dia menyimpulkan: “Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak lebih lemah menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah memukau banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab munculnya ‘fundamentalisme’ adalah kuatnya ancaman nilai-nilai liberal dan Barat terhadap masyarakat Islam tradisional.”

  Lebih lanjut mari ikuti saja bahasan berikutnya yang terdiri dari 2 bagian tulisan. Bagian ke-1: Sinopsis; 1. Pendahuluan; 2. Pengertian Worldview; 3. Elemen Worldview; 4. Worldview Barat; 5. Worldview Kapitalisme. Selamat menyimak, semoga bermanfaat hendaknya. □ AFM

  

WORLDVIEW ISLAM

& KAPITALISME BARAT (1)


ABSTRAKSI

   Dalam era dimana faham kesamaan, kesetaraan dan pluralisme disebarkan kedalam berbagai bidang, orang mungkin akan menemukan kesulitan untuk membedakan satu peradaban dengan peradaban lain. Kini kapitalisme adalah sistem ekonomi yang paling dominan di dunia dan bahkan dikembangkan menjadi peradaban yang memiliki worldview sendiri.

Kapitalisme juga sering diklaim dan diterima sebagai sistem universal yang dapat diterapkan ke suluruh dunia. Dalam merespon cara berpikir ini, kapitalisme perlu dikaji dan diidentifikasi dari konsepnya yang paling mendasar yakni dari perspektif worldview, dan kemudian dibandingkan dengan Islam.

Makalah ini adalah upaya awal untuk mengidentifikasi ‘worldview kapitalis’ dan membuktikan bahwa ia berbeda secara mendasar dari ‘worldview Islam’. Pandangan kapitalis tentang agama, dunia, gaya hidup, keadilan, kebebasan berpikir, kekayaan, kegiatan ekonomi yang dipengaruhi oleh ‘worldview’ berbeda secara diametrik dari ‘worldview Islam’.

Berdasarkan kajian ini jelaslah sudah bahwa cendekiawan Muslim yang berhasrat untuk meminjam konsep tertentu dari kapitalisme bagi pengembangan ekonomi Islam, perlu menyadari bahwa prinsip-prinsip dasar kapitalisme tidak dapat disatukan (perlu dikembangkan lagi) dengan menggunakan prinsip-prinsip ekonomi Islam (berdasarkan ‘worldview Islam’).

Katakunci: Worldview, kapitalisme, Islam, Barat, ekonomi Islam

 

1. PENDAHULUAN

K

ajian tentang Islam dalam konteks ideologi dan peradaban modern, khususnya Barat memerlukan suatu pendekatan yang seimbang sehingga memungkinkan adanya suatu kajian perbandingan. Pendekatan menjadi seimbang jika Islam diletakkan sebagai ‘ideologi dan peradaban’ pula dan bukan melulu sebagai ‘agama dalam arti sempit’. Identitas suatu ‘ideologi dan peradaban’ dapat ditemukan secara fundamental melalui teori pandangan hidup (worldview) yang sejatinya merupakan asas dari setiap peradaban.

  Islam dan Barat selalu digambarkan sebagai dua kekuatan yang saling berhadapan dan yang satu menjadi ancaman bagi yang lain. Ketika Samuel Huntington menyatakan bahwa konflik paska Perang Dingin bukan lagi ideologis, politik atau ekonomi, tapi kultural temasuk bahasa, sejarah, nilai, adat istiadat, dan yang paling penting adalah agama. Sebenarnya ia berbicara tentang ancaman terhadap kapitalisme Barat. [1] Sebab identitas kultural Barat bukanlah agama Katolik atau Protestan, tapi The Civilization of Capitalism, sedangkan identitas ‘Islam dilihat hanya sebagai agama’, padahal sejatinya ia adalah ‘agama dan peradaban’. [1a]

    Sementara itu, kapitalisme kini tidak hanya diartikan sebagai ‘sistem ekonomi’ yang menjunjung kepemilikan pribadi yang tak terbatas, pasar bebas, pemisahan negara dan kegiatan bisnis dan sebagainya, [2] tapi merupakan suatu ‘pandangan hidup’ yang disebut the capitalist worldview dan menghasilkan apa yang disebut Joseph A Schumpeter sebagai The Civilization of Capitalism. [3] Ketika kebudayaan kapitalisme ini dipasarkan ke seluruh dunia secera imperialistis, ia tidak hanya sebagai sebuah ‘sistem ekonomi’ tapi telah merupakan ‘tata nilai’, ‘tata sosial’, ‘kultur masyarakat’, dan bahkan ‘gaya hidup masyarakat modern’. Oleh sebab itu, kini perlu ditegaskan bahwa problem hubungan Islam dan Barat adalah ‘konflik worldview’ atau dalam istilah Peter Berger collision of consciousness (benturan persepsi).

 Kajian dengan menggunakan teori worldview ini sangat penting karena beberapa alasan:

·    Pertama, karena di era globalisasi melebur identitas, maka suatu bangsa atau peradaban tidak lagi dapat diukur dari tradisi, nilai-nilai sosial, atau gaya hidup. Tolok ukur yang dapat mengatasi hilangnya atau leburnya identitas itu adalah worldview.

·   Kedua, dengan teori worldview persamaan dan perbedaan antara Islam dan peradaban dapat dilakukan secara konseptual ketimbang ideologis.

·      Ketiga, dengan menyadari perbedaan antar peradaban berdasarkan worldview, maka benturan peradaban (clash of civillization) yang sering dinilai ideologis itu dapat direduksi menjadi kesadaran akan adanya pluralitas peradaban yang saling menghormati tanpa harus menganut doktrin pluralisme, mutlikulturalisme, dan relativisme.

Maka dari itu, makalah ini tidak hendak membedakan antara Islam dan sistem ekonomi kapitalis karena keduanya merupakan entitas yang berbeda. Tidak juga akan membedakan sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi kapitalis, karena keterbatasan otoritas penulis. Makalah ini akan mencoba menjelaskan perbedaan pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Islam dan yang dibawa oleh Kapitalisme Barat. Untuk memahami konsep pandangan hidup (worldview) perlu dijelaskan terlebih dulu pengertiannya, elemen-elemennya baik dari pandangan Barat maupun dari Islam, baru kemudian melacak esensi pandangan hidup Barat kapitalis.

2. PENGERTIAN WORLDVIEW

   Sebenarnya istilah umum dari worldview hanya terbatas pada pengertian ideologis, sekuler, kepercayaan animistis, atau seperangkat doktrin-doktrin teologis dalam kaitannya dengan visi keduniaan. Artinya worldview dipakai untuk menggambarkan dan membedakan hakikat sesuatu agama, peradaban, atau kepercayaan. Terkadang ia juga digunakan sebagai metode pendekatan ilmu perbandingan agama. Namun karena terdapat ‘agama dan peradaban’ yang memiliki spektrum pandangan yang lebih luas dari sekadar visi keduniaan, maka makna pandangan hidup diperluas. Tapi kosa kata bahasa Inggris tidak memiliki istilah yang tepat untuk mengekspresikan visi yang lebih luas dari sekadar realitas keduniaan selain dari katakata worldview. Oleh sebab itu cendekiawan Muslim mengambil kata-kata worldview (untuk ekspresi bahasa Inggris) untuk makna ‘pandangan hidup’ yang spektrumnya menjangkau realitas keduniaan dan keakhiratan dengan menambah kata sifat “Islam”.

    Namun dalam bahasa Islam para ulama mengekspresikan konsep ini dengan istilah yang khas yang berbeda antara satu dengan yang lain. Karena pandangan hidup adalah suatu konsep yang dapat digunakan untuk menggambarkan cara pandang manusia secara umum tanpa melihat bangsa atau agama, maka beberapa definisi tentang worldview yang juga menggambarkan luas dan sempitnya spektrumnya dapat dikemukanan di sini. Menurut Ninian Smart, misalnya, worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. [4]

  Hampir serupa dengan Smart, Thomas F. Wall mengemukakan bahwa worldview adalah sistem kepercayaan asas yang integral tentang hakikat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi (An integrated system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning of existence). [5]

     Lebih luas dari kedua definisi di atas Prof. Alparslan mengartikan worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas ilmiah dan teknologi. Setiap aktivitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam pengertian itu, maka aktivitas manusia dapat direduksi menjadi pandangan hidup. [6]

     Ada tiga poin penting dari definisi di atas, yaitu bahwa worldview adalah:

● Motor bagi perubahan sosial,

● Asas bagi pemahaman realitas dan

● Asas bagi aktivitas ilmiah.

   Dalam konteks sains, hakikat worldview dapat dikaitkan dengan konsep “perubahan paradigma” (paradigm shift) Thomas S Kuhn [7] yang oleh Edwin Hung juga dianggap sebagai ‘weltanschauung revolution’. Sebab paradigma menyediakan konsep nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi, atau ringkasnya merupakan worldview dan framework konseptual yang diperlukan untuk kajian sains. [8] Namun dari definisi di atas setidaknya kita dapat memahami bahwa worldview adalah identitas untuk membedakan antara suatu peradaban dengan yang lain. Bahkan dari dua definisi terakhir menunjukkan bahwa worldview melibatkan aktivitas epistemologis [8a] manusia, sebab ia merupakan faktor penting dalam aktivitis penalaran manusia.

    Selain itu, ketiga definisi di atas berlaku bagi peradaban atau agama secara umum. Namun definisi untuk “worldview Islam” mempunyai nilai tambah karena sumbernya dan spektrumnya yang luas dan menyeluruh. Penggunaan kata sifat Islam menunjukkan bahwa istilah ini sejatinya adalah netral dan dapat digunakan untuk menyifati worldview lain, seperti Western worldview, Christian worldview, Hindu worldview, dan lain-lain. Karenanya, ketika kata sifat Islam diletakkan di depan kata worldview, maka makna etimologis dan terminologisnya menjadi berubah.

   Definisi worldview Islam dapat kita peroleh dari beberapa tokoh ulama kontemporer. Sebab dalam tradisi Islam klasik terma khusus untuk pengertian worldview belum diketahui, meski tidak berarti Islam tidak memiliki worldview. Para ulama abad 20 menggunakan terma khusus untuk pengertian worldview ini yang berbeda antara satu dengan yang lain.

     Menurut al-Mauwdudi, worldview adalah Islāmī Nazariyat (Islamic Vision) yang berarti pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (syahādah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab syahādah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh. [9]

  Hampir sama dengan al-Mawdudi, Sheykh Atif al-Zayn mengartikan worldview sebagai al-Mabda’ al-Islāmī (Islamic Principle) yang berarti aqīdah fikriyyah (kepercayaan yang rasional) yang berdasarkan pada akal. Sebab setiap muslim wajib beriman kepada hakikat wujud Allah, kenabian Muhammad SAW, dan kepada Al-Qur’an dengan akal. Iman kepada hal-hal yang ghaib berdasarkan cara penginderaan yang diteguhkan oleh akal sehingga tidak dapat dipungkiri lagi. Iman kepada Islam sebagai dīn yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya. [10]

   Masih bertumpu pada akidah, Sayyid Qutb mengartikan worldview Islam dengan istilah al-Tasawwur al-Islāmī (Islamic Vision), yang berarti akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat di balik itu. [11]

   Hampir sejalan dengan Sayyid Qutb, Naquib al-Attas mengganti istilah worldview Islam dengan Ru’yah al-Islām li al-wujūd yang berarti pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakikat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total, maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud. [12]

   Dari definisi worldview Islam menurut ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa meski istilah yang dipakai berbeda-beda pada umumnya para ulama tersebut sepakat bahwa Islam mempunyai cara pandangnya sendiri terhadap segala sesuatu. Selain itu pandangan-pandangan di atas telah cukup baik menggambarkan karakter Islam sebagai suatu pandangan hidup yang membedakannya dengan pandangan hidup lain. Namun, jika kita kaji keseluruhan pemikiran di balik definisi para ulama tersebut, kita dapati beberapa orientasi yang berbeda. Maududi lebih mengarahkan kepada kekuasaan Tuhan yang mewarnai segala aktivitas kehidupan manusia, yang ‘berimplikasi politik’. Sheykh Atif al-Zayn dan Sayyid Qutb lebih cenderung mamahaminya sebagai seperangkat doktrin kepercayaan yang rasional yang implikasinya adalah ‘ideologi’. Sayyid Qutb agak filosofis mengarahkan pada makna worldview sebagai ‘gambaran tentang wujud’. Sedangkan Naquib al-Attas lebih tegas lagi memaknai worldview secara ‘metafisis dan epistemologis’ sehingga menjadi cara pandang.

3. ELEMEN WORDVIEW

   Sebagai sebuah sistem yang secara definitif begitu jelas, worldview atau pandangan hidup memiliki karakteristik tersendiri yang ditentukan oleh beberapa elemen yang menjadi asas atau tiang penyokongnya. Antara satu pandangan hidup dengan pandangan hidup lain berbeda karena berbeda elemennya atau karakteristiknya. Demikian pula perbedaan definisi tentang worldview juga mempengaruhi penentuan elemen di dalamnya.

   Di sini akan dibandingkan secara singkat antara elemen pandangan hidup dalam perspektif pemikir Barat dan pemikiran Muslim. Menurut Thomas F. Wall (Thomas) suatu pandangan hidup ditentukan oleh pemahaman individu terhadap enam bidang pembahasan yaitu: 1. Tuhan, 2. Ilmu, 3. Realitas, 4. Diri, 5. Etika, dan 6. Masyarakat. [13] Seperti disebutkan di atas bagi Thomas elemen-elemen pandangan hidup di atas merupakan suatu sistem yang integral, di mana antara satu konsep berkaitan dengan konsep yang lain secara sistemik. Hal ini dapat disimak dari pernyataan Thomas berikut ini:

It (belief in God’s existence) is very important, perhaps the most important element in any worldview. First if we do believe that God exists, then we are more likely to believe that there is a plan and a meaning of life, …if we are consistent, we will also believe that the source of moral value is not just human convention but divine will and that God is the highest value. Moreover, we will have to believe that knowledge can be of more than what is observable and that that there is a higher reality – the supernatural world. …if on the other hand, we believe that there is no God and that there is just this one world, what would we then be likely to believe about the meaning of life, the nature of ourselves, and after life, the origin of moral standards, freedom and responsibility and so on. [14]

Terjemahannya (admin blog):

Itu (kepercayaan akan keberadaan Tuhan) sangat penting, mungkin elemen terpenting dalam 'pandangan dunia' (worldview) mana pun. Pertama, jika kita percaya kepada Tuhan itu ada, maka kita lebih mungkin untuk percaya bahwa ada rencana dan makna hidup, ...jika kita konsisten, kita juga akan percaya bahwa sumber nilai moral bukan hanya 'konvensi manusia' tetapi 'kehendak ilahi' dan 'bahwa Allah adalah nilai tertinggi'. Selain itu, kita harus percaya bahwa pengetahuan bisa lebih dari apa yang dapat diamati dan bahwa ada realitas yang lebih tinggi - dunia supranatural. ...jika di sisi lain, kita percaya bahwa tidak ada Tuhan dan hanya ada satu dunia ini, apa yang akan kita percayai tentang makna hidup, sifat diri kita sendiri, dan setelah kehidupan, asal usul standar moral, kebebasan dan tanggung jawab dan sebagainya.

Jadi dengan pernyataan tersebut, maka keenam bidang pembahasan di atas yang merupakan elemen suatu pandangan hidup mempunyai kaitan erat satu sama lain. Artinya kepercayaan individu terhadap adanya atau tidak adanya Tuhan akan berkaitan secara konseptual dengan pandangan inidividu tersebut terhadap ilmu, realitas, diri, etika dan masyarakat.

     Namun bagi Ninian Smart (Smart), yang mengkaji worldview dalam konteks kepercayaan atau agama, elemen pandangan hidup ditentukan oleh elemen-elemen dalam agama dan kepercayaan masyarakat itu. Oleh sebab itu ia mengajukan enam elemen penting suatu pandangan hidup, yaitu: 1. Doktrin, 2. Mitologi, 3. Etika, 4. Ritus, serta 5. Pengalaman dan Kemasyarakatan. [15]

     Pandangan Smart terhadap agama nampaknya dipengaruhi oleh persepsinya tentang agama di Barat, sebab di sini konsep Tuhan, ilmu, dan realitas nampak absen dari elemen pandangan hidup agama.

   Pandangan Thomas, yang melihat worldview secara filosofis, nampaknya lebih komprehensif, meskipun, seperti yang akan dipaparkan nanti, elemen-elemen itu tidak selengkap elemen-elemen dalam pandangan hidup Islam. Meskipun demikian elemen pandangan hidup yang disampaikan oleh Thomas dan Smart berguna bagi upaya mencari bidang-bidang pokok yang dapat digunakan untuk membandingkan antara satu pandangan hidup dengan yang lainnya.

  Tidak banyak cendekiawan muslim yang menggambarkan elemen-elemen pandangan hidup Islam secara terperinci. Sheykh Atif al-Zayn, misalnya, tidak merincikan elemen pandangan hidup Islam, namun hanya mengajukan karakteristik yang membedakan antara pandangan hidup Islam dari pandangan hidup lain. Karakteristik itu hanya tiga: 1. Berasal dari wahyu Allah, 2. Berdasarkan konsep (dīn) yang tidak terpisah dari Negara, dan 3. Kesatuan antara spiritual dan material. [16]

    Sebagaimana Sheykh Atif al-Zayn, Sayyid Qutb juga melihat bahwa pandang-an hidup Islam itu menyeluruh dan tidak mempunyai elemen atau bagian (juz’). Ia adalah keseluruhan sisi dan sempurna karena kesempur-naan sisi-sisinya. Bahkan pandangan hidup Islam bukan ciptaan manusia, akal manusia tidak dapat menciptakannya, karena ia berasal dari Allah. [17] Disini penekanan pada aspek keilahian cukup menonjol, sedangkan aspek keilmuan tidak nampak. Seakan-akan pandangan hidup Islam sama saja dengan wahyu yang tanpa penjelasan keilmuan.

   Berbeda dari ketiga ulama di atas, Naquib al-Attas melihat worldview Islam memiliki elemen yang sangat banyak dan bahkan yang merupakan jalinan konsep-konsep yang tak terpisahkan. Di antara yang paling utama adalah:

1. Konsep tentang hakikat Tuhan,

2. Konsep tentang wahyu (Al-Qur’an),

3. Konsep tentang penciptaan,

4. Konsep tentang hakikat kejiwaan manusia,

5. Konsep tentang ilmu,

6. Konsep tentang agama,

7. Konsep tentang kebebasan,

8. Konsep tentang nilai dan kebajikan,

9. Konsep tentang kebahagiaan, dan lain sebagainya. [18]

  Di sini al-Attas menekankan pada pentingnya ‘konsep’ sebagai elemen pandangan hidup Islam. Konsep-konsep ini semua saling berkaitan antara satu sama lain membentuk sebuah struktur konsep yang sistemik. Elemen yang disampaikan Sheykh Atif, Sayyid Qutb dan Syed Naquib al-Attas (al-Attas) berbeda dalam penekanannya, tapi ketiganya mempunyai kesamaan visi, yaitu bahwa pandangan hidup Islam berpusat pada akidah atau kepercayaan kepada Tuhan. Namun apa yang membedakan ‘pandangan hidup Islam’ dari ‘pandangan hidup lain’ mereka berbeda-beda. Shyakh Atif dan Sayyid Qutb perbedaannya adalah pada asal atau sumber pandangan hidup tersebut, sedangkan al-Attas melihat secara lebih konseptual dan praktis.

   Secara praktis konsep-konsep penting yang diajukan al-Attas itu dapat berguna bagi penafsiran makna kebenaran (truth) dan realitas (reality). Bagi al-Attas untuk menentukan sesuatu itu benar dan riel dalam setiap kebudayaan berkaitan erat dengan sistem metafisika masing-masing yang terbentuk oleh worldview. [19] Di sini kita melihat konsep pandangan hidup al-Attas dengan jelas menekankan aspek epistemologis. Dan ini cukup signifikan dalam era moderninasi dan globalisasi disaat mana terjadi disolusi konsep yang cenderung melemahkan pandangan hidup Islam yang kekuatannya tertelak pada struktur konsepnya.

  Untuk melihat sisi lain yang lebih detail mengenai hal itu, kita paparkan gambaran al-Attas tentang elemen penting yang menjadi karakter utama pandangan hidup Islam. Elemen penting pandangan hidup Islam itu digambarkan dalam poin-poin berikut ini. [20]

·  Pertama, dalam pandangan hidup Islam realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan pada kajian metafisika terhadap dunia yang nampak (visible world) dan yang tidak nampak (invisible world).

·    Kedua, pandangan hidup Islam bercirikan pada metode berpikir yang tawhīdī (integral).

·   Ketiga, pandangan hidup Islam bersumber pada wahyu yang diperkuat oleh agama (dīn) dan didukung oleh prinsip ‘akal’ dan ‘intuisi’ (admin blog: hati atau qalb, fuad).

·     Keempat, elemen-elemen pandangan hidup Islam terdiri utamanya dari konsep Tuhan dan diikuti oleh elemen lain yang berpusat pada konsep Tuhan tersebut.

Itulah elemen ‘pandangan hidup’ atau worldview Islam yang tidak saja membedakan Islam dari agama, peradaban dan kebudayaan lain tapi juga membedakan metode berpikir dalam Islam dan metode berpikir pada kebudayaan lain. Agar identitas pandangan hidup Islam dapat dipahami lebih jelas lagi, ada baiknya dibahas pula pandangan hidup Barat.

4. WORLDVIEW BARAT

     Pandangan hidup Barat dapat kita lacak dari periode modern, yang dari situ lahir pula pandangan hidup kapitalisme. Sejarahnya, peradaban Barat adalah peradaban yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa dari peradaban Yunani kuno yang di kawinkan dengan peradaban Romawi, dan disesuaikan dengan elemen-elemen kebudayaan bangsa Eropa terutama Jerman, Inggris, dan Perancis. Prinsip-prinsip asas dalam filsafat, seni, pendidikan dan pengetahuan diambil dari Yunani; prinsip-prinsip mengenai hukum dan ketatanegaraan diambil dari Romawi. Sementara agama Kristen yang berasal dari Asia Barat disesuaikan dengan budaya Barat. [21]

  Selain itu pandangan hidup Barat juga sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran umat Islam. Ketika agama Kristen dominan dalam kehidupan keagamaan masyarakat Eropa, mereka masih berada dalam zaman yang mereka sebut Dark Ages (Zaman Kegelapan). Namun mereka mendapat pencerahan setelah mereka menerjemahkan karya-karya cendekiawan Muslim dalam berbagai bidang sains (1050- 1150) ke dalam bahasa Latin. Oleh sebab itu Eugene Myers dengan tegas menyimpulkan bahwa salah satu faktor terpenting kebangkitan Barat adalah penerjema-han karya-karya cendekiawan Muslim. [22] Dari Abad abad kegelapan (Dark Ages), Barat memasuki Zaman Pencerahan (Renaissance), Revolusi Perancis (France Revolution), dan industrialisasi besar-besaran (admin blog - Industrial Revolution) di Inggris.

   Melalui proses tersebut maka Barat memasuki apa yang disebut dengan Zaman Modern. Alain Touraine menggambarkan modernitas sebagai berikut:

The idea of modernity make science, rather than God, central to society and at best relegates religious belief to the inner realm of private life. The mere presence of technological applications of science does not allow us to speak of modern society. Intellectual activity must also be protected from political propaganda or religious beliefs; ….public and private life must be kept separate…..the idea of modernity is therefore closely associated with that of rationalization. [23]

Terjemahan (admin blog):

Gagasan modernitas menjadi sains, daripada makna Tuhan, sebagai pusat kebaikan hidup bermasyarakat, dan kepercayaan kepada agama hanya sebagai ranah batin spiritual dan untuk kehidupan pribadi saja. Tanpa kehadiran aplikasi teknologi sains tidak memungkinkan kita untuk berbicara tentang masyarakat modern. Aktivitas intelektual juga harus dilindungi dari propaganda politik atau keyakinan agama; ...kehidupan publik dan pribadi harus dipisahkan... karena itu ide modernitas terkait erat dengan rasionalisasi.

   Jalan pikiran manusia Barat modern yang juga disebut “akal modern” (modern mind) itu telah membawa angin baru atau “cara baru” dalam melihat segala sesuatu dan dari situlah lahir sains modern. Di sini kaitan antara “cara baru” dalam berpikir dengan pengetahuan ilmiah yang dihasilkannya sangat erat sekali. Jika kita rujuk kembali definisi worldview di atas, maka modernitas adalah pandangan hidup modern. Karena moderrnitas lebih menekankan pada ‘sains dan teknologi’, ketimbang agama, maka pandangan hidup Barat waktu itu disebut dengan scientific worldview. Sejak saat itulah pandangan hidup orang Barat telah berubah secara fundamental.

    Jadi modernitas pada intinya adalah state of mind atau ‘cara berpikir’ yang diaplikasikan ke dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu, sejalan dengan perkembangan sains dan pandangan hidup saintifik, JW Schoorl mendefinisikan modernisasi menjadi “penerapan pengetahuan ilmiah yang ada pada semua aktivitas, semua bidang kehidupan atau kepada semua aspek kehidupan masyarakat.” [24] Penerapan cara berpikir rasional ke dalam keseluruhan aspek kehidupan pada akhirnya menjelma menjadi suatu idea yang lebih luas, yaitu menciptakan masyarakat rasional (rational society), yaitu suatu masyarakat yang segala kegiatannya termasuk bidang sains dan teknologi serta kehidupan politiknya dikontrol oleh rasio. Karena rasionalitas adalah satu-satunya prinsip yang mengatur kehidupan individu dan sosial, termasuk kehidupan keagamaan, maka ‘rasionalisasi’ berkaitan erat dengan tema ‘sekularisasi’.

  Jadi, dua elemen penting peradaban modern adalah ‘rasionalisasi’ dan ‘sekularisasi’. Dengan kedua elemen ini, maka pandangan hidup Barat tidak lagi bersifat ‘teistik’ (admin blog: Tidak bersifat ketuhanan, lepas dari agama) dalam memandang segala sesuatu. [25]

  Pandangan hidup Barat yang ‘saintifik’ tersebut akhirnya memarginalkan agama. Diskursus yang meletakkan Tuhan secara sentral hanya terbatas pada para teolog, sedangkan para filsuf lebih tertarik pada sains. Habermas menyatakan bahwa proyek modernisasi berkulminasi pada abad ke 18, di saat mana model pemikiran rasional menjanjikan liberalisasi masyarakat dari mitologi irrasional, agama, dan takhayul. [26]

 Inilah gerakan sekularisasi yang sebenarnya yang berupaya untuk menyuntikkan gagasan desakralisasi ilmu dan organisasi sosial. Menurut James E. Crimmins, proses desakralisasi, atau dalam istilah Weber ‘disenchantment’ ini memang sengaja diarahkan untuk melawan agama dan digambarkan sebagai agen utama untuk menggusur dan menggeser agama tradisional. [27] Hasil dari gerakan desakralisasi agama itu sendiri adalah peminggiran agama dari fungsinya yang sentral dalam kehidupan publik dan berbagai diskursus tidak dapat dielakkan. Alain Finkielkraut dalam bukunya The Defeat of the Mind menggambarkan kondisi agama pada era modern sebagai berikut:

What they called God was no longer the Supreme Being, but collective reason… From now on God existed within human intelligence, not beyond it, guiding people’s action and shaping their thoughts without their knowing it. Instead of communicating with all creatures, as His namesake did, by means of the Revelation, God no longer spoke to man in a universal tongue; He now spoke within him, in the language of his nation. [28]

Terjemahannya (admin blog):

Apa yang mereka sebut Tuhan bukan lagi Yang Mahatinggi, tetapi alasan kolektif… Mulai sekarang Tuhan ada di dalam kecerdasan manusia, bukan di luarnya, membimbing tindakan manusia dan membentuk pikiran mereka tanpa mereka sadari. Alih-alih berkomunikasi dengan semua makhluk, seperti yang dilakukan oleh senama, melalui Wahyu, Tuhan tidak lagi berbicara kepada manusia dalam bahasa universal; Dia sekarang berbicara di dalam dirinya, dalam bahasa bangsanya.

 Gambaran ini menunjukkan bahwa dengan dihapusnya nilai-nilai transendental, maka Tuhan telah direduksi menjadi semangat kebangsaan dan kebudayaan. Ini juga berimplikasi pada pembebasan pemikiran rasional dari agama dan segala macam kepercayaan yang ada di masyarakat. Bagi mereka tidak ada agama yang bisa dipahami secara rasional. Pada zaman ini (modern) pemikiran yang mendiskusikan apakah Tuhan itu ada atau tidak, sebagaimana pada zaman pra-modern sudah tinggal sedikit, yang ada hanya diskusi yang justru menggugat agama. Meskipun demikian Alain sendiri percaya bahwa pada abad ke 18 itu masih dapat dianggap abad metafisika, [29] namun fondasi metafisis yang menjadi pembela kebenaran agama perlahanlahan mulai tidak dapat dipertahankan lagi dan tinggal menunggu penghapusan metafisika pada abad berikutnya.

   Selain dari elemen rasionalisme dan sekularisme, Barat Modern juga meng-anut pandangan filsafat empirisisme, [29a] yaitu suatu prinsip yang merupakan konsekuensi logis dari rasionalisme dan saintifisme. Dari perspektif ontologi (admin. hakikat hidup) Barat modern juga diwarnai oleh prinsip dualisme dalam memandang realitas, pemisahan jiwa dan raga adalah contoh yang paling konkrit. Berkaitan erat dengan dualisme adalah cara memandang segala sesuatu secara dikotomis, yaitu suatu cara pandang terhadap realitas secara mendua. Dan yang terakhir adalah humanisme. Hal ini muncul sebagai konsekuensi logis dari adanya proses sekularisasi, desekularisasi, dan disenchantment of nature. Jadi gambaran singkat pandangan hidup Barat Modern di atas menunjukkan bahwa elemen pandangan hidup Barat terdiri dari rasionalisme, sekularisme, empirisisme (positivisme), dualisme atau dikotomi, dan humanisme.

5. WORLDVIEW KAPITALISME

    Makna kapitalisme adalah sistem ekonomi yang berorientasi pada cara-cara produksi secara individu atau dimiliki oleh individu, di mana distribusi, penentuan harga dan jasa-jasa pelayaan di dalamnya ditentukan oleh pasar bebas. Pengertian individu di sini dapat juga diartikan sebagai individu secara kolektif dalam bentuk perusahaan (corporate ownership) dan bukan milik masyarakat atau milik negara. [30] Oleh sebab itu, kapitalisme juga disebut dengan sistem ekonomi dengan pendekatan pasar bebas (free market). Para pendukung sistem ini percaya bahwa pasar adalah efisien dan harus berfungsi secara bebas tanpa campur tangan pihak manapun, tugas negara hanya mengatur dan memproteksi. [31] Jika kapitalisme menekankan pasar bebas dan kompetisi, maka sosialisme berdasarkan pada kerjasama (koperasi) yang menekankan pada perencanaan dan distribusi yang disentralisir. [32]

     Kapitalisme adalah sistem ekonomi produk dari kebudayaan Barat modern. Ia dianggap juga sebagai sistem sosial (social system) yang pertama dan terpenting di Barat yang berkembang menjadi kebudayaan kapitalis (capitalist civilization). [33] Jika kita merujuk pada definisi worldview di atas, maka pandangan hidup kapitalisme dapat diartikan sebagai kepercayaan, sikap mental, dan cara pandang masyarakat Barat terhadap cara-cara pemenuhan kebutuhan materi mereka. Dalam teori Max Weber sikap manusia untuk memenuhi kebutuhan materialnya ini disebut dengan Spirit of Capitalism (semangat kapitalisme). Ini adalah kata lain untuk menyebut manusia sebagai homo economicus. [34] Spirit of Capitalism ini menurut Weber terdapat dalam agama Protestan, khususnya dalam sekte Puritan. Tapi perlu dicatat bahwa yang dimaksud Weber adalah orang Protestan dan bukan teologinya atau Bible. Sebab menurutnya, semangat kapitalisme ini bermula dari praktik-praktik yang telah dilakukan oleh Benyamin Franklin (1706-1790). Pada masa sebelum Franklin, agama Protestan tidak memiliki cukup kekuatan yang dapat mendorong terselenggaranya kegairahan kerja sesuai dengan cita-cita kapitalisme. Agama Protestan benar-benar menjadi kapitalistis setelah dilengkapi oleh ajaran-ajaran Franklin.

    Yang menjadi rujukan Weber pertama-tama adalah sikap hidup sehari-hari Benyamin Franklin, seperti berlaku hati-hati, bijaksana, rajin dan bersungguh-sungguh dalam mengelola bisnis, tidak bermalas-malasan dan tidak berkata kecuali yang bermanfaat untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, hati-hati, hemat, melakukan segala sesuatu dengan baik sehingga tidak sia-sia, rajin dan tidak membuang-buang waktu, tulus dan tidak berlebihlebihan, dan sebagainya. [35] Dan yang terpenting tujuan kehidupan baginya adalah untuk mendapatkan kemakmuran dan kekayaan.

    Kegiatan ekonomi adalah suatu tugas dalam rangka melayani Tuhan. Untuk tujuan ini seseorang mesti ingat waktu adalah uang. Memanfaatkan modal sesuai dengan kepentingannya, jujur dan tepat waktu dalam menghaslikan pinjaman, mau bekerja keras akan membantu meningkatkan simpanan. Hemat dalam pemakaian uang, tidak memboroskannya pada hal-hal yang tidak perlu dan tidak dipakai untuk hidup bermalas-malasan serta mencari kesenangan yang sifatnya sementara, tapi sedikit demi sedikit ditabungkan dan dijadikan kapital tertentu akan menghasilkan keuntungan yang berlipat. Singkat kata, cara untuk memperoleh kekayaan adalah dengan cara hidup rajin dan hemat dalam arti tidak membuangbuang waktu dan uang, tetapi menggunakannya sebaik mungkin. [36]

    Jadi sumber semangat kapitalisme adalah sikap hidup orang Protestan, seperti Benyamin Franklin, dan bukan teologi yang terpancar dari Bible, meski disebutkan bahwa kegiatan ekonomi adalah untuk melayani Tuhan. Oleh karena itu tidak heran jika Franklin memisahkan moralitas dari teologi. [37] Pemisahan ini semakin jelas ketika ia mengakui bahwa tidak semua usaha untuk mencari keuntungan selalu dibarengi dengan pertimbagan moral atau tidak lagi bermakna ibadah. Tindakan-tindakan amoral untuk memperoleh keuntungan pribadi mewarnai perjalanan kapitalisme.

  Weber menggambarkan sikap moral kapitalisme ini dengan meminjam ungkapan seorang kapten laut Belanda: “Pergilah ke neraka untuk mendapatkan keuntungan, sekalipun kamu akan menghanguskan layarmu”. [38] Oleh karena itu, pendekatan Weber adalah sosiologis dan bukan teologis. Hipotesisnya adalah bahwa orang Katolik mementingkan kehidupan yang tenang dan suka pada kehidupan yang nyaman sedangkan orang Protestan lebih suka pada kehidupan yang penuh resiko dan menantang untuk mendapatkan kehormatan dan kekayaan. [39] Jika dalam worldview Islam konsep dan kepercayaan kepada Tuhan adalah sentral, (sedangkan) dalam worldview kapitalis harta, kesejahateraan dan kekayaan materi adalah sentral.

     Namun, etika Protestan ternyata bukan satu-satunya sumber. Meningkatnya suplai emas ke Eropa yang mengakibatkan inflasi pada abad pertengahan telah membuka peluang bagi sikap-sikap kapitalistis untuk mengambil kesempatan. Situasi ini ditambah lagi dengan munculnya negara-negara bangsa yang kuat pada era Mercantilis (1500-1750). Negara-negara itu kemudian melahirkan kebijakan yang memungkinkan swasta lebih berperan dalam pengembangan ekonomi. Itu semua membuat lajunya sistem kapitalisme di Barat. [40] Masalahnya, baik orang Katolik maupun orang Protestan tidak mendasarkan sikap hidup mereka dalam berekonomi pada teologi Kristen. Weber sendiri mengakui bahwa orang Katolik Perancis pada umumnya tertarik pada kemewahan dan tidak perduli pada agama. Begitu juga orang Protestan di Jerman yang juga terlibat jauh dengan kehidupan duniawi sama-sama meninggalkan agamanya. Jadi, Spirit of Capitalism bukan berasal dari teologi Protestan, mungkin itu sebabnya Weber menyebutnya Protestant Ethic. Karena agama bukan asas konseptualnya, maka etika ini dalam realitas sosialnya berkembang menjadi kerakusan material dan menghasilkan motto yang berbunyi “greed is good” (rakus adalah bagus). [41]

  Di sini dapat disimpulkan bahwa kapitalisme adalah produk dari sikap keagamaan penganut sekte Protestan dan bukan konsep yang diderivasi secara resmi dari ajaran Kristen yang berdasarkan pada Bible. Besar kemungkinan sikap kapitalistis itu lebih dipengaruhi oleh situasi sosial ekonomi Eropa Zaman Renaissance yang diwarnai oleh pandangan hidup saintifik (scientific worldview) daripada oleh ajaran agama mereka. Protestan sendiri muncul karena pengaruh rasionalisme Barat modern. □

Bersambung ke  klik ---> Worldview Islam dan Kapitalisme Barat (2)


Blog Archive