Kata Pengantar
Makalah
yang bersumber dari Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Institut Studi Islam Darussalam
(ISID) Gontor Indonesia, membahas masalah “Worldview Islam dan Kapitalisme
Barat” perlu di baca dan diperhatikan isinya.
Hidup
di awal millennium ke-3 perkembangan dunia dan apa yang terjadi mulai abad
ke-21 ini perlu disimak. Pendekatan ‘Islam tradisional’ dalam melihat ‘dunia
dan perkembangannya’ tidak cukup memadai lagi, melainkan - perlu ditambah dengan
- menggunakan pendekatan-pendekatan kontemporer agar wawasan pembahasannya updated. Sementara di luar Dunia Islam
telah ‘maju’ baik dalam iptek, ekonomi dan militer serta menejemen
pengorgani-sasiannya.
Francis
Fukuyama dalam bukunya ‘The End of
History, and the Last Man’
mengakui bahwa kini dunia Barat Posmodern dengan prinsip ‘free market” kapitalisme dan “liberalisme”
merupakan babak akhir dari sejarah manusia (the
end of History). Di dalam bukunya itu, Fukuyama menyatakan bahwa dalam
politik Islam pernah menjadi tantangan bagi demokrasi liberal… Tapi kini
menurutnya kekuatan Islam tidak demikian… dia menyimpulkan: “Tidak diragukan
lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak lebih lemah menghadapai
ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang lalu
liberalisme telah memukau banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab
munculnya ‘fundamentalisme’ adalah kuatnya ancaman nilai-nilai liberal dan
Barat terhadap masyarakat Islam tradisional.”
Lebih lanjut mari ikuti saja bahasan
berikutnya yang terdiri dari 2 bagian tulisan. Bagian ke-1: Sinopsis; 1. Pendahuluan;
2. Pengertian Worldview; 3. Elemen Worldview; 4. Worldview Barat; 5. Worldview
Kapitalisme. Selamat menyimak, semoga bermanfaat hendaknya. □ AFM
WORLDVIEW ISLAM
& KAPITALISME BARAT (1)
ABSTRAKSI
Dalam era dimana faham kesamaan,
kesetaraan dan pluralisme disebarkan kedalam berbagai bidang, orang mungkin
akan menemukan kesulitan untuk membedakan satu peradaban dengan peradaban lain.
Kini kapitalisme adalah sistem ekonomi yang paling dominan di dunia dan bahkan
dikembangkan menjadi peradaban yang memiliki worldview sendiri.
Kapitalisme
juga sering diklaim dan diterima sebagai sistem universal yang dapat diterapkan
ke suluruh dunia. Dalam merespon cara berpikir ini, kapitalisme perlu dikaji
dan diidentifikasi dari konsepnya yang paling mendasar yakni dari perspektif worldview, dan kemudian dibandingkan
dengan Islam.
Makalah
ini adalah upaya awal untuk mengidentifikasi ‘worldview kapitalis’ dan membuktikan bahwa ia berbeda secara
mendasar dari ‘worldview Islam’.
Pandangan kapitalis tentang agama, dunia, gaya hidup, keadilan, kebebasan
berpikir, kekayaan, kegiatan ekonomi yang dipengaruhi oleh ‘worldview’ berbeda secara diametrik dari
‘worldview Islam’.
Berdasarkan
kajian ini jelaslah sudah bahwa cendekiawan Muslim yang berhasrat untuk
meminjam konsep tertentu dari kapitalisme bagi pengembangan ekonomi Islam,
perlu menyadari bahwa prinsip-prinsip dasar kapitalisme tidak dapat disatukan (perlu
dikembangkan lagi) dengan menggunakan prinsip-prinsip ekonomi Islam
(berdasarkan ‘worldview Islam’).
Katakunci: Worldview, kapitalisme, Islam, Barat, ekonomi Islam
1. PENDAHULUAN
K |
ajian
tentang Islam dalam konteks ideologi dan peradaban modern, khususnya Barat
memerlukan suatu pendekatan yang seimbang sehingga memungkinkan adanya suatu
kajian perbandingan. Pendekatan menjadi seimbang jika Islam diletakkan sebagai
‘ideologi dan peradaban’ pula dan bukan melulu sebagai ‘agama dalam arti
sempit’. Identitas suatu ‘ideologi dan peradaban’ dapat ditemukan secara
fundamental melalui teori pandangan hidup (worldview)
yang sejatinya merupakan asas dari setiap peradaban.
Islam dan Barat selalu digambarkan
sebagai dua kekuatan yang saling berhadapan dan yang satu menjadi ancaman bagi
yang lain. Ketika Samuel Huntington menyatakan bahwa konflik paska Perang
Dingin bukan lagi ideologis, politik atau ekonomi, tapi kultural temasuk
bahasa, sejarah, nilai, adat istiadat, dan yang paling penting adalah agama.
Sebenarnya ia berbicara tentang ancaman terhadap kapitalisme Barat. [1] Sebab
identitas kultural Barat bukanlah agama Katolik atau Protestan, tapi The Civilization of Capitalism,
sedangkan identitas ‘Islam dilihat hanya sebagai agama’, padahal sejatinya ia
adalah ‘agama dan peradaban’. [1a]
Sementara itu, kapitalisme kini tidak
hanya diartikan sebagai ‘sistem ekonomi’ yang menjunjung kepemilikan pribadi
yang tak terbatas, pasar bebas, pemisahan negara dan kegiatan bisnis dan
sebagainya, [2] tapi merupakan suatu ‘pandangan hidup’ yang disebut the capitalist worldview dan menghasilkan
apa yang disebut Joseph A Schumpeter sebagai The Civilization of Capitalism. [3] Ketika kebudayaan kapitalisme
ini dipasarkan ke seluruh dunia secera imperialistis, ia tidak hanya sebagai
sebuah ‘sistem ekonomi’ tapi telah merupakan ‘tata nilai’, ‘tata sosial’,
‘kultur masyarakat’, dan bahkan ‘gaya hidup masyarakat modern’. Oleh sebab itu,
kini perlu ditegaskan bahwa problem hubungan Islam dan Barat adalah ‘konflik worldview’ atau dalam istilah Peter
Berger collision of consciousness
(benturan persepsi).
Kajian dengan menggunakan teori worldview ini sangat penting karena
beberapa alasan:
· Pertama, karena di era globalisasi melebur
identitas, maka suatu bangsa atau peradaban tidak lagi dapat diukur dari
tradisi, nilai-nilai sosial, atau gaya hidup. Tolok ukur yang dapat mengatasi
hilangnya atau leburnya identitas itu adalah worldview.
· Kedua, dengan teori worldview persamaan dan perbedaan antara Islam dan peradaban dapat
dilakukan secara konseptual ketimbang ideologis.
· Ketiga, dengan menyadari perbedaan antar peradaban
berdasarkan worldview, maka benturan
peradaban (clash of civillization)
yang sering dinilai ideologis itu dapat direduksi menjadi kesadaran akan adanya
pluralitas peradaban yang saling menghormati tanpa harus menganut doktrin
pluralisme, mutlikulturalisme, dan relativisme.
Maka
dari itu, makalah ini tidak hendak membedakan antara Islam dan sistem ekonomi
kapitalis karena keduanya merupakan entitas yang berbeda. Tidak juga akan
membedakan sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi kapitalis, karena
keterbatasan otoritas penulis. Makalah ini akan mencoba menjelaskan perbedaan
pandangan hidup (worldview) yang
dibawa oleh Islam dan yang dibawa oleh Kapitalisme Barat. Untuk memahami konsep
pandangan hidup (worldview) perlu
dijelaskan terlebih dulu pengertiannya, elemen-elemennya baik dari pandangan
Barat maupun dari Islam, baru kemudian melacak esensi pandangan hidup Barat
kapitalis.
2. PENGERTIAN WORLDVIEW
Sebenarnya istilah umum dari worldview hanya terbatas pada pengertian
ideologis, sekuler, kepercayaan animistis, atau seperangkat doktrin-doktrin
teologis dalam kaitannya dengan visi keduniaan. Artinya worldview dipakai untuk menggambarkan dan membedakan hakikat
sesuatu agama, peradaban, atau kepercayaan. Terkadang ia juga digunakan sebagai
metode pendekatan ilmu perbandingan agama. Namun karena terdapat ‘agama dan
peradaban’ yang memiliki spektrum pandangan yang lebih luas dari sekadar visi
keduniaan, maka makna pandangan hidup diperluas. Tapi kosa kata bahasa Inggris
tidak memiliki istilah yang tepat untuk mengekspresikan visi yang lebih luas
dari sekadar realitas keduniaan selain dari katakata worldview. Oleh sebab itu cendekiawan Muslim mengambil kata-kata worldview (untuk ekspresi bahasa
Inggris) untuk makna ‘pandangan hidup’ yang spektrumnya menjangkau realitas
keduniaan dan keakhiratan dengan menambah kata sifat “Islam”.
Namun dalam bahasa Islam para ulama
mengekspresikan konsep ini dengan istilah yang khas yang berbeda antara satu
dengan yang lain. Karena pandangan hidup adalah suatu konsep yang dapat
digunakan untuk menggambarkan cara pandang manusia secara umum tanpa melihat
bangsa atau agama, maka beberapa definisi tentang worldview yang juga menggambarkan luas dan sempitnya spektrumnya
dapat dikemukanan di sini. Menurut Ninian Smart, misalnya, worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat
dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan
perubahan sosial dan moral. [4]
Hampir serupa dengan Smart, Thomas F.
Wall mengemukakan bahwa worldview adalah
sistem kepercayaan asas yang integral tentang hakikat diri kita, realitas, dan
tentang makna eksistensi (An integrated
system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning
of existence). [5]
Lebih luas dari kedua definisi di
atas Prof. Alparslan mengartikan worldview
sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas ilmiah
dan teknologi. Setiap aktivitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan
hidupnya, dan dalam pengertian itu, maka aktivitas manusia dapat direduksi
menjadi pandangan hidup. [6]
Ada tiga poin penting dari definisi
di atas, yaitu bahwa worldview adalah:
● Motor bagi perubahan
sosial,
● Asas bagi pemahaman
realitas dan
● Asas bagi aktivitas
ilmiah.
Dalam konteks sains, hakikat worldview dapat dikaitkan dengan konsep
“perubahan paradigma” (paradigm shift)
Thomas S Kuhn [7] yang oleh Edwin Hung juga dianggap sebagai ‘weltanschauung revolution’. Sebab
paradigma menyediakan konsep nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi,
atau ringkasnya merupakan worldview
dan framework konseptual yang
diperlukan untuk kajian sains. [8] Namun dari definisi di atas setidaknya kita
dapat memahami bahwa worldview adalah
identitas untuk membedakan antara suatu peradaban dengan yang lain. Bahkan dari
dua definisi terakhir menunjukkan bahwa worldview
melibatkan aktivitas epistemologis [8a] manusia, sebab ia merupakan faktor
penting dalam aktivitis penalaran manusia.
Selain itu, ketiga definisi di atas
berlaku bagi peradaban atau agama secara umum. Namun definisi untuk “worldview Islam” mempunyai nilai tambah
karena sumbernya dan spektrumnya yang luas dan menyeluruh. Penggunaan kata
sifat Islam menunjukkan bahwa istilah ini sejatinya adalah netral dan dapat
digunakan untuk menyifati worldview lain, seperti Western worldview, Christian
worldview, Hindu worldview, dan lain-lain. Karenanya, ketika kata sifat Islam
diletakkan di depan kata worldview,
maka makna etimologis dan terminologisnya menjadi berubah.
Definisi worldview Islam dapat kita
peroleh dari beberapa tokoh ulama kontemporer. Sebab dalam tradisi Islam klasik
terma khusus untuk pengertian worldview
belum diketahui, meski tidak berarti Islam tidak memiliki worldview. Para ulama abad 20 menggunakan terma khusus untuk
pengertian worldview ini yang berbeda
antara satu dengan yang lain.
Menurut al-Mauwdudi, worldview adalah Islāmī Nazariyat (Islamic
Vision) yang berarti pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan
(syahādah) yang berimplikasi pada
keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab syahādah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk
melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh. [9]
Hampir sama dengan al-Mawdudi, Sheykh
Atif al-Zayn mengartikan worldview
sebagai al-Mabda’ al-Islāmī (Islamic Principle) yang berarti aqīdah fikriyyah (kepercayaan yang
rasional) yang berdasarkan pada akal. Sebab setiap muslim wajib beriman kepada
hakikat wujud Allah, kenabian Muhammad SAW,
dan kepada Al-Qur’an dengan akal. Iman kepada hal-hal yang ghaib berdasarkan
cara penginderaan yang diteguhkan oleh akal sehingga tidak dapat dipungkiri
lagi. Iman kepada Islam sebagai dīn yang
diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW
untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya. [10]
Masih bertumpu pada akidah, Sayyid
Qutb mengartikan worldview Islam
dengan istilah al-Tasawwur al-Islāmī
(Islamic Vision), yang berarti
akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap
muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat di
balik itu. [11]
Hampir sejalan dengan Sayyid Qutb,
Naquib al-Attas mengganti istilah worldview
Islam dengan Ru’yah al-Islām li
al-wujūd yang berarti pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang
nampak oleh mata hati kita dan yang
menjelaskan hakikat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud
yang total, maka worldview Islam
berarti pandangan Islam tentang wujud. [12]
Dari definisi worldview Islam menurut ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa
meski istilah yang dipakai berbeda-beda pada umumnya para ulama tersebut
sepakat bahwa Islam mempunyai cara pandangnya sendiri terhadap segala sesuatu.
Selain itu pandangan-pandangan di atas telah cukup baik menggambarkan karakter
Islam sebagai suatu pandangan hidup yang membedakannya dengan pandangan hidup
lain. Namun, jika kita kaji keseluruhan pemikiran di balik definisi para ulama
tersebut, kita dapati beberapa orientasi yang berbeda. Maududi lebih
mengarahkan kepada kekuasaan Tuhan yang mewarnai segala aktivitas kehidupan
manusia, yang ‘berimplikasi politik’. Sheykh Atif al-Zayn dan Sayyid Qutb lebih
cenderung mamahaminya sebagai seperangkat doktrin kepercayaan yang rasional
yang implikasinya adalah ‘ideologi’. Sayyid Qutb agak filosofis mengarahkan
pada makna worldview sebagai
‘gambaran tentang wujud’. Sedangkan Naquib al-Attas lebih tegas lagi memaknai worldview secara ‘metafisis dan
epistemologis’ sehingga menjadi cara pandang.
3. ELEMEN WORDVIEW
Sebagai sebuah sistem yang secara
definitif begitu jelas, worldview
atau pandangan hidup memiliki karakteristik tersendiri yang ditentukan oleh
beberapa elemen yang menjadi asas atau tiang penyokongnya. Antara satu
pandangan hidup dengan pandangan hidup lain berbeda karena berbeda elemennya
atau karakteristiknya. Demikian pula perbedaan definisi tentang worldview juga mempengaruhi penentuan
elemen di dalamnya.
Di sini akan dibandingkan secara
singkat antara elemen pandangan hidup dalam perspektif pemikir Barat dan
pemikiran Muslim. Menurut Thomas F. Wall (Thomas) suatu pandangan hidup
ditentukan oleh pemahaman individu terhadap enam bidang pembahasan yaitu: 1.
Tuhan, 2. Ilmu, 3. Realitas, 4. Diri, 5. Etika, dan 6. Masyarakat. [13] Seperti
disebutkan di atas bagi Thomas elemen-elemen pandangan hidup di atas merupakan
suatu sistem yang integral, di mana antara satu konsep berkaitan dengan konsep
yang lain secara sistemik. Hal ini dapat disimak dari pernyataan Thomas berikut
ini:
It
(belief in God’s existence) is very important, perhaps the most important
element in any worldview. First if we do believe that God exists, then we are
more likely to believe that there is a plan and a meaning of life, …if we are
consistent, we will also believe that the source of moral value is not just
human convention but divine will and that God is the highest value. Moreover,
we will have to believe that knowledge can be of more than what is observable
and that that there is a higher reality – the supernatural world. …if on the
other hand, we believe that there is no God and that there is just this one
world, what would we then be likely to believe about the meaning of life, the
nature of ourselves, and after life, the origin of moral standards, freedom and
responsibility and so on. [14]
Terjemahannya (admin blog):
Itu (kepercayaan akan keberadaan Tuhan) sangat penting, mungkin elemen terpenting dalam 'pandangan dunia' (worldview) mana pun. Pertama, jika kita percaya kepada Tuhan itu ada, maka kita lebih mungkin untuk percaya bahwa ada rencana dan makna hidup, ...jika kita konsisten, kita juga akan percaya bahwa sumber nilai moral bukan hanya 'konvensi manusia' tetapi 'kehendak ilahi' dan 'bahwa Allah adalah nilai tertinggi'. Selain itu, kita harus percaya bahwa pengetahuan bisa lebih dari apa yang dapat diamati dan bahwa ada realitas yang lebih tinggi - dunia supranatural. ...jika di sisi lain, kita percaya bahwa tidak ada Tuhan dan hanya ada satu dunia ini, apa yang akan kita percayai tentang makna hidup, sifat diri kita sendiri, dan setelah kehidupan, asal usul standar moral, kebebasan dan tanggung jawab dan sebagainya.
Jadi
dengan pernyataan tersebut, maka keenam bidang pembahasan di atas yang
merupakan elemen suatu pandangan hidup mempunyai kaitan erat satu sama lain.
Artinya kepercayaan individu terhadap adanya atau tidak adanya Tuhan akan
berkaitan secara konseptual dengan pandangan inidividu tersebut terhadap ilmu,
realitas, diri, etika dan masyarakat.
Namun bagi Ninian Smart (Smart), yang
mengkaji worldview dalam konteks
kepercayaan atau agama, elemen pandangan hidup ditentukan oleh elemen-elemen
dalam agama dan kepercayaan masyarakat itu. Oleh sebab itu ia mengajukan enam
elemen penting suatu pandangan hidup, yaitu: 1. Doktrin, 2. Mitologi, 3. Etika,
4. Ritus, serta 5. Pengalaman dan Kemasyarakatan. [15]
Pandangan Smart terhadap agama
nampaknya dipengaruhi oleh persepsinya tentang agama di Barat, sebab di sini
konsep Tuhan, ilmu, dan realitas nampak absen dari elemen pandangan hidup
agama.
Pandangan Thomas, yang melihat worldview secara filosofis, nampaknya
lebih komprehensif, meskipun, seperti yang akan dipaparkan nanti, elemen-elemen
itu tidak selengkap elemen-elemen dalam pandangan hidup Islam. Meskipun
demikian elemen pandangan hidup yang disampaikan oleh Thomas dan Smart berguna
bagi upaya mencari bidang-bidang pokok yang dapat digunakan untuk membandingkan
antara satu pandangan hidup dengan yang lainnya.
Tidak banyak cendekiawan muslim yang
menggambarkan elemen-elemen pandangan hidup Islam secara terperinci. Sheykh
Atif al-Zayn, misalnya, tidak merincikan elemen pandangan hidup Islam, namun
hanya mengajukan karakteristik yang membedakan antara pandangan hidup Islam
dari pandangan hidup lain. Karakteristik itu hanya tiga: 1. Berasal dari wahyu
Allah, 2. Berdasarkan konsep (dīn)
yang tidak terpisah dari Negara, dan 3. Kesatuan antara spiritual dan material.
[16]
Sebagaimana Sheykh Atif al-Zayn,
Sayyid Qutb juga melihat bahwa pandang-an hidup Islam itu menyeluruh dan tidak
mempunyai elemen atau bagian (juz’).
Ia adalah keseluruhan sisi dan sempurna karena kesempur-naan sisi-sisinya.
Bahkan pandangan hidup Islam bukan ciptaan manusia, akal manusia tidak dapat
menciptakannya, karena ia berasal dari Allah. [17] Disini penekanan pada aspek
keilahian cukup menonjol, sedangkan aspek keilmuan tidak nampak. Seakan-akan
pandangan hidup Islam sama saja dengan wahyu yang tanpa penjelasan keilmuan.
Berbeda dari ketiga ulama di atas,
Naquib al-Attas melihat worldview Islam
memiliki elemen yang sangat banyak dan bahkan yang merupakan jalinan
konsep-konsep yang tak terpisahkan. Di antara yang paling utama adalah:
1. Konsep tentang
hakikat Tuhan,
2. Konsep tentang wahyu
(Al-Qur’an),
3. Konsep tentang
penciptaan,
4. Konsep tentang
hakikat kejiwaan manusia,
5. Konsep tentang ilmu,
6. Konsep tentang agama,
7. Konsep tentang
kebebasan,
8. Konsep tentang nilai
dan kebajikan,
9. Konsep tentang
kebahagiaan, dan lain sebagainya. [18]
Di sini al-Attas menekankan pada
pentingnya ‘konsep’ sebagai elemen pandangan hidup Islam. Konsep-konsep ini
semua saling berkaitan antara satu sama lain membentuk sebuah struktur konsep
yang sistemik. Elemen yang disampaikan Sheykh Atif, Sayyid Qutb dan Syed Naquib
al-Attas (al-Attas) berbeda dalam penekanannya, tapi ketiganya mempunyai
kesamaan visi, yaitu bahwa pandangan hidup Islam berpusat pada akidah atau
kepercayaan kepada Tuhan. Namun apa yang membedakan ‘pandangan hidup Islam’
dari ‘pandangan hidup lain’ mereka berbeda-beda. Shyakh Atif dan Sayyid Qutb
perbedaannya adalah pada asal atau sumber pandangan hidup tersebut, sedangkan
al-Attas melihat secara lebih konseptual dan praktis.
Secara praktis konsep-konsep penting
yang diajukan al-Attas itu dapat berguna bagi penafsiran makna kebenaran (truth) dan realitas (reality). Bagi al-Attas untuk menentukan
sesuatu itu benar dan riel dalam setiap kebudayaan berkaitan erat dengan sistem
metafisika masing-masing yang terbentuk oleh worldview. [19] Di sini kita melihat konsep pandangan hidup
al-Attas dengan jelas menekankan aspek epistemologis.
Dan ini cukup signifikan dalam era moderninasi dan globalisasi disaat mana
terjadi disolusi konsep yang cenderung melemahkan pandangan hidup Islam yang
kekuatannya tertelak pada struktur konsepnya.
Untuk melihat sisi lain yang lebih
detail mengenai hal itu, kita paparkan gambaran al-Attas tentang elemen penting
yang menjadi karakter utama pandangan hidup Islam. Elemen penting pandangan
hidup Islam itu digambarkan dalam poin-poin berikut ini. [20]
· Pertama, dalam pandangan hidup Islam realitas dan
kebenaran dimaknai berdasarkan pada kajian metafisika terhadap dunia yang
nampak (visible world) dan yang tidak
nampak (invisible world).
· Kedua, pandangan hidup Islam bercirikan pada metode
berpikir yang tawhīdī (integral).
· Ketiga, pandangan hidup Islam bersumber pada wahyu
yang diperkuat oleh agama (dīn) dan
didukung oleh prinsip ‘akal’ dan ‘intuisi’ (admin blog: hati atau qalb, fuad).
· Keempat, elemen-elemen pandangan hidup Islam
terdiri utamanya dari konsep Tuhan dan diikuti oleh elemen lain yang berpusat
pada konsep Tuhan tersebut.
Itulah
elemen ‘pandangan hidup’ atau worldview
Islam yang tidak saja membedakan Islam dari agama, peradaban dan kebudayaan
lain tapi juga membedakan metode berpikir dalam Islam dan metode berpikir pada
kebudayaan lain. Agar identitas pandangan hidup Islam dapat dipahami lebih
jelas lagi, ada baiknya dibahas pula pandangan hidup Barat.
4. WORLDVIEW BARAT
Pandangan hidup Barat dapat kita
lacak dari periode modern, yang dari situ lahir pula pandangan hidup
kapitalisme. Sejarahnya, peradaban Barat adalah peradaban yang dikembangkan
oleh bangsa-bangsa Eropa dari peradaban Yunani kuno yang di kawinkan dengan
peradaban Romawi, dan disesuaikan dengan elemen-elemen kebudayaan bangsa Eropa
terutama Jerman, Inggris, dan Perancis. Prinsip-prinsip asas dalam filsafat,
seni, pendidikan dan pengetahuan diambil dari Yunani; prinsip-prinsip mengenai
hukum dan ketatanegaraan diambil dari Romawi. Sementara agama Kristen yang
berasal dari Asia Barat disesuaikan dengan budaya Barat. [21]
Selain itu pandangan hidup Barat juga
sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran umat Islam. Ketika agama Kristen
dominan dalam kehidupan keagamaan masyarakat Eropa, mereka masih berada dalam
zaman yang mereka sebut Dark Ages
(Zaman Kegelapan). Namun mereka mendapat pencerahan setelah mereka
menerjemahkan karya-karya cendekiawan Muslim dalam berbagai bidang sains (1050-
1150) ke dalam bahasa Latin. Oleh sebab itu Eugene Myers dengan tegas
menyimpulkan bahwa salah satu faktor terpenting kebangkitan Barat adalah
penerjema-han karya-karya cendekiawan Muslim. [22] Dari Abad abad kegelapan (Dark Ages), Barat memasuki Zaman
Pencerahan (Renaissance), Revolusi
Perancis (France Revolution), dan
industrialisasi besar-besaran (admin blog - Industrial
Revolution) di Inggris.
Melalui proses tersebut maka Barat
memasuki apa yang disebut dengan Zaman Modern. Alain Touraine menggambarkan
modernitas sebagai berikut:
The
idea of modernity make science, rather than God, central to society and at best
relegates religious belief to the inner realm of private life. The mere presence
of technological applications of science does not allow us to speak of modern
society. Intellectual activity must also be protected from political propaganda
or religious beliefs; ….public and private life must be kept separate…..the
idea of modernity is therefore closely associated with that of rationalization. [23]
Terjemahan (admin blog):
Gagasan modernitas menjadi sains, daripada makna Tuhan, sebagai pusat kebaikan hidup bermasyarakat, dan kepercayaan kepada agama hanya sebagai ranah batin spiritual dan untuk kehidupan pribadi saja. Tanpa kehadiran aplikasi teknologi sains tidak memungkinkan kita untuk berbicara tentang masyarakat modern. Aktivitas intelektual juga harus dilindungi dari propaganda politik atau keyakinan agama; ...kehidupan publik dan pribadi harus dipisahkan... karena itu ide modernitas terkait erat dengan rasionalisasi.
Jalan pikiran manusia Barat modern
yang juga disebut “akal modern” (modern
mind) itu telah membawa angin baru atau “cara baru” dalam melihat segala
sesuatu dan dari situlah lahir sains modern. Di sini kaitan antara “cara baru”
dalam berpikir dengan pengetahuan ilmiah yang dihasilkannya sangat erat sekali.
Jika kita rujuk kembali definisi worldview
di atas, maka modernitas adalah pandangan hidup modern. Karena moderrnitas
lebih menekankan pada ‘sains dan teknologi’, ketimbang agama, maka pandangan
hidup Barat waktu itu disebut dengan scientific
worldview. Sejak saat itulah pandangan hidup orang Barat telah berubah
secara fundamental.
Jadi modernitas pada intinya adalah state of mind atau ‘cara berpikir’ yang
diaplikasikan ke dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu, sejalan
dengan perkembangan sains dan pandangan hidup saintifik, JW Schoorl
mendefinisikan modernisasi menjadi “penerapan pengetahuan ilmiah yang ada pada
semua aktivitas, semua bidang kehidupan atau kepada semua aspek kehidupan
masyarakat.” [24] Penerapan cara berpikir rasional ke dalam keseluruhan aspek
kehidupan pada akhirnya menjelma menjadi suatu idea yang lebih luas, yaitu
menciptakan masyarakat rasional (rational
society), yaitu suatu masyarakat yang segala kegiatannya termasuk bidang
sains dan teknologi serta kehidupan politiknya dikontrol oleh rasio. Karena
rasionalitas adalah satu-satunya prinsip yang mengatur kehidupan individu dan
sosial, termasuk kehidupan keagamaan, maka ‘rasionalisasi’ berkaitan erat
dengan tema ‘sekularisasi’.
Jadi, dua elemen penting peradaban
modern adalah ‘rasionalisasi’ dan ‘sekularisasi’. Dengan kedua elemen ini, maka
pandangan hidup Barat tidak lagi bersifat ‘teistik’ (admin blog: Tidak bersifat
ketuhanan, lepas dari agama) dalam memandang segala sesuatu. [25]
Pandangan hidup Barat yang
‘saintifik’ tersebut akhirnya memarginalkan agama. Diskursus yang meletakkan
Tuhan secara sentral hanya terbatas pada para teolog, sedangkan para filsuf
lebih tertarik pada sains. Habermas menyatakan bahwa proyek modernisasi
berkulminasi pada abad ke 18, di saat mana model pemikiran rasional menjanjikan
liberalisasi masyarakat dari mitologi irrasional, agama, dan takhayul. [26]
Inilah gerakan sekularisasi yang
sebenarnya yang berupaya untuk menyuntikkan gagasan desakralisasi ilmu dan
organisasi sosial. Menurut James E. Crimmins, proses desakralisasi, atau dalam
istilah Weber ‘disenchantment’ ini
memang sengaja diarahkan untuk melawan agama dan digambarkan sebagai agen utama
untuk menggusur dan menggeser agama tradisional. [27] Hasil dari gerakan
desakralisasi agama itu sendiri adalah peminggiran agama dari fungsinya yang
sentral dalam kehidupan publik dan berbagai diskursus tidak dapat dielakkan.
Alain Finkielkraut dalam bukunya The
Defeat of the Mind menggambarkan kondisi agama pada era modern sebagai
berikut:
What
they called God was no longer the Supreme Being, but collective reason… From
now on God existed within human intelligence, not beyond it, guiding people’s
action and shaping their thoughts without their knowing it. Instead of
communicating with all creatures, as His namesake did, by means of the
Revelation, God no longer spoke to man in a universal tongue; He now spoke within
him, in the language of his nation. [28]
Terjemahannya (admin
blog):
Apa yang mereka sebut
Tuhan bukan lagi Yang Mahatinggi, tetapi alasan kolektif… Mulai sekarang Tuhan
ada di dalam kecerdasan manusia, bukan di luarnya, membimbing tindakan manusia
dan membentuk pikiran mereka tanpa mereka sadari. Alih-alih berkomunikasi
dengan semua makhluk, seperti yang dilakukan oleh senama, melalui Wahyu, Tuhan
tidak lagi berbicara kepada manusia dalam bahasa universal; Dia sekarang
berbicara di dalam dirinya, dalam bahasa bangsanya.
Gambaran ini menunjukkan bahwa dengan
dihapusnya nilai-nilai transendental,
maka Tuhan telah direduksi menjadi semangat kebangsaan dan kebudayaan. Ini juga
berimplikasi pada pembebasan pemikiran rasional dari agama dan segala macam
kepercayaan yang ada di masyarakat. Bagi mereka tidak ada agama yang bisa
dipahami secara rasional. Pada zaman ini (modern) pemikiran yang mendiskusikan
apakah Tuhan itu ada atau tidak, sebagaimana pada zaman pra-modern sudah
tinggal sedikit, yang ada hanya diskusi yang justru menggugat agama. Meskipun
demikian Alain sendiri percaya bahwa pada abad ke 18 itu masih dapat dianggap
abad metafisika, [29] namun fondasi metafisis yang menjadi pembela kebenaran
agama perlahanlahan mulai tidak dapat dipertahankan lagi dan tinggal menunggu
penghapusan metafisika pada abad berikutnya.
Selain dari elemen rasionalisme dan
sekularisme, Barat Modern juga meng-anut pandangan filsafat empirisisme, [29a]
yaitu suatu prinsip yang merupakan konsekuensi logis dari rasionalisme dan saintifisme.
Dari perspektif ontologi (admin.
hakikat hidup) Barat modern juga diwarnai oleh prinsip dualisme dalam memandang
realitas, pemisahan jiwa dan raga adalah contoh yang paling konkrit. Berkaitan
erat dengan dualisme adalah cara memandang segala sesuatu secara dikotomis,
yaitu suatu cara pandang terhadap realitas secara mendua. Dan yang terakhir
adalah humanisme. Hal ini muncul sebagai konsekuensi logis dari adanya proses
sekularisasi, desekularisasi, dan disenchantment
of nature. Jadi gambaran singkat pandangan hidup Barat Modern di atas
menunjukkan bahwa elemen pandangan hidup Barat terdiri dari rasionalisme,
sekularisme, empirisisme (positivisme), dualisme atau dikotomi, dan humanisme.
5. WORLDVIEW KAPITALISME
Makna kapitalisme adalah sistem ekonomi
yang berorientasi pada cara-cara produksi secara individu atau dimiliki oleh
individu, di mana distribusi, penentuan harga dan jasa-jasa pelayaan di
dalamnya ditentukan oleh pasar bebas. Pengertian individu di sini dapat juga
diartikan sebagai individu secara kolektif dalam bentuk perusahaan (corporate ownership) dan bukan milik
masyarakat atau milik negara. [30] Oleh sebab itu, kapitalisme juga disebut
dengan sistem ekonomi dengan pendekatan pasar bebas (free market). Para pendukung sistem ini percaya bahwa pasar adalah
efisien dan harus berfungsi secara bebas tanpa campur tangan pihak manapun,
tugas negara hanya mengatur dan memproteksi. [31] Jika kapitalisme menekankan
pasar bebas dan kompetisi, maka sosialisme berdasarkan pada kerjasama
(koperasi) yang menekankan pada perencanaan dan distribusi yang disentralisir. [32]
Kapitalisme adalah sistem ekonomi
produk dari kebudayaan Barat modern. Ia dianggap juga sebagai sistem sosial (social system) yang pertama dan
terpenting di Barat yang berkembang menjadi kebudayaan kapitalis (capitalist civilization). [33] Jika kita
merujuk pada definisi worldview di
atas, maka pandangan hidup kapitalisme dapat diartikan sebagai kepercayaan,
sikap mental, dan cara pandang masyarakat Barat terhadap cara-cara pemenuhan kebutuhan
materi mereka. Dalam teori Max Weber sikap manusia untuk memenuhi kebutuhan
materialnya ini disebut dengan Spirit of
Capitalism (semangat kapitalisme). Ini adalah kata lain untuk menyebut
manusia sebagai homo economicus. [34]
Spirit of Capitalism ini menurut
Weber terdapat dalam agama Protestan, khususnya dalam sekte Puritan. Tapi perlu
dicatat bahwa yang dimaksud Weber adalah orang Protestan dan bukan teologinya
atau Bible. Sebab menurutnya, semangat kapitalisme ini bermula dari
praktik-praktik yang telah dilakukan oleh Benyamin Franklin (1706-1790). Pada
masa sebelum Franklin, agama Protestan tidak memiliki cukup kekuatan yang dapat
mendorong terselenggaranya kegairahan kerja sesuai dengan cita-cita
kapitalisme. Agama Protestan benar-benar menjadi kapitalistis setelah
dilengkapi oleh ajaran-ajaran Franklin.
Yang menjadi rujukan Weber
pertama-tama adalah sikap hidup sehari-hari Benyamin Franklin, seperti berlaku
hati-hati, bijaksana, rajin dan bersungguh-sungguh dalam mengelola bisnis,
tidak bermalas-malasan dan tidak berkata kecuali yang bermanfaat untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain, hati-hati, hemat, melakukan segala sesuatu
dengan baik sehingga tidak sia-sia, rajin dan tidak membuang-buang waktu, tulus
dan tidak berlebihlebihan, dan sebagainya. [35] Dan yang terpenting
tujuan kehidupan baginya adalah untuk mendapatkan kemakmuran dan kekayaan.
Kegiatan ekonomi adalah suatu tugas
dalam rangka melayani Tuhan. Untuk tujuan ini seseorang mesti ingat waktu
adalah uang. Memanfaatkan modal sesuai dengan kepentingannya, jujur dan tepat
waktu dalam menghaslikan pinjaman, mau bekerja keras akan membantu meningkatkan
simpanan. Hemat dalam pemakaian uang, tidak memboroskannya pada hal-hal yang
tidak perlu dan tidak dipakai untuk hidup bermalas-malasan serta mencari
kesenangan yang sifatnya sementara, tapi sedikit demi sedikit ditabungkan dan
dijadikan kapital tertentu akan menghasilkan keuntungan yang berlipat. Singkat
kata, cara untuk memperoleh kekayaan adalah dengan cara hidup rajin dan hemat
dalam arti tidak membuangbuang waktu dan uang, tetapi menggunakannya sebaik
mungkin. [36]
Jadi sumber semangat kapitalisme
adalah sikap hidup orang Protestan, seperti Benyamin Franklin, dan bukan
teologi yang terpancar dari Bible, meski disebutkan bahwa kegiatan ekonomi
adalah untuk melayani Tuhan. Oleh karena itu tidak heran jika Franklin
memisahkan moralitas dari teologi. [37] Pemisahan ini semakin jelas ketika ia
mengakui bahwa tidak semua usaha untuk mencari keuntungan selalu dibarengi
dengan pertimbagan moral atau tidak lagi bermakna ibadah. Tindakan-tindakan
amoral untuk memperoleh keuntungan pribadi mewarnai perjalanan kapitalisme.
Weber menggambarkan sikap moral
kapitalisme ini dengan meminjam ungkapan seorang kapten laut Belanda: “Pergilah
ke neraka untuk mendapatkan keuntungan, sekalipun kamu akan menghanguskan
layarmu”. [38] Oleh karena itu, pendekatan Weber adalah sosiologis dan bukan
teologis. Hipotesisnya adalah bahwa orang Katolik mementingkan kehidupan yang
tenang dan suka pada kehidupan yang nyaman sedangkan orang Protestan lebih suka
pada kehidupan yang penuh resiko dan menantang untuk mendapatkan kehormatan dan
kekayaan. [39] Jika dalam worldview
Islam konsep dan kepercayaan kepada Tuhan adalah sentral, (sedangkan) dalam worldview kapitalis harta,
kesejahateraan dan kekayaan materi adalah sentral.
Namun, etika Protestan ternyata bukan
satu-satunya sumber. Meningkatnya suplai emas ke Eropa yang mengakibatkan
inflasi pada abad pertengahan telah membuka peluang bagi sikap-sikap
kapitalistis untuk mengambil kesempatan. Situasi ini ditambah lagi dengan
munculnya negara-negara bangsa yang kuat pada era Mercantilis (1500-1750).
Negara-negara itu kemudian melahirkan kebijakan yang memungkinkan swasta lebih
berperan dalam pengembangan ekonomi. Itu semua membuat lajunya sistem
kapitalisme di Barat. [40] Masalahnya, baik orang Katolik maupun orang
Protestan tidak mendasarkan sikap hidup mereka dalam berekonomi pada teologi
Kristen. Weber sendiri mengakui bahwa orang Katolik Perancis pada umumnya
tertarik pada kemewahan dan tidak perduli pada agama. Begitu juga orang
Protestan di Jerman yang juga terlibat jauh dengan kehidupan duniawi sama-sama
meninggalkan agamanya. Jadi, Spirit of
Capitalism bukan berasal dari teologi Protestan, mungkin itu sebabnya Weber
menyebutnya Protestant Ethic. Karena
agama bukan asas konseptualnya, maka etika ini dalam realitas sosialnya
berkembang menjadi kerakusan material dan menghasilkan motto yang berbunyi “greed is good” (rakus adalah bagus). [41]
Di sini dapat disimpulkan bahwa
kapitalisme adalah produk dari sikap keagamaan penganut sekte Protestan dan
bukan konsep yang diderivasi secara resmi dari ajaran Kristen yang berdasarkan
pada Bible. Besar kemungkinan sikap kapitalistis itu lebih dipengaruhi oleh
situasi sosial ekonomi Eropa Zaman Renaissance yang diwarnai oleh pandangan
hidup saintifik (scientific worldview)
daripada oleh ajaran agama mereka. Protestan sendiri muncul karena pengaruh
rasionalisme Barat modern. □
Bersambung ke klik ---> Worldview Islam dan Kapitalisme Barat (2)