PENGANTAR
Mendahului uraian hasil telaahan buku "Rasionalitas Mistik Dalam Filsafat Khudi Muhammad Iqbal" sebagai pengantar dalam memahami falsafah khudi Muhammad Iqbal [1] seperti yang dipaparkan oleh Raha Bistara, mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai berikut:
Tahun 1905-1908 menjadi tahun-tahun yang penting bagi Muhammad Iqbal. Pasalnya, di tahun-tahun itu menjadi masa-masa yang sangat sulit bagi ia mengenai pembelajarannya terkait filsafat pada dua gurunya di Inggris yakni M.C. Taggart dan James Ward di Cambrige. Selama masa ini juga Iqbal dipengaruhi oleh Jalaluddin Rumi melalui syair-syair mitiknya yang kelak menjadi thesis Iqbal sendiri.
Selama di
Inggris, Iqbal tetap menjadi mistikus yang ‘panteistik’, ini terlihat jelas
dalam desertasinya yang berjudul The Development of Metaphysics in
Persia. (Namun setelah itu) Iqbal menemukan filsafatnya sendiri sesudah
masa ini. Kita tahu mula-mula Jalaluddin Rumi dijadikan sebagai pemimpin
rohaniyahnya, dengan diikuti pola penelaahannya yang dalam terhadap
kepribadiaan Nietzche dan Bergson. Rumi seperti Nietzche, percaya kepada
evolusi, kemerdekaan, kemungkinan-kemungkinan, dan keabadian pribadi.
Khudi atau pribadi (ego) adalah bagian terpenting
dalam filsafat Iqbal. Filsafat khudi-nya menjadi fondasi yang kuat
atas segala gagasan-gagasan dan menjadi landasan segala konstruk pemikirannya.
Bagi Iqbal, khudi, atau ego merupakan satu kesatuan yang riil atau
nyata yang menjadi pusat dan landasan dari segala aspek kehidupan dan menjadi
iradah kreatif yang terarah secara rasional. Ego atau khudi menjadi
pusat atas segala landasan kehidupan. Ini tercermin dalam kitab Masnawinya
Iqbal yang berjudul Asrar-i Khudi.
“The Ego attains to freedom by removal of
allabsturction in its way, Its party free approaching the individual who is
most free God, In one word, life is an endavour for freedom” (Muhammad Iqbal, 1920:14-15).
Maknanya adalah (admin blog):
Ego mencapai kebebasannya dengan menghilangkan semua
abstraksi (proses memisahkan) di jalannya, Bagian dari pendekatan individu yang
bebas dari memilih (takdir) ketetapan Tuhan, dalam satu kata, hidup adalah
upaya untuk kebebasan (memilih takdirnya).
Khudi merupakan unsur terpenting dalam masyarakat
Islam, karena khudi pusat kehidupan dunia. Maju atau mundurnya
suatu bangsa tergantung bagaimana mereka memandang tentang khudi (pribadi, ego, Pandangan Hidup atau Worldview sebagaimana yang disebutkan Dr. Hamid Fahmy Zarkasy [2]). Iqbal selalu
menegaskan pentingnya penegasan khudi ini. Namun demikian, khudi bukanlah anugerah alam yang
bersifat statis, tetapi selalu bersifat dinamis. Oleh sebab itu, manusia
diharapkan bisa mengembangkan khudi-nya sendiri dengan usaha dan
tenaga yang berkesinambungan, disiplin yang kuat dan yang terpenting penegasan
karakter.
Iqbal juga
menerangkan bahwa khudi adalah suatu pusat dan landasan dari
segala kehidupan. Hal ini ditegaskan dalam bait-bait syairnya dalam Asra-I
Khudi:
“The Form of exsitance is an effect of the
sellf
What so ever thou seest is a secreet of the self
When the self awoke to consiousness
It reveleard the universe of Thought
A hundred words are hidden in its essence”(Muhammad Iqbal, 1920:16)
Maknanya
adalah (admin blog):
“Bentuk
(tafsiran) wujud adalah akibat dari (penafsiran) Ego
Apa
yang pernah kamu lihat adalah rahasia (yang timbul) dari Ego
Ketika
diri terbangun dari kesadaran
Ini
merupakan pengungkapan alam semesta dari Pemikirannya
Yang Tersembunyi dalam seratus kata dalam esensinya.”
Bagi Iqbal, kehidupan ialah proses yang terus maju ke
depan sambil mengasimilasi segala sesuatu di jalan geraknya dan esensinya
adalah penciptaan terus menerus dari gairah dan cita-cita. Penciptaan gairah
yang baru dan cita-cita yang baru tentulah selamanya mewujudkan ketegangan yang
konstan.
Kepribadian
adalah keadaan yang bergairah dan akan selalu bergairah ketika terus
dipelihara. Jika gairah itu tidak dipelihara, maka akan muncul suatu kekendoran
yang akan menghilangkan semangat pribadi manusia. Maka oleh karena itu, manusia
tidak boleh kendor semangat khudi-nya untuk menjaga kita menuju
keabadian. Seperti yang disyairkan oleh Iqbal:
Gairah ialah gerak abadi
Gairah ialah ombak gelisah dari samudra khudi
Gairah ialah jerat untuk memburu cita demi cita
Penjilid buku amal perbuatan
Menghilangkan gairah berati mematikan bagi yang hidup sejati
Seperti habisnya nyala mematikan api (Muhammad Iqbal, 1976:121)
Bagi Iqbal,
gairah ini yang menjaga kehidupan manusia, ketika manusia sudah tidak memiliki
gairah untuk hidup, gairah untuk melawan, gairah untuk keabadian, dan gairah
untuk merdeka, mereka akan binasa. Jiwa manusia akan terus hidup ketika gairah
itu selalu membara bak api yang selalu berkobar menyala merah panas yang tak
bisa padam. Khudi akan kuat ketika gairah terus berkobar di
dalam jiwa setiap insan.
Kemudian,
dari pada itu disamping kemerdekaan dan keabadian, manusia dituntut untuk
membantu sesamanya naik memuncaknya umat manusia menuju insan yang mulia
atau insanul kamil atau manusia sempurna yang menjadi tujuan
seluruh kehidupan manusia. Inilah yang menjadi puncak falsafah ego atau khudi-nya
Muhammad Iqbal. Iman menjadi basis utama dalam perkembangan umat manusia mencapai khudi yang
kuat. Dalam memperkuat khudi manusia mestilah melakukan segala
usaha yang memperkuat pribadinya bukan memperlemah pribadimya.
Bagi Iqbal,
cita tentang pribadi memberikan kepada kita ukuran yang sebenarnya,
diselesaikannya soal baik dan buruk. Apa yang memperkuat pribadi baik sifatnya,
dan apa yang melemahkan pribadi sudah pasti bersifat buruk. Walaupun demikian ada hal-hal
yang bisa memperkuat pribadi antara lain: cinta kasih, faqr,
keberanian, toleransi, Kasb-i halal, dan melakukan kinerja yang kreatif
dan asli. Kesemuanya itu bisa kita kita hadirkan dalam setiap hembusan nafas,
setiap waktu, di manapun dan bisa kapanpun.
Membahas khudi atau
Ego dalam falsafah Iqbal tidak sampai hanya melalui sekelumit tulisan ini. Para
pem(b)aca Iqbal harus lebih keras dalam membaca, menganalisa, bahkan
mengkritisi gagasan khudi yang disampaikan oleh Iqbal melalui
literatur-literatur yang sekarang sudah berlimpah ruah, baik dalam bahasa
aslinya ataupun penerjemahan versi Inggris maupun Indonesia.
Syahuri Arsyi
menyebutkan [3] bahwa Bukunya Iqbal yang
lain adalah “The Reconstruction of Religious Thought in Islam”
terbit sekitar 1934, awalnya berjudul
“Six Lecture on The Reconstruction of Religious Thought in Islam”, entah karena alasan
tertentu dikemudian hari disederhanakan judulnya berubah. Mulanya buku ini
merupakan catatan yang disampaikan di kuliah-kuliah tentang Islam di
Universitas Madras dan Heydrabad dan Aligragh dengan pernyataan-pernyataan yang
merefleksikan pemikiran filsafat Islam Iqbal
Dalam
terjemahan bahasa Indonesia, buku ini diterbitkan penerbit Mizan Pustaka dengan
judul Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam (2016) lebih
bersifat skolastik dalam berbagai konsepsinya. Meski demikian, karya-karya
Iqbal tetap menampakkan kesatuan pemikiran antara karya dalam bentuk puisi dan
karya filsafatnya. Walaupun, tentu harus diakui keduanya tak membuktikan
kesatuan dalam cara pemaparannya. Mungkin kenyataan inilah banyak kalangan
sarjana dan intelektual kontemporer menyatakan kalau Iqbal adalah seorang
penyair, kemudian menjadi seorang pemikir atau filsuf.
Akan tetapi,
tidak dengan M.M Syarif dalam tulisannya About Iqbal and His Thought,
yang menyangkal dengan mengatakan dalam diri Muhammad Iqbal filsafat dan
puisinya tak dapat dipisahkan, karya-karya puisi dan filsafatnya adalah
karya-karya besar yang belum pernah terjadi pada pendahulunya. Oleh karenanya,
bisa jadi puisi-puisi Iqbal besar karena pengaruh pemikiran filsafatnya yang
bisa dan bisa jadi pemikiran filsafatnya besar karena puisinya besar.
Di samping
dikenal sebagai penyair-pemikir atau sebaliknya, beberapa kalangan menyebut
sebagai seorang sufi yang sering kali dinisbatkan pada banyak
tulisan-tulisannya yang memiliki nuansa kesufian, dan maqamat para sufi. Misalnya, terkait masalah faqr, khauf,
hazn dan juga terkait masalah estetika atau keindahan.
PEMBAHASANNYA [4] [5]
S |
ebagai umat muslim sejati, apakah tuan dan puan
merasakan stagnasi (kemandekan) peradaban Islam, atau malah justru merasakan
kemunduran peradaban Islam. Kalau memang iya, perasaan itu sangat sejalan
dengan apa yang telah dirasakan oleh seorang pembaharu abad 20, Muhammad
Iqbal namanya.
Dari kegelisahannya membuatnya melihat dengan jeli dan tajam
atas potret kemunduran peradaban umat Islam, terutama di masanya dan masa silam.
Namun, di sisi lain Iqbal punya statmen
(pernyataan) yang agak menarik, katanya, umat Islam lemah dan mundur karena
takdir, tetapi Barat maju juga karena takdir, kalau begitu halnya mengapa tidak
kau sendiri menjadi pencipta (memilih) takdirmu (kuat atau maju, daripada lemah
atau mundur)?
Di sisi lain,
ia juga meyakini bahwa, sejarah menjadi sebuah pergerakan progresif. Ia
memiliki argumentasi teologis terdahap keberlanjutan alam semesta. Bumi tidak
sekali jadi, Tuhan selalu sibuk. Secara kontinyuitas menciptakan sesuatu yang
baru di muka bumi dan alam semesta ini. Oleh sebab itu, Ijtihad (pilihan usaha atau
lebih baik atau maju) baginya sangat diperlukan sebagai gerak aktif dalam
Islam. Sebagai upaya menghadapi aksi (pilihan takdir) Tuhan. Merespon Tuhan.
Memenuhi undangan Tuhan.
Iqbal juga
menegaskan kembali tentang konsep Al-Qur’an mengenai alam empiris. Menurutnya
akal punya peran sentral. Rasio menjadi fakultas untuk mendapatkan kebenaran.
Termasuk kebenaran dalam menjalani perjalanan kehidupan ini. Kebenaran
membangun peradaban Islam itu sendiri.
Ia meyakini,
bahwa peran inteleklah yang mampu mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi.
Meski ulama tasawuf seperti Al-Ghozali tampak memisakahkan, mempertentangkan
antara rasio dengan intuisi, tapi Iqbal melihat
intuisi sebagai kelanjutan rasio, dalam tatarannya lebih tinggi, Iqbal justru
meyakini rasio dan intuisi tidak dapat dipisahkan. Jadi, Iqbal sangat berupaya untuk mengembalikan kembali tasawuf
sebagai metode-sah pencarian kebenaran dalam Islam. Sehingga peradaban Islam
akan kembali seperti sediakala, mampu mengikuti perkembangan zaman dan
melahirkan kemaslahatan umat seluruh dunia.
Sehingga,
gagasan rasionalitas mistik ini hadir sebagai upaya rekonstruksi pengalaman
religius masing-masing individu atau insan muslim. Sebab, tanpa adanya gagasan rekonstruksi ini, insan muslim tidak
akan luruh oleh peradaban yang datangnya dari barat dan dari timur Islam itu
sendiri, yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Hal itu kiranya penting untuk melihat kembali gagasan mistik
Islam, yang selama ini diikuti dan diyakini oleh sebagian umat Islam secara
taqlid buta.
Lalu apa makna sebenarnya ‘Rasionalitas Mistik’ itu? Menurut Raha
Bistara (2022) ‘Rasionalitas Mistik’ adalah suatu usaha merasionalisasikan
mistik yang dilakukan oleh Iqbal dalam merekonstruksi gagasan mistik yang selama ini gagal dipahami oleh sebagian
umat Islam.
Manusia hidup
dengan pengetahuan, sementara pengetahuan pengetahuan secara definitif ialah
buah pikiran yang masuk lewat seluruh panca indera manusia, pengetahuan kalau
kita bagi ada 3 jenis pengetahuan yakni pengetahuan rasio, sains, dan batin - ketiganya
memiliki ruang lingkupnya masing-masing, punya cara kerja masing-masing.
Maka Iqbal
dalam hal ini ingin mengintegrasikan seluruh cabang pengetahuan yang dimiliki
oleh manusia agak berfungsi dengan seimbang dan tepat sasaran dalam membangun
peradaban Islam itu sendiri. Karena, Iqbal melihat kemunduran umat manusia,
khususnya Islam disebabkam karena ketidak seimbangan manusia dalam memfungsikan
daya manusia yang dimiliki setiap insan itu. Ia melihat dan sikap esketis.
Maka, dari
situlah Iqbal melahirkan sebuah perspektif kebaruan, yakni ‘Rasionalitas Mistik’
- sedangkan ‘mistik’ yaitu hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia
yang biasa, ia menjadi gagasan Iqbal sebagai sumbangan untuk perkembangan umat
Islam dunia. Menjadi buah gagasan tertinggi yang dapat menyingkap simbol-simbol
(ayat-ayat) Tuhan secara rasional. Karena, para filsuf terdahulu seperti
Schimmel dan Nasr ia meninggalkan panca-indera dan akal. Rasionalitas Mistik
menjadi unsur terpenting dalam kedirian insan muslim. Sehingga ia mampu
bertanggung jawab atas tugasnya yakni sebagai Kholifah fil ard.
Dengan
menanamkan ‘Rasionalitas Mistik’ dalam khudi (ego) insan muslim, maka
membuat ia akan mampu berbuat kebaikan, karena ada dorongan, kecenderungan ke
arah sana, atau istilah lain dorongan melioristik (pandangan atau keterarahan pada
pembaharuan yang membawa kemajuan dan perbaikan). Gagasan rasionalitas mistik menjadi pengintegrasi antara sufisme (tasawuf)
kultural dan Islam rasional. Membuat ia kreatif, karena ketiga unsur kedirian
mereka hidup dan saling terintegrasi dengan baik.
Sebab,
tradisi rasionalitas mistik memang tidak bisa dilepaskan dalam religiusitas
umat muslim dan berkat rasionalitas mistik insan muslim bisa menangkap Realitas
Mutlak, (Raha Bistara, 2022:126).
Agama datang
membawa syariat, yang tidak sekedar menuntut pengamalan jasmani, atau penalaran
akal, tetapi lebih-lebih penghayatan rohani (tasawuf) dan karena itu pula Islam
menghubungkan manusia dengan Allah melalui segala sesuatu yang terbentang di
alam raya ini.
Selembar daur
kering yang jatuh dari pohonnya, rumput-sumput hijau yang segar atau yang layu,
suara Guntur yang menggelegar, bahkan kehadiran semua wujud hendaknya menjadi
“jangkar-jangkar emosi” untuk menyadarkan dan menghubungkan manusia dengan
Tuhannya. Ketika itulah manusia mencapai kesempurnaan wujudnya.
Orang bijak pernah
berkata “Wahai manusia! Engkau adalah (bagian) alam yang besar, luas dan dalam.
Berikanlah kepada alam materi, sedikit dari akalmu agar dia berakal, sedikit
dari hatimu agar dia berperasaan, sedikit dari gerakmu agar dia pun bergerak”.
Engkau adalah Kholifah yang
dianugerahi ilmu serta kemampuan berekspresi dan mencipta melalui akalmu, Roh,
dan perasaanmu, maka jangan abaikan itu.
KESIMPULAN
Mengenai Takdir [6]
Dalam hadis sahih diterangkan tentang salah satu doktrin keimanan Islam, yaitu percaya kepada 'takdir'. Hadisnya menyebutkan: "Wa bi al-qadar khirihi wa syarrihi min Akkah," artinya: "Dan kamu harus percaya kepada takdir yang baik maupun yang buruk sebagai ketetapan dari Allah."
Menurut Jamaluddin al-Afghani seorang pembaharu Muslim, sebagian kaum Muslimin telah melakukan kesalahan besar berkenaan dengan paham takdir ini. Mereka dinilai keliru, karena memahami takdir identik dengan hanya berserah diri saja (nasib), sehingga mereka menjadi orang-orang yang pasif lagi apatis, bermalas-malasan, dan fatalistik - mudah menyerah kepada nasib tanpa mencari alternatif yang lebih baik dalam berpikir maupun bertindak dalam hidup sebagai 'sunatullah' dari-Nya yang mesti dilakukan juga (ikhtiar, usaha, bekerja).
Dalam hal ini Umar bin Khathab Ra, sahabat Rasulullah Saw yang dikenal sagat cerdas dan memiliki intelektualitas tinggi, mempunyai pemahaman menarik mengenai takdir ini. Diceritakan, selaku Khalifah Umar bin Khathab Ra pernah berencana melakukan kunjungan ke Suriah, Tiba-tiba terbetik berita bahwa di daerah itu sedang berjangkit penyakit menular.
Lalu, Khalifah Umar Ra membatalkan rencana kunjungannya itu. "Apakah Tuan hendak 'lari dari takdir' Allah?" Tanya mereka. Jawab Umar, "Aku 'lari dari takdir Allah kepada 'takdir Allah yang lain'."
Secara teologis, jawaban Umar ini sangat menarik untuk dipelajari. Dari jawaban tersebut, terlihat Umar 'tidak memahami takdir dalam arti sempit' dan 'tidak dalam arti jabariah (fatalistik). Di sini Umar memandang bahwa wilayah yang terkena musibah sebagai takdir Allah, tetapi wilayah yang aman dan tenteram juga takdir Allah.
Sebagai sama-sama takdir Allah, maka Umar, dengan kehendak dan pilihan bebasnya, memilih menghindar dari takdir yang buruk dan beralih menuju takdir yang baik. Tentu ada baiknya atau semestinya disertai pula doa.
Mengenai Sufi atau Tasawuf (7)
Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Karim Abdullah) dalam bukunya "Tasawuf Modern" menggambarkan bahwa sebahagian besar masyarakat akan memahaminya sebagai hidup menjauhi dari dunia dan lebih fokus ke akhirat saja. Kekayaan dijauhi, kekuasaan diabaikan. Hidup sepenuhnya untuk beribadah (dalam arti sempit).
Pemahaman seperti itu bisa dipahami mengingat pada awal munculnya, para pengamal tasawuf, dikenal juga sebagai sufi yang memilih untuk menjauh dari dunia, menepi dan mengasingkan diri, sibuk berdzikir dan beribadah maghdoh saja.
Tasawuf dalam buku Buya Hamka ini tidak memaknai seperti itu. Ia memaknai tasawuf dan sufi sejalan dengan Al-Junaid al-Baghdadi yang mengartikan tasawuf sebagai 'kehendak memperbaiki budi dan men-shifa'-kan (membersihkan bathin) yang mana ini mudah untuk dipahami karena tasawuf identik dengan taskiyatun-nafs (pembersiha jiwa). Inilah sebenarnya tujuan awal hadirnya tasawuf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi akhlaq atau budi pekerti dengan menekan segala kelobaan (memiliki sebanyak-banyak dan sombong) dan kerakusan, apalagi dengan jalan mencapainya menghalalkan segala cara.
Dengan pemahaman seperti itu, bagi Buya Hamla tidak ada yang salah dengan bekerja keras dalam mendapatkan harta atau berupaya tanpa kenal lelah untuk menggapai kuasa. Justru ini sejalan dengan ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk mencari rezeki dan mengambil sebab-sebab mencapai kemuliaan, ketinggian, dan keagungan dalam hidup.
Namun jangan salah menempatkannya. Kekayaan, kekuasaan, dan segala kesenangan dunia ditempatkan sebagai jalan atau ladang ibadah, bukan tujuan. Dalam menggapai kebahagiaan misalnya, kekayaan atau kesejahteraan adalah jalan, bukan kebahagiaan itu sendiri.
Penutup (8)
Beberapa
pakar menyimpulkan, ada daya-daya pokok manusia, potensi yang dimiliki manusia,
yang bila diasah dan diasuh dengan baik akan melahirkan kemampuan yang
luarbiasa. Daya ‘fisik’ melahirkan ketrampilan, ‘daya pikir’ melahirkan ilmu
dan teknologi, ‘qalb’ baca qolb dari bahasa
Arab artinya ‘hati’ melahirkan kepekaan, imajinasi, serta iman, daya hidup
dapat menyesuaikan diri dengan segala tantangan sehingga mampu mengatasinya.
Pakar lain mengatakan sebagai Intelektual
Questiont, Intelektual Emotional,
Intelektual Spiritual, Intelektual Adversity.
Semuanya itu
harus cocok tempat dan waktunya. Ada kamar-kamarnya. Sungguh keliru jika anda
masuk kamar tidur untuk makan, mandi di ruang tamu, misalnya, dst. Ajaran Islam
sendiri mengajarkan tentang keseluruhan (kaffah).
Ajaran Islam satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, representasinya, ya
rukun Islam itu.
Buku
ini memuat pemikiran Iqbal atas kegelisahannya terhadap kemunduran Islam, diracik ulang oleh Raha Bistara, mahasiswa
pascasarjana, seorang anak muda yang cukup elegan di bidangnya demikian
disebutkan oleh Rojif Mualim, Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta. Racikan dan
kemasannya pun baik, buku ini seperti membaca
cerita ringan tetapi secara tidak sadar memberikan solusi atas masalah
keberagamaan kekinian. □
Catatan
Kaki:
1. https://baca.nuralwala.id/falsafah-khudi-muhammad-iqbal/
2. Ahmad Faisal Marzuki, Mendirikan Salat Menegakkan Peradaban - Narasi Ibadah sebagai Pembentuk untuk Membangkitkan Peradaban Unggul, MCL Publisher, Kota Tanggerang Selatan, Banten, 2022.
3. https://baca.nuralwala.id/muhammad-iqbal-itu-seorang-filsuf-penyair-teolog-atau-sufi-kontemporer/
4. Judul Buku: Rasionalitas Mistik dalam Filsafat
Khudi Muhammad Iqbal, Pengarang: Raha Bistara, Penerbit: Sulur Pustaka, Cetakan,
Tahun terbit: Pertama, 2022, Dimensi buku: 164 hlm., ISBN : 978-623-5294-06-3
5. https://alif.id/read/rojif-mualim/muhammad-iqbal-rasionalitas-mistik-dan-dan-kemajuan-peradaban-islam-b24363p/
6. https://republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/16/04/05/055i08394-lari-dari-takdir
7. https://jendelailmu-faisal.blogspot.com/022/03/tasawuf-moderen-buya-hamka.html
8. Idem catatan kaki # 5. □□
Sumber
Pustaka:
https://baca.nuralwala.id/falsafah-khudi-muhammad-iqbal/
https://alif.id/read/rojif-mualim/muhammad-iqbal-rasionalitas-mistik-dan-kemajuan-peradaban-islam-b243639p/
https://baca.nuralwala.id/muhammad-iqbal-itu-seorang-filsuf-penyair-teolog-atau-sufi-kontemporer
https://jendelailmu-faisal.blogspot.com/022/03/tasawuf-moderen-buya-hamka.html
kbbi.co.id □□□