Thursday, September 1, 2016

Jangan Takut Menatap Masa Depan Hidup Dalam Islam





Masa Depan
Adalah Milik Mereka
Yang Mempersiapkannya
Hari Ini



PENDAHULUAN

T
ak dapat dipungkiri lagi, dan manusiawi sekali sifatnya, jika ada perasaan seorang anak keturunan Adam merasa takut dan khawatir, ketika membayangkan apa yang akan terjadi pada masa depannya kelak. Mengapa khawatir dan takut menatap masa depan? Hal ini bisa jadi disebabkan karena banyak dan beratnya beban kehidupan yang harus ia pikul. Selain itu, banyaknya permasalahan yang tak kunjung selesai. Lepas satu masalah, muncul masalah lainnya, seperti tiada hentinya.

Sebenarnya itulah “nature” dari hidup itu sendiri. Tidak saja di negara berkembang, tapi di negara maju pun begitu pula. Hakekatnya tidak ada perbedaan. Walau pun begitu, ada bedanya di negara maju yaitu hukum berjalan dengan baik. Undang-undang yang ada dijalankan tanpa pandang bulu. Menejemen negaranya baik. Pelayanan masyarakatnya tanggap, dengan itu sesuatunya jadi terukur. Contoh jaminan orang yang menganggur (belum dapat kerja baru) dan hari tua seperti pensiun dan kesehatan, semua warga dapat. [1] Dapatnya bukan lantaran dapat gratis, tapi diambil dari siapa yang bekerja, di potong gaji untuk pajak, pensiunan dan dana kesehatan hari tua. Jadi bukan hanya pegawai negeri atau perusahaan besarnya saja yang dapat tapi penjual di kaki lima pun dapat, karena mereka bayar pajak dan dipungut dana pensiun dan kesehatan hari tua. Tugas pemerintah adalah menyiapkan lapangan pekerjaan dan penetapan upah dan gaji yang layak untuk hidup. Ini hanya sekedar contoh kenapa di negara maju hidup warganya cukup, juga di hari tuanya. Dan jalan pemerintahnya  stabil.


MASA DEPAN SEORANG ISLAM

B
agi seorang Muslim, masa depan (tujuan akhir) sebenarnya dari kehidupan itu adalah akhirat sebagai tujuan utamanya (main goal), sedangkan yang lain adalah “tujuan antara” (intermediate goal).  Intermediate goal ini adalah nyata, terukur, dapat dilaksanakan oleh manusia. Allah membebankan manusia semaksimal kemampuan daya usahanya sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

Lā yukalliful Lāhu nafsan illā wus ‘ahā. Artinya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. [QS Al-Baqarah 2:286].

Kumpulan-kumpulan melakukan “tujuan-tujuan antara (intermediate goal) ini akan menghantarkan manusia kepada masa depan sebagai tujuan akhirnya. Masa depan dalam artian Akhirat dan nasib adalah perkara ghaib yang hanya Allah swt saja yang mengetahuinya. Karena masa depan Akhirat dan nasib adalah perkara ghaib, maka tak pantas bagi seorang Muslim meramal-ramal apa yang akan terjadi dimasa depan dan nasib masa depan orang lain. Allah swt berfirman yang artinya:

“Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang Hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. * Dan tidak  ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, (lagi) Maha Mengenal.” [QS Luqmān 31:34]

Keterangan: Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) yang akan dikerjakannya besok*. Maksudnya: Manusia tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan di kerjakannya besok atau yang akan diperolehnya, namun demikian mereka diwajibkan berusaha.

Namun tanpa ada usaha untuk mencapainya, percuma. Untuk mendapatkan sesuatu, mesti dikerjakan. Itulah ketetapan sunatullah-Nya. Sebagai keterangan dari ayat diatas menyebutkan.

Tegasnya, sebagai suatu ikhtiar dalam menghadapi hari akhirat bergantung kepada usaha-usaha manusia semasih hidup di dunia, untuk itu lakukanlah petunjuk-Nya, jalan-Nya, dengan jalan melakukan amalan-amalan shalihan (baik) selama masih hidup di dunia. Juga bekerja untuk dapat memenuhi hajat kebutuhan nafkah hidup raga manusia di dunia.

Ayat di atas semakin mempertegas dan meyakinkan seorang Muslim bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan yang Maha Mengetahui tentang masa depan setiap hamba-Nya. Karena itu, selayaknya seorang Muslim tak perlu cemas dan takut dengan masa depan yang akan dilaluinya. Yang terpenting adalah bagaimana menyiasati masa depan itu dengan tetap menggantungkan rasa tawakal secara totalitas kepada Allah swt.

Seorang Muslim, sangat dilarang meramal-ramal (mengira-ngira) apa yang akan terjadi pada nasib masa depannya sebab hal itu bisa menjatuhkannya pada kemusyrikan (keputusasaan yang akan menimbulkan fatalism saja, kalau ramalam yang diharapkan manusia itu tidak terjadi). Sebaliknya, menyiasati masa depan dengan menyiapkan segala bekal baik harta maupun kesiapan mental (ruhiyah) adalah sebuah keharusan. Seorang Muslim, harus menanti masa depan dengan usaha keras yang bermanfaat.

Allah swt berfirman yang artinya:

“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu,  begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” [QS At-Taubah 9:105].


SIKAP MUSLIM MENGHADAPI MASA DEPAN

I
slam melalui lisan Rasulnya, Muhammad saw memberikan sebuah konsep dalam menghadapi masa depan. Hal ini tergambar jelas dalam sebuah sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw yang artinya:

Orang mukmin yang kuat (motivasi, semangat, kemauan) lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah (motivasi, semangat, kemauan), dan dalam keduanya ada kebaikan. Semangatlah untuk melakukan hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah. Dan ketika sesuatu menimpamu maka janganlah kamu katakan: “Seandainya dahulu aku melakukan hal yang ini maka akan terjadi seperti ini dan itu” tapi katakanlah: “Ini adalah takdir Allah dan apapun yang Dia kehendaki pasti akan terjadi” karena kata-kata “Seandainya (Lau)” akan membuka amalan setan.” (HR Muslim 4186, Ibnu Majah 76).

Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas, antara lain sebagai berikut.

PERTAMA: Tatap Masa Depan dengan Keimanan, Ketaqwaan dan Amal Shalih

Keimanan merupakan modal yang paling utama dalam menghadapi masa depan, karena Allah swt telah berfirman yang artinya:

“Dan janganlah kamu (merasa) lemah (motivasi, semangat, kemauan), dan jangan (pula) kamu bersedih hati (putus asa), sebab kamu paling tinggi (derajatnya, kemampuannya - mampu mengatasinya), jika kamu orang beriman.” [QS Āli ‘Imrān 3:139].

Dalam banyak ayat Allah swt menginformasikan kepada setiap Muslim agar benar-benar beriman kepada Allah. Sebab dengan keimanan yang menghujam kuat di dada, menjadi modal utama agar Allah swt menghilangkan segala rasa keputusasaan (menyerah, tidak mau mengatasi persoalan) terhadap apa yang sudah terjadi dan rasa takut serta khawatir dengan masa depan.

Hal ini seperti yang Allah swt sampaikan dalam firman-Nya,

“Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan (beribadah, bekerja baik), melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak  ada takut (khawatir) pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” [QS Al-Baqarah 2:277].


KEDUA: Iman, Ishlah dan Taqwa

Untuk menghadapi masa depan, jelas seorang Muslim harus senantiasa mengasah keimanannya, ishlah ("reformasi" dalam arti "meningkatkan, menjadi lebih baik, atau menempatkan sesuatu ke posisi yang lebih baik.") [2] dan berusaha semaksimal mungkin meraih derajat takwa. Allah swt berfirman yang artinya:

“Para rasul yang Kami utus itu adalah untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada rasa takut (khawatir) pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [QS Al-An’ām 6:48].

Dalam ayat lain, Allah swt berfirman yang artinya:

“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut (khawatir) pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi janji-janji Allah. (Yang) demikian itulah (adalah) kemenangan yang agung (besar).” [QS Yunus 10:62-64].


KETIGA: Senantiasa Tetap Beriman dan Istiqomah

Senantiasa tetap beriman kepada Allah swt dan istiqamah dalam menjalani hidup dan berusaha (ikhtiar) dalam melakukan amal kebajikan sebagaimana disebutkan Allah swt dalam firman-Nya yang artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah, (maka) tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tiada (pula) bersedih hati. Mereka itulah para penghuni surga, kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” [QS Al-Ahqāf 46:13-14].

Dalam ayat di atas, Allah swt memberitahukan kepada setiap Muslim, bahwa siapa di antara mereka yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” (beriman) lalu mereka beristiqomah (konsisten dalam melakukan kebaikan), [3] maka mereka tidak akan khawatir terhadap apa yang akan terjadi di masa yang akan datang dan tidak akan bersedih terhadap apa yang telah terjadi di masa lalu. Bahkan Allah menjanjikan surga bagi mereka kelak di akhirat.


KEEMPAT: Berusaha Terus Mengikuti Petunjuk Allah swt

Berusaha terus mengikuti petunjuk Allah swt sebagaimana firman Allah swt menyebutkan yang artinya:

Kami berfirman: "Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut (khawati) pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” [QS Al-Baqarah 2:38]


KELIMA: Ikhlash dan Mutaba’ah

Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal perbuatan, membersihkannya dari segala ego sempit individu maupun nafsu duniawi semata.

Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu (ego individu semata). Semua yang disebutkan itu merupakan noda yang mengotori keikhlasan.

Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari perkara duniawi semata itu artinya sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi semata seperti mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.

Mataba’ah, kata mutaba’ah berasal dari kata taba’a. Kata ini memiliki beberapa pengertian. Di antaranya, tatabba’a (mengikuti) dan rāqaba’ (mengawasi). Dengan demikian, kata mutaba’ah berarti pengikut dan pengawasan. Yang dimaksud dengan mutaba’ah sebenarnya adalah mengikuti dan mengawasi sebuah program agar berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Kata mutaba’ah sama dengan kata pengendalian di dalam konsep pengurusan.

Sebagaimana salah satu konsep menejemen (kepengurusan), mutaba’ah sebetulnya satu keperluan penting. Ini kerena tanpa mutaba’ah manajemen tidak sempurna. Padahal di dalam kaidah fiqh dikatakan, “Apa yang tanpa adanya sesuatu yang wajib itu tidak akan sempurna, maka kesempurnaan yang wajib itu mesti ada.” Jadi kesempurnaan fungsi-fungsi manajemen adalah perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian. Maka seperti itulah pengertian mutaba’ah dalam manajemen kepengurusan itu.

Allah swt berfirman yang artinya:

Tidak! Barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik (dalam manajemen yang mutaba’ah - teratur), (maka) dia memdapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut (khawatir) pada mereka dan mereka tidak bersedih hati (karena mereka berbuat kebaikan dengan ikhlas kepada Allah dengan mutaba’a – bekerja dengan manajemen yang baik.” [QS Al-Baqarah 2:112].


KEENAM: Tatap Masa Depan dengan Usaha Keras

Seorang yang menginginkan masa depan yang baik, maka dia harus berusaha dan beramal. Kenyakinan bahwa masa depan adalah perkara yang ghaib tidak lantas menjadikan kita malas bekerja dan berpangku tangan, diam tanpa berusaha. Allah swt berfirman yang artinya:

“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu (baik atau tidaknya), begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin (akan melihat pekerjaanmu itu baik atau tidaknya), dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan (itu baik atau tidaknya).” [QS At-Taubah 9:105].

Hal terpenting bagi seorang Muslim adalah bagaimana membuat perencanaan dan tujuan dalam hidup. Lalu, ajukan pertanyaan pada diri ini, “Apa tujuan hidup kita?” Seorang Muslim mesti mengetahui rencana jangka pendek, menengah dan panjang yang diinginkan dalam hidupnya. Bukan malah sebaliknya menyikapi keadaan dengan bersikap seperti air mengalir atau dengan kata, “lihat saja nanti.”

Keyakinan bahwa Allah swt telah mengatur masa depan manusia, bukan berarti manusia tidak mempersiapkan masa depannya dan menyusun langkah dalam menempuhnya. Sebab hal ini tidak bertentangan dengan rasa tawakal kepada Allah swt. Sabda Nabi saw yang artinya:

Diriwayatkan dari Jabir ibnu Abdillah ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Wahai manusia bertakwalah kepada Allah dan bersikap baiklah dalam berusaha. Karena suatu jiwa takkan mati hingga rizkinya terpenuhi semuanya, walaupun rizqi itu datangnya lambat. Karena itu, bertaqwlah kepada Allah dan bersikap baiklah dalam mencari rizqi. Ambilah yang halal dan tinggalkanlah yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2135).

‘Abdullah bin Umar ra berkata, Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu meninggal esok.” Seorang Ulama berkata: “Memperhatikan masa depan bukanlah lari dari kenyataan. Bukan juga melangkahi sunnatullah. Tapi dia adalah harapan yang dapat memotivasi untuk bekerja.”


KETUJUH: Selalu Berdo’a

Masa depan seseorang tidak ada yang tahu, hanya Allah-lah satu-satunya dzat yang Maha Mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Semua yang terjadi di dunia ini tidak lepas dari ilmu dan kuasa Allah, baik yang telah lalu, yang sekarang sedang terjadi ataupun yang akan terjadi di masa depan, semua berada di dalam genggaman tangan-Nya. Karena itu, seorang Muslim harus senantiasa berdo’a dan memohon kepada Allah agar Dia menganugerahkan masa depan dan kesudahan yang baik (husnul khatimah).


KEDELAPAN: Semangat dan Pantang Menyerah

Kita bisa membentuk motivasi untuk diri dengan niat, berniatlah sungguh-sungguh untuk melawan rasa malas dari sendiri. Niat bisa menentukan sebuah kualitas diri. Niat besar sangat berpengaruh pada keberanian mengambil langkah berikutnya. Agar nilai dari niat berkualitas, perlu dilakukan dengan aksi atau kerja nyata.

Bahkan sering kali nilai dari produktifitas seorang Muslim bisa berkurang hanya karena niatnya yang salah. Bila niat salah, maka semua tindakan berjalan diluar yang sudah direncanakan. Jadi mulai saat ini juga, berniatlah yang baik dan penuh kesungguhan yang bersemangat serta pantang menyerah untuk menyiasati masa depan agar menjadi lebih baik.


KESEMBILAN: Optimis dan Realistis

Seorang Muslim harus mengetahui apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya, sebab hal itu bisa menumbuhkan semangat percaya diri saat berinteraksi denga orang lain atau diberi amanah baru. Jangan pernah berkata “tidak bisa” atau “malas melakukannya”. Seorang Muslim harus selalu berpikir positif dan optimistis bahwa setiap tantangan yang datang pasti ada solusinya.

Bisa saja seorang Muslim merasa khawatir, terhadap masa depan, tapi bukan berarti harus pasrah dan berdiam diri terhadap itu semuanya. Bukankah kita masih memiliki banyak hal yang pantas untuk disyukuri, bukankah ada banyak kenikmatan yang kita terima, dan seharusnya membuat kita bisa berdiri dengan tegak kemudian berkata, Terima kasih Tuhan atas segala hal yang saya terima hari ini.


PENUTUP

Mengenal Esensi Ajaran Islam


A
jaran Islam bukan ajaran akhirat (religious) saja, dimana sama sekali tidak ada hubungannya atau sangkut pautnya dengan kehidupan di dunia. Dengan itu dalam urusan bersosial kemasyarakatan dan dalam urusan bernegara, ekstrimnya, dilupakan atau diabaikan saja.  Sebaliknya begitu pula, bahwa ajaran Islam bukan tentang ajaran dunia (seculer), tapi ajaran akhirat saja. Artinya beribadat ritual kepada Tuhan saja (untuk hari akhirat saja).  Karena itu tidak ada hubungannya dengan dunia. Jadi kalau ada juga ditiadakan atau diabaikan saja dengan berbagai alasan.

Dalam ajaran Islam yang sebenarnya dan yang sesungguhnya kedua macam kehidupan dunia dan akhirat ini diajarkan secara komprehensif dan kedua ajaran Islam itu diperlukan sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya:

Dan carilah negeri Akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu. Tapi janganlah kamu lupakan bagianmu (hidupmu semasih) di Dunia.” [4] Hidup di dunia ini ladang ibadah, [5] bagi manusia ‘ruh’ yang berjasad ‘biologis’, sebagaimana firman-Nya menyebutkan: “…Bumi adalah tempat kediaman dan kesenanganmu sampai waktu yang telah ditentukan.” [6] “Di sana (bumi) kamu hidup, dan disana (pula) kamu mati, dan dari sana (juga) kamu akan dibangkitkan.” [7] Sungguh, Kami (Allah swt) telah menciptakan manusia (di bumi) berada dalam ‘susah payah’. Maksudnya untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan mesti ada usaha terlebih dahulu (hukum sunatullah). Untuk memenuhi kebutuhan hidup ‘basic need’ seperti pangan (makan, minum, kesehatan, sekolah, transportasi); sandang (pakaian); papan (perumahan, shelter) dst. Maka untuk menghadapinya perlu asaha atau kerja dengan itu diperoleh pendapatan usaha atau gaji dan upah dalam bekerja. Baru dari hasil usaha atau kerja itu diperoleh laba usaha atau gaji dimana selanjutnya dibelanjakan untuk kehidupan sehari-hari. Usaha atau kerja semacam itu adalah ibadah karena menjalankan sunatullahnya di dunia ini. “Dan Aku (Allah swt) tidak menciptakan Jin dan Manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku (Allah swt).” [8]

Jadi tidaklah sempurna atau seimbang jika sebelah pihak dipenuhi (ajaran akhirat saja), sementara itu pihak yang lain tidak (seperti ajaran hidup di dunia dalam bermuamalah sesama manusia dalam lingkungan hidup di bumi tempat tinggalnya anak-cucu keturunan Adam as). Begitu pula sebaliknya. Ajaran Vertical (akhirat) dan ajaran Horizontal (dunia) ini ‘berjalin-berkelindan’, yaitu satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan dalam satu kesatuan yang kompak dan kaffah. Dengan begitu hidup di dunia ini bagi seorang Muslim adalah sangat perlu dan sangat penting, karena dari sinilah awal atau bekal atau jembatan [9] untuk bisa mencapai surga (di akhirat), kelak. Tidak melalui terror dan tidak melalui pengrusakan seperti yang diberitakan itu, bahwa itulah (ajaran) Islam? Tidak, ajaran Islam menghandaki pengikutnya agar mendapat kebahagian hidup di Dunia serta kebahagian hidup di Akhirat, sebagaimana permohonan do’a yang diajarkan-Nya dalam surat Al-Baqarah 2:201, yaitu “Rabbanā ātinā fid-dunyā khasanah, wa fil-ākhirati khasanah, wa qinā ‘adzāban nār”. Artinya: Ya Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan (pula) di akhirat, dan peliharalah kami dari azab neraka. Jadi esensi dari do’a itu adalah Hidup baik (bahagia dan sejahtera) di Bumi. Hidup baik (bahagia dan sejahtera) di Akhirat. Dan di Akhirat terhindar dari azab neraka. Untuk itu tebarkanlah salam kedamaian dan hidup sejahtera selama di dunia ini, demikian pula hidup di akhirat.

Oleh sebab itu peradaban dunia akan tegak kokoh karena akar menghujam kepetala bumi (bahagia dan sejahtera di Bumi) dan buah yang paling baiknya menjulang ke Surga Firdaus (bahagia dan sejahtera di Akhirat), karena ada visi, misi, dan motivasi hidup seperti yang telah diuraikan diatas.

Bahwa untuk mencapai hidup manusia yang baik di bumi (dan akhirat) itu dilakukan oleh manusia sendiri, karena peran manusia di bumi adalah (mesti) membangun peradaban sebagai bagian dari beribadah kepada-Nya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya yang artinya:

“Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah bumi) dan menjadikanmu (sebagai) pemakmur-nya (membangun peradaban di muka bumi).” [QS Hūd 11:61]

Demikianlah uraian dari tajuk “Jangan Takut Menatap Masa Depan Hidup Dalam Islam”, semoga bermanfaat hendaknya bagi penulis dan hadirin pembaca yang kami muliakan. Billahi Taufiq wal-Hidayah. □ AFM.



Catatan Kaki:
[1] Di Amerika, Undang-Undang Jaminan Sosial (The Social Security Act, The Economic Security Act) ditandatangani oleh Presiden Amerika ke-32, Franklin D Roosevelt, pada tanggal 14 Agustus 1935. Sistim Pajak Kesejahteraan dikumpulkan untuk pertama kalinya pada bulan Januari 1937 dan yang pertama kali, pembayaran sekaligus dilakukan pada bulan yang sama. Manfaat bulanan reguler dimulai pada Januari 1940.
   Berdasarkan undang-undang 1935, apa yang sekarang kita anggap sebagai Jaminan Sosial hanya membayar tunjangan pensiun kepada pekerja utama. Perubahan 1939 dalam hukum menambahkan manfaat manfaat dan manfaat bagi pasangan pensiunan dan anak-anak. Pada tahun 1956, tunjangan cacat ditambahkan.
   Perlu diingat, bagaimanapun, bahwa Undang-Undang Jaminan Sosial itu sendiri jauh lebih luas dari sekedar program yang saat ini kita umumnya gambarkan sebagai "Jaminan Sosial." Undang-undang asli tahun 1935 memuat program kompensasi bagi pengangguran (kehilangan pekerjaan se,emtara belum mendapat pekerjaan yang baru), bantuan kepada negara bagian untuk berbagai program kesehatan dan kesejahteraan, dan program Bantuan untuk Anak-Anak yang pendapatan orang tua yang tidak mencukupi kehidupan keluarganya.
   Medicare (Jaminan Tunjangan Kesehatan bagi para pensiunan) disahkan menjadi undang-undang pada 30 Juli 1965 tetapi penerima manfaat pertama kali dapat mendaftar untuk program ini pada 1 Juli 1966.
[2] Ishlah atau Al-Ishlah adalah kata bahasa Arab yang biasanya diterjemahkan sebagai "reformasi", dalam arti "meningkatkan, menjadi lebih baik, atau menempatkan sesuatu ke posisi yang lebih baik." Ini digunakan dalam agama dan politik. Kata Ishlah (Al-Ishlah) sering pula digunakan untuk sebuah nama orang dan nama tempat.
[3] Istiqomah adalah konsisten dalam melakukan kebaikan. Istiqomah harus teguh pada satu pendirian dan tidak tergoyahkan dalam berbagai rintangan untuk mendapatkan Ridha Allah swt. Firman Allah swt. :
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (Q.S Fushilat: 30)
Menurut tafsir ‘Aisar, Istikomah adalah mereka yang betul-betul yakin kebenaran agama islam, dengan tidak menukar dengan kepercayaan lain serta konsisten dalam menjalankan ibadah dan menjauhi kemungkaran, maka malaikat akan turun 2 kali kepadanya.
Ayat tersebut kemudian diperkuat dengan sebuah hadits, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah SAW tolong ajarkan sesuatu kepadaku yang paling penting dalam islam dan saya tidak akan bertanya lagi kepada siapapun. Nabi menjawab: “Katakanlah aku beriman kepada Alah, kemudian istiqomah (Konsisten menjalankan perintahnya dan mejauhi larangan).
Orang yang beristiqomah selalu kokoh dalam menjaga kaidahnya. Orang yang Istiqomah tidak akan tergoyahkan keimanannya dalam menjalani tantangan hidup.
[4] [QS al-Qashash 28:77]
[5]Dan Dia-lah (Allah swt) yang menjadikan kamu khalifah-khalifah* di bumi.” [QS al-An’ām 6:165]. “Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya”**. (Dalam rangka beribadah melalui perantaraan hidup di dunia). [QS Hūd 11:61]
Keterangan:
*Para mandatarisnya yaitu menjalankan dan mengelola kehidupan sesuai dengan paradigma Islam; Prinsip-prinsip Islam; dan ajaran Islam yang telah tertuang dalam aturan-utaran ‘operating manual’ yang telah ditetapkan-Nya. Dengan itu manusia menjalankannya sesuai dengan ‘operating manual’ yang telah ditetapkan-Nya itu dan dicontohkan Rasul-Nya.
**Manusia di jadikan dan bertempat tinggal di bumi untuk menguasai dalam rangka memakmurkan bumi bagi kegunaan dan kemanfaatan manusia dalam hidup bersosial kemasyarakatan agar damai dan sejahtera di bumi. Dan bagi umat yang percaya adanya hari akhirat juga akan damai, bahagia dan sejahtera yang abadi di akhirat kelak, dengan memperoleh Surga Firdausi yang sangat menyenangkan.
[6] [QS al-‘Arāf 7:24]
[7] [QS al-‘Arāf 7:25]
[8] [QS Adz-Dzāriyāt 51:56]
[9] Idem catatan kaki [4] “Dan carilah negeri Akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu. Tapi janganlah kamu lupakan bagianmu (hidupmu semasih) di Dunia.” □□

Sumber:
http://www.mirajnews.com/id/jangan-takut-menatap-masa-depan/44517
http://afaisalmarzuki.blogspot.com/2014/11/world-views-of-islam-v.html
Dan sumber-sumber lainnya.
Terjemahan Al-Qur'an diambil dari ALFATIH Al-Qur'an Tafsir Per Kata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka ALFATIH. □□□

Blog Archive