Sunday, September 11, 2016

Hikmah Berhaji dan Persaudaraan Umat



Oleh: A. Faisal Marzuki





“Tidak lah sempurna iman seseorang dari kalian, sehingga dia mencintai saudaranya (sesama Islam) sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” [HR Bukhari]

“Seorang muslim adalah saudara bagi sesama muslim lainnya. Tidak boleh menganiaya ataupun membiarkan dianiaya. Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa membebaskan kesusahannya, maka Allah akan membebaskan kesusahannya di hari kiamat. Barang siapa menutupi aib-nya, maka Allah akan menutupi aib-nya dihari kiamat ” [HR Bukhari].



P
adang Arafah ini terteletak sebelah timur kota Makkah, Arab Saudi. Jaraknya 16 miles atau lk 25 kilometer. Padang Arafah adalah suatu tempat untuk melakukan wukuf bagi jamaah yang berhaji. Wukuf dilaksanakan hanya pada satu hari (siang hari) saja. Cara pelaksanaan ibadah wukuf ini dengan berdiam diri sambil berdoa dan berdzikir. Lebih dari dua juta jamaah haji dari berbagai pelosok dunia selalu berkumpul tiap tahunnya melaksanakan wukuf selama musim haji. D-day pada tanggal 9 Dzulhijjah 1437 penanggalan Hijriyah, bertepatan dengan penanggalan Gregorian hari ini  tanggal 11 September 2016. Melaksanakan wukuf ini adalah kegiatan utama dalam ibadah haji. Bahkan, inti ibadah haji adalah wukuf di Padang Arafah. Sebagaimana sabda Rasul Shallallahu ‘Alayhi Wasallam sendiri, “Al-Hajju Arafah”. Haji itu adalah Arafah. [Al-Hadits, diriwayatkan oleh At-Tirmizi, Abu Dawud dan Ibnu Majah].

Haji itu adalah Arafah, maksudnya adalah wukuf di Arafah. Wukuf di padang Arafah ini wajib dilaksanakan diri sendiri yang melakukan ibadah haji. Tidak bisa diwakilkan oleh siapapun. Lain halnya dengan melontar batu di Mina. Bagi yang uzur, bisa di wakilkan. Maka ketika wukuf di Arafah tidak jarang orang yang uzur atau sakit digotong kesana agar ibadah hajinya tercapai. Begitu pentingnya arti dan makna serta konsep dari berwukuf di Arafah ini. Dalam melakukan shalat-shalat wajib ketika beradah di Makkah (Masjidil Haram) atau di Mina dilakukan pada waktunya dengan rakaat yang lengkap serta melakukan shalat-shalat sunnah lainnya, sementara selama dalam wukuf (berdiam) di Arafah dilakukan dengan mengqasar (memendekkan rakaat shalat wajib) dan jamak takdim (penggabungan shalat Dzuhur bersama shalat Ashar dan shalat Magrib dengan shalat Isya) serta tidak melakukan shalat-shalat sunnah, kecuali diantara waktu shalat wajib yang diqasar dan jamak itu mereka hanya melakukan talbiyah, tahmid, do’a dan membaca al-Qur’an sebanyak-banyaknya dan mencari hikmah dan arti dari Arafah  dan haji bagi diri sendiri dan hubungan diri dengan diri yang lainnya – berjamaah, bermasyarakat, berbangsa dan antarbangsa, dan merenungkan tadabbur arti hidup di dunia ini dan peran amal-amal yang mesti kita lakukan sebagai khalifah pemakmur bumi.

Memang benar bahwa amalan haji itu bukan hanya wukuf di Arafah, tapi juga mabit di Muzdalifah sambil mengumpulkan batu kerikil. Kemudian tinggal di Mina setidaknya selama tiga hari untuk melakukan lempar jamrat (lempar batu kerikil) sebanyak tujuh kali dari masing-masing tiang dari tiga tiang sebagai lambang melawan syeitan. Selanjutnya melakukan tawaf (keliling Ka’bah dengan arah melawan arah jarum jam sebanyak tujuh kali). Setelah itu melakukan sa’i. Dalam sa’i kita lakukan kombinasi antara berjalan kaki dan berlari-lari dari bukit Safa ke bukit Marwa. Namun kenapa Rasul Shallallahu ‘Alayhi Wasallam bersabda “Al-Hajju Arafah”. Pertanyaannya yang sangat mendasar  sekarang adalah, “Apa makna dari konsep ibadah wukuf di Arafah ini, tanpa meninggalkan rangkaian pekerjaan peribadatan haji lainnya seperti tersebut diatas sebagai sunnah Rasul Shallallahu ‘Alayhi Wasallam yang mesti kita laksanakan?

Untuk menemui jawabannya, mari kita simak uraian berikut ini. Secara topografi daerah padang Arafah (yang tandus, namun kini telah ditanam dan ditumbuhi pepohonan) ini merupakan suatu daratan yang sangat luas (bisa menampung jutaan jamaah haji sekaligus), dikelilingi bukit-bukit batu. Jadi kalau kita perhatikan wilayah dari wukuf ini adalah semua lapangan (dan pebukitan yang menghadap lapangan) yang berada ditengah padang Arafah yang dibatasi oleh bukit-bukit sekelilingnya. Ditengah lapangan luas Arafah ini ada satu bukit. Sedapat mungkin wukufnya mendekati bukit yang ditengah itu (badan penyelenggara haji setempat telah menentukan tempat-tempat wukuf sesuai dengan ketentuan syarat-syarat haji dan wukuf). Wukuf di Arafah syah jika bukit ditengah padang Arafah masih bisa dilihat. Seandainya kita wukuf dibalik bebukitan batu yang berada di sekelilingi padang Arafah sehingga terhalang penglihatan ke bukit yang ada ditengah padang Arafah, maka wukufnya batal. Ini berarti dalam wukuf di Arafah itu, wajib bukit yang ditengahnya itu terlihat. Bukit itu bernama Rahmah atau bahasa aslinya “Jabal Rahmah

Secara historis Arafah ini mengingatkan kita akan “Bapak” umat manusia pertama. Nenek moyang dari orang-orang yang mendiami lima benua, Adam Alayhis Salam sebagai manusia pertama disertai istrinya yang tercinta – Hawa Radhiyallahu Anha, mula-mula berdiam di Surga. Sebagaimana anda berdiam di suatu kota, ada aturan dan tatatertibnya, begitu pula halnya dengan Adam Alayhis Salam dan Hawa  Radhiyallahu Anha. Ketika itu tidak seruwet tinggal di kota sebagaimana kota yang kami tinggali sekarang. Pekarangan rumah mesti bersih. Musim panas rumput tumbuh, jika terlalu panjang mesti dipangkas. Musim rontok tiba, maka dedauan yang memenuhi pekarangan mesti disapu. Musim dingin tiba, salju yang membeku jadi es sangat licin dan berbahaya jika dilalui, mesti dikerok. Jika semuanya itu tidak dilakukan, maka orang yang mendiami rumah itu didenda oleh Kotapraja, bahkan juga dicemoohkan tetangga.

Satu saja peraturan Allah ‘Azza wa Jalla ketika itu, jangan dekati pohon itu (pohon terlarang), [1] namun karena bujukan dan rayuan maut Syeitan [2] akhirnya keduanya terpedaya. Bukan saja mendekati malah memakan buahnya. Sebagai konsekwensi dari pelanggaran itu, maka keduanya diturunkan ke Dunia. [3] Demikianlah riwayat umat manusia mengapa sekarang berada di planet ini bekerja dengan susah payah (beda dari tinggal di Surga [4] segala ada dan tidak bersusah seperti tinggal di planet Bumi). Sebelum di turun ke Dunia, terlebih dahulu Allah memberikan pengampunan (sebagi pancaran asma Ar-Rahmān dan Ar-Rahīm Allah) dengan mengajarkan kepada keduanya bagaimana cara berdo’a (untuk menghapus atau membersihkan kotoran dosa pelanggaran yang telah diperbuatnya itu) sebagaimana yang di nukilkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an pada surat ke-7, al-A’rāf  ayat 23 sebagai berikut:

Rabbanā zhalamnā anfusanā wa illam taghfirlanā war hamnā lanakūnannā minal khasirīn.

Ya Allah! Kami telah menganiaya diri kami sendiri, seandainya Engkau tidak memberi ampun kami dan memberi rahmat kami, tentulah kami termasuk orang-orang yang merugi.


Setelah berdo'a seperti tersebut diatas keduanya di beri ampun dan maaf oleh Tuhan Allah Yang Maha Kasih lagi Maha Sayang.
 
Tiada manusia lain di Bumi ketika itu kecuali mereka berdua, namun terpisah. Seumpama dua kapsul yang dijatuhkan dari langit ke Bumi, yang satu berada entah dimana, yang lainnya begitu pula. Keduanya sepi dari kesendiriannya masing-masing ditengah bumi yang asing bagi mereka berdua. Satu yang lainnya mengembara, saling mencari. Detik demi detik. Jam demi jam. Hari demi hari. Minggu demi minggu. Bulan demi bulan. Tahun demi tahun. Sejuta tahun rasanya belum bertemu juga. Tak tahu arah dan dimana mau bertemu. Untuk mengetahui dimana masing-masingnya berada, ketika itu belum ada teknologi GPS dan cellpone. Dalam keadaan seperti itu teringatlah betapa enaknya hidup mereka berdua di Surga nan indah itu.

Ditengah dataran yang amat luas itu, berdirilah suatu bukit. Tentunya bukit lebih tinggi dari dataran tanah sekitarnya, memungkinkan mereka mudah melihat apa yang sedang dicari. Akhirnya, bertemulah mereka berdua diatas bukit itu. Dapat kita bayangkan bagaimana detik-detik yang sangat sangat sangat berbahagia itu tampak di wajah masing-masing. Selama ini, sepi dari kesendirian masing-masing. Rindu rendam, kangen yang akhirnya kesampaian. Mereka berdua ini sungguh bersukacita, yang tak terperikan. Mereka berdua terlepas dari kesengsaraan bersendiri. Mereka berdua tidak mau terpisah lagi, sampai hayat dikandung badan. Bukit tempat pertemuan itu masih tegak abadi kini, namanya Jabal ar-Rahmah. Dalam bahasa dinamakan Bukit Rahmah. Artinya, “Bukit Kasih”. Terambil dari kata Jabal, artinya Bukit. Dan Rahmah artinya, Kasih. Padang dataran luas disekitar bukit bernama Arafah yang artinya “Pertemuan”.

Nah kini dapatlah kita mengerti sekarang kenapa wukuf di Arafah ini wajib dilakukan dalam rangkaian peribadatan Haji, dimana wukuf di Arafah ini menjadi titik sentralnya. Dengan peristiwa Arafah ini dapat diambil pelajaran yang sangat berharga sekali, yaitu ajaran muamalah dalam Islam. Semestinya sesama umat mesti ada kesetiakawanan. Malah hadits [5] menyatakan antara sesama Muslim ini diikat oleh tali persaudaraan. Sakit salah satu dari anggotanya, maka rasa sakit terasakan bagi semua anggotanya. Berarti kita mesti menolongnya, itulah arti dari kesetiakawanan itu. Kalau tidak tentunya hidup ini hambar, lemah dan tak bermakna. Padahal naluri hidup manusia itu adalah hidup “bermasyarakat” – “homo sosial”. Kalau kita lawan juga takdir “homo sosial” ini, maka kita mudah dikotak-katikan lawan atau orang yang tidak senang dengan kita, seperti halnya khewan yang terpisah dari kelompoknya mudah dimangsa oleh khewan lainnya. Tak percaya? Lihat tayangan filem dari National Geography, perhatikan! Iya, kan. Diburu sampai tertangkap, dapat, lalu dibantai habis semua tubuhnya dengan lahapnya.

Satu hal yang hampir luput dari penulisan ini adalah peristiwa turunnya ayat al-Qur’an yang terakhir, [6] meskipun begitu ada yang menyebutkan setelah itu ada lagi ayat al-Qur’anyang diturunkan. Namun terlepas dari itu adalah pada kesempatan haji terakhir dari Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam yang disebut haji ‘wada’ (perpisahan), karena 82 hari setelah itu Beliau Shallallahu ‘Alayhi Wasallam dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Ayat dalam surat tersebut telah mengindikasikan bahwa tugas atau risalah Nabi Shallallahu ‘Alayhi Wasallam akan selesai. Tugas mana telah dipikulnya selama 23 tahun. Selama itu pula secara berangsur-angsur wahyu Allah turun. Turunnya sesuai dengan keperluan dan menjawab persoalan-persoalan yang ada dan akan ada. Menurut riwayat turun ayat tersebut pada saat Rasul Shallallahu ‘Alayhi Wasallam melakukan khutbah haji pada bulan Dzulhijjah tahun ke-10 Hijriyyah. Turun ayat itu sangat penting bagi kita dimana ayat itu merupakan pengumuman atau “Deklarasi Maha Agung” dari Allah tentang Dinul (agama) Islam yang berbunyi sebagai berikut:

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu. Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan Aku telah merasa senang (ridha) Islam itu menjadi agamamu. [QS Al-Māidah 5:3]

Dengan turunnya ayat itu yang disampaikan di saat peribadatan haji berlangsung, yakinlah kita dengan seyakin-yakinnya akan kebenaran Dinul Islam, karena yang Maha Kuasapun telah puas dan ridha atas Dinul Islam ini untuk kita. Kalau Allah Yang Maha Tahu confident (yakin, ridha, ikhlas) kenapa kita tidak?

Demikianlah ritual wukuf di Arafah ini pegangan sentral yang amat menentukan dalam berhaji. Tanpa mengerti makna dari peristiwa-peristiwa di Arafah dari haji yang kita lakukan, maka apa-apa yang dilakukan selama haji ini belum maksimal (maksudnya hampir boleh dikatakan sia-sia). Kini bertemulah makna haji yang disebutkan oleh Rasul Shallallahu ‘Alayhi Wasallam bahwa haji itu adala Arafah (Al-Hajju Arafah). Dengan itu mengingatkan kita generasi sekarang yang hidup di seperlima abad ke-21 ini dalam millennium ke-3 bahwa hidup bernafsi-nafsi bukanlah asli sifat atau fitrah manusia. Satu sama lainnya saling butuh dalam mengarungi lautan kehidupan ini. Terkadang ombaknya tinggi, angin sangat kencang, membuat oleng kapal kehidupan. Dihempaskan ke kiri dan ke kanan. Kadang menurun, kadang meninggi. Kadang terperosok di pusaran air. Kadang tersandung di batu karang. Harap harap cemas. Namun dengan semangat kesatuan dan kesetiakawanan serta persaudaraan dan saling cinta kasih, memudahkan menghadapi tantangan hidup. Tanpa kesatuan dan cinta kasih bahtera kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berorganisasi (dalam komuniti), berbangsa dan berantar bangsa, maka manusia akan memangsa sesamanya dalam memperebutkan pengaruh dalam kekuatan ekonomi, keuangan, politik, militer dan power dari ego bangsa yang terkotak-kotak dalam pakta-pakta. Faham yang dimengertinya atau yang dilakukannya seperti itu memang terjadi dalam hidup di millennium ke-2, hasilnya membuat dunia tidak stabil, perang-perang dahsyat terjadi (dalam PD I korbannya 20 juta, PD II 80 juta) dan hampir-hampir binasa dalam menghadapi perang nuklir tahun 60-an. Pada millennium ke-3 ini dunia hakekatnya tidak dapat lagi disekat-sekat, karena arus globalisasi sudah sedemikian menderas. Teknologi telah mendekatkan warga dunia satu sama lainnya. Perlu pendekatan baru, lebih aman, lebih stabil, lebih manusiawi, dan hasilnya “win-win” – semuanya dapat. Yaitu asal menegakkan ta’aruf (saling mengenal), [7] tafahum (saling memahami), ta’awun (kerja sama), itsar (saling membela, tidak bertengkar). Allahu ‘alam bish-shawab. Billahit Taufiq wal-Hidayah. AFM



Catatan Kaki:

[1] Jangan dekati pohon itu (yang dilarang-Nya). [QS Al-Baqarah 2:35]

[2] Rayuan Syeitan untuk memakan buah dari pohon yang terlarang mendekati. [QS Al-A’rāf 7:22] dan [QS Thāhā 20:121]

[3] Adam dan Hawa di turun ke Bumi dari Surga. [QS Al-Baqarah 2:36]

[4] Surga. Dan orang-orang yang beriman dan beramal shaleh (berada) di dalam taman-taman surga, mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalah kurunia yang besar. [QS Asy-Syūrā 42:22] “Perumpamaan Surga yang dijanjikan kepada prang-orang yang bertaqwa ialah (seperti taman) mengalir sungai di dalamnya, buah yang tak henti-hentinya, sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahannya bagi orang yang bertaqwa. [QS Ar-Ra’d 13:35]

[5] Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam bersabda, “Perumpamaan orang Islam yang saling mengasihi dan mencintai satu sama lain adalah ibarat satu tubuh, Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasa sakit dan tidak bisa tidur.” [HR Bukhari]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam, Tidak lah sempurna iman seseorang dari kalian, sehingga dia mencintai saudaranya (sesama Islam) sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” [HR Bukhari]

Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi sesama muslim lainnya. Tidak boleh menganiaya ataupun membiarkan dianiaya. Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa membebaskan kesusahannya, maka Allah akan membebaskan kesusahannya di hari kiamat. Barang siapa menutupi aib-nya, maka Allah akan menutupi aib-nya dihari kiamat ” [HR Bukhari].

[6] Seperti yang diriwayatkan oleh hadits Muslim yaitu ayat ‘Kala-lah’. Ayat mana membahas masalah pembagian pusaka orang yang meninggal dengan tidak mempunyai ibu-bapak yang masih hidup dan keturunan, seperti yang diuraikan dalam surat at-Taubah (Bara-ah).

[7] Lita ‘ārafū (ta’āruf), Wahai Manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal (Lita ‘ārafū, ta’āruf). [QS Al-Hujarāt 49:13] [Untuk selanjutnya tafahum (saling memahami), ta’awun (kerja sama), itsar (saling membela, tidak bertengkar)]. 


Sumber:

http://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/09/makna-wukuf-arafah-ii.html□□□

Blog Archive