Oleh:
A. Faisal Marzuki
“Tidak
lah sempurna iman seseorang dari kalian, sehingga dia mencintai saudaranya
(sesama Islam) sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” [HR Bukhari]
“Seorang
muslim adalah saudara bagi sesama muslim lainnya. Tidak boleh menganiaya
ataupun membiarkan dianiaya. Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya maka
Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa membebaskan kesusahannya, maka
Allah akan membebaskan kesusahannya di hari kiamat. Barang siapa menutupi
aib-nya, maka Allah akan menutupi aib-nya dihari kiamat ” [HR Bukhari].
P
|
adang Arafah
ini terteletak sebelah timur kota Makkah, Arab Saudi. Jaraknya 16 miles
atau lk 25 kilometer. Padang Arafah adalah suatu tempat untuk melakukan wukuf
bagi jamaah yang berhaji. Wukuf dilaksanakan hanya pada satu hari (siang hari) saja.
Cara pelaksanaan ibadah wukuf ini dengan berdiam diri sambil berdoa dan
berdzikir. Lebih dari dua juta jamaah haji dari berbagai pelosok dunia selalu
berkumpul tiap tahunnya melaksanakan wukuf selama musim haji. D-day pada tanggal 9 Dzulhijjah 1437 penanggalan
Hijriyah, bertepatan dengan penanggalan Gregorian hari ini tanggal 11 September 2016. Melaksanakan wukuf
ini adalah kegiatan utama dalam ibadah haji. Bahkan, inti ibadah haji adalah
wukuf di Padang Arafah. Sebagaimana sabda Rasul Shallallahu ‘Alayhi Wasallam sendiri, “Al-Hajju Arafah”. Haji itu adalah Arafah. [Al-Hadits, diriwayatkan
oleh At-Tirmizi, Abu Dawud dan Ibnu Majah].
Haji itu
adalah Arafah, maksudnya adalah wukuf di Arafah. Wukuf di padang Arafah ini wajib
dilaksanakan diri sendiri yang melakukan ibadah haji. Tidak bisa diwakilkan
oleh siapapun. Lain halnya dengan melontar batu di Mina. Bagi yang uzur, bisa
di wakilkan. Maka ketika wukuf di Arafah tidak jarang orang yang uzur atau
sakit digotong kesana agar ibadah hajinya tercapai. Begitu pentingnya arti dan
makna serta konsep dari berwukuf di Arafah ini. Dalam melakukan shalat-shalat
wajib ketika beradah di Makkah (Masjidil Haram) atau di Mina dilakukan pada
waktunya dengan rakaat yang lengkap serta melakukan shalat-shalat sunnah
lainnya, sementara selama dalam wukuf (berdiam) di Arafah dilakukan dengan
mengqasar (memendekkan rakaat shalat wajib) dan jamak takdim (penggabungan
shalat Dzuhur bersama shalat Ashar dan shalat Magrib dengan shalat Isya) serta
tidak melakukan shalat-shalat sunnah, kecuali diantara waktu shalat wajib yang
diqasar dan jamak itu mereka hanya melakukan talbiyah, tahmid, do’a dan membaca
al-Qur’an sebanyak-banyaknya dan mencari hikmah dan arti dari Arafah dan haji bagi diri sendiri dan hubungan diri
dengan diri yang lainnya – berjamaah, bermasyarakat, berbangsa dan antarbangsa,
dan merenungkan tadabbur arti hidup di dunia ini dan peran amal-amal yang mesti
kita lakukan sebagai khalifah pemakmur bumi.
Memang benar
bahwa amalan haji itu bukan hanya wukuf di Arafah, tapi juga mabit di
Muzdalifah sambil mengumpulkan batu kerikil. Kemudian tinggal di Mina
setidaknya selama tiga hari untuk melakukan lempar jamrat (lempar batu kerikil)
sebanyak tujuh kali dari masing-masing tiang dari tiga tiang sebagai lambang
melawan syeitan. Selanjutnya melakukan tawaf (keliling Ka’bah dengan arah
melawan arah jarum jam sebanyak tujuh kali). Setelah itu melakukan sa’i. Dalam
sa’i kita lakukan kombinasi antara berjalan kaki dan berlari-lari dari bukit
Safa ke bukit Marwa. Namun kenapa Rasul Shallallahu
‘Alayhi Wasallam bersabda “Al-Hajju Arafah”. Pertanyaannya yang
sangat mendasar sekarang adalah, “Apa
makna dari konsep ibadah wukuf di Arafah ini, tanpa meninggalkan rangkaian
pekerjaan peribadatan haji lainnya seperti tersebut diatas sebagai sunnah Rasul
Shallallahu ‘Alayhi Wasallam yang
mesti kita laksanakan?
Untuk
menemui jawabannya, mari kita simak uraian berikut ini. Secara topografi daerah
padang Arafah (yang tandus, namun kini telah ditanam dan ditumbuhi pepohonan)
ini merupakan suatu daratan yang sangat luas (bisa menampung jutaan jamaah haji
sekaligus), dikelilingi bukit-bukit batu. Jadi kalau kita perhatikan wilayah
dari wukuf ini adalah semua lapangan (dan pebukitan yang menghadap lapangan)
yang berada ditengah padang Arafah yang dibatasi oleh bukit-bukit
sekelilingnya. Ditengah lapangan luas Arafah ini ada satu bukit. Sedapat
mungkin wukufnya mendekati bukit yang ditengah itu (badan penyelenggara haji
setempat telah menentukan tempat-tempat wukuf sesuai dengan ketentuan
syarat-syarat haji dan wukuf). Wukuf di Arafah syah jika bukit ditengah padang
Arafah masih bisa dilihat. Seandainya kita wukuf dibalik bebukitan batu yang
berada di sekelilingi padang Arafah sehingga terhalang penglihatan ke bukit
yang ada ditengah padang Arafah, maka wukufnya batal. Ini berarti dalam wukuf
di Arafah itu, wajib bukit yang ditengahnya itu terlihat. Bukit itu bernama
Rahmah atau bahasa aslinya “Jabal Rahmah”
Secara
historis Arafah ini mengingatkan kita akan “Bapak” umat manusia pertama. Nenek
moyang dari orang-orang yang mendiami lima benua, Adam Alayhis Salam sebagai manusia pertama disertai istrinya yang tercinta – Hawa Radhiyallahu Anha, mula-mula berdiam di
Surga. Sebagaimana anda berdiam di suatu kota, ada aturan dan tatatertibnya,
begitu pula halnya dengan Adam Alayhis
Salam dan Hawa Radhiyallahu Anha. Ketika itu tidak seruwet tinggal di kota
sebagaimana kota yang kami tinggali sekarang. Pekarangan rumah mesti bersih.
Musim panas rumput tumbuh, jika terlalu panjang mesti dipangkas. Musim rontok
tiba, maka dedauan yang memenuhi pekarangan mesti disapu. Musim dingin tiba,
salju yang membeku jadi es sangat licin dan berbahaya jika dilalui, mesti
dikerok. Jika semuanya itu tidak dilakukan, maka orang yang mendiami rumah itu
didenda oleh Kotapraja, bahkan juga dicemoohkan tetangga.
Satu saja
peraturan Allah ‘Azza wa Jalla ketika
itu, jangan dekati pohon itu (pohon terlarang), [1] namun karena bujukan dan
rayuan maut Syeitan [2] akhirnya keduanya terpedaya. Bukan saja mendekati malah
memakan buahnya. Sebagai konsekwensi dari pelanggaran itu, maka keduanya
diturunkan ke Dunia. [3] Demikianlah riwayat umat manusia mengapa sekarang
berada di planet ini bekerja dengan susah payah (beda dari tinggal di Surga [4]
segala ada dan tidak bersusah seperti tinggal di planet Bumi). Sebelum di turun
ke Dunia, terlebih dahulu Allah memberikan pengampunan (sebagi pancaran asma Ar-Rahmān dan Ar-Rahīm Allah) dengan
mengajarkan kepada keduanya bagaimana cara berdo’a (untuk menghapus atau
membersihkan kotoran dosa pelanggaran yang telah diperbuatnya itu) sebagaimana
yang di nukilkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an pada surat ke-7, al-A’rāf ayat 23 sebagai berikut:
Rabbanā zhalamnā anfusanā wa illam taghfirlanā war hamnā
lanakūnannā minal khasirīn.
Ya Allah!
Kami telah menganiaya diri kami sendiri, seandainya Engkau tidak memberi ampun
kami dan memberi rahmat kami, tentulah kami termasuk orang-orang yang merugi.
Setelah
berdo'a seperti tersebut diatas keduanya di beri ampun dan maaf oleh Tuhan
Allah Yang Maha Kasih lagi Maha Sayang.
Tiada
manusia lain di Bumi ketika itu kecuali mereka berdua, namun terpisah. Seumpama
dua kapsul yang dijatuhkan dari langit ke Bumi, yang satu berada entah dimana,
yang lainnya begitu pula. Keduanya sepi dari kesendiriannya masing-masing
ditengah bumi yang asing bagi mereka berdua. Satu yang lainnya mengembara,
saling mencari. Detik demi detik. Jam demi jam. Hari demi hari. Minggu demi
minggu. Bulan demi bulan. Tahun demi tahun. Sejuta tahun rasanya belum bertemu
juga. Tak tahu arah dan dimana mau bertemu. Untuk mengetahui dimana
masing-masingnya berada, ketika itu belum ada teknologi GPS dan cellpone. Dalam keadaan seperti itu
teringatlah betapa enaknya hidup mereka berdua di Surga nan indah itu.
Ditengah
dataran yang amat luas itu, berdirilah suatu bukit. Tentunya bukit lebih tinggi
dari dataran tanah sekitarnya, memungkinkan mereka mudah melihat apa yang
sedang dicari. Akhirnya, bertemulah mereka berdua diatas bukit itu. Dapat kita
bayangkan bagaimana detik-detik yang sangat sangat sangat berbahagia itu tampak
di wajah masing-masing. Selama ini, sepi dari kesendirian masing-masing. Rindu
rendam, kangen yang akhirnya kesampaian. Mereka berdua ini sungguh bersukacita,
yang tak terperikan. Mereka berdua terlepas dari kesengsaraan bersendiri.
Mereka berdua tidak mau terpisah lagi, sampai hayat dikandung badan. Bukit
tempat pertemuan itu masih tegak abadi kini, namanya Jabal ar-Rahmah. Dalam bahasa dinamakan Bukit Rahmah. Artinya,
“Bukit Kasih”. Terambil dari kata Jabal, artinya Bukit. Dan Rahmah artinya,
Kasih. Padang dataran luas disekitar bukit bernama Arafah yang artinya “Pertemuan”.
Nah kini
dapatlah kita mengerti sekarang kenapa wukuf di Arafah ini wajib dilakukan
dalam rangkaian peribadatan Haji, dimana wukuf di Arafah ini menjadi titik
sentralnya. Dengan peristiwa Arafah ini dapat diambil pelajaran yang sangat
berharga sekali, yaitu ajaran muamalah dalam Islam. Semestinya sesama umat
mesti ada kesetiakawanan. Malah hadits [5] menyatakan antara sesama Muslim ini
diikat oleh tali persaudaraan. Sakit salah satu dari anggotanya, maka rasa
sakit terasakan bagi semua anggotanya. Berarti kita mesti menolongnya, itulah
arti dari kesetiakawanan itu. Kalau tidak tentunya hidup ini hambar, lemah dan
tak bermakna. Padahal naluri hidup manusia itu adalah hidup “bermasyarakat” – “homo sosial”. Kalau kita lawan juga
takdir “homo sosial” ini, maka kita
mudah dikotak-katikan lawan atau orang yang tidak senang dengan kita, seperti
halnya khewan yang terpisah dari kelompoknya mudah dimangsa oleh khewan
lainnya. Tak percaya? Lihat tayangan filem dari National Geography, perhatikan!
Iya, kan. Diburu sampai tertangkap, dapat, lalu dibantai habis semua tubuhnya
dengan lahapnya.
Satu hal
yang hampir luput dari penulisan ini adalah peristiwa turunnya ayat al-Qur’an
yang terakhir, [6] meskipun begitu ada yang menyebutkan setelah itu ada lagi
ayat al-Qur’anyang diturunkan. Namun terlepas dari itu adalah pada kesempatan
haji terakhir dari Rasulullah Shallallahu
‘Alayhi Wasallam yang disebut haji ‘wada’ (perpisahan), karena 82 hari
setelah itu Beliau Shallallahu ‘Alayhi
Wasallam dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Ayat dalam surat tersebut telah
mengindikasikan bahwa tugas atau risalah Nabi Shallallahu ‘Alayhi Wasallam akan selesai. Tugas mana telah
dipikulnya selama 23 tahun. Selama itu pula secara berangsur-angsur wahyu Allah
turun. Turunnya sesuai dengan keperluan dan menjawab persoalan-persoalan yang
ada dan akan ada. Menurut riwayat turun ayat tersebut pada saat Rasul Shallallahu ‘Alayhi Wasallam melakukan
khutbah haji pada bulan Dzulhijjah tahun ke-10 Hijriyyah. Turun ayat itu sangat
penting bagi kita dimana ayat itu merupakan pengumuman atau “Deklarasi Maha
Agung” dari Allah tentang Dinul (agama) Islam yang berbunyi sebagai berikut:
Pada hari
ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu. Aku telah cukupkan nikmat-Ku
kepadamu, dan Aku telah merasa senang (ridha) Islam itu menjadi agamamu. [QS
Al-Māidah 5:3]
Dengan
turunnya ayat itu yang disampaikan di saat peribadatan haji berlangsung,
yakinlah kita dengan seyakin-yakinnya akan kebenaran Dinul Islam, karena yang
Maha Kuasapun telah puas dan ridha atas Dinul Islam ini untuk kita. Kalau Allah
Yang Maha Tahu confident (yakin,
ridha, ikhlas) kenapa kita tidak?
Demikianlah
ritual wukuf di Arafah ini pegangan sentral yang amat menentukan dalam berhaji.
Tanpa mengerti makna dari peristiwa-peristiwa di Arafah dari haji yang kita
lakukan, maka apa-apa yang dilakukan selama haji ini belum maksimal (maksudnya
hampir boleh dikatakan sia-sia). Kini bertemulah makna haji yang disebutkan
oleh Rasul Shallallahu ‘Alayhi Wasallam
bahwa haji itu adala Arafah (Al-Hajju
Arafah). Dengan itu mengingatkan kita generasi sekarang yang hidup di
seperlima abad ke-21 ini dalam millennium ke-3 bahwa hidup bernafsi-nafsi
bukanlah asli sifat atau fitrah manusia. Satu sama lainnya saling butuh dalam
mengarungi lautan kehidupan ini. Terkadang ombaknya tinggi, angin sangat
kencang, membuat oleng kapal kehidupan. Dihempaskan ke kiri dan ke kanan.
Kadang menurun, kadang meninggi. Kadang terperosok di pusaran air. Kadang
tersandung di batu karang. Harap harap cemas. Namun dengan semangat kesatuan
dan kesetiakawanan serta persaudaraan dan saling cinta kasih, memudahkan
menghadapi tantangan hidup. Tanpa kesatuan dan cinta kasih bahtera kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, berorganisasi (dalam komuniti), berbangsa dan
berantar bangsa, maka manusia akan memangsa sesamanya dalam memperebutkan
pengaruh dalam kekuatan ekonomi, keuangan, politik, militer dan power dari ego bangsa yang
terkotak-kotak dalam pakta-pakta. Faham yang dimengertinya atau yang
dilakukannya seperti itu memang terjadi dalam hidup di millennium ke-2,
hasilnya membuat dunia tidak stabil, perang-perang dahsyat terjadi (dalam PD I
korbannya 20 juta, PD II 80 juta) dan hampir-hampir binasa dalam menghadapi
perang nuklir tahun 60-an. Pada millennium ke-3 ini dunia hakekatnya tidak
dapat lagi disekat-sekat, karena arus globalisasi sudah sedemikian menderas.
Teknologi telah mendekatkan warga dunia satu sama lainnya. Perlu pendekatan
baru, lebih aman, lebih stabil, lebih manusiawi, dan hasilnya “win-win” –
semuanya dapat. Yaitu asal menegakkan ta’aruf (saling mengenal), [7] tafahum
(saling memahami), ta’awun (kerja sama), itsar (saling membela, tidak
bertengkar). Allahu ‘alam bish-shawab.
Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Jangan dekati pohon itu (yang
dilarang-Nya). [QS Al-Baqarah 2:35]
[2] Rayuan Syeitan untuk memakan buah dari
pohon yang terlarang mendekati. [QS Al-A’rāf 7:22] dan [QS Thāhā 20:121]
[3] Adam dan Hawa di turun ke Bumi dari
Surga. [QS Al-Baqarah 2:36]
[4] Surga. ● Dan
orang-orang yang beriman dan beramal shaleh (berada) di dalam taman-taman
surga, mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang
demikian itu adalah kurunia yang besar. [QS Asy-Syūrā 42:22] ●
“Perumpamaan Surga yang dijanjikan kepada prang-orang yang bertaqwa ialah
(seperti taman) mengalir sungai di dalamnya, buah yang tak henti-hentinya,
sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahannya bagi orang yang
bertaqwa. [QS Ar-Ra’d 13:35]
[5] ● Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam bersabda, “Perumpamaan orang Islam
yang saling mengasihi dan mencintai satu sama lain adalah ibarat satu tubuh,
Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasa
sakit dan tidak bisa tidur.” [HR Bukhari]
● Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam, Tidak lah
sempurna iman seseorang dari kalian, sehingga dia mencintai saudaranya (sesama
Islam) sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” [HR Bukhari]
● Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam bersabda, “Seorang muslim adalah
saudara bagi sesama muslim lainnya. Tidak boleh menganiaya ataupun membiarkan
dianiaya. Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi
kebutuhannya. Barang siapa membebaskan kesusahannya, maka Allah akan
membebaskan kesusahannya di hari kiamat. Barang siapa menutupi aib-nya, maka
Allah akan menutupi aib-nya dihari kiamat ” [HR Bukhari].
[6] Seperti yang diriwayatkan oleh hadits
Muslim yaitu ayat ‘Kala-lah’. Ayat mana membahas masalah pembagian pusaka orang
yang meninggal dengan tidak mempunyai ibu-bapak yang masih hidup dan keturunan,
seperti yang diuraikan dalam surat at-Taubah (Bara-ah).
[7] Lita
‘ārafū (ta’āruf), Wahai Manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal (Lita ‘ārafū, ta’āruf). [QS Al-Hujarāt 49:13] [Untuk selanjutnya tafahum (saling memahami), ta’awun (kerja sama), itsar (saling membela, tidak
bertengkar)].
Sumber:
http://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/09/makna-wukuf-arafah-ii.html□□□