Sunday, June 19, 2022

Mengenal Tokoh Pembaharuan Muslim Abad Moderen


 

MENGENAL TOKOH-TOKOH

 PEMBAHARUAN MUSLIM ABAD MODERN

 

PENGANTAR

           Modernisasi dan Pembaharuan Islam dalam sejarah peradaban Islam abad ke-18 menempati posisi tersendiri. Pada waktu itu Ummat Islam mulai dipandang sebagai cikal bakal dari kebangkitan kembali peradaban moderennya. Di bawah dominasi budaya Barat masa ini yang ditandai dengan adanya kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, yang dipandang mampu mengubah hal-hal fundamental dalam kehidupan manusia. [1]

           Hal utama yang mengakibatkan transformasi sosial-kultural adalah ditemukannya sains modern. Hadirnya sains moderen telah menimbulkan pergeseran yang luar biasa, bukan hanya bidang-bidang ekonomi, politik dan sosio-kultural, tapi juga dalam filsafat dan agama. Pergeseran tersebut telah melanda dunia Islam. Berhadapan dengan arus rasionalitas ilmiah modern dan permasalahan-permasalahan yang bersifat universal, berbagai khazanah pemikiran Islam tampak telah menjadi benda-benda arkeologis yang menanti saatnya untuk digali dan dibangun kembali (reactualization).

           Memasuki dan ikut serta dalam abad modern bukanlah persoalan pilihan, melainkan suatu keharusan sejarah kemanusian (historical thought). [2] Kenyataan tersebut menuntut ummat Islam untuk berusaha melakukan pembaharuan, penyegaran, atau pemurnian pemahaman ummat kepada agamanya. Usaha seperti itu adalah sesuatu yang telah menyatu dengan sistem Islam dalam sejarah. Gerakan pembaharuan Islam adalah sebuah kenyataan historis, sebagai cermin implementasi respons positif terhadap modernisme, untuk kemudian melahirkan dinamika dan gerakan pemikiran yang beragam dan tentu saja secara diametral masing-masing berbeda.

           Sesungguhnya Islam sebagai gerakan kultural menolak pandangan pandangan kuno yang statis dan bahkan sangat mendorong pandangan-pandangan dinamis. [3] Gerakan ini, pembaruan pemikiran Islam, ditandai dengan pemikiran-pemikiran yang kritis atas modernisme. Sementara Mereka berupaya mencari alternatif-alternatif non-Barat, untuk membangun Islam. Kebangkitan merupakan isu yang tumbuh dari sikap kritis itu, dan mencangkup di dalamnya gerakan-gerakan intelektual, sosial politik yang cukup beragam dalam pandangan neotradisionalisme, neorevivalisme, neo-fundamentalisme, dan neo-modernisme. [4]

           Gerakan kebangkitan Islam secara historis, jika dilihat kebelakang mulai pada penghujung abad 18 terjadi ledakan paling besar dan tipikal di Arabia sendiri, yaitu yang dikenal dengan Wahabi. [5] Muhammad ibn Abdul Wahab, ‘murid” Ibn Taymiyah, bergerak untuk purifikasi demi kemajuan dan kebangkitan Islam dengan jalan menelusuri sumber-sumber dari naqli - pertimbangan akal sehat/objektif. [6] Gerakan ini pada intinya diarahkan untuk menanggulangi proses-proses degradasi Islam dalam bidang moral dan politik akibat runtuhnya peradaban muslim di akhir abad pertengahan. Gerakan ini sesunguhnya bisa dikatakan muncul sebagai pendobrakan terhadap kemapanan dan finalitas tradisi pemikiran tradisional/ortodoks yang telah mengalami konservatisasi. [7]

           Sebagaimana sering didengar, ada dua arus besar dalam pemikiran Islam yang hendak dilakukan oleh para pembaharu, yaitu Arabisasi dan modernisasi terkait dengan warisan Islam yang dimiliki oleh dunia Arab. ‘Kelompok pertama’ yang menghendaki Arabisasi didorong oleh alasan yang menyatakan bahwa selama kejayaan Islam bahasa Arab dan budaya Arab adalah merupakan hal nyata digunakan untuk kemajuan bersama, bukan merupakan isapan jempol memang ketika imperium Islam dibangun atas budaya-budaya Arab, khususnya suku Quraisy, walapun dalam sebuah hadis dinyatakan al-Qur’an ini bukan untuk Quraisy namun untuk sekalian umat. Tokoh yang sering dijadikan acuan dalam gerakan ini adalah Kawakibi, yang disebut oleh Azra sebagai seorang romantisime sejati. [8] ‘Kelompok yang kedua’ yaitu yang cenderung ke modernisasi dan memang agak sekularisasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Kemal Ataturk dalam negara Turki, yang mencoba membangun negaranya dengan paradigma Barat, ia mengembalikan agama sebagai urusan privat dan negara tidak mencampurinya. ‘Kelompok berikutnya’ pembaharuan yang satu sisi mencoba untuk mempertahankan warisan islam, disisi lain juga berupaya melakukan pembaharuan terhadap pemikiran islam.

TOKOH-TOKOH PEMBAHARUAN

DAN PANDANGANNYA

S

ebagai antitesis dari keadaan ummat islam yang disebutkan dalam “pengantar” tersebut, melahirkan tokoh-tokoh pembaharuan terhadap pemikiran Islam yang terakhir mencoba untuk mempertahankan “warisan islam”, juga berupaya melakukan “pembaharuan terhadap pemikiran islam”. Tokoh-tokoh yang disebutkan dan akan di bahas disini adalah: 1. Jamaluddin Al-Afghani, 2. Muhammad Abduh dan,  3. Rasyid Ridha.

1. Jamaluddin Al-Afghani [9]

           Jamaluddin Al-Afghani hidup di abad ke-19 (lahir di Kunar, Afghanistan 1838 - meninggal 9 Maret 1897, di Istanbul, Turki). Ia dikenal sebagai penggerak Modernisme, Pan Islamime, Neo-Sufisme, Islamisme. Ketika itu negara-negara yang berpemerintahan Muslim atau yang berpenduduk mayoritas Muslim dibawah pendudukan negara asing yang dimulai dari abad ke-16, dalam case Al-Afghani adalah Inggris. Inggris ketika itu menyebutkan diri bangsanya sebagai negara imperium “Britania Raya”.  Penulis blog ini ketika masih umur belasan tahun masih menemukan sebuah mesin ketik milik ayah dengan menyebutkan “Made in British Empire”. Semboyan bangsa Inggris menyebutkan: “Dimana ada matahari terbit, disitu ada Inggris Raya”. Inggris menduduki di banyak negara-negara jajahan di dunia, sebagian besarnya adalah negara-negara berpenduduk Muslim. Hal inilah yang membangkitkan semangat Al-Afghani agar Islam bangkit dan terlepas dari penjajahan Barat yang “kebetulan” non Muslim. Demikian sejarah telah mencatatnya.

           Dalam buku harian Al-Afghani mencatat sebagai berikut: “Hari ini, agama Islam seperti kapal. Kaptennya Muhammad saw. Semua penumpang kapal suci ini adalah kaum Muslimin. Kapal kebahagiaan ini terjebak dalam badai dan terancam tenggelam. Orang-orang “non-Muslim” dan “Pemikir Bebas” dari setiap sisi telah menusuk kapal ini.”

           Namun demikian Al-Afghani tidak benci dengan membabibuta terhadap Barat, tapi sifat kolonialisme penjajahan yang menindas penduduk setempat dan menjarah kekayaan alam yang tidak disukainya. Ini adalah wajar sebagai rasa kemanusiaan yang universal, siapa pun dia. Hal ini dapat dilihat dari adanya suatu  cerita yang disampaikan tentang Afghani yang hijrah ke Perancis, dan setelah kembalinya ke Mesir, Afghani pun ditanya oleh temannya, “Apa yang kau peroleh dari sana wahai Afghani?” Dan kemudian dijawabnya, “Sesungguhnya aku banyak menemukan Islam disana namun sedikit Muslim”.

           Jamaludin Al-Afghani adalah seorang arsitek dari kebangkitan intelektual Islam modern, dan seorang pemikir anti-penjajahan. Yang bernama lengkap Sayyid Jamaluddin Al-Afghani ini tercatat mengambil jalan tengah, yaitu antara tradisionalisme dan modernisme. Sama halnya dianggap, di Timur dan Barat, sebagai pembela Islam, dan sumber utama dari revolusi Islam di abad ke-19. Dia dihormati di dunia Arab dan negara-negara Muslim lainnya sebagai Hakīm al-Sharq (orang bijak dari Timur)

2. Muhammad Abduh

           Muhammad Abduh yang memiliki nama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah merupakan salah seorang tokoh pemikir, pembaharu Islam pada awal abad ke-19. Beliau lahir pada tahun 1266 H/1849 M disebuah distrik bernama Sibsyir kota Mahallah Nasr di provinsi al-Bahirah, Mesir dari rahim seorang wanita Arab yang nasabnya sampai pada Umar ibn Khathab, Khalifah kedua sesudah Abu Bakar mangkat. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khairullah, merupakan seorang petani dan mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya bernama Junaidah Uthman, seorang wanita keturunan Arab.

           Sebagaimana umumnya keluarga Islam, pendidikan agama pertama didapat dari lingkungan keluarga. Pendidikan pertama ditempa dari ayahnya, Abduh Khair Allah, yang pertama menyentuh Abduh di ranah pendidikan. Keluarganya sangat memotivasi Abduh untuk menuntut ilmu terutama ayahnya. Guru pertama Abduh adalah ayahnya, ia belajar Al Qur’an dari ayahnya.

           Kondisi umat Islam pada masa hidup Abduh akhir abad 18 dan awal abad 19 adalah bagian dari rentetan sejarah kemunduran umat Islam. Dunia Islam mengalami mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Dunia Islam terkukung oleh penjajah. Wilayah Islam yang sebelumnya berada dalam naungan Khilafah Utsmaniyah menjadi sasaran jajahan oleh bangsa-bangsa Eropa. Inggris menduduki Mesir, Sudan, Pakistan dan Bangladesh (India). Perancis menduduki Aljazair, Tunisia, dan Maroko. Italia mendapat bagian Libia. Di samping kekalahan politik dan militer, umat Islam juga mengalami stagnasi pemikiran (intelektualitas). Situasinya sarat perbedaan jika dibandingkan dengan kemajuan Eropa yang tersentuh renaisance. Kebangkitan Eropa disertai dengan ekspansi mereka ke berbagai wilayah Islam. Lebih dari itu, kebangkitan Eropa juga menyebabkan terpilahnya Umat Islam menjadi dua kelompok.

           Pertama, kelompok konservatif yang terwakili oleh para pembesar ulama Azhar. Mereka sangat menolak segala macam bentuk perubahan. Orientasi pandangan mereka hanya mengacu pada kejayaan Islam masa klasik. Acuannya selalu berbalik ke sebuah zaman klasik. Menilai masa itu dengan semangat kulturisme atau fanatik tanpa boleh disentuh oleh pembaharuan-pembaharuan.

           Kedua, golongan pembaharu atau kelompok terpelajar dari Barat yang mulai mengenal seperangkat metode moderen. Mereka meyakini bahwa melihat sejarah keemasan Islam dengan semangat pengkultusan adalah usaha bodoh yang hanya memasung kebebasan berpikir. Singkat cerita, kelompok kedua ini, memandang cara pandang kelompok pertama seperti ini mustahil akan mencapai kemajuan. Kondisi keterpilahan umat Islam pada masa ini secara cerdas hendak didamaikan oleh Abduh. Ia menempatkan diri layaknya tali penyambung anta dua kubu yang berseberangan sudut pandang itu. Sedikit demi sedikit, ia membuka kayu pemasung yang mengkungkung pemikiran kaum konservatif dan di waktu yang sama, ia pun tetap tak mau bertindak gegabah agar kemajuan Islam tak secara absolut meniru kemajuan Barat.

           Mulai dari sini, langkah pembaharuan Abduh dimulai. Ia tak hanya merombak hal-hal pragmatis, namun lebih dalam lagi, cara keberagaman (fiqh) dan keyakinan (tauhid) mendapatkan suntikan infusi. Pada masa ini - masa kolonialisme negara-negara Eropa terhadap Asia dan Afrika - ide pembaharuan ini tak hanya terjadi di Mesir saja yang diwakili Abduh. Di Saudi misalnya, ide pembaharuan mulai digalakkan oleh seorang pengikut Ibn Taimiyah, Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787) yang merupakan cikal bakal tumbuh kembangnya paham Wahabi di sana. Namun bedanya, pembaharuan yang dibawa Muhammad ibn Abdul Wahab berkutat pada pembersihan dan pemurnian ajaran-ajaran Islam dari khurafat dan bid’ah dan sikap skeptisismenya dalam menerima kemajuan bangsa Eropa. Sedangkan Abduh lebih jauh lagi, tantangan di Mesir adalah bagaimana umat Islam bisa bersatu mengusir kolonialisme bersama-sama dari tanah air mereka dan membangkit spirit kemajuan dengan prinsip “mengambil apa yang patut dari Barat dan menampik apa yang tak selaras dengan konsep Islam”.

2. Rasyid Ridho

           Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, lahir di Qalmun, sebuah desa sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon pada 27 Jumadil Awal 1282 H. Beliau adalah bangsawan Arab yang memiliki garis keturunan langsung dari Sayyidina Husen, putera Ali bin Abu Thalib dan Fatimah puteri Rasulullah Saw. [10]

           Gelar Sayyid pada awal namanya merupakan gelar yang biasa diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut. Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama sehingga mereka dikenal juga dengan sebutan Syaikh.

           Setelah melalui masa pengasuhan dalam lingkungan keluarga sendiri, maka pada usianya yang ketujuh tahun, Muhammad Rasyid Rida dimasukkan orang tuanya kesebuah lembaga pendidikan dasar yang disebut Kuttab yang ada di desanya. Disinilah dia mulai membaca Al-Qur’an, menulis dan berhitung. [11] Beberapa tahun kemudian, setelah menamatkan pelajarannya di lembaga pendidikan dasar itu. Muhammad Rasyid Rida meneruskan pelajarannya di Madrasah Ibtidaiyah al-Rusdiyah di kota Tripoli (Libya, Afrika Utara). Di madrasah tersebut di ajarkan nahwu-sharaf (tatabahasa Arab), berhitung, geografi, akidah dan ibadah. Semua mata pelajaran tersebut disampaikan kepada para siswa dalam bahasa Turki. Hal itu tidak mengherankan karena tujuan pendidikan dan pengajaran pada madrasah itu melahirkan tenaga-tenaga kerja yang menjadi pegawai kerajaan. Dia pun keluar dari madrasah itu setelah kurang lebih satu tahun lamanya belajar disana. [12] Pada tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di Madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan pengetahuan-pengetahuan agama, juga pengetahuan-pengetahuan modern. [13] Disamping itu, Muhammad Rasyid Rida memperoleh tambahan ilmu dan semangat keagamaan melalui membaca kitab-kitab yang ditulis al-Ghazali, antara lain Ihya’ Ulum al-Din, kitab itu sangat mempengaruhi jiwa dan kehidupannya, terutama sikap patuh pada hukum dan baktinya terhadap agama.[14]

           Muhammad Rasyid Rida sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu pula berjuang selama hayatnya, telah menutup lembaran hidupnya pada tanggal 23 Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. Muhammad Rasyid Rida wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai dengan senyuman.

DASAR PEMIKIRAN

DAN PEMBAHARUANNYA

1. Pemikiran dan Pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani [15]

           Al-Afghani mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Diantara adalah bahasa Arab yang meliputi nahwu, sharaf, ilmu bayan dan ma’aninya; ilmu syari’ah yang meliputi tafsir, hadits dan musthalahnya, fiqh dan ushulnya; ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu kalam, ilmu tasawwuf, filsafat, logika, etika dan politik, fisika dan ilmu pasti, yang mencakup matematika, geometri, aljabar, ilmu kedokteran dan anatomi.

           Dengan bekal penguasaan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin, akhirnya muncullah sosok Jamaluddin al-Afghani dengan karakternya yang khas. Seperti ditulis oleh Hourani, Afghani digambarkan sebagai seorang yang sangat setia dengan keyakinan-keyakinannya dan tegar dalam menegakkan keyakinannya tersebut, bersikap zuhud tetapi cepat marah apabila disinggung kehormatan diri dan agamanya.

           Setelah membekali dirinya dengan seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis), Al-Afghani mempersiapkan misinya membangkitkan Islam, yaitu:

1. Kembali kepada ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Islam adalah agama komprehensif. Ia tidak hanya menyangkut ibadah dan hukum (fikih), tetapi juga menyangkut pemerintahan dan sosial. Hati mesti disucikan, budi pekerti luhur dihidupkan kembali dan kesediaan berkorban untuk kepentingan umat. Dengan berpegang teguh kepada ajaran dasar umat Islam akan dapat bergerak mencapai kemajuan.

2. Dalam menghadapi perkembangan zaman, umat Islam harus tetap membuka lebar pintu ijtihad. Ijtihad merupakan satu unsur yang penting dalam ajaran Islam. Melalui ijtihad masalah-masalah yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits secara rinci dapat dipecahkan. Dengan demikian ijtihad merupakan kunci dinamika Islam.

3. Corak pemerintahan otokrasi harus dirubah dengan corak pemerintahan demokrasi. Kepala Negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang mempunyai banyak pengalaman. Islam dalam pendapat al-Afghani menghendaki pemerintahan Republik yang di dalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala Negara untuk tunduk kepada undang-undang. Karena itu Al-Afghani menghendaki umat Islam bebas dari pemerintahan kolonial.

4. Persatuan umat Islam harus diwujudkan kembali. Dengan bersatu dan mengadakan kerjasama yang eratlah umat Islam akan dapat kembali memperoleh kemajuan. Dalam pandangan Afghani kekuatan dan kelanjutan hidup umat Islam bergantung kepada kekuatan solidaritas Islam. Persatuan dan kerjasama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam.

5. Pemikirannya yang dianggap sangat berbahaya oleh dunia Barat adalah doktrin politik Pan-Islamisme. Pan-Islamisme yang dimaksud al-Afghani bukanlah meletakkan segala kekuatan di tangan satu orang khalifah, sebab ini dianggap tidak mungkin. Yang diharapkan adalah agar umat Islam tunduk kepada Al-Qur’an, menjadikan agama sebagai pemersatu, tiap Negara Islam berusaha dengan sekuat tenaga untuk turut membela Negara Islam yang lain, karena wujud tiap Negara Islam sangat bergantung kepada wujud Negara Islam yang lain. Rasa solidaritas, rasa seagama dan rasa seperjuangan yang ditanamkan oleh al-Afghani dianggap sebagai ide yang paling berbahaya karena mampu menggoyahkan kedudukan Inggris sebagai penguasa di dunia Islam.             

6. Islam adalah agama yang selaras dengan prinsip-prinsip penalaran ilmiah yang terdapat di dalam sains. Islam bukanlah agama yang bertentangan dengan akal dan ilmu pengetahuan. Beliau menyatakan bahwa tidak satu pun prinsip-prinsip dasar Islam yang tidak cocok dengan akal dan ilmu pengetahuan. Dalam satu pidatonya beliau mempermalukan Ernest Renan yang menuduh Islam bertentangan dengan akal dan membatasi kebebasan berpikir, dan klaim bahwa bangsa Arab tidak mampu berpikir filosofis yang runut.    

7. Menurut beliau Persatuan Islam (Jami'ah Islamiyah) tidak bertentangan dengan Persatuan Nasional Kebangsaan (Jami'ah Qaumiyah). Kedua unsur tersebut saling menopang untuk kemerdekaan dan kemandirian negara dari pihak asing. Persatuan agama sehingga semua umat Islam saling membantu sesama saudaranya tanpa terpecah-pecah oleh batas territorial. Persatuan nasional sehingga anak bangsa bersatu mengusir pengaruh dan campur tangan asing dari daerahnya. 'Sesungguhnya Mesir milik orang-orang Mesir' begitu bunyi salah satu khutbah beliau. Beliau berhasil melepaskan pemahaman nasionalis yang sempit kepada sesuatu yang lebih luas daripada itu. Beliau menggandengkan Persatuan Islam dengan pendirian Pemerintah Nasional di dalam lingkup keislaman yang luas.

 

Analisis Korelasi Konteks dengan Pemikiran Al-Afghani

           Dalam setiap kehidupan seorang pemikir dan pejuang, kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya sepanjang sejarah hidupnya, memiliki hubungan yang sangat kuat dalam pembentukan cara pandang dan sikapnya. Oleh karena itu dapatlah kita katakan bahwa kehidupan, mazhab dan cara pandangnya adalah perwujudan keadaan zaman yang dia lalui, sebagai bentuk jawaban dari solusi perkembangan masyarakat dan juga tantangan dan motor pendorong perkembangan masyarakat tersebut. Namun di sisi lain bisa juga menjadi faktor penghambat kemajuan itu sendiri.

           Jamaluddin al-Afghani, dididik di keluarga dengan ajaran Islam yang kental dan sudah merasakan pahitnya penindasan dari pemerintah tirani sejak belia. Hal ini menjadikan beliau sosok yang sangat kuat dalam membela agamanya sekaligus sangat vokal menentang setiap pemerintah yang zalim. Dalam perjalanan hidupnya, beliau selalu berusaha menjelaskan hakikat agama Islam dan mengajak kepada persatuan umat Islam untuk menentang penjajah dan membebaskan diri dari pemerintah yang absolut.     

           Kehidupan sosial yang jauh dari nilai-nilai Islam dan persatuan menyadarkan beliau akan urgensi kembali kepada ajaran Islam yang murni. Lepas dari khurafat, takhyul dan bid'ah yang menyebabkan umat Islam mundur dan terpecah-pecah. Beliau mengajak kepada saling pengertian dan saling menerima antar mazhab, dan melepaskan diri dari fanatik mazhab yang sempit.

           Penindasan ekonomi oleh pemerintah yang sewenang-wenang dan intervensi asing ke dalam ekonomi negara mendorong Afghani menyuarakan kemandirian ekonomi masyarakat. Di sisi lain beliau menekankan bahwa Islam adalah agama yang mengajak kepada kemajuan, menekankan etos kerja dan keharusan mengambil sebab-sebab kemajuan. Islam bukan agama yang mangabaikan dunia dan meninggalkannya di tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab. Islam juga bukan agama yang berpasrah dan menanti nasib.

           Untuk mengganti pemerintah otokrasi yang absolut Al-Afghani menginginkan model demokrasi. Dimana kebebasan politik dan bersuara dimiliki oleh setiap rakyat dan pemerintah dibatasi dan diatur oleh undang-undang. Karena hanya dengan inilah kemajuan itu bisa diwujudkan dengan melibatkan setiap elemen masyarakat untuk mencapainya, bukan oleh sekelompok orang saja.

           Penjajahan dan intervensi Barat khususnya Inggris menumbuhkan sifat anti Barat di dalam diri Afghani. Namun di sisi lain Afghani menyadari bahwa kemajuan Barat adalah berkat ilmu pengetahuan. Sedangkan perhatian kepada ilmu pengetahuan sangat sedikit ditemukan di negara-negara Islam. Disinilah letak kelemahan Islam. Afghani selalu menggugah umat Islam untuk belajar dari pengalaman Barat. Beliau mengkritik ulama yang memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu Barat. Karena akibat alasan ini ada ulama yang melarang mengajarkan beberapa jenis ilmu Barat di sekolah-sekolah. Artinya kebenciannya kepada Barat tidak menghalanginya untuk menyadari sebab-sebab kemajuan Barat. Kemudian tidak pula menutup matanya dari bahaya Barat hingga menerima apa saja yang berasal dari Barat.

           Keadaan umat yang terpecah-pecah, asik berdebat satu sama lainnya hingga melupakan persaudaraan sesama muslim, mengabaikan ilmu pengetahuan dan melupakan penjajahan Barat yang semakin intens menjadikan hal-hal ini focus dakwah dari al-Afghani. Afghani selalu menyeru kepada penyadaran akan pentingnya penyatuan persepsi dalam membangkitkan peradaban Islam. Beliau mencita-citakan persatuan Islam di dalam kasih sayang dan persaudaraan, sepakat dalam kata dan langkah, sehingga membangkitkan produksi dan ilmu pengetahuan di bawah panji kemerdekaan nasional dan persatuan Islam.

           Jamaluddin al- Afghani adalah salah seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad ke-19 yang agak berbeda dari kedua pemimpin sebelum dia, Muhammad bin Abdul Wahab (abad-18) dan Muhammad bin Ali al-Sanusi (awal abad-19). Beliau adalah seorang arsitek dari kebangkitan intelektual Islam modern, dan seorang pemikir anti-imperialis. Jamaluddin al-Afghani lahir di kota As'adabad, Afghanistan tahun 1839 dan meninggal dunia di Istanbul di tahun 1897.             

           Dalam kesempatannya Afghani mengunjungi Moskow (1890). Ia tinggal selama empat tahun di St. Petersburgh. Di sini pengaruh Afghani segera menjalar ke lingkungan intelektual yang dipercaya oleh Tsar Rusia. Salah satu hasil dakwah Afghani kepada mereka adalah keluarnya izin pencetakan Al-Qur’an ke dalam bahasa Rusia. Dan akhirnya memenuhi undangan Sultan Abdul Hamid di Turki, sampai dia meninggal di Istanbul sebagai tahanan politik pada tahun 1897.

2. Pemikiran dan Pembaharuan Muhammad Abduh

           Gerakan pembaharuan Islam yang dilakukan oleh Muhammad Abduh tidak terlepas dari karekter dan wataknya yang cinta pada ilmu pengetahuan. Gibb dalam Mukti Ali menyebutkan salah satu karya terkenalnya, Modern Trends in Islam, menyebutkan empat agenda pembaharuan Muhammad Abduh. Keempat agenda itu adalah pemurnian Islam dari berbagai pengaruh ajaran dan amalan yang tidak benar. [16] Yaitu:

a. Purifikasi

Purifikasi atau pemurnian ajaran Islam telah mendapat tekanan serius dari Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid`ah dan khurafah yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslim. Kaum muslim tak perlu mempercayai adanyah karamah yang dimiliki para wali atau kemampuan mereka sebagai perantara (wasilah) kepada Allah. Dalam pandangan Muhmmad Abduh, seorang muslim diwajibkan mengindarkan diri dari perbuatan dari perbuatan Syirik (lihat QS.6:79). [17]

b. Reformasi

Reformasi pendidikan tinggi Islam difokuskan Muahammad Abduh pada universitas almamaternya, Al-Azhar. Muhammad Abduh menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sain-sain modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebaba-sebab kemajuan yang telah mereka capai. [18] Usaha awal reformasi Muhammad Abduh adalah memperjuangan mata kuliah filsafat agar diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme Islam yang padam diharapkan dapat dihiduipkan kembali. [19]

c. Pembelaan Islam

Muhammad Abduh lewat Risalah Al-Tauhidnya tetap mempertahankan potret diri Islam. Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa dia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh terlihat tidak pernah menaruh perhatian terhadap paham-paham filsafat anti agama yang marak di Eropa. Dia lebih tertarik memperhatikan serangan-serangan terhadap agama Islam dari sudut keilmuan. Muhammad Abduh berusaha mempertahankan potret Islam dengan menegaskan bahwa jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hasil yang dicapainya otomatis akan selaras dengan kebenaran illahi yang dipelajari melalui agama.

d. Reformulasi

Agenda reformulasi tersebut dilasanakan Muhmmad Abduh dengan cara membuka kembali pintu ijtihad. Menurutnya, kemunduran kaum muslim disebabkan oleh dua faktor yaitu ‘internal’ dan ‘eksternal’. Muhammad Abduh dengan refomulasinya menegaskan bahwa (pada ajaran) Islam (sebenarnya mengandung unsur-unsur yang updated ini) telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya. Manusia tercipta dalam keadaan dalam keadaan tidak terkekang (tidak membuat mandek, melainkan updated yang membuat maju).

3. Pemikiran dan Pembaharuan Muhammad Rasyid

           Muhammad Rasyid Ridha mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuannya sejak ia masih berada di Suriah. [20] Tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari dari pihak kerajaan Utsmani. [21] Kemudian ia pindah ke Mesir dan tiba di sana pada bulan januari 1898. [22]

1. Pembaharuan Dalam Bidang Teologi

Masalah aqidah di zaman hidupnya Rasyid Ridha masih belum (dipengarui) tercemar unsur-unsur tradisi maupun pemikiran filosof. Dalam masalah teologi, Rasyid Ridha banyak dipengaruhi oleh pemikiran para tokoh “gerakan salafiyah”. [23] Dalam hal ini, ada beberapa konsep pembaharuan yang dikemukakannya, yaitu masalah “akal dan wahyu”, “sifat Tuhan”, “perbuatan manusia (af’al al-Ibad)” dan “konsep iman”.

a. Akal dan Wahyu

Menurut Rasyid Ridha, dalam masalah ketuhanan menghendaki agar urusan keyakinan mengikuti petunjuk dari wahyu. Sungguhpun demikian, akal tetap diperlukan untuk memberikan penjelasan dan argumentasi terutama kepada mereka yang masih ragu-ragu. [24]

b. Sifat Tuhan

Dalam menilai sifat Tuhan, di kalangan pakar teologi Islam terjadi perbedaan pendapat yang sangat signifikan, terutama dari kalangan Mu’tazilah. [25] dan Asy’ariyah. [26] Mengenai masalah ini, Rasyid Ridha berpandangan sebagaimana pandangan kaum Salaf, menerima adanya sifat-sifat Tuhan seperti yang dinyatakan oleh nash, tanpa memberikan tafsiran maupun takwil. [27]

c. Konsep Iman

Rasyid Ridha mempunyai dasar pemikiran bahwa kemunduran umat Islam disebabkan “keyakinan dan amal perbuatan mereka yang telah menyimpang dari ajaran Islam”. [28] Oleh karena itu, upaya pembahasan yang dilaksanakannya dititik beratkan kepada usaha untuk mengembalikan keberagamaan ummat kepada ajaran Islam yang sebenarnya.

2. Dalam Bidang Pendidikan

           Di antara aktivitas beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga pendidikan yang bernama “al-Dakwah Wal Irsyad” pada tahun 1912 di Kairo. Mula-mula beliau mendirikan madrasah tersebut di Konstantinopel (Turki Uthmani) terutama meminta bantuan pemerintah setempat akan tetapi gagal, karena adanya keluhan-keluhan dari negeri-negeri Islam, di antaranya Indonesia, tentang aktivitas misi Kristen di negeri-negeri mereka. Untuk mengimbangi sekolah tersebut dipandang perlu mengadakan sekolah misi Islam. [29]

           Muhammad Rasyid Ridha juga merasa perlu dilaksanakannya ide pembaharuan dalam bidang pendidikan. untuk itu ia melihat perlu ditambahkan ke dalam kurikulum mata-mata pelajaran berikut: teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan keluarga), yaitu disamping fiqh, tafsir, hadits dan lain-lain yang biasa diberikan di Madrasah-madrasah tradisional. [30]

3. Pandangan terhadap Ijtihad

           Rasyid Ridha dalam beristinbath (mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi) terlebih dahulu melihat nash, bila tidak ditemukan di dalam nash, ia mencari pendapat sahabat, bila terdapat pertentangan ia memilih pendapat yang paling dekat dengan dengan Al-Qur’an dan Sunnah dan bila tidak ditemukan, ia berijtihad atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah.

           Dalam hal ini, Rasyid Ridha melihat perlu diadakah tafsir modern dari Al-Qur’an yaitu tafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya, Muhammad Abduh. Ia menganjurkan kepada Muhammad Abduh supaya menulis tafsir modern. [31]

PENUTUP       

         Salah satu karya Abduh dan Ridha yang terkenal ialah kitab tafsir Al-Manar. Tafsir Al-Manar pada dasarnya merupakam hasil karya 3 tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha yang mana dimuat secara berturut-turut dalam majalah al-Manar yang dipimpin oleh Ridha.

           Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang disampaikan di Universitas al-Azhar, yang disusun setelah ia wafat (tahun 1905) oleh Muhammad Rashid Ridha dengan judul “Tafsir al-Qur’an al-Hakim”. Namun kemudian, kitab ini lebih populer dengan “sebutan Tafsir al-Manar” yang pernah diterbitkan secara serial dan periodik.

           Al-Manar terbit pertama kali pada 22 Syawal 1315 H atau 17 Maret 1898 M, dilatarbelakangi oleh keinginan Rasyid Ridha untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial-budaya dan agama, sebulan setelah pertemuannya yang ketiga dengan Muhammad Abduh. Awalnya berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya, juga sampai ke Eropa dan Indonesia.

           Al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang banyak berbicara tentang sastrabudaya dan kemasyarakatan. Suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat Al-Qur'an pada segi-segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayatayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penekanan pada tujuan utama turunnya Al-Qur'an, yakni memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia, dan merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan kemajuan peradaban manusia.

           Menurut Quraish Shihab, baik Abduh maupun Ridha adalah perintis jalan menuju kesempurnaan, terutama dalam hal tafsir. Dimana tafsir al-Manar berusaha “menampilkan al-Qur'an dengan wajah yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan”.

           Selain melahirkan tafsir Al-Manar, Abduh dan Ridha juga aktif dalam “penerbitan jurnal” - media cetak tulis yang menyangkut pemikiran, berita, ajaran, pandangan, publikasi, dsb yang di tulis oleh orang yang ahli/berilmu, diantaranya ialah “jurnal Al-Urwatul Wutsqa”, sebuah jurnal yang di terbitkan oleh Abduh bersama Jamaluddin Al-Afghani di Paris.

           Al-Urwatul Wutsqa adalah sebuah jurnal anti penjajahan yang diterbitkannya di Paris. Al-Afghani mendapat sokongan seorang ulama Mesir, Muhammad Abduh. Keduanya bersamaan menerbitkan majalah Al-Urwatul Wutsqa di Paris pada tahun 1884 selama tujuh bulan dan mencapai 18 nomor. Publikasi ini bukan saja menggoncang dunia Islam, pun telah menimbulkan kegelisahan dunia Barat. Meskipun majalah ini pada akhirnya tidak mampu mempertahankan penerbitannya oleh bermacam-macam rintangan, nomor-nomor lama telah dicetak ulang berkali-kali. Di mana-mana, terutama untuk pasaran dunia Timur, majalah ini dibinasakan penguasa Inggris. Di Mesir dan India penerbitan ini dilarang untuk diedarkan. Akan tetapi, penerbitan ini terus saja beredar meski dengan jalan gelap. Di Indonesia sendiri majalah ini berhasil masuk tidak melalui pelabuhan besar. Ia berhasil masuk lewat kiriman gelap melalui pelabuhan kecil di pantai utara, antaranya pelabuhan Tuban. Jurnal ini kemudian menjadi barometer perlawanan imperialis Dunia Islam yang merekam komentar, opini, dan analisis bukan saja dari tokoh-tokoh Islam dunia, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan Barat.

           Demikianlah usaha-usaha kerja keras mereka yang membangkit kesadaran ummat bahwa islam bukan hanya sekedar rahmat untuk ummat saja, melain rahmat bagi seluruh manusia dan alam lingkungannya. Sebagaimana dicatat dalam sejarah kemajuan islam di abad tengah. [33] Usaha mereka patut kita hargai dan dijadikan suri teladan. Cita-citanya itu untuk memajukan kehidupan muslim dan non muslim di masa moderen ini yang patut diteruskan. □

 

 

Catatan Kaki:

[1] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina 1992), hlm. 452-453

[2] Ibid., hlm. 65

[3] Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pemikiran Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1986, hlm. 148

[4] Akbar S. Ahmed, Posmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 15

[5] Bahtiar Effendi dan Fahry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 245

[6] Harun Nasution, Pembaruan Pembaharuan Dalam Islam, (… hlm. 54

[7] Ibid., hlm. 20

[8] Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentaslime Sampai Posmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 43

[9] https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/12/jamaluddin-al-afghani-bapak-kebangkitan.html

[10] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 280.

 [11] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta:Qalam, 2002), cet. ke-1, hlm. 64.

[12] Ibid., hlm. 14.

[13] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 69; Sekolah ini didirikan dan dipimpin oleh ulam besar Syam ketika itu, yakni Syaikh Husain al-Jirr. Syaikh inilah yang mempunyai andil sangat besar terhadap pemikiran Muhammad Rasyid Rida, karena hubungan antara keduanya tidak terhenti walaupun kemudian sekolah di tutup oleh pemerintah Turki, Syaikh Husain al-Jarr juga memberikan kesempatan kepada Muhammad Rasyid Rida untuk menulis di beberapa surat kabar Tripoli, kesempatan ini kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manar. M. Quraish Shihab, hlm. 60-61.

[14] Muhammad Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Surabaya : al-Ikhlas, 1994), hlm. 83.

[15] Ibid., # 9

[16] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 365

[17] Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentaslime Sampai Posmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 265

[18] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 365

[19] Nurchalish Madjid, Ilsma Kemodern dan Keindonesiaan, hlm. 311

[20] Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembungan di Beirut, Rasyid Ridha mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan murid al-Afghani yang terdekat ini. Perjumpaanperjumpaan dan dialog ini meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. Rasyid Ridha mulai menjalankan ide-ide pembaharuan itu ketika masih berada di Suria. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, hlm. 70.

[21] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Ibid., hlm. 70.

[22] Karena merasa terikat dan tidak bebas dari tekanan Kerajaan, ia memutuskan untuk pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Ibid., hlm. 70.

[23] Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000), hlm. 18.

[24] Ibid., hlm. 23;

[25] Mu’tazilah beranggapan bahwa Maha melihat dan seterusnya, bukanlah sifat Tuhan tetapi zat Tuhan. Ibid., hlm. 32.

[26] Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Ibid., hlm. 33.

[27] Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah, Rasyid Ridha menghendaki pemahaman secara tekstual dengan mengikuti pendekatan yang dilakukan oleh kaum Salaf. Ia kurang sependapat dengan cara yang dilakukan Mutakallimin yang memberikan takwil terhadap sifat-sifat Allah secara dealiktika. Ibid., hlm. 37.

[28] Masalah iman dan kufur merupakan kontroversi yang muncul dalam pembahasan yang bersifat teologis yang berawal dari persoalam politik yang bergeser menjadi persoalan aqidah. Ibid., hlm. 43-45.

[29] Muhammad Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Surabaya : al-Ikhlas, 1994), hlm. 85.

[30] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, hlm. 71.

[31] Muhammad Abduh tidak sepaham dengannya dalam hal ini. Namun karena selalu didesak, Muhammad Abduh akhirnya setuju, untuk memberikan kuliah tafsir Al-Qur’an di al-Azhar. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Ibid., hlm. 70. 10 Kuliah-kuliah tafsir itu dimulai pada tahun 1899 dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh Muhammad Abduh dalam kuliahnya inilah yang kemudian dikenal dengan tafsir al-Manar. [32]

[32] Keterangan-keterangan yang disampaikan oleh Muhammad Abduh dalam kuliah tafsir itu ia catat dan seterusnya ia susun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya kepada Muhammad Abduh untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan, karangan itu ia siarkan dalam al-Manar.

33. Ahmad Faisal Marzuki, Mendirikan Salat Menegakkan Peradaban - Narasi Ibadah sebagai Pembentuk untuk Membangkitkan Peradaban Unggul, MCL Publisher. Kota Tanggerang Selatan, Bnaten 2022. □□

 

Daftar Pustaka

Akbar S. Ahmed, Posmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan, 1995

Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentaslime Sampai Posmodernisme, Jakarta: Paramadina, 1998

Bahtiar Effendi dan Fahry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, 1996

Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam

Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000.

Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pemikiran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Muhammad Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Surabaya : al-Ikhlas, 1994

Muhammad Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1994

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina 1992.

https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/12/jamaluddin-al-afghani-bapak-kebangkitan.html □□□

 

Sumber:

TOKOH PEMBAHARUAN MUSLIM ABAD MODEREN.pdf

http://eprints.uad.ac.id/6714/1/TOKOH%20PEMBAHARUAN%20MUSLIM%20ABAD%20MODERN.pdf

https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/12/jamaluddin-al-afghani-bapak-kebangkitan.html

Ahmad Faisal Marzuki, Mendirikan Salat Menegakkan Peradaban - Narasi Ibadah sebagai Pembentuk untuk Membangkitkan Peradaban Unggul, MCL Publisher. Kota Tanggerang Selatan, Bnaten 2022.  □□□□

Blog Archive