MENGENAL
TOKOH-TOKOH
PEMBAHARUAN MUSLIM ABAD MODERN
PENGANTAR
Modernisasi dan Pembaharuan Islam dalam
sejarah peradaban Islam abad ke-18 menempati posisi tersendiri. Pada waktu itu
Ummat Islam mulai dipandang sebagai cikal bakal dari kebangkitan kembali
peradaban moderennya. Di bawah dominasi budaya Barat masa ini yang ditandai
dengan adanya kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, yang dipandang
mampu mengubah hal-hal fundamental dalam kehidupan manusia. [1]
Hal utama yang mengakibatkan
transformasi sosial-kultural adalah ditemukannya sains modern. Hadirnya sains
moderen telah menimbulkan pergeseran yang luar biasa, bukan hanya bidang-bidang
ekonomi, politik dan sosio-kultural, tapi juga dalam filsafat dan agama.
Pergeseran tersebut telah melanda dunia Islam. Berhadapan dengan arus
rasionalitas ilmiah modern dan permasalahan-permasalahan yang bersifat
universal, berbagai khazanah pemikiran Islam tampak telah menjadi benda-benda
arkeologis yang menanti saatnya untuk digali dan dibangun kembali (reactualization).
Memasuki dan ikut serta dalam abad
modern bukanlah persoalan pilihan, melainkan suatu keharusan sejarah kemanusian
(historical thought). [2] Kenyataan
tersebut menuntut ummat Islam untuk berusaha melakukan pembaharuan, penyegaran,
atau pemurnian pemahaman ummat kepada agamanya. Usaha seperti itu adalah
sesuatu yang telah menyatu dengan sistem Islam dalam sejarah. Gerakan pembaharuan
Islam adalah sebuah kenyataan historis, sebagai cermin implementasi respons
positif terhadap modernisme, untuk kemudian melahirkan dinamika dan gerakan
pemikiran yang beragam dan tentu saja secara diametral masing-masing berbeda.
Sesungguhnya Islam sebagai gerakan
kultural menolak pandangan pandangan kuno yang statis dan bahkan sangat
mendorong pandangan-pandangan dinamis. [3] Gerakan ini, pembaruan pemikiran
Islam, ditandai dengan pemikiran-pemikiran yang kritis atas modernisme. Sementara
Mereka berupaya mencari alternatif-alternatif non-Barat, untuk membangun Islam.
Kebangkitan merupakan isu yang tumbuh dari sikap kritis itu, dan mencangkup di
dalamnya gerakan-gerakan intelektual, sosial politik yang cukup beragam dalam
pandangan neotradisionalisme, neorevivalisme, neo-fundamentalisme, dan neo-modernisme.
[4]
Gerakan kebangkitan Islam secara
historis, jika dilihat kebelakang mulai pada penghujung abad 18 terjadi ledakan
paling besar dan tipikal di Arabia sendiri, yaitu yang dikenal dengan Wahabi. [5]
Muhammad ibn Abdul Wahab, ‘murid” Ibn Taymiyah, bergerak untuk purifikasi demi
kemajuan dan kebangkitan Islam dengan jalan menelusuri sumber-sumber dari naqli - pertimbangan akal
sehat/objektif. [6] Gerakan ini pada intinya diarahkan untuk menanggulangi
proses-proses degradasi Islam dalam
bidang moral dan politik akibat runtuhnya peradaban muslim di akhir abad
pertengahan. Gerakan ini sesunguhnya bisa dikatakan muncul sebagai pendobrakan
terhadap kemapanan dan finalitas tradisi pemikiran tradisional/ortodoks yang
telah mengalami konservatisasi. [7]
Sebagaimana sering didengar, ada dua
arus besar dalam pemikiran Islam yang hendak dilakukan oleh para pembaharu,
yaitu Arabisasi dan modernisasi terkait dengan warisan Islam yang dimiliki oleh
dunia Arab. ‘Kelompok pertama’ yang menghendaki Arabisasi didorong oleh alasan
yang menyatakan bahwa selama kejayaan Islam bahasa Arab dan budaya Arab adalah
merupakan hal nyata digunakan untuk kemajuan bersama, bukan merupakan isapan
jempol memang ketika imperium Islam dibangun atas budaya-budaya Arab, khususnya
suku Quraisy, walapun dalam sebuah hadis dinyatakan al-Qur’an ini bukan untuk
Quraisy namun untuk sekalian umat. Tokoh yang sering dijadikan acuan dalam
gerakan ini adalah Kawakibi, yang disebut oleh Azra sebagai seorang romantisime
sejati. [8] ‘Kelompok yang kedua’ yaitu yang cenderung ke modernisasi dan
memang agak sekularisasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Kemal Ataturk dalam
negara Turki, yang mencoba membangun negaranya dengan paradigma Barat, ia
mengembalikan agama sebagai urusan privat dan negara tidak mencampurinya. ‘Kelompok
berikutnya’ pembaharuan yang satu sisi mencoba untuk mempertahankan warisan
islam, disisi lain juga berupaya melakukan pembaharuan terhadap pemikiran islam.
TOKOH-TOKOH
PEMBAHARUAN
DAN PANDANGANNYA
S |
ebagai antitesis dari keadaan ummat islam yang disebutkan dalam “pengantar” tersebut, melahirkan tokoh-tokoh pembaharuan terhadap pemikiran Islam yang terakhir mencoba untuk mempertahankan “warisan islam”, juga berupaya melakukan “pembaharuan terhadap pemikiran islam”. Tokoh-tokoh yang disebutkan dan akan di bahas disini adalah: 1. Jamaluddin Al-Afghani, 2. Muhammad Abduh dan, 3. Rasyid Ridha.
1. Jamaluddin Al-Afghani [9]
Jamaluddin
Al-Afghani hidup di abad ke-19 (lahir di Kunar, Afghanistan 1838 - meninggal 9
Maret 1897, di Istanbul, Turki). Ia dikenal sebagai penggerak Modernisme, Pan
Islamime, Neo-Sufisme, Islamisme. Ketika itu negara-negara yang berpemerintahan
Muslim atau yang berpenduduk mayoritas Muslim dibawah pendudukan negara asing
yang dimulai dari abad ke-16, dalam case
Al-Afghani adalah Inggris. Inggris ketika itu menyebutkan diri bangsanya
sebagai negara imperium “Britania Raya”.
Penulis blog ini ketika masih umur belasan tahun masih menemukan sebuah
mesin ketik milik ayah dengan menyebutkan “Made in British Empire”. Semboyan
bangsa Inggris menyebutkan: “Dimana ada matahari terbit, disitu ada Inggris
Raya”. Inggris menduduki di banyak negara-negara jajahan di dunia, sebagian
besarnya adalah negara-negara berpenduduk Muslim. Hal inilah yang membangkitkan
semangat Al-Afghani agar Islam bangkit dan terlepas dari penjajahan Barat yang
“kebetulan” non Muslim. Demikian sejarah telah mencatatnya.
Dalam
buku harian Al-Afghani mencatat sebagai berikut: “Hari ini, agama Islam seperti kapal. Kaptennya Muhammad saw.
Semua penumpang kapal suci ini adalah kaum Muslimin. Kapal kebahagiaan ini
terjebak dalam badai dan terancam tenggelam. Orang-orang “non-Muslim” dan “Pemikir
Bebas” dari setiap sisi telah menusuk kapal ini.”
Namun demikian Al-Afghani tidak benci
dengan membabibuta terhadap Barat, tapi sifat kolonialisme penjajahan yang
menindas penduduk setempat dan menjarah kekayaan alam yang tidak disukainya.
Ini adalah wajar sebagai rasa kemanusiaan yang universal, siapa pun dia. Hal
ini dapat dilihat dari adanya suatu cerita yang disampaikan tentang Afghani yang
hijrah ke Perancis, dan setelah kembalinya ke Mesir, Afghani pun ditanya oleh
temannya, “Apa yang kau peroleh dari sana wahai Afghani?” Dan kemudian
dijawabnya, “Sesungguhnya aku banyak menemukan Islam disana namun sedikit
Muslim”.
Jamaludin Al-Afghani adalah seorang
arsitek dari kebangkitan intelektual Islam modern, dan seorang pemikir
anti-penjajahan. Yang bernama lengkap Sayyid Jamaluddin Al-Afghani ini tercatat
mengambil jalan tengah, yaitu antara tradisionalisme dan modernisme. Sama
halnya dianggap, di Timur dan Barat, sebagai pembela Islam, dan sumber utama
dari revolusi Islam di abad ke-19. Dia dihormati di dunia Arab dan
negara-negara Muslim lainnya sebagai Hakīm
al-Sharq (orang bijak dari Timur)
2. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh yang memiliki nama
lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah merupakan salah seorang tokoh
pemikir, pembaharu Islam pada awal abad ke-19. Beliau lahir pada tahun 1266
H/1849 M disebuah distrik bernama Sibsyir kota Mahallah Nasr di provinsi al-Bahirah,
Mesir dari rahim seorang wanita Arab yang nasabnya sampai pada Umar ibn
Khathab, Khalifah kedua sesudah Abu Bakar mangkat. Ayahnya bernama Abduh bin
Hasan Khairullah, merupakan seorang petani dan mempunyai silsilah keturunan
dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya bernama Junaidah Uthman, seorang wanita
keturunan Arab.
Sebagaimana umumnya keluarga Islam,
pendidikan agama pertama didapat dari lingkungan keluarga. Pendidikan pertama
ditempa dari ayahnya, Abduh Khair Allah, yang pertama menyentuh Abduh di ranah
pendidikan. Keluarganya sangat memotivasi Abduh untuk menuntut ilmu terutama
ayahnya. Guru pertama Abduh adalah ayahnya, ia belajar Al Qur’an dari ayahnya.
Kondisi umat Islam pada masa hidup
Abduh akhir abad 18 dan awal abad 19 adalah bagian dari rentetan sejarah
kemunduran umat Islam. Dunia Islam mengalami mengalami kemunduran yang sangat
memprihatinkan. Dunia Islam terkukung oleh penjajah. Wilayah Islam yang
sebelumnya berada dalam naungan Khilafah Utsmaniyah menjadi sasaran jajahan
oleh bangsa-bangsa Eropa. Inggris menduduki Mesir, Sudan, Pakistan dan
Bangladesh (India). Perancis menduduki Aljazair, Tunisia, dan Maroko. Italia
mendapat bagian Libia. Di samping kekalahan politik dan militer, umat Islam
juga mengalami stagnasi pemikiran
(intelektualitas). Situasinya sarat perbedaan jika dibandingkan dengan kemajuan
Eropa yang tersentuh renaisance.
Kebangkitan Eropa disertai dengan ekspansi mereka ke berbagai wilayah Islam.
Lebih dari itu, kebangkitan Eropa juga menyebabkan terpilahnya Umat Islam
menjadi dua kelompok.
Pertama,
kelompok konservatif yang terwakili oleh para pembesar ulama Azhar. Mereka
sangat menolak segala macam bentuk perubahan. Orientasi pandangan mereka hanya
mengacu pada kejayaan Islam masa klasik.
Acuannya selalu berbalik ke sebuah zaman klasik.
Menilai masa itu dengan semangat kulturisme
atau fanatik tanpa boleh disentuh oleh pembaharuan-pembaharuan.
Kedua,
golongan pembaharu atau kelompok terpelajar dari Barat yang mulai mengenal
seperangkat metode moderen. Mereka meyakini bahwa melihat sejarah keemasan
Islam dengan semangat pengkultusan adalah usaha bodoh yang hanya memasung
kebebasan berpikir. Singkat cerita, kelompok kedua ini, memandang cara pandang kelompok
pertama seperti ini mustahil akan mencapai kemajuan. Kondisi keterpilahan umat
Islam pada masa ini secara cerdas hendak didamaikan oleh Abduh. Ia menempatkan
diri layaknya tali penyambung anta dua kubu yang berseberangan sudut pandang
itu. Sedikit demi sedikit, ia membuka kayu pemasung yang mengkungkung pemikiran
kaum konservatif dan di waktu yang sama, ia pun tetap tak mau bertindak gegabah
agar kemajuan Islam tak secara absolut meniru kemajuan Barat.
Mulai dari sini, langkah pembaharuan
Abduh dimulai. Ia tak hanya merombak hal-hal pragmatis, namun lebih dalam lagi,
cara keberagaman (fiqh) dan keyakinan
(tauhid) mendapatkan suntikan infusi.
Pada masa ini - masa kolonialisme negara-negara Eropa terhadap Asia dan Afrika
- ide pembaharuan ini tak hanya terjadi di Mesir saja yang diwakili Abduh. Di
Saudi misalnya, ide pembaharuan mulai digalakkan oleh seorang pengikut Ibn
Taimiyah, Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787) yang merupakan cikal bakal
tumbuh kembangnya paham Wahabi di sana. Namun bedanya, pembaharuan yang dibawa
Muhammad ibn Abdul Wahab berkutat pada pembersihan dan pemurnian ajaran-ajaran
Islam dari khurafat dan bid’ah dan sikap skeptisismenya dalam
menerima kemajuan bangsa Eropa. Sedangkan Abduh lebih jauh lagi, tantangan di
Mesir adalah bagaimana umat Islam bisa bersatu mengusir kolonialisme
bersama-sama dari tanah air mereka dan membangkit spirit kemajuan dengan
prinsip “mengambil apa yang patut dari Barat dan menampik apa yang tak selaras
dengan konsep Islam”.
2. Rasyid Ridho
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, lahir
di Qalmun, sebuah desa sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon pada 27 Jumadil Awal
1282 H. Beliau adalah bangsawan Arab yang memiliki garis keturunan langsung
dari Sayyidina Husen, putera Ali bin Abu Thalib dan Fatimah puteri Rasulullah
Saw. [10]
Gelar Sayyid pada awal namanya
merupakan gelar yang biasa diberikan kepada semua yang mempunyai garis
keturunan tersebut. Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga
yang taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama sehingga mereka dikenal juga
dengan sebutan Syaikh.
Setelah melalui masa pengasuhan dalam
lingkungan keluarga sendiri, maka pada usianya yang ketujuh tahun, Muhammad
Rasyid Rida dimasukkan orang tuanya kesebuah lembaga pendidikan dasar yang
disebut Kuttab yang ada di desanya.
Disinilah dia mulai membaca Al-Qur’an, menulis dan berhitung. [11] Beberapa
tahun kemudian, setelah menamatkan pelajarannya di lembaga pendidikan dasar
itu. Muhammad Rasyid Rida meneruskan pelajarannya di Madrasah Ibtidaiyah al-Rusdiyah di kota Tripoli (Libya,
Afrika Utara). Di madrasah tersebut di ajarkan nahwu-sharaf (tatabahasa
Arab), berhitung, geografi, akidah dan ibadah. Semua mata pelajaran tersebut
disampaikan kepada para siswa dalam bahasa Turki. Hal itu tidak mengherankan
karena tujuan pendidikan dan pengajaran pada madrasah itu melahirkan
tenaga-tenaga kerja yang menjadi pegawai kerajaan. Dia pun keluar dari madrasah
itu setelah kurang lebih satu tahun lamanya belajar disana. [12] Pada tahun
1882, ia meneruskan pelajaran di Madrasah al-Wataniyah
al-Islamiyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Di Madrasah ini, selain
dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan
pengetahuan-pengetahuan agama, juga pengetahuan-pengetahuan modern. [13]
Disamping itu, Muhammad Rasyid Rida memperoleh tambahan ilmu dan semangat
keagamaan melalui membaca kitab-kitab yang ditulis al-Ghazali, antara lain Ihya’
Ulum al-Din, kitab itu sangat mempengaruhi
jiwa dan kehidupannya, terutama sikap patuh pada hukum dan baktinya terhadap
agama.[14]
Muhammad Rasyid Rida sebagai ulama
yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu pula berjuang selama hayatnya,
telah menutup lembaran hidupnya pada tanggal 23 Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan
dengan 22 Agustus 1935 M. Muhammad Rasyid Rida wafat dengan wajah yang sangat
cerah disertai dengan senyuman.
DASAR PEMIKIRAN
DAN PEMBAHARUANNYA
1. Pemikiran dan Pembaharuan Jamaluddin
Al-Afghani [15]
Al-Afghani mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan. Diantara adalah bahasa Arab yang meliputi nahwu, sharaf, ilmu
bayan dan ma’aninya; ilmu syari’ah yang meliputi tafsir, hadits dan
musthalahnya, fiqh dan ushulnya; ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu kalam, ilmu
tasawwuf, filsafat, logika, etika dan politik, fisika dan ilmu pasti, yang
mencakup matematika, geometri, aljabar, ilmu kedokteran dan anatomi.
Dengan bekal penguasaan ilmu
pengetahuan dari berbagai disiplin, akhirnya muncullah sosok Jamaluddin
al-Afghani dengan karakternya yang khas. Seperti ditulis oleh Hourani, Afghani
digambarkan sebagai seorang yang sangat setia dengan keyakinan-keyakinannya dan
tegar dalam menegakkan keyakinannya tersebut, bersikap zuhud tetapi cepat marah
apabila disinggung kehormatan diri dan agamanya.
Setelah membekali dirinya dengan
seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis),
Al-Afghani mempersiapkan misinya membangkitkan Islam, yaitu:
1.
Kembali kepada ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Islam adalah agama
komprehensif. Ia tidak hanya menyangkut ibadah dan hukum (fikih), tetapi juga
menyangkut pemerintahan dan sosial. Hati mesti disucikan, budi pekerti luhur
dihidupkan kembali dan kesediaan berkorban untuk kepentingan umat. Dengan
berpegang teguh kepada ajaran dasar umat Islam akan dapat bergerak mencapai
kemajuan.
2.
Dalam menghadapi perkembangan zaman, umat Islam harus tetap membuka lebar pintu
ijtihad. Ijtihad merupakan satu unsur yang penting dalam ajaran Islam. Melalui
ijtihad masalah-masalah yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits secara
rinci dapat dipecahkan. Dengan demikian ijtihad merupakan kunci dinamika Islam.
3.
Corak pemerintahan otokrasi harus dirubah dengan corak pemerintahan demokrasi.
Kepala Negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang
mempunyai banyak pengalaman. Islam dalam pendapat al-Afghani menghendaki
pemerintahan Republik yang di dalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat
dan kewajiban kepala Negara untuk tunduk kepada undang-undang. Karena itu
Al-Afghani menghendaki umat Islam bebas dari pemerintahan kolonial.
4.
Persatuan umat Islam harus diwujudkan kembali. Dengan bersatu dan mengadakan
kerjasama yang eratlah umat Islam akan dapat kembali memperoleh kemajuan. Dalam
pandangan Afghani kekuatan dan kelanjutan hidup
umat Islam bergantung kepada kekuatan solidaritas Islam. Persatuan dan
kerjasama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam.
5.
Pemikirannya yang dianggap sangat berbahaya oleh dunia Barat adalah doktrin
politik Pan-Islamisme. Pan-Islamisme yang dimaksud al-Afghani bukanlah
meletakkan segala kekuatan di tangan satu orang khalifah, sebab ini dianggap
tidak mungkin. Yang diharapkan adalah agar umat
Islam tunduk kepada Al-Qur’an, menjadikan agama sebagai pemersatu, tiap
Negara Islam berusaha dengan sekuat tenaga untuk turut membela Negara Islam
yang lain, karena wujud tiap Negara Islam sangat bergantung kepada wujud Negara
Islam yang lain. Rasa solidaritas, rasa seagama dan rasa seperjuangan yang
ditanamkan oleh al-Afghani dianggap sebagai ide yang paling berbahaya karena
mampu menggoyahkan kedudukan Inggris sebagai penguasa di dunia Islam.
6.
Islam adalah agama yang selaras dengan prinsip-prinsip penalaran ilmiah yang
terdapat di dalam sains. Islam bukanlah agama yang bertentangan dengan akal dan
ilmu pengetahuan. Beliau menyatakan bahwa tidak satu pun prinsip-prinsip dasar
Islam yang tidak cocok dengan akal dan ilmu pengetahuan. Dalam satu pidatonya
beliau mempermalukan Ernest Renan yang menuduh Islam bertentangan dengan akal
dan membatasi kebebasan berpikir, dan klaim bahwa bangsa Arab tidak mampu
berpikir filosofis yang runut.
7. Menurut beliau Persatuan Islam (Jami'ah Islamiyah) tidak bertentangan
dengan Persatuan Nasional Kebangsaan (Jami'ah
Qaumiyah). Kedua unsur tersebut saling menopang untuk kemerdekaan dan
kemandirian negara dari pihak asing. Persatuan agama sehingga semua umat Islam
saling membantu sesama saudaranya tanpa terpecah-pecah oleh batas territorial.
Persatuan nasional sehingga anak bangsa bersatu mengusir pengaruh dan campur
tangan asing dari daerahnya. 'Sesungguhnya Mesir milik orang-orang Mesir'
begitu bunyi salah satu khutbah beliau. Beliau berhasil melepaskan pemahaman
nasionalis yang sempit kepada sesuatu yang lebih luas daripada itu. Beliau
menggandengkan Persatuan Islam dengan pendirian Pemerintah Nasional di dalam
lingkup keislaman yang luas.
Analisis
Korelasi Konteks dengan Pemikiran Al-Afghani
Dalam setiap kehidupan seorang
pemikir dan pejuang, kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya sepanjang
sejarah hidupnya, memiliki hubungan yang sangat kuat dalam
pembentukan cara pandang dan sikapnya. Oleh karena itu dapatlah kita
katakan bahwa kehidupan, mazhab dan cara pandangnya adalah perwujudan keadaan
zaman yang dia lalui, sebagai bentuk jawaban dari solusi perkembangan
masyarakat dan juga tantangan dan motor pendorong perkembangan masyarakat
tersebut. Namun di sisi lain bisa juga menjadi faktor penghambat kemajuan itu
sendiri.
Jamaluddin al-Afghani, dididik di
keluarga dengan ajaran Islam yang kental dan sudah merasakan pahitnya
penindasan dari pemerintah tirani sejak belia. Hal ini menjadikan beliau sosok
yang sangat kuat dalam membela agamanya sekaligus sangat vokal menentang setiap
pemerintah yang zalim. Dalam perjalanan hidupnya, beliau selalu berusaha
menjelaskan hakikat agama Islam dan mengajak kepada persatuan umat Islam untuk
menentang penjajah dan membebaskan diri dari pemerintah yang
absolut.
Kehidupan sosial yang jauh dari
nilai-nilai Islam dan persatuan menyadarkan beliau akan urgensi kembali kepada
ajaran Islam yang murni. Lepas dari khurafat, takhyul dan bid'ah yang
menyebabkan umat Islam mundur dan terpecah-pecah. Beliau mengajak kepada saling
pengertian dan saling menerima antar mazhab, dan melepaskan diri dari fanatik
mazhab yang sempit.
Penindasan ekonomi oleh pemerintah
yang sewenang-wenang dan intervensi asing ke dalam ekonomi negara mendorong
Afghani menyuarakan kemandirian ekonomi masyarakat. Di sisi lain beliau
menekankan bahwa Islam adalah agama yang mengajak kepada kemajuan, menekankan
etos kerja dan keharusan mengambil sebab-sebab kemajuan. Islam bukan agama yang
mangabaikan dunia dan meninggalkannya di tangan-tangan yang tidak
bertanggungjawab. Islam juga bukan agama yang berpasrah dan menanti nasib.
Untuk mengganti pemerintah otokrasi
yang absolut Al-Afghani menginginkan model demokrasi. Dimana kebebasan politik
dan bersuara dimiliki oleh setiap rakyat dan pemerintah dibatasi dan diatur
oleh undang-undang. Karena hanya dengan inilah kemajuan itu bisa diwujudkan
dengan melibatkan setiap elemen masyarakat untuk mencapainya, bukan oleh
sekelompok orang saja.
Penjajahan dan intervensi Barat
khususnya Inggris menumbuhkan sifat anti Barat di dalam diri Afghani. Namun di
sisi lain Afghani menyadari bahwa kemajuan Barat adalah berkat ilmu
pengetahuan. Sedangkan perhatian kepada ilmu pengetahuan sangat sedikit
ditemukan di negara-negara Islam. Disinilah letak kelemahan Islam. Afghani
selalu menggugah umat Islam untuk belajar dari pengalaman Barat. Beliau
mengkritik ulama yang memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu Barat. Karena
akibat alasan ini ada ulama yang melarang mengajarkan beberapa jenis ilmu Barat
di sekolah-sekolah. Artinya kebenciannya kepada Barat tidak menghalanginya
untuk menyadari sebab-sebab kemajuan Barat. Kemudian tidak pula menutup matanya
dari bahaya Barat hingga menerima apa saja yang berasal dari Barat.
Keadaan umat yang terpecah-pecah,
asik berdebat satu sama lainnya hingga melupakan persaudaraan sesama muslim,
mengabaikan ilmu pengetahuan dan melupakan penjajahan Barat yang semakin intens
menjadikan hal-hal ini focus dakwah dari al-Afghani. Afghani selalu menyeru
kepada penyadaran akan pentingnya penyatuan persepsi dalam membangkitkan
peradaban Islam. Beliau mencita-citakan persatuan Islam di dalam kasih sayang
dan persaudaraan, sepakat dalam kata dan langkah, sehingga membangkitkan
produksi dan ilmu pengetahuan di bawah panji kemerdekaan nasional dan persatuan
Islam.
Jamaluddin al- Afghani adalah salah
seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad ke-19 yang agak berbeda dari
kedua pemimpin sebelum dia, Muhammad bin Abdul Wahab (abad-18) dan Muhammad bin
Ali al-Sanusi (awal abad-19). Beliau adalah seorang
arsitek dari kebangkitan intelektual Islam modern, dan seorang pemikir
anti-imperialis. Jamaluddin al-Afghani lahir di kota As'adabad, Afghanistan
tahun 1839 dan meninggal dunia di Istanbul di tahun 1897.
Dalam kesempatannya Afghani mengunjungi
Moskow (1890). Ia tinggal selama empat tahun di St. Petersburgh. Di sini
pengaruh Afghani segera menjalar ke lingkungan intelektual yang dipercaya oleh
Tsar Rusia. Salah satu hasil dakwah Afghani kepada mereka adalah keluarnya izin
pencetakan Al-Qur’an ke dalam bahasa Rusia. Dan akhirnya memenuhi undangan
Sultan Abdul Hamid di Turki, sampai dia meninggal di Istanbul sebagai tahanan
politik pada tahun 1897.
2. Pemikiran
dan Pembaharuan Muhammad
Abduh
Gerakan pembaharuan Islam yang
dilakukan oleh Muhammad Abduh tidak terlepas dari karekter dan wataknya yang
cinta pada ilmu pengetahuan. Gibb dalam Mukti Ali menyebutkan salah satu karya
terkenalnya, Modern Trends in Islam, menyebutkan empat agenda pembaharuan
Muhammad Abduh. Keempat agenda itu adalah pemurnian Islam dari berbagai
pengaruh ajaran dan amalan yang tidak benar. [16] Yaitu:
a. Purifikasi
Purifikasi
atau pemurnian ajaran Islam telah mendapat tekanan serius dari Muhammad Abduh
berkaitan dengan munculnya bid`ah dan khurafah yang masuk dalam kehidupan
beragama kaum muslim. Kaum muslim tak perlu mempercayai adanyah karamah yang
dimiliki para wali atau kemampuan mereka sebagai perantara (wasilah) kepada
Allah. Dalam pandangan Muhmmad Abduh, seorang muslim diwajibkan mengindarkan
diri dari perbuatan dari perbuatan Syirik (lihat QS.6:79). [17]
b. Reformasi
Reformasi
pendidikan tinggi Islam difokuskan Muahammad Abduh pada universitas
almamaternya, Al-Azhar. Muhammad Abduh menyatakan bahwa kewajiban belajar itu
tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu
kalam untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada
mempelajari sain-sain modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui
sebaba-sebab kemajuan yang telah mereka capai. [18] Usaha awal reformasi
Muhammad Abduh adalah memperjuangan mata kuliah filsafat agar diajarkan di
Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme Islam yang padam
diharapkan dapat dihiduipkan kembali. [19]
c. Pembelaan Islam
Muhammad
Abduh lewat Risalah Al-Tauhidnya tetap mempertahankan potret diri Islam.
Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa dia tetap
yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh terlihat tidak pernah menaruh
perhatian terhadap paham-paham filsafat anti agama yang marak di Eropa. Dia
lebih tertarik memperhatikan serangan-serangan terhadap agama Islam dari sudut
keilmuan. Muhammad Abduh berusaha mempertahankan potret Islam dengan menegaskan
bahwa jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hasil yang dicapainya
otomatis akan selaras dengan kebenaran illahi yang dipelajari melalui agama.
d. Reformulasi
Agenda
reformulasi tersebut dilasanakan Muhmmad Abduh dengan cara membuka kembali
pintu ijtihad. Menurutnya, kemunduran kaum muslim disebabkan oleh dua faktor
yaitu ‘internal’ dan ‘eksternal’. Muhammad Abduh dengan refomulasinya
menegaskan bahwa (pada ajaran) Islam (sebenarnya mengandung unsur-unsur yang updated ini) telah membangkitkan akal
pikiran manusia dari tidur panjangnya. Manusia tercipta dalam keadaan dalam
keadaan tidak terkekang (tidak membuat mandek, melainkan updated yang membuat maju).
3. Pemikiran
dan Pembaharuan Muhammad
Rasyid
Muhammad Rasyid Ridha mulai mencoba
menjalankan ide-ide pembaharuannya sejak ia masih berada di Suriah. [20] Tetapi
usaha-usahanya mendapat tantangan dari dari pihak kerajaan Utsmani. [21]
Kemudian ia pindah ke Mesir dan tiba di sana pada bulan januari 1898. [22]
1. Pembaharuan Dalam Bidang Teologi
Masalah
aqidah di zaman hidupnya Rasyid Ridha masih belum (dipengarui) tercemar unsur-unsur
tradisi maupun pemikiran filosof. Dalam masalah teologi, Rasyid Ridha banyak
dipengaruhi oleh pemikiran para tokoh “gerakan salafiyah”. [23] Dalam hal ini,
ada beberapa konsep pembaharuan yang dikemukakannya, yaitu masalah “akal dan
wahyu”, “sifat Tuhan”, “perbuatan manusia (af’al
al-Ibad)” dan “konsep iman”.
a. Akal dan Wahyu
Menurut
Rasyid Ridha, dalam masalah ketuhanan menghendaki agar urusan keyakinan
mengikuti petunjuk dari wahyu. Sungguhpun demikian, akal tetap diperlukan untuk
memberikan penjelasan dan argumentasi terutama kepada mereka yang masih
ragu-ragu. [24]
b. Sifat Tuhan
Dalam
menilai sifat Tuhan, di kalangan pakar teologi Islam terjadi perbedaan pendapat
yang sangat signifikan, terutama dari kalangan Mu’tazilah. [25] dan Asy’ariyah.
[26] Mengenai masalah ini, Rasyid Ridha berpandangan sebagaimana pandangan kaum
Salaf, menerima adanya sifat-sifat
Tuhan seperti yang dinyatakan oleh nash,
tanpa memberikan tafsiran maupun takwil. [27]
c. Konsep Iman
Rasyid
Ridha mempunyai dasar pemikiran bahwa kemunduran umat Islam disebabkan “keyakinan
dan amal perbuatan mereka yang telah menyimpang dari ajaran Islam”. [28] Oleh
karena itu, upaya pembahasan yang dilaksanakannya dititik beratkan kepada usaha
untuk mengembalikan keberagamaan ummat kepada ajaran Islam yang sebenarnya.
2. Dalam Bidang Pendidikan
Di antara aktivitas beliau dalam
bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga pendidikan yang bernama “al-Dakwah Wal Irsyad” pada tahun 1912 di
Kairo. Mula-mula beliau mendirikan madrasah tersebut di Konstantinopel (Turki
Uthmani) terutama meminta bantuan pemerintah setempat akan tetapi gagal, karena
adanya keluhan-keluhan dari negeri-negeri Islam, di antaranya Indonesia,
tentang aktivitas misi Kristen di negeri-negeri mereka. Untuk mengimbangi
sekolah tersebut dipandang perlu mengadakan sekolah misi Islam. [29]
Muhammad Rasyid Ridha juga merasa
perlu dilaksanakannya ide pembaharuan dalam bidang pendidikan. untuk itu ia
melihat perlu ditambahkan ke dalam kurikulum mata-mata pelajaran berikut:
teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung,
ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga
(kesejahteraan keluarga), yaitu disamping fiqh, tafsir, hadits dan lain-lain
yang biasa diberikan di Madrasah-madrasah tradisional. [30]
3. Pandangan terhadap Ijtihad
Rasyid Ridha dalam beristinbath (mengungkapkan suatu dalil
hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi) terlebih dahulu melihat nash, bila tidak ditemukan di dalam nash, ia mencari pendapat sahabat, bila
terdapat pertentangan ia memilih pendapat yang paling dekat dengan dengan
Al-Qur’an dan Sunnah dan bila tidak ditemukan, ia berijtihad atas dasar
Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam hal ini, Rasyid Ridha melihat
perlu diadakah tafsir modern dari Al-Qur’an yaitu tafsiran yang sesuai dengan
ide-ide yang dicetuskan gurunya, Muhammad Abduh. Ia menganjurkan kepada
Muhammad Abduh supaya menulis tafsir modern. [31]
PENUTUP
Salah satu karya Abduh dan Ridha yang
terkenal ialah kitab tafsir Al-Manar. Tafsir Al-Manar pada dasarnya merupakam
hasil karya 3 tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syaikh Muhammad
Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha yang mana dimuat secara berturut-turut
dalam majalah al-Manar yang dipimpin oleh Ridha.
Tafsir ini bersumber dari perkuliahan
Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang disampaikan di Universitas
al-Azhar, yang disusun setelah ia wafat (tahun 1905) oleh Muhammad Rashid Ridha
dengan judul “Tafsir al-Qur’an al-Hakim”. Namun kemudian, kitab ini lebih
populer dengan “sebutan Tafsir al-Manar” yang pernah diterbitkan secara serial
dan periodik.
Al-Manar terbit pertama kali pada 22
Syawal 1315 H atau 17 Maret 1898 M, dilatarbelakangi oleh keinginan Rasyid
Ridha untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang mengolah masalah-masalah
sosial-budaya dan agama, sebulan setelah pertemuannya yang ketiga dengan
Muhammad Abduh. Awalnya berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata
mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab
sekitarnya, juga sampai ke Eropa dan Indonesia.
Al-Manar adalah salah satu kitab
tafsir yang banyak berbicara tentang sastrabudaya dan kemasyarakatan. Suatu
corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat Al-Qur'an pada segi-segi
ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayatayatnya dalam suatu
redaksi yang indah dengan penekanan pada tujuan utama turunnya Al-Qur'an, yakni
memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia, dan merangkaikan pengertian ayat
tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan kemajuan
peradaban manusia.
Menurut Quraish Shihab, baik Abduh
maupun Ridha adalah perintis jalan menuju kesempurnaan, terutama dalam hal tafsir.
Dimana tafsir al-Manar berusaha “menampilkan al-Qur'an dengan wajah yang sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan”.
Selain melahirkan tafsir Al-Manar,
Abduh dan Ridha juga aktif dalam “penerbitan jurnal” - media cetak tulis yang
menyangkut pemikiran, berita, ajaran, pandangan, publikasi, dsb yang di tulis
oleh orang yang ahli/berilmu, diantaranya ialah “jurnal Al-Urwatul Wutsqa”, sebuah jurnal yang di terbitkan oleh Abduh
bersama Jamaluddin Al-Afghani di Paris.
Al-Urwatul
Wutsqa adalah sebuah jurnal anti penjajahan yang diterbitkannya di
Paris. Al-Afghani mendapat sokongan seorang ulama Mesir, Muhammad Abduh.
Keduanya bersamaan menerbitkan majalah Al-Urwatul
Wutsqa di Paris pada tahun 1884 selama tujuh bulan dan mencapai 18 nomor.
Publikasi ini bukan saja menggoncang dunia Islam, pun telah menimbulkan
kegelisahan dunia Barat. Meskipun majalah ini pada akhirnya tidak mampu
mempertahankan penerbitannya oleh bermacam-macam rintangan, nomor-nomor lama
telah dicetak ulang berkali-kali. Di mana-mana, terutama untuk pasaran dunia
Timur, majalah ini dibinasakan penguasa Inggris. Di Mesir dan India penerbitan
ini dilarang untuk diedarkan. Akan tetapi, penerbitan ini terus saja beredar
meski dengan jalan gelap. Di Indonesia sendiri majalah ini berhasil masuk tidak
melalui pelabuhan besar. Ia berhasil masuk lewat kiriman gelap melalui
pelabuhan kecil di pantai utara, antaranya pelabuhan Tuban. Jurnal ini kemudian
menjadi barometer perlawanan imperialis Dunia Islam yang merekam komentar,
opini, dan analisis bukan saja dari tokoh-tokoh Islam dunia, tetapi juga
ilmuwan-ilmuwan Barat.
Demikianlah usaha-usaha kerja keras mereka
yang membangkit kesadaran ummat bahwa islam bukan hanya sekedar rahmat untuk
ummat saja, melain rahmat bagi seluruh manusia dan alam lingkungannya. Sebagaimana
dicatat dalam sejarah kemajuan islam di abad tengah. [33] Usaha mereka patut
kita hargai dan dijadikan suri teladan. Cita-citanya itu untuk memajukan kehidupan
muslim dan non muslim di masa moderen ini yang patut diteruskan. □
Catatan Kaki:
[1]
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina 1992), hlm.
452-453
[2]
Ibid., hlm. 65
[3]
Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pemikiran Agama Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang), 1986, hlm. 148
[4]
Akbar S. Ahmed, Posmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, (Bandung: Mizan,
1995), hlm. 15
[5]
Bahtiar Effendi dan Fahry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan,
1996), hlm. 245
[6]
Harun Nasution, Pembaruan Pembaharuan Dalam Islam, (… hlm. 54
[7]
Ibid., hlm. 20
[8]
Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentaslime Sampai
Posmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 43
[9] https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/12/jamaluddin-al-afghani-bapak-kebangkitan.html
[10]
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), hlm. 280.
[11] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani,
Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta:Qalam, 2002), cet.
ke-1, hlm. 64.
[12]
Ibid., hlm. 14.
[13]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 69; Sekolah ini didirikan dan dipimpin
oleh ulam besar Syam ketika itu, yakni Syaikh Husain al-Jirr. Syaikh inilah
yang mempunyai andil sangat besar terhadap pemikiran Muhammad Rasyid Rida,
karena hubungan antara keduanya tidak terhenti walaupun kemudian sekolah di
tutup oleh pemerintah Turki, Syaikh Husain al-Jarr juga memberikan kesempatan
kepada Muhammad Rasyid Rida untuk menulis di beberapa surat kabar Tripoli,
kesempatan ini kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manar. M. Quraish Shihab,
hlm. 60-61.
[14]
Muhammad Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam
Dunia Islam, (Surabaya : al-Ikhlas, 1994), hlm. 83.
[15]
Ibid., # 9
[16] A.
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan,
1995), hlm. 365
[17]
Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentaslime Sampai
Posmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 265
[18] A.
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan,
1995), hlm. 365
[19]
Nurchalish Madjid, Ilsma Kemodern dan Keindonesiaan, hlm. 311
[20]
Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembungan di Beirut, Rasyid Ridha mendapat
kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan murid al-Afghani yang
terdekat ini. Perjumpaanperjumpaan dan dialog ini meninggalkan kesan yang baik
dalam dirinya. Rasyid Ridha mulai menjalankan ide-ide pembaharuan itu ketika
masih berada di Suria. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, hlm. 70.
[21]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Ibid., hlm. 70.
[22]
Karena merasa terikat dan tidak bebas dari tekanan Kerajaan, ia memutuskan
untuk pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam, Ibid., hlm. 70.
[23] Muhaimin,
Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh
Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000), hlm. 18.
[24]
Ibid., hlm. 23;
[25]
Mu’tazilah beranggapan bahwa Maha melihat dan seterusnya, bukanlah sifat Tuhan
tetapi zat Tuhan. Ibid., hlm. 32.
[26]
Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Ibid., hlm. 33.
[27]
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah,
Rasyid Ridha menghendaki pemahaman secara tekstual dengan mengikuti pendekatan
yang dilakukan oleh kaum Salaf. Ia kurang sependapat dengan cara yang dilakukan
Mutakallimin yang memberikan takwil terhadap sifat-sifat Allah secara
dealiktika. Ibid., hlm. 37.
[28]
Masalah iman dan kufur merupakan kontroversi yang muncul dalam pembahasan yang
bersifat teologis yang berawal dari persoalam politik yang bergeser menjadi
persoalan aqidah. Ibid., hlm. 43-45.
[29]
Muhammad Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam
Dunia Islam, (Surabaya : al-Ikhlas, 1994), hlm. 85.
[30]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, hlm. 71.
[31] Muhammad
Abduh tidak sepaham dengannya dalam hal ini. Namun karena selalu didesak,
Muhammad Abduh akhirnya setuju, untuk memberikan kuliah tafsir Al-Qur’an di
al-Azhar. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Ibid., hlm. 70. 10
Kuliah-kuliah tafsir itu dimulai pada tahun 1899 dan keterangan-keterangan yang
diberikan oleh Muhammad Abduh dalam kuliahnya inilah yang kemudian dikenal
dengan tafsir al-Manar. [32]
[32]
Keterangan-keterangan yang disampaikan oleh Muhammad Abduh dalam kuliah tafsir
itu ia catat dan seterusnya ia susun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia
tulis ia serahkan selanjutnya kepada Muhammad Abduh untuk diperiksa. Setelah
mendapat persetujuan, karangan itu ia siarkan dalam al-Manar.
33.
Ahmad Faisal Marzuki, Mendirikan Salat Menegakkan Peradaban - Narasi Ibadah
sebagai Pembentuk untuk Membangkitkan Peradaban Unggul, MCL Publisher. Kota
Tanggerang Selatan, Bnaten 2022. □□
Daftar Pustaka
Akbar
S. Ahmed, Posmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan, 1995
Azumardi
Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentaslime Sampai Posmodernisme,
Jakarta: Paramadina, 1998
Bahtiar
Effendi dan Fahry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, 1996
Harun
Nasution, Pembaruan Dalam Islam
Muhaimin,
Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh
Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000.
Muhammad
Iqbal, Membangun Kembali Pemikiran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Muhammad
Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia
Islam, Surabaya : al-Ikhlas, 1994
Muhammad
Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia
Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1994
Nurcholis
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina 1992.
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/12/jamaluddin-al-afghani-bapak-kebangkitan.html □□□
Sumber:
TOKOH PEMBAHARUAN MUSLIM ABAD MODEREN.pdf
http://eprints.uad.ac.id/6714/1/TOKOH%20PEMBAHARUAN%20MUSLIM%20ABAD%20MODERN.pdf
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/12/jamaluddin-al-afghani-bapak-kebangkitan.html
Ahmad Faisal Marzuki, Mendirikan Salat Menegakkan Peradaban - Narasi Ibadah sebagai Pembentuk untuk Membangkitkan Peradaban Unggul, MCL Publisher. Kota Tanggerang Selatan, Bnaten 2022. □□□□