"Ilmu bak buruan, dan catatan adalah pengikatnya." [Imam Syafi'i]
Pendahuluan
K
|
hasanah intelektual Islam bak sumur
tanpa dasar. Tak akan pernah habis ditimba. Selain mewariskan karya-karya luar
biasa yang menyumbang peradaban umat manusia (dari aspek keilmuan, teknologi,
sastra, dan budaya), juga memberikan kita aneka artefak dan maintifak (hasil
pemikiran, gagasan) nan mengagumkan.
Namun berbeda dengan
warisan intelektual sekuler ataupun tradisi ilmiah dunia klasik, peradaban
Islam yang berkibar lewat pesona ilmu, juga memancarkan teladan dan kharisma - dari
para individu yang menjadi cendekiawan di masa lalu. Agaknya, kaum cerdik
pandai di dunia Islam masa lalu adalah intelektual paripurna. Teruji dalam
teori, terbukti dalam budi pekerti!
Satu bukti - dari
sekian banyak ilmuan Muslim terkemuka - adalah Imam Syafi’i. Kebanyakan kita
mengenal tokoh ini sebagai satu dari empat Imam dari golongan Ahlussunnah Wal
Jamaah, atau sebagai pakar ilmu fiqh semata. Padahal, Imam Syafi’i adalah
intelektual ensiklopedik (wawasan sangat luas), sekaligus intelektual prolific
(sangat ahli dalam bidang tertentu). Dari dunia ilmu, ia ahli sastera,
balaghah, ilmu hadits, bahasa Arab, bahkan juga kedokteran. Menurut pengakuan
salah satu ulama yang dipetik buku ini, setiap ucapan yang dikeluarkan Imam
Syafi’i adalah bagaikan gula (halaman 106). Sampai-sampai, buku ini juga
menyebut bahwa jika saja Imam Syafi’i tidak menjadi Ahli Hadits, maka mungkin
ia akan menjadi Ahli Pengobatan (kedokteran).
Masih ada sisi lain,
suatu keistimewaan yang selalu mengiringi keunggulan para intelektual Muslim
periode Salaf (klasik), yaitu mereka juga memiliki keahlian tertentu. Imam
Syafi’i, misalnya, yang juga adalah seorang ahli memanah dan berkuda.
Riwayat hidupnya,
yang ditulis dalam buku ini, adalah jejak kesempurnaan. Meski demikian, buku
ini tidak jatuh sebagai hegiografi (sejarah orang suci, yang melulu berisi
puja-puji). Melainkan ditulis berdasarkan aneka sumber, ratusan referensi,
pelbagai testimoni, dan juga karya-karya utama dari Sang Imam. Tambahan lain,
buku ini jauh dari kerumitan sebuah telaah ilmiah, melainkan disusun
sistematik. Dengan bahasa mudah. Dibantu dengan ilustrasi di sana sini.
Perjalanan Sang Imam
diulas tuntas. Sadari awal - tatkala Syafi’i kecil hijrah untuk belajar bahasa
Arab Murni di Hudzail, masa-masa remaja dan menuntut ilmu di Mekah, petualangan
ke Madinah, penjelajahan ke Irak dan Mesir, hingga di akhir pengabdian beliau.
Gambaran perjalanan panjang dan petualangan tanpa titik inilah yang melegenda.
Sang Imam bahkan memiliki fatwa yang terkenal - sempat pula dipetik dalam buku
Ahmad Fauzi, yang berjudul Negeri Lima Menara - bunyinya adalah: “Orang yang berakal dan berbudaya takkan
tenang berdiam di suatu tempat. Karena itu, tinggalkanlah kampung halaman dan
mengembaralah!” (Lihat halaman 45).
Tak lupa pula, buku
berjudul Biografi Imam Syafi’i, Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang
Mujahid, yang ditulis Dr. Tariq Suwaidan ini membuat bahasan yang ringkas namun
pungkas, tentang karya-karya monumental dari sang Imam. Dua buku utama Imam
Syafi’i, masing-masing Al-Umm dan Ar-Risalah, terkategori sebagai
Magnum Opus, alias masterpiece, karya-karya yang terbilang
istimewa!
Dari aspek keilmuan, Imam Syafi'i
adalah salah satu dari Imam madzhab yang empat di samping Abu Hanifah, Malik,
Ahmad bin Hanbal. Pendiri madzhab Syafi'i dalam fiqih (syariah) Islam. Pendiri
dan Penggagas ilmu ushul fiqih. Ia juga Imam di bidang ilmu tafsir dan ilmu
hadits. Ia pernah menjabat sebagai Qadhi (Hakim) dan dikenal dengan keadilan
dan kecerdasannya. Di samping ilmu agama, ia juga dikenal sebagai penyair yang
ahli di bidang sastra Arab.
Pembela Hadits
Sebutan lain untuk
Sang Imam adalah pembela hadits (Nashiru
Hadits). Totalitas dan komitmen teguh untuk mengibarkan hadits (dan Al Qur’an)
sebagai rujukan utama dalam memutuskan setiap perkara keumatan, telah
diperlihatkan Imam Syafi’i. Ia kemudian mengukuhkan pijakan dasarnya itu
sebagai mazhab (school of thought,
aliran pemikiran) tersendiri, yang kemudian memiliki pengaruh luas, bahkan kini
terbilang paling banyak pengikut, yang tersebar di sejumlah negara, seperti di
penduduk Mesir, Arab Saudi (bagian barat), Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei,
Yaman dan Bahrain.
Padahal, jika berkaca
dari konteks sosio-historis di masa ketika beliau hidup (paruh akhir abad kedua
hijriah), gagasan utamanya itu berada di luar mainstream (di luar arus utama). Sejarah mencatat, waktu itu adalah
puncak intelektual Islam berkibar penuh pesona. Bermacam aliran (firqah) tumbuh menguat. Sejumlah
ideologi (termasuk Syiah, Sunni, Mu’tazilah, dan bahkan Khawarij) bermunculan.
Telah hadir pula para Ulama dan Imam besar. Namun, berkat kecintaannya kepada
ilmu dan hasil dari perjalanan panjang, Imam Syafi’i bisa memperoleh pengikut
dan pengakuan dari banyak pihak. Ia tidak terjebak dalam dua arus utama dalam
hal ilmu fiqh, yaitu condong kepada teks hadits semata, atau melulu berpijak
pada nalar (ray’i). Imam Syafi’i
berhasil mengkombinasikan antara fiqh Imam Hanafi (yang condong pada nalar) dan
fiqh Imam Maliki yang berat pada hadits. Ia melahirkan fiqh dengan metode baru - yang
disusunnya sendiri (halaman 156).
Meski begitu,
kemunculannya dengan kaidah baru ini tak sekedar pelengkap. Lantaran
kepakarannya sudah diakui oleh siapapun, termasuk oleh para Imam besar saat
itu. Termasuk oleh Imam Hanafi, yang tak segan menyebutnya sebagai ensiklopedia
berjalan.
Dari olahan Sang Imam
inilah kemudian dunia Islam memperoleh mutiara hikmah tak berbanding. Corak
pemikiran Sang Imam relatif moderat, adaptif, dan paling penting adalah ilmiah.
Beliau mengokohkan prinsip dalam mempertimbangkan masalah keagamaan dengan
berdasar pada Al-Quran dan Hadits, Ijma Ulama, pendapat sahabat, dan Qiyas.
Inilah berbagai fakta dan informasi penting yang tersaji di buku ini. Catatan
lain yang tak boleh diabaikan, adalah betapa buku ini juga dilampiri dengan
bahan berharga, yaitu matriks Perbandingan Empat Imam Mazhab, yang terhidang di
halaman akhir buku ini. Sebuah karya yang sangat patut kita baca.
Profil Singkat
Nama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin
Idris As-Syafi'i Al-Muttalibi Al-Qurashi. Nama gelar kehormatan Alimul Ashr,
Nashirul Hadits, Imam Quraish, Al-Imam Al-Mujaddid, Faqihul Millah. Tempat
lahir: Gaza, Palestina. Tanggal lahir: tahun 767 M / 150 H. Wafat: Akhir malam
Rajab tahun 820 M / 204 H. Tempat wafat: Kairo, Mesir. Aliran Islam:
Ahlussunnah Wal Jamaah. Ayahnya Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi' bin
As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muttalib bin Abdu Manaf. Ibunya:
Fatimah binti Abdullah Al-Uzdiyah. Dia menikah dengan Hamidah binti Nafi’ bin
Unaisah bin Amru bin Utsman bin Affan. Putranya: Abu Utsman dan Abul Hasan. Putri:
Fatimah dan Zainab
Nasab dari pihak ayah.
Ayahnya bernama Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Sa`ib bin Abid bin Abu Yazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdu Manaf bin Qusayyi bin Kilab bin Murrah, nasab beliau bertemu dengan Rasulullah saw pada Abdu Manaf bin Qusayyi.
Nasab dari pihak Ibu.
Ibnunya bernama Fatimah binti Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui Hasyimiyah melahirkan keturunan kecuali Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafi’i.
Kelahiran Imam Syafi'i.
Dia dilahirkan pada tahun 150 H bertepatan dengan dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Dia dilahirkan di desa Ghazzah, Asqalan. Ketika usianya mencapai dua tahun, ibunya mengajak pindah ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Lalu keduanya menetap di sana. Akan tetapi saat usianya telah mencapai sepuluh tahun, ibunya mengajak pindah ke Makkah lantaran khawatir akan melupakan nasabnya.
Jenjang Pendidikan Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i sejak kecil hidup dalam kemiskinan, pada waktu dia diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak memperoleh upah dan mereka hanya terbatas pada pengajaran. Akan tetapi setiap kali seorang guru mengajarkan sesuatu pada murid-murid, terlihat Syafi’i kecil denga ketajaman akal pikiran yang dimilikinya mampu menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya berdiri untuk meninggalkan tempatnya, Syafi’i kecil mengajarkan kembali apa yang dia dengar dan dia pahami kepada anak-anak yang lain, sehingga dai apa yang dilakukan Syafi’i kecil ini mendapatkan upah. Sesudah usianya menginjak ke tujuh, Syafi’i telah berhasil menghafal al-Qur`an dengan baik.
Imam Syafi’i bercerita: “Saat kami menghatamkan al-Qur’an dan memasuki masjid, kami duduk di majelis para ulama. Kami berhasil menghafal beberapa Hadits dan beberapa masalah Fiqih. Pada waktu itu, rumah kami berada di Makkah. Kondisi kehidupan kami sangat miskin, dimana kami tidak memiliki uang untuk membeli kertas, akan tetapi kami mengambil tulang-tulang sehingga dapat kami gunakan untuk menulis.”
Pada saat menginjak usia tiga belas tahun, dia juga memperdengarkan bacaan al-Qur’an kepada orang-orang yang berada di Masjid al-Haram, dia memiliki suara yang sangat merdu. Suatu ketika Imam Hakim menceritakan Hadits yang berasal dari riwayat Bahr bin Nashr, bahwa dia berkata: “Jika kami ingin menangis, kami mengatakan kepada sesama teman “Pergilah kepada Syafi’i!” jika kami telah sampai dihadapannya, dia memulai membuka dan membaca al-Qur’an sehingga manusia yang ada di sekitarnya banyak yang berjatuhan di hadapannya lantaran kerasnya menangis. Kami terkagum-kagum dengan keindahan dan kemerduan suaranya, sedemikian tinggi dia memahami al-Qur’an sehingga sangat berkesan bagi para pendengarnya.
Guru-guru Imam Syafi'i.
1). Muslim bin Khalid al-Zanji, seorang Mufti Makkah pada tahun 180 H yang bertepatan dengan tahun 796 M dia adalah maula Bani Makhzum, 2). Sufyan bin Uyainah al-Hilali yang berada di Makkah, dia adalah salah seorang yang terkenal kejujuran dan keadilannya, 3). Ibrahim bin Yahya, salah satu ulama di Madinah, 4). Malik bin Anas, Imam Syafi’i pernah membaca kitab al-Muwatha’ kepada Imam Malik sesudah dia menghafalnya diluar kepala, kemudian dia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat pada tahun 179 H bertepatan dengan tahun 795 M, 5). Waki’ bin Jarrah bin Malih al-Kufi, 6). Hammad bin Usamah al-Hasyimi al-Kufi, 7). Abdul Wahab bin Abdul Majid al-Bashri.
Keistimewaan Imam Syafi’i.
1. Keluasan ilmu pengetahuan dalam bidang sastera serta nasab, yang sejajar dengan al-Hakam bin Abdul Muthalib, dimana Rasulullah saw pernah bersabda: “Sesungguhnya Keturunan (Bani) Hasyim dan keturunan (Bani) Muthalib itu hakekatnya adalah satu.” (H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang Wasiat, bab “Qismah al-Khumus,” hadits no. 2329.)
2. Kekuatan menghafal al-Qur’an dan kedalaman pemahaman antara yang wajib dan yang sunnah, serta kecerdasan terhadap semua disiplin ilmu yang dia miliki, yang tidak semua manusia dapat melakukannya.
3. Kedalaman ilmu tentang Sunnah, dia dapat membedakan antara Sunnah yang shahih dan yang dha’if. Serta ketinggian ilmunya dalam bidang ushul fiqih, mursal, maushul, serta perbedaan antara lafadl yang umum dan yang khusus.
4. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Para ahli hadits yang dipakai oleh Imam Abu Hanifah tidak diperdebatkan sehingga kami bertemu dengan Imam Syafi’i. Dia adalah manusia yang paling memahami kitab Allah swt dan Sunnah Rasulullah saw serta sangat peduli terhadap hadits beliau.
5. Karabisy 2 berkata: Imam Syafi’i adalah rahmat bagi umat Nabi Muhammad saw (Karabisy dinisbatkan pada profesi penjual pakaian, namanya adalah Husain bin Ali bin Yazid).
6. Dubaisan (Namanya adalah Abu Dubais bin Ali al-Qashbani) berkata: Kami pernah bersama Ahmad bin Hambal di Masjid Jami’ yang berada di kota Baghdad, yang dibangun oleh al-Manshur, lalu kami datang menemui Karabisy, lalu kami bertanya: Bagaimana menurutmu tentang Syafi’i? Kemudian dia menjawab: Sebagaimana apa yang kami katakan bahwa dia memulai dengan Kitab (al-Qur’an), Sunnah, serta Ijma’ para ulama. Kami orang-orang terdahulu sebelum dia tidak mengetahui apa itu al-Qur’an dan Sunnah, sehingga kami mendengar dari Imam Syafi’i tentang apa itu al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Humaidi berkata: Suatu ketika kami ingin mengadakan perdebatan dengan kelompok rasionalis kami tidak mengetahui bagaimana cara mengalahkannya. Kemudian Imam Syafi’i datang kepada kami, sehingga kami dapat memenangkan perdebatan itu. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Kami tidak pernah melihat seseorang yang lebih piawai dalam bidang fiqih (faqih) terhadap al-Qur’an daripada pemuda Quraisy ini, dia adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i.
7. Ibnu Rahawaih pernah ditanya: Menurut pendapatmu, bagaimanakah Imam Syafi’i dapat menguasai al-Qur’an dalam usia yang masih relatif muda? Lalu dia menjawab: Allah swt mempercepat akal pikirannya lantaran usianya yang pendek.
8. Rabi’ berkata: Kami pernah duduk bersama di Majelisnya Imam Syafi’i setelah beliau meninggal dunia di Basir, tiba-tiba datang kepada kami orang A’rabi (badui). Dia mengucapkan salam, lalu bertanya: Dimanakah bulan dan matahari majleis ini? Lalu kami mejawab: Dia telah wafat. Kemudian dia menangis lalu berkata: Semoga Allah swt mencurahkan rahmat dan mengampuni semua dosanya. Sungguh beliau telah membuka hujjah yang selama ini tertutup, telah merubah wajah orang-orang yang ingkar dan juga telah membuka kedok mereka, dan juga telah membuka pintu kebodohan disertai penjelasannya, lalu tidak beberapa lama orang badui itu pergi.
Sikap Rendah Hati yang dimiliki Imam Syafi’i.
Hasan bin Abdul Aziz al-Jarwi al-Mishri
mengatakan, bahwa Imam Syafi’i pernah berkata: Kami tidak menginginkan
kesalahan terjadi pada seseorang, kami sangat ingin agar ilmu yang kami miliki
itu ada pada setiap orang dan tidak disandarkan pada kami. Imam Syafi’i berkata: Demi Allah kami tidak menyaksikan
seseorang lalu kami menginginkan kesalahan padanya. Tidaklah bertemu dengan
seseorang melainkan kami berdo’a “Ya Allah, jadikanlah kebenaran ada pada hati
dan lisannya! Jika kebenaran berpihak kepada kami, semoga dia mengikuti kami,
dan jika kebenaran berpihak kepadanya semoga kami mampu mengikutinya. Imam
Syafi’i adalah Pakar Ilmu Pengetahuan dari Quraisy. Imam Ahmad bin Hambal
berkata: Jika kami ditanya tentang satu masalah dan kami tidak mengetahuinya,
maka kami menjawab dengan menukil perkataan Syafi’i, lantaran dia seorang Imam Besar
yang ahli dalam ilmu pengetahuan yang berasal dari kaum Quraisy. Dalam suatu
hadits diriwayatkan dari Rasulullah saw
bahwa beliau bersabda: “Orang alim dari Quraisy ilmunya akan memenuhi bumi.”
(Manaqib karya Imam Baihaqi, juz 1, hlm. 45)
Ar-Razi berkata: Kriteria orang orang yang disebutkan di atas ini akan terpenuhi apabila seseorang memiliki kriteria sebagai berikut, Pertama: Berasal dari suku Quraisy. Kedua: Memiliki ilmu pengetahuan yang sangat luas dari kalangan ulama. Ketiga: Memiliki ilmu pengetahuan yang luas, dan dikenal oleh penduduk Timur dan Barat. Benar kriteria di atas hanya terdapat pada diri Imam Syafi’i, dia adalah seorang ahli ilmu pengetahuan yang berasal dari suku Quraisy.
Berikut beberapa hadits yang berkaitan dengan hal di atas:
1. Riwayat dari Ibnu Mas’ud bahwa dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kalian mencaci maki suku Quraisy, karena sesungguhnya ahli ilmu di antara mereka akan memenuhi dunia. Ya Allah ya Tuhan kami, Engkau telah menimpakan azab yang terdahulu dari mereka, maka anugerahkan nikmat-Mu yang terakhir dari mereka.” (HR Abu Daud Thabalasi dalam kitab Musnad-nya, hlm. 39-40)
2. Riwayat dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: Ya Allah tunjukkanlah orang-orang Quraisy, karena sesungguhnya orang alim di antara mereka akan memenuhi dunia. Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberikan azab kepada mereka, maka berikanlah juga ni’mat-Mu atas mereka.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali. (5. Khatib, dalam Tarikh, juz 2, hlm 61).
3. Dia adalah orang Quraisy dari Bani al-Muthalibi, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani Muthalib adalah adalah satu.” Lalu Rasulullah saw merapatkan jari tangannya. (HR Sunan Kubra, juz 6, hlm. 340). Selanjutnya Rasulullah saw kembali bersabda: “Sesungguhnya Allah swt mengutus untuk umat ini pada setiap setiap seratus tahun seseorang yang memperbaharui agama-Nya.” (8. Al-Mustadrak, juz 4, hlm. 522, dan Khatib dalam Tarikh, juz 2, hlm. 61).
Imam Syafi’i ke Mesir.
Imam Syafi’i datang ke Mesir pada tahun
199 H atau 815 M pada masa awal khalifah al-Ma’mun, lalu dia kembali ke Baghdad
dan bermukim di sana selama satu bulan, kemudian dia kembali lagi ke Mesir. Dia
tinggal di sana sampai akhir hayatnya pada tahun 204 H. atau 820 M.
Pengembaraan Imam Al-Syafi’i Mencari Ilmu
“Qauli shawab
yahtamilu al-khatha’, wa qaulu ghairi khatha’ yahtamilu al-shawab.” (Pendapatku
benar, tetapi ada kemungkinan salah. Pendapat orang lain salah, tetapi ada
kemungkinan benar). [Imam Al-Syafi’i]
Ungkapan imam Al-Syafi’i di atas
mengusung nilai-nilai objektivitas dan toleran atas beberapa perbedaan dalam
ijtihad. Belum lagi, pergolakan politik dan perkembangan keilmuan pada masa
itu. Imam Al-Syafi’i mengalami pergesekan politik dua imperium Islam, yakni
dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah.
Perseteruan antara
ahli ra’yu dan ahli hadits yang bergejolak pada masa itu, juga ikut
membentuk karakter keilmuan imam Al-Syafi’i. Selain itu, tumbuh suburnya
aliran-aliran tertentu dalam fiqh juga turut berperan atas dideklarasikannya
mazhab syafi’iyun. Dengan begitu, keilmuan imam Al-Syafi’i sebagai
mujtahid tidak dapat dipisahkan dengan masa kejayaan Islam pada masa itu.
Buku yang ditulis Dr.
Tariq Suwaidan ini setidaknya mencoba memberikan ‘gambaran’ sosok imam
Al-Syafi’i secara universal. Hampir setiap uraian dalam buku yang dialihbahasakan
oleh Iman Firdaus ini disertakan riwayat-riwayat, yang menjadi ciri khas dari
karya-karya penulis Timur Tengah kebanyakan, dari para murid, tokoh, dan
keluarga imam Al-Syafi’i. Hal ini setidaknya menguatkan karakteristik sosok
imam Al-Syafi’i sebagai mujtahid kenamaan. Penerbit Zaman menerbitkan buku ini
dengan polesan ilustrasi yang apik dan menawan, sehingga pembaca akan merasa
nyaman dalam menelusuri setiap lembarnya.
Imam al-Syafi’i
memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Utsman
ibn Syafi’ ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Muthallib ibn Abdi
Manaf. Dengan demikian, beliau satu nasab dengan moyang Rasulallah saw, Abdi
Manaf. Di dalam buku ini diterangkan, bahwa imam Al-Syafi’i tidak hanya
mengusai ilmu fikih dan keilmuan agama secara umum. Imam Al-Syafi’i juga mahir
dalam bidang militer, kedokteran, ilmu gizi, ilmu nasab, sejarah, dan sastra.
Kelebihan lain yang dimiliki sang mujtahid adalah hapalan yang kuat, firasat
yang tajam, dan pandangan yang tajam.
Tariq menerangkan
bahwa Imam Al-Syafi’i senang mengembara dari satu tempat ke tampat lain, untuk
menuntut ilmu dan meneliti adat istiadat di daerah tersebut. Saat usia belia,
imam Al-Syafi’i memulai menuntut ilmunya di Makkah. Untuk memperdalam bahasa
Arab imam Al-Syafi’i memilih tinggal di dusun kaum Hudzail selama 17 tahun.
Kaum Hudzail merupakan kaum yang dinilai memiliki kefasihan bahasa Arab
(murni), terutama di bidang bayan dan syair.
Setelah menguasai
kesusastraan, Imam Asy-Syafi’i hijrah ke Madinah untuk belajar fiqh kepada
Malik ibn Anas (Imam Malik) melalui kitabnya, al-Muwaththa’. Beliau juga
mengembara ke Irak, terutama ke Baghdad, untuk menuntuk ilmu kepada Muhammad
ibn Hasan (murid dari Imam Abu Hanifah). Setelah mengembara ke beberapa daerah,
Imam Al-Syafi’i kembali berkunjung ke Baghdad. Kunjungan yang kedua ini untuk
menyebarkan pemikiran-pemikiran fiqh yang telah dikembangnya dan menyelesaikan
secara damai perseteruan wacana yang terjadi di Baghdad.
Salah satu problematika
wacana keagamaan yang berkembang pada saat itu adalah mengenai perseteruan
antara ahli ra’yi dan ahli hadits. Para ahli ra’yi cenderung
memperluas bahasan mereka tentang masalah-masalah furu’ (cabang).
Sementara itu, para ahli hadits memahami ajaran-ajaran yang terkandung dalam
hadits hanya terbatas pada yang tersurat saja, sehingga cenderung tekstualis.
Imam Al-Syafi’i datang ke Baghdad dengan membawa fiqh baru yang didukung oleh
‘hasil pemikiran’ dan hadits. Dengan pembelaan Imam al-Syafi’i, para ahli hadits
melihat beliau sebagai pemimpin terbaik yang membela hadits dan ‘membangunkan’
para ahli hadits. Sebagaimana ungkapan imam Ahmad, “jika bukan karena
al-Syafi’i, niscaya kami tidak pernah mengetahui fiqh hadits” (170-172).
Beliau menemukan tabiat dan adat
istiadat baru ketika mengembara ke Mesir, sehingga membuat beliau harus menarik
kembali sebagian pendapatnya (qaul qadim) dan mengkaji ulang (183). Imam
al-Syafi’i mulai menata kembali qaul qadim-nya dalam kitab al-Risalah
yang dikarang di Hijaz. Beliau juga mengumpulkan seluruh karyanya di bidang
fiqh. Kebanyakan karyanya dikodifikasi dalam satu kitab yang bernama al-Umm.
Dan dari sini imam al-Syafi’i melahirkan fikih barunya, sering disebut qaul
jadid.
Imam al-Syafi’i
menorehkan pemikiran fikih, dalam buku ini disebut, metodologi baru, yakni
kombinasi antara fiqh Irak dan fikih Madinah (Hijaz). Fiqh Irak yang
cenderung rasionalis (ra’yi), sedangkan fikih Madinah cenderung
tekstualis. Mazhab Syafi’iyun menjadi mazhab dengan penganut terbesar,
khususnya di Indonesia. Selain sebagai pendiri pondasi mazhab Syafi’iyun,
Imam Al-Syafi’i juga dipandang sebagai orang yang mencetuskan metodologi
pembacaan (penafsiran) teks melalui mognum opus-nya, kitab al-Risalah.
Dengan demikian, imam Al-Syafi’i dapat disebut sebagai revolusioner ushul fiqh.
Kitab-kitab Karya Imam Syafi’i.
1. Al-Risalah al-Qadimah (kitab
al-Hujjah); 2. Al-Risalah al-Jadidah; 3. Ikhtilaf al-Hadits; 4. Ibthal
al-Istihsan; 5. Ahkam al-Qur`an; 6. Bayadh al-Fardh; 7. Sifat al-Amr wa
al-Nahyi; 8. Ikhtilaf al-Malik wa al-Syafi`i; 9. Ikhtilaf al- Iraqiyin; 10. Ikhtilaf Muhammad bin Husain; 11.
Fadha`il al-Quraisy; 12. Kitab al-Umm; 13. Kitab al-Sunan.
Wafatnya Imam Syafi’i.
Pada
suatu hari, Imam Syafi'i terkena wasir, dan tetap begitu hingga terkadang ketika
naik kendaraan mengalami perdarahan yang serius, sehingga mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan
kaus kakinya. Wasir ini benar-benar menyiksanya selama hampir empat tahun, ia
menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan empat ribu
lembar. Selain itu ia terus mengajar, meneliti dialog serta mengkaji baik siang
maupun malam.
Pada
suatu hari muridnya Al-Muzani masuk menghadap dan berkata, "Bagamana
kondisi Anda wahai guru?" Imam Syafi'i menjawab, "Aku telah siap
meninggalkan dunia, meninggalkan para saudara dan teman, mulai meneguk minuman
kematian, kepada Allah dzikir terus terucap. Sungguh, demi Allah, aku tidak
tahu apakah jiwaku akan berjalan menuju surga sehingga perlu aku ucapkan
selamat, atau sedang menuju neraka sehingga aku harus berkabung?"
Setelah
itu, dia melihat di sekelilingnya seraya berkata kepada mereka, "Jika aku
meninggal, pergilah kalian kepada wali (penguasa), dan mintalah kepadanya agar
mau memandikanku," lalu sepupunya berkata, "Kami akan turun sebentar
untuk shalat." Imam menjawab, "Pergilah dan setelah itu duduklah
disini menunggu keluarnya ruhku." Setelah sepupu dan murid-muridnya shalat,
sang Imam bertanya, "Apakah engkau sudah shalat?" lalu mereka
menjawab, "Sudah", lalu ia minta segelas air, pada saat itu sedang
musim dingin, mereka berkata, "Biar kami campur dengan air hangat,"
ia berkata, "Jangan, sebaiknya dengan air safarjal". Setelah itu ia
wafat. Imam Syafi'i wafat di Mesir pada malam Jum'at sesudah shalat Magrib pada
hari terakhir di bulan Rajab tahun 204 Hijriyyah atau tahun 82o Miladiyyah pada
usia 52 tahun.
Tidak
lama setelah kabar kematiannya, tersebar di Mesir hingga kesedihan dan duka
melanda seluruh warga, mereka semua keluar dari rumah ingin membawa jenazah di
atas pundak, karena dahsyatnya kesedihan yang menempa mereka. Tidak ada
perkataan yang terucap saat itu selain permohonan rahmat dan ridha untuk yang
telah pergi.
Sejumlah
ulama pergi menemui wali Mesir yaitu Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam,
memintanya datang ke rumah duka untuk memandikan Imam sesuai dengan wasiatnya.
Ia berkata kepada mereka, "Apakah Imam meninggalkan hutang?",
"Benar!" jawab mereka serempak. Lalu wali Mesir memerintahkan untuk
melunasi hutang-hutang Imam seluruhnya. Setelah itu wali Mesir memandikan jasad
sang Imam.
Jenazah
Imam Syafi'i diangkat dari rumahnya, melewati jalan al-Fusthath dan pasarnya
hingga sampai ke daerah Darbi as-Siba, sekarang jalan Sayyidah an-Nafisah. Dan,
Sayyidah Nafisah meminta untuk memasukkan jenazah Imam ke rumahnya, setelah
jenazah dimasukkan, dia turun ke halaman rumah kemudian shalat jenazah, dan
berkata, "Semoga Allah merahmati asy-Syafi'i, sungguh ia benar-benar
berwudhu dengan baik."
Jenazah
kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam, disanalah ia
dikuburkan, yang kemudian terkenal dengan Turbah asy-Syafi'i sampai hari ini,
dan disana pula dibangun sebuan masjid yang diberi nama Masjid asy-Syafi'i.
Penduduk Mesir terus menerus menziarahi makam sang Imam, setiap penziarah tak
mudah dapat sampai ke makamnya karena banyaknya peziarah.
Demikianlah
kisah sebuah biografi perjalanan hidup Imam Asy-Syafi’i rahimahullah yang menakjubkan, tanpa lelah terus menggali dan
memperkenalkan ilmu yang didapatinya - yang dikenal melalui kitab-kitab
tulisannya yang telah melegenda, kendati
pun begitu, ia tetap rendah hati, bijaksana, toleran, dan berjiwa besar dalam
menghadapi tiga madzab yang lainnya. Semangat dan daya juangnya banyak memberi
inspirasi bagi para Muslim yang dengan ilmu dan keyakinannya menegakkan,
membela kalimatullah, membela Islam dan Sunnah. Allahu ‘alam bish-shawab. □ AFM
Sumber:
●Biografi Imam Syafi’i
Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Mujtahid, Dr. Tariq Suwaidan,
Penerbit: Zaman, Cetakan: III, 2012
●https://opinibuku.wordpress.com/2011/08/12/buku-tentang-biografi-imam-syafii/
●https://opinibuku.wordpress.com/2011/08/12/buku-tentang-biografi-imam-syafii/
●http://www.alkhoirot.net/2013/12/biografi-imam-syafii.html
●https://ypialkamiliyyah.wordpress.com/2012/09/01/pengembaraan-imam-al-syafii-mencari-ilmu/
●https://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Asy-Syafi'i□□□