Wednesday, May 21, 2014

Kiblat Kebaikan

Diluar adalah Stasiun Mercu Suar-Penyinar di Malam Hari





KIBLAT KEBAIKAN
Adalah Kiblat Kebenaran
Oleh: A. Faisal Marzuki



Kebajikan itu bukanlah menghadapkan
wajahmu ke arah Timur dan Barat.
[QS Al-Baqarah 2:177]




PENDAHULUAN


A
da baiknya kami sharing pengetahuan agama yang kami pelajari kepada Bapak, Ibu, Saudara dan Saudari yang dirahmati Allah yaitu menilik makna surat Al-Baqarah penggal pertama dari ayat 177 terutama dalam kaitannya kemana seharusnya kita orang Timur ini berkiblat dalam mengarungi hidup yang tidak saja di dunia tapi juga di akhirat kelak, nanti.

Penulis hidup di sini (dunia Barat) yaitu sudah barang tentu musti pandai-pandai  kita ‘makan’ mestinya ‘beras’ saja, tidak termasuk ‘atah’-nya. [1] Dengan itu selamatkah kita (manusia) dalam mengarungi hidup ini di dunia, sampai ke ‘final distination’ kita yaitu Surga Adnan yang didambakan oleh kita semua?


KAJIAN SURAH

K
ajian Surah Al-Baqarah “laisal birro antuwallū wujūhakum qibalal masyriqi wal maghrib. Artinya: Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat. [QS Al-Baqarah 2:177]

Timur adalah negara ’berkembang’ dan ada juga yang menyebutkan negara ‘terbelakang’. Barat adalah negara ‘maju’. Artinya dalam common logic adalah  Timur mesti belajar (meniru) Barat seperti iptek (termasuk budaya dan life style?), jika ingin maju. Dimulai akhir abad ke 20 comon logic telah menjadi common sense’. Commense Sense sudah menjadi kebenaran satu satunya?

Timur bukan hanya belajar dan butuh iptek saja tapi budaya dan life style-nya di copy juga. Ibnu Khaldun bapak (founding father) dari ilmu sosial telah mengantisipasi melalui ilmunya yaitu bahwa bangsa-bangsa yang kalah (dijajah) akan meniru (budaya, life style, peradaban) bangsa-bangsa yang menang (yang menjajah).

Sementara itu Tuhan Pencipta segala alam (termasuk manusia) telah mengingatkan seluruh manusia bahwa kebajikan itu bukanlah berkiblat ke arah Timur dan bukan pula ke Barat. Apa gerangan maksud dari firman Allah ’Azza wa Jalla ini, mari kita simak.

Kebetulan penulis suka membaca buku, termasuk yang bersifat ’kauniyah’ tentunya juga ’qauliyah’ sebagai pegangan hidup yang utama. Nah salah satu yang kauniyah ini penulis kutip pendapat Herbert Marcuse [2] sehubungan dengan kajian kita ini. Herbert Marcuse guru besar  filsafat Universitas California di San Diego, Amerika Serikat dalam bukunya One-Dimentional Man mengungkapkan dalam satu tesis sbb:

Masyarakat industri moderen (Barat) merupakan masyarakat yang rasional dalam detail, tetapi irasional dalam keseluruhan. Marcuse menggambarkan bahwa masyarakatnya bagaikan berada di dalam sebuah bis besar yang bagus, dengan peralatan teknis yang serba lengkap dan luks, berjalan lancar dan enak, para penumpangnya merasa puas. Tetapi orang tidak menyadari lagi kemana bis itu mengarah. Orang sudah terbius dengan kenikmatan  untuk tinggal di dalamnya. Bahkan pengemudinya pun terbawa saja oleh mekanisme gerak motor yang memutar roda bis tadi pada porosnya, terus melaju seturut jalan satu-satunya yang membawa bis tersebut. Tanpa sadar jalan tersebut menuju ke jurang kebinasaan. Demikianlah Herbert Marcuse melihat peradaban masyarakat industri moderen (Barat) sesuatu yang kelihatannya (memang) enak dan mantap serta membahagiakan tapi tidak tahu mau kemana hidup ini dibawa (irasional).

Mengamati thesis Marcuse diatas, maka apatah kita mau terjerumus seperti sinyalemen Marcuse orang Barat yang hidup di Barat yang dalam pengamatannya justru sebaliknya dari apa yang diyakini ‘kaum terpelajar’ dari dunia Timur - Bekas negera jajahan Barat.


Dilema Orang Timur

Selama ini kegemerlapan dunia Barat yang selalu dijadikan tolok ukur kemajuan dan ingin di aplikasikannya tanpa memilah-milahnya lagi mana yang ‘atah’ mana yang ‘beras’. Ketika beras ini dimasak menjadi nasi, maka ketika tengah melahap santapan yang dikira lezat ini, tiba-tiba kunyahan kita terhenti sejenak karena merasakan gigi sakit. Rupanya atahnya masih ada.

Begitu pula dalam kehidupan berpolitik di Barat sudah sampai kepada apa yang disebut 'Politik Pasca-Kebenaran' (Post-Truth Politics) yang intinya adalah fakta atau ‘kebenaran’ dalam berpolitik tidak begitu penting lagi. Dengan itu dalam berpolitik, pernyataan yang berulang-ulang walaupun tidak didukung oleh fakta yang sebenarnya acap kali digunakan menjadi sebuah kebenaran. Yaitu kebenaran semu, bukan kebenaran sejati. Sementara itu dalam menghadapi lawan politiknya yang menggunakan fakta dan data (kebenaran) yang ada diabaikan saja. [3] Cara-cara semacam ini ditiru pula. Cukup cerdaskan kita bahwa hidup ini tidak asal comot saja. Tidak bisa membedakan mana yang beras dan mana yang atah?

Dari pengalamnan tersebut, sekarang jawabannya ditangan anda, sementara Marcuse telah memberikan ‘lampu kuning’ yang artinya jika tidak dikoreksi, cepat atau lambat laun pasti akan benar-benar terperosok masuk ke jurang kebinasaan seperti keniscayaan yang telah terjadi pada peradaban bangsa-bangsa terdahulu.

Dari pelajaran itu bukan berarti semua yang di Barat itu, baik semua. Sementara itu pandangan dunia Barat hanya kepada satu dimensi (one dimentional) saja, yaitu “hubbud dunya”. Barat yang menganut dan menjalankan hukum-hukumnya bersifat sekuler (dunia) yaitu semata-mata bersandarkan kepada konvensi manusia saja, hukum yang berasal dari Tuhan tidak boleh dan tidak dipakai. Cara semacam itu kini mulai diapplikasikan pula oleh negara negara dunia Timur bekas jajahan Barat.


Kesimpulan

Menghadapi problematik kehidupan di barat yang dijelaskan oleh Marcuse. Dan terakhir dari digunakannya cara-cara Post-truth politics. Sementara itu Tuhan Pencipta segala alam (termasuk manusia) telah mengingatkan seluruh manusia bahwa kebajikan itu bukanlah berkiblat ke arah Timur dan bukan pula ke Barat. Tapi berkiblat kepada Kiblat Kebaikan, yaitu Kiblat Kebenaran.


PENUTUP

H
idup ini sifatnya “tranformasi”. Yaitu dari tiada (belum lahir) kepada ada (lahir yaitu hidup di dunia); Kemudian bertransformasi ke alam kubur (raganya mati – tubuh atau fisiknya sebagai “pembungkus” ruhnya dari tanah kembali ke tanah, ruhnya dari langit tetap hidup yang kini berada dalam alam kubur).

Selanjutnya bertranformasi ke alam akhirat sebagai pelabuhan terakhir (final destination) untuk mempertanggung jawabkan apa yang mereka lakukan di dunia. Karena ini berkonsekwensi yaitu bertempat di Neraka Jahanam atau di Surga Adnan.

Yang berlaku tidak benar - menjauhi ’Kiblat Kebenaran’ akan mendapati bersama setan, karena mendustakan kebenaran dari yang semestinya mereka berpedoman kepada Kiblat Kebenaran sebagai perintah dari Allah Maha Pencipta segala alam dan manusia.

Sementara di Dunia mereka yang berpedoman kepada Kiblat Kebenaran (Kebaikan) akan mendapatkan hidup makmur (adil, aman dan sejahtera) dalam naungan dan suasana ’Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofūr’, bagi seluruh penduduknya. [4]  Di Akhirat mendapat Surga Adnan bersama para Rasul, Siddiqin (orang-orang beriman yang beramal saleh dan menegakkan kebenaran). Sholihin (orang-orang yang beriman dan beramal soleh, karena bertaqwa kepada-Nya. Yaitu taqwa yang berpedoman kepada Kiblat Kebenaran yang diperintahkan-Nya. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. □ AFM




Catatan Kaki:

[1] Nasi dibuat dari beras. Pada beras biasanya ada atahnya, beras yang baik adalah beras tanpa atah. Atah itu berupa sisa kulit beras atau kadang kala ada seperti batu kecil yang kalau dimakan sambil digigit oleh gigi terasa keras dan menyakiti gigi (kurang nyaman).

Mungkin dipertanyakan bahwa beras sekarang tidak seperti itu lagi, melainkan bersih. Sebenarnya, saking ‘bersihnya” kandungan vitaminnya terguras. Doeloe tidak begitu diolehnya dengan ‘teknologi’ sederhana, sehingga masih ada ‘atah’-nya, yaitu ada sisa kulit beras. Kadang kala ada sejenis batu kecil. Inilah pengalaman penulis ketika ‘itoe’. Hal inilah yang diangkat sebagai bahan ‘methapor’ dalam tulisan ini.

[2] Siapa Herbert Marcuse? Herbert Marcuse (1898-1979), anggota Sekolah Frankfurt yang pindah ke Amerika Serikat, kemudian menjabat guru besar filsafat politik di kampus San Diego, Universitas California. Dia adalah salah satu filsuf yang populer dikalangan cendikiawan dalam abad ke XX. Dia diberi gelar ‘filsuf bagi New Left’ dan ‘Inspirator Revolusi Mahasiswa tahun 1968’

[3] Kehidupan berpolitik di Barat sudah sampai kepada apa yang disebut Politik pasca-kebenaran (Post-truth politics) yang intinya adalah fakta atau ‘kebenaran’ tidak penting. Artinya  fakta atau data-data yang dipergunakan tidak perlu benar (kebenarannya tidak ada) diputar seolah-olah suatu kebenaran, baik dalam masa kampanye dan setelah menang tetap mempertahankan cara-cara itu dalam menghadapi pertanyaan-pertangan publik (rakyat, pers).  Hal ini kentara sekali seperti apa yang dilakukan Trump yang saat ini lagi marak setiap hari dibahas di televisi CNN dan Channel 7 dan media-media lain di Amerika, karena mereka sadar bahwa cara-cara itu tidak benar, yang diembel-embeli dengan  Post-Truth politics. Seolah ilmiah padahal malapetaka, malapetaka yang dibungkus seperti perbuatannya itu ilmiah.

Lihat atau baca juga yang bersumber dari:
https://en.wikipedia.org/wiki/Post-truth_politics.

[4] Makna lughawi baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafūr. Mengapa Allah ‘Azza wa Jalla menyebut Negeri Saba’ sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr? Karena dalam bahasa kalimat tersebut mempunyai arti “Negeri yang baik dengan Rabb Yang Maha Pengampun”. Meski kalimatnya singkat namun maknanya padat, dan dapat mewakili semua kebaikan yang dulunya ada pada Negeri Saba’ tersebut, karena “negeri yang baik” bisa mencakup seluruh kebaikan alam dan pemerintahannya yang berkuasa ketika itu, dan “Rabb Yang Maha Pengampun” bisa mencakup seluruh kebaikan perilaku penduduknya sehingga mendatangkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , Rabb alam semesta. □□

Blog Archive