Diluar adalah Stasiun Mercu Suar-Penyinar di Malam Hari |
KIBLAT KEBAIKAN
Adalah Kiblat Kebenaran
Oleh: A. Faisal Marzuki
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan
wajahmu ke arah Timur dan Barat.
[QS Al-Baqarah 2:177]
PENDAHULUAN
A
|
da baiknya kami sharing pengetahuan
agama yang kami pelajari kepada Bapak, Ibu, Saudara dan Saudari yang dirahmati
Allah yaitu menilik makna surat Al-Baqarah penggal pertama dari ayat 177
terutama dalam kaitannya kemana seharusnya kita orang Timur ini berkiblat dalam
mengarungi hidup yang tidak saja di dunia tapi juga di akhirat kelak, nanti.
Penulis hidup di sini (dunia Barat)
yaitu sudah barang tentu musti pandai-pandai kita ‘makan’ mestinya
‘beras’ saja, tidak termasuk ‘atah’-nya. [1] Dengan itu selamatkah kita
(manusia) dalam mengarungi hidup ini di dunia, sampai ke ‘final distination’ kita yaitu Surga Adnan yang didambakan oleh kita
semua?
KAJIAN SURAH
K
|
ajian Surah Al-Baqarah “laisal
birro antuwallū wujūhakum qibalal masyriqi wal maghrib. Artinya: Kebajikan itu bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat. [QS Al-Baqarah 2:177]
Timur adalah
negara ’berkembang’ dan ada juga yang menyebutkan negara ‘terbelakang’. Barat
adalah negara ‘maju’. Artinya dalam common logic adalah Timur
mesti belajar (meniru) Barat seperti iptek (termasuk budaya dan life style?),
jika ingin maju. Dimulai akhir abad ke 20 comon logic telah menjadi common
sense’. Commense Sense sudah
menjadi kebenaran satu satunya?
Timur bukan hanya
belajar dan butuh iptek saja tapi budaya dan life style-nya di copy
juga. Ibnu Khaldun bapak (founding father) dari ilmu sosial telah
mengantisipasi melalui ilmunya yaitu bahwa bangsa-bangsa yang kalah (dijajah)
akan meniru (budaya, life style,
peradaban) bangsa-bangsa yang menang (yang menjajah).
Sementara itu
Tuhan Pencipta segala alam (termasuk manusia) telah mengingatkan seluruh
manusia bahwa kebajikan itu bukanlah berkiblat ke arah Timur dan bukan pula ke Barat. Apa
gerangan maksud dari firman Allah ’Azza
wa Jalla ini, mari kita simak.
Kebetulan penulis
suka membaca buku, termasuk yang bersifat ’kauniyah’
tentunya juga ’qauliyah’ sebagai
pegangan hidup yang utama. Nah salah satu yang kauniyah ini penulis kutip
pendapat Herbert Marcuse [2] sehubungan dengan kajian kita ini. Herbert Marcuse
guru besar filsafat Universitas California di San Diego, Amerika Serikat
dalam bukunya One-Dimentional Man mengungkapkan dalam satu tesis sbb:
Masyarakat industri moderen
(Barat) merupakan masyarakat yang rasional dalam detail, tetapi irasional dalam
keseluruhan. Marcuse menggambarkan bahwa masyarakatnya bagaikan berada di dalam
sebuah bis besar yang bagus, dengan peralatan teknis yang serba lengkap dan
luks, berjalan lancar dan enak, para penumpangnya merasa puas. Tetapi orang
tidak menyadari lagi kemana bis itu mengarah. Orang sudah terbius dengan
kenikmatan untuk tinggal di dalamnya. Bahkan pengemudinya pun terbawa
saja oleh mekanisme gerak motor yang memutar roda bis tadi pada porosnya, terus
melaju seturut jalan satu-satunya yang membawa bis tersebut. Tanpa sadar jalan
tersebut menuju ke jurang kebinasaan. Demikianlah Herbert Marcuse melihat
peradaban masyarakat industri moderen (Barat) sesuatu yang kelihatannya
(memang) enak dan mantap serta membahagiakan tapi tidak tahu mau kemana hidup
ini dibawa (irasional).
Mengamati thesis
Marcuse diatas, maka apatah kita mau terjerumus seperti sinyalemen Marcuse
orang Barat yang hidup di Barat yang dalam pengamatannya justru sebaliknya dari
apa yang diyakini ‘kaum terpelajar’ dari dunia Timur - Bekas negera jajahan
Barat.
Dilema Orang Timur
Selama ini
kegemerlapan dunia Barat yang selalu dijadikan tolok ukur kemajuan dan ingin di
aplikasikannya tanpa memilah-milahnya lagi mana yang ‘atah’ mana yang ‘beras’. Ketika
beras ini dimasak menjadi nasi, maka ketika tengah melahap santapan yang dikira
lezat ini, tiba-tiba kunyahan kita terhenti sejenak karena merasakan gigi sakit.
Rupanya atahnya masih ada.
Begitu pula dalam kehidupan berpolitik di Barat sudah
sampai kepada apa yang disebut 'Politik Pasca-Kebenaran' (Post-Truth Politics) yang intinya adalah fakta atau ‘kebenaran’ dalam berpolitik
tidak begitu penting lagi. Dengan itu dalam berpolitik, pernyataan yang berulang-ulang
walaupun tidak didukung oleh fakta yang sebenarnya acap kali digunakan menjadi
sebuah kebenaran. Yaitu kebenaran semu, bukan kebenaran sejati. Sementara itu dalam
menghadapi lawan politiknya yang menggunakan fakta dan data (kebenaran) yang ada diabaikan saja.
[3] Cara-cara semacam ini ditiru pula. Cukup cerdaskan kita
bahwa hidup ini tidak asal comot saja. Tidak bisa membedakan mana yang beras
dan mana yang atah?
Dari pengalamnan
tersebut, sekarang jawabannya ditangan anda, sementara Marcuse telah memberikan
‘lampu kuning’ yang artinya jika tidak dikoreksi, cepat atau lambat laun pasti
akan benar-benar terperosok masuk ke jurang kebinasaan seperti keniscayaan yang
telah terjadi pada peradaban bangsa-bangsa terdahulu.
Dari pelajaran itu
bukan berarti semua yang di Barat itu, baik semua. Sementara itu pandangan dunia Barat hanya
kepada satu dimensi (one dimentional) saja, yaitu “hubbud dunya”. Barat yang
menganut dan menjalankan hukum-hukumnya bersifat sekuler (dunia) yaitu
semata-mata bersandarkan kepada konvensi manusia saja, hukum yang berasal dari
Tuhan tidak boleh dan tidak dipakai. Cara semacam itu kini mulai diapplikasikan
pula oleh negara negara dunia Timur bekas jajahan Barat.
Kesimpulan
Menghadapi
problematik kehidupan di barat yang dijelaskan oleh Marcuse. Dan terakhir dari
digunakannya cara-cara Post-truth
politics. Sementara itu Tuhan Pencipta
segala alam (termasuk manusia) telah mengingatkan seluruh manusia bahwa
kebajikan itu bukanlah berkiblat ke arah Timur dan bukan pula ke Barat. Tapi berkiblat kepada
Kiblat Kebaikan, yaitu Kiblat Kebenaran.
PENUTUP
H
|
idup ini sifatnya
“tranformasi”. Yaitu dari tiada (belum lahir) kepada ada (lahir yaitu hidup di
dunia); Kemudian bertransformasi ke alam kubur (raganya mati – tubuh atau
fisiknya sebagai “pembungkus” ruhnya dari tanah kembali ke tanah, ruhnya dari
langit tetap hidup yang kini berada dalam alam kubur).
Selanjutnya
bertranformasi ke alam akhirat sebagai pelabuhan terakhir (final destination)
untuk mempertanggung jawabkan apa yang mereka lakukan di dunia. Karena ini berkonsekwensi
yaitu bertempat di Neraka Jahanam atau di Surga Adnan.
Yang berlaku tidak
benar - menjauhi ’Kiblat Kebenaran’ akan mendapati bersama setan, karena
mendustakan kebenaran dari yang semestinya mereka berpedoman kepada Kiblat
Kebenaran sebagai perintah dari Allah Maha Pencipta segala alam dan manusia.
Sementara di Dunia
mereka yang berpedoman kepada Kiblat Kebenaran (Kebaikan) akan mendapatkan
hidup makmur (adil, aman dan sejahtera) dalam naungan dan suasana ’Baldatun Thoyyibatun
wa Rabbun Ghofūr’, bagi seluruh penduduknya. [4] Di Akhirat mendapat Surga Adnan bersama para
Rasul, Siddiqin (orang-orang beriman
yang beramal saleh dan menegakkan kebenaran). Sholihin (orang-orang yang beriman dan beramal soleh, karena
bertaqwa kepada-Nya. Yaitu taqwa yang berpedoman kepada Kiblat Kebenaran yang
diperintahkan-Nya. Billāhit Taufiq
wal-Hidāyah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Nasi dibuat dari beras. Pada beras
biasanya ada atahnya, beras yang baik adalah beras tanpa atah. Atah itu berupa
sisa kulit beras atau kadang kala ada seperti batu kecil yang kalau dimakan
sambil digigit oleh gigi terasa keras dan menyakiti gigi (kurang nyaman).
Mungkin dipertanyakan bahwa beras
sekarang tidak seperti itu lagi, melainkan bersih. Sebenarnya, saking ‘bersihnya”
kandungan vitaminnya terguras. Doeloe tidak begitu diolehnya dengan ‘teknologi’
sederhana, sehingga masih ada ‘atah’-nya, yaitu ada sisa kulit beras. Kadang
kala ada sejenis batu kecil. Inilah pengalaman penulis ketika ‘itoe’. Hal inilah
yang diangkat sebagai bahan ‘methapor’ dalam tulisan ini.
[2] Siapa Herbert
Marcuse? Herbert Marcuse (1898-1979), anggota Sekolah Frankfurt yang
pindah ke Amerika Serikat, kemudian menjabat guru besar filsafat politik di
kampus San Diego, Universitas California. Dia adalah salah satu filsuf yang
populer dikalangan cendikiawan dalam abad ke XX. Dia diberi gelar ‘filsuf bagi
New Left’ dan ‘Inspirator Revolusi Mahasiswa tahun 1968’
[3] Kehidupan berpolitik di Barat sudah sampai kepada apa yang disebut Politik pasca-kebenaran (Post-truth politics)
yang intinya adalah fakta atau ‘kebenaran’ tidak penting. Artinya fakta atau data-data yang dipergunakan tidak perlu
benar (kebenarannya tidak ada) diputar seolah-olah suatu kebenaran, baik dalam
masa kampanye dan setelah menang tetap mempertahankan cara-cara itu dalam
menghadapi pertanyaan-pertangan publik (rakyat, pers). Hal ini kentara
sekali seperti apa yang dilakukan Trump yang saat ini lagi marak setiap hari
dibahas di televisi CNN dan Channel 7 dan media-media lain di Amerika, karena
mereka sadar bahwa cara-cara itu tidak benar, yang diembel-embeli dengan Post-Truth
politics. Seolah ilmiah padahal malapetaka, malapetaka yang
dibungkus seperti perbuatannya itu ilmiah.
Lihat atau baca juga yang bersumber dari:
https://en.wikipedia.org/wiki/Post-truth_politics.
[4] Makna lughawi baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafūr. Mengapa
Allah ‘Azza wa Jalla menyebut Negeri
Saba’ sebagai baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafūr? Karena dalam bahasa kalimat tersebut mempunyai arti “Negeri
yang baik dengan Rabb Yang Maha Pengampun”. Meski kalimatnya singkat namun
maknanya padat, dan dapat mewakili semua kebaikan yang dulunya ada pada Negeri
Saba’ tersebut, karena “negeri yang baik” bisa mencakup seluruh kebaikan alam dan
pemerintahannya yang berkuasa ketika itu, dan “Rabb Yang Maha Pengampun” bisa
mencakup seluruh kebaikan perilaku penduduknya sehingga mendatangkan ampunan
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , Rabb
alam semesta. □□