Kaum Fundamentalis dan
Radikal Islam di Indonesia
P
|
eristiwa Bom Bali yang menelan
ratusan korban jiwa yang tak berdosa pada tanggal 12 Oktober 2002 telah
memunculkan kaum fundamentalis Islam (Jama’ah Islamiyah) sebagai “teroris”
dalam peta bumi politik dunia saat ini. Kaum yang berusaha melaksanakan ajaran-ajaran
agama Islam secara kaffah (totalitas) dalam kehidupan kesehariannya ini
dipandang sebagai kaum yang tidak bisa hidup berdampingan secara damai dengan
masyarakat “modern” yang menerapkan cara-cara hidup Barat. Bagi mereka, Barat
(termasuk seluruh kultur dan bahkan orang-orangnya) adalah haram dan najis
berada di dunia ini.
Pada akhir abad ke-20,
fundamentalisme Islam telah muncul sebagai kekuatan yang sangat dahsyat di
dunia yang berusaha menyaingi dominasi nilai-nilai sekular modern dan
kehadirannya ini dianggap telah mengancam perdamaian dan harmoni jagat bumi
ini. Kaum fundamentalis adalah kaum militan yang selalu menerapkan sikap tegas
terhadap anasir-anasir yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai agama ini dan
merasa bahwa hanya dengan agama mereka bisa mengembalikan keseimbangan dunia
ini ke keadaan semula.
Manifestasi perbedaan cara
pandang ini dalam panggung politik sering mengejutkan terutama dengan serangan
terorismenya yang memakan banyak korban yang tak berdosa. Kaum fundamentalis
memiliki kerangka nilai dan tata-aturan tersendiri dan sering mereka sendiri
mempersepsikannya sebagai sesuatu yang incompatible
with modernity. Bagi mereka, korban sipil dan korban lainnya yang sering
disebut awam sebagai “tak berdosa”, justru dipandang sebagai masyarakat yang
zalim yang harus menerima dampak dan akibat, baik langsung maupun tidak
langsung dari semua aksi-aksi yang mengejutkan yang mereka buat.
Bagi kaum fundamentalis Islam
di Indonesia, mereka merasa bahwa kultur liberal yang umumnya berasal dari
Barat telah begitu menghancurkan entitas nila-nilai luhur yang hidup dan
bersemi di dalam komunitas mereka sejak lama. Reaksi terhadap perubahan
nilai-nilai sosial inilah yang kemudian, menurut Karen Armstrong, mengarahkan
kaum fundamentalis berperang dan membunuh atas nama dan untuk Tuhan (the battle for God). Apa yang terjadi
pada tahun 1978 dengan “Peristiwa Komando Jihad”, tahun 1982 dengan “Peristiwa
Usroh”, tahun 1984 dengan “Peristiwa Teror Warman”, tahun 1985 dengan
“Peledakan Candi Borobudur”, tahun 1989 dengan “Tragedi Talangsari Jamaah
Warsidi”, tahun 1986 dengan “Peristiwa Cicendo”, tahun 1987 dengan “Pembajakan
Pesawat Woyla”, tahun 2000 dengan “Persitiwan Bom Malam Natal di 18 kota”, Bom
Bali dan terakhir bom di Hotel JW Marriot, adalah ekspresi emosi keagamaan kaum
fundamentalis dan radikal Indonesia. Mereka juga berjuang keras membawa hal-hal
sakral ke dalam dunia politik dan memaksakannya masuk ke pergulatan kebangsaan
—yang incompatible dengan ajaran-ajaran agama— agar tercipta sebuah “harmoni
baru” menurut apa yang mereka persepsikan.
Selalu saja pada setiap
masyarakat, di setiap zaman dan tradisi ada orang-orang yang melakukan
perlawanan terhadap modernitas. Ini merupakan sebuah reaksi terhadap kultur
ilmiah dan sekular yang berawal dari Barat namun telah berakar di semua tempat
di dunia ini. Barat telah mengembangkan “an
entirely unprecedented and wholly different type of civilization”- tipe
yang sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya dan sama sekali berbeda dari
peradaban (yang pernah ada), sehingga respon agama terhadap Barat menjadi
sangat unik. Gerakan kaum fundamentalis di zaman modern sekarang memiliki
hubungan simbiotik dengan modernitas itu sendiri. Mereka mungkin saja menolak
rasionalisme ilmiah Barat, namun mereka tidak dapat lari darinya. Peradaban
Barat telah mengubah dunia, dan kaum Fundamentalis pun akan berusaha
mengembalikannya sejauh yang telah diubah oleh Barat tersebut.
Kaum fundamentalis juga melawan
hegomoni kaum sekularis (Barat) yang dianggap telah menghilangkan ruang bagi
improvisasi kaum agamawan. Kaum sekuler juga menganggap bahwa semakin rasional
suatu masyarakat, maka akan semakin berkurang kebutuhan spiritualnya yang
biasanya dipasok oleh agama. Maka, kaum fundamentalis selalu merasakan dirinya
sedang berada dalam peperangan melawan nilai-nilai mereka yang paling sakral (battling against forces that threaten their
most sacred values). Ketika perasaan berada dalam situasi perang semakin
menghimpit mereka, maka baik pihak sekuler maupun fundamentalis, seperti apa
yang ditulis Karen Armstrong, it is very
difficult for combatants to appreciate one another’s position – posisi yang
sangat sulit bagi kombatan (para pejuang dan militer dari dua kubu) untuk
menghargai satu sama lain. Perang terbuka pun sangat mungkin untuk terjadi.
Pada akhir tahun 1970-an, kaum
fundamentalis Islam di Indonesia mulai mengadakan gerakan pemberontakan
terhadap hegemoni kaum sekuler dan mencoba secara paksa mendudukkan kembali
agama dari posisi marjinal ke posisi sentral dalam panggung pergulatan politik.
Di atas panggung ini, kaum fundamentalis telah menikmati sukses yang
spektakular. Agama mulai saat itu sekali lagi telah menjadi sebuah kekuatan di
mana, seperti ditulis Martin E. Marty dan Scott Appleby (1979), “no government can safely ignore” – tidak ada suatu pemerintahan yang bisa dengan aman mengabaikannya.
Fundamentalisme sekarang
merupakan bagian esensial dari pemandangan modern dan akan terus-menerus
memainkan peran penting dalam politik, sosial, budaya, ekonomi dan keamanan
domestik di masa depan. Perkembangan ini telah mengarah kepada problem yang
semakin krusial yang mengundang rasa heran banyak peneliti dan ilmuwan sosial
sehingga, seperti ditulis Marty dan Appleby, “therefore, that we try to
understand what this type of religiosity means, how and for what reasons it has
developed, what it can tell us about our culture, and how best we should deal
with it.” Kaum fundamentalis menjadi sebuah entitas yang hampir tak
terdefinisikan dan tidak ada satu orang pun yang tahu pasti bagaimana mengetasi
mereka.
Semua tendensi ini semakin
mengarahkan kepada apa yang disebut Karen Armstrong bahwa “new fundamentalism has been an attempt
to get Islamic history back on the right track and to make the umma [Muslim
community] effective and strong once again.” Mereka tidak akan
berhenti menjadi fundamentalis sebelum seluruh pluralitas ini bernaung di bawah
kekuasaan mereka. Dapat kita pastikan, para pemimpin yang akan muncul dan
berpengaruh di masa depan kebanyakan berasal dari kalangan ini.
Di Indonesia, kaum
fundamentalis berkembang ke arah kaum skripturalis di mana mereka
diidentifikasi dengan adanya literal interpretation terhadap teks-teks agama
dan penajaman doktrin-doktrin inti tertentu seperti jihad dan syari’at. Dua
inti ajaran ini ternyata sangat berpengaruh terhadap problem disharmoni antara
kaum fundamentalis dan kaum sekuler. Disharmoni ini dapat berubah menjadi
sebuah medan perang manakala dipicu oleh isu-isu massal di mana moral agama
menjadi wasit utamanya. Saat ini kaum fundamentalis juga berkembang ke arah
impresi bahwa kaum fundamentalis secara inheren bersifat konservatif dan
senantiasa merujuk ke masa lalu namun dengan penambahan kemampuan-kemampuan
esensial tertentu yang modern dan sangat inovatif. Maka, medan ini di masa
depan sudah pasti akan dimenangkan oleh kaum fundamentalis.
Mereka sekarang telah menyerap
rasionalisme pragmatis dari modernitas dan di bawah asuhan para pemimpin
kharismatik mereka, mereka menyaring apa-apa yang “fundamental” untuk
menciptakan sebuah ideologi yang memberikan mereka sebuah plan of action. Sehingga sekarang mereka tampak menyerang balik dan
mencoba untuk meresakralisasi dunia yang telah dibuat semakin skeptis dan kabur
oleh kaum sekuler. Semua itu mereka jadikan sebagai alat untuk mengeksplorasi
implikasi-implikasi dari respon global terhadap kultur modern.
Pada gerakan-gerakan kaum
fundamentalis Islam tertentu, di mana banyak di antaranya yang sangat tersohor
dan berpengaruh, seperti kaum Darul Islam (DI-TII), respon global terhadap
kultur modern ini ditunjukkan dengan motivasi yang bersifat patologi psikologis
seperti yang disebutkan oleh Karen Armstrong: “common fears, anxieties, and desires that seem to be a not unusual
response to some of the peculiar difficulties of life in the modern secular
world.” Gejala patologis ini tidak hilang meskipun mereka mengalami
kemajuan-kemajuan dalam gerakannya dan, meskipun AS sekarang mendapat musibah,
mereka masih tetap saja merasa ketakutan irasional. Ketakutan irasional ini
sebagian besar disebabkan oleh posisi mereka yang cenderung underground, tertutup, anti-demokrasi
dan hanya percaya dengan cara-cara primitive
rebels dalam bentuk kekerasan. Patologi psikologis berat ini tentu saja
telah memisahkan mereka dari dunia modern yang serba demokratis, terbuka,
lembut dan institusional. Melihat kenyataan semacam ini, maka tidak ada satu
pihak pun yang berkenan menghampiri mereka, apalagi untuk menolong.
Jika pilihannya mengisolasi
kaum fundamentalis, maka sama artinya bahwa kaum sekularis —yang banyak
mendapatkan pencerahan Barat— memberi jarak yang cukup bagi ancang-ancang
menyerang. Seharusnya kaum fundamentalis diajak berdialog dalam atmosfir yang
terbuka, hangat, bersahabat dan tanpa ancaman-ancaman yang semakin menjauhkan
mereka. Untuk kasus Darul Islam dan Jama’ah Islamiyah di Indonesia, masih
memungkinkan untuk dilakukan serangkaian transformasi yang bisa menghilangkan
patologi psikologis yang sering secara irasional menghinggapi mereka. Mereka
haruslah dikeluarkan dari dunia bawah tanah yang suram, gelap dan penuh intrik
ke dunia terbuka, hangat dan saling menghargai. Mereka haruslah di
intitusionalisasikan melalui lembaga yang permanen, agar perasaan nothing to loose mereka berubah menjadi
sikap yang bertanggung jawab. Mereka haruslah disadarkan bahwa kekerasan
bukanlah cara yang baik menyelesaikan masalah. Mereka juga harus dipahamkan
bahwa hanya dengan iklim demokratislah mereka dijamin bisa berdemonstrasi,
meskipun demokrasi senantiasa mereka persepsikan incompatible dengan Islam. [Tamat] □ AFM
Kembali ke: Antropologi Pemikiran KaumTeroris 1
Sumber:
https://serbasejarah.wordpress.com/2009/06/13/antropologi-pemikiran-kaum-teroris-2/□□□