Sunday, November 1, 2015

Gelombang Baru Pemikiran Islam







Teorinya ini ia adaptasi dari teori Harvey Cook dalam The Secular City dan teori Robert N. Bellah dalam Beyond Belief yang keduanya berkesimpulan bahwa bila suatu masyarakat ingin maju, maka sekularisasi merupakan proses yang tidak bisa dielakkan. Keduanya tentu mendasarkan teorinya dari pengalaman masyarakat Barat yang dapat bangkit dari keterpurukan Abad Pertengahan setelah melakukan proses sekularisasi dan bahkan menjadikan sekularisme sebagai ideologi baru.


Kata Pengantar

Judul dari “Gelombang Baru Pemikiran Islam di Indonesia”, maksudnya adalah suatu yang bersifat “modern atau post modern” yaitu “sekulerisme”. Pemikiran tersebut dicoba ditawarkan sebagai solusi “kemandekan” umat di ukur dari kehidupan sosiologi kemasyarakatan secara nasional dan internasional. Sekulerisasi yang dicoba dimasukkan kedalam alam pemikiran Islam di Indonesia. Dengan itu artinya mencoba memisahkan atau mengenyampingkan ajaran Islam yang “kaffah”.

Teori sekularisasi adalah suatu cara mengatasi keadaan di “abad tengah” (medieval ages) dunia Barat. Sering abad itu yang disebut  sebagai “the dark ages” (abad gelap) dari peradaban Barat. Untuk mengatasinya (disebutkan karena ulah kekuasaan gereja), perlu memisahkan gereja (kekuasaan dan ajaran gereja) dengan kehidupan dunia. Urusan dunia diserahkan kepada konvensi pendapat manusia saja (tanpa ajaran dan kekuasaan gereja lagi). Sejak pendekatan sekulerisasi dilaksanakan, “berhasil”. Resep atau konsep ini pulalah yang akan ditanamkan kepada alam pemikiran Islam di Indonesia. Ternyata jangka panjangnya tidak, seperti halnya yang dikritisi oleh Herbert Marcuse [1] mengungkapkan dalam satu tesis sebagai yang digambarkannya:

Masyarakat industri moderen (Barat) merupakan masyarakat yang rasional dalam detail, tetapi irasional dalam keseluruhan. Marcuse menggambarkan bahwa masyarakatnya bagaikan berada di dalam sebuah bis besar yang bagus, dengan peralatan teknis yang serba lengkap dan luks, berjalan lancar dan enak, para penumpangnya merasa puas. Tetapi orang tidak menyadari lagi kemana bis itu mengarah. Orang sudah terbius dengan kenikmatan  untuk tinggal di dalamnya. Bahkan pengemudinya pun terbawa saja oleh mekanisme gerak motor yang memutar roda bis tadi pada porosnya, terus melaju seturut jalan satu-satunya yang membawa bis tersebut. Tanpa sadar jalan tersebut menuju ke jurang kebinasaan.



Demikianlah Herbert Marcuse melihat peradaban masyarakat industri moderen (Barat) sesuatu yang kelihatannya (memang) enak dan mantap serta membahagiakan tapi tidak tahu mau kemana hidup ini dibawa (irasional).
 
Apatah kita mau terjerumus seperti sinyalemen Marcuse orang Barat [2] yang hidup di Barat yang dalam pengamatannya justru sebaliknya dari apa yang diyakini ‘kaum terpelajar’ dari dunia Timur - bekas negera jajahan Barat?

Selanjutnya ikutilah pembahasannya oleh Tiar Anwar Bachtiar, seorang Doktor Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia. Ia juga sebagai Penasehat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB). □ AFM


Gelombang Baru Pemikiran Islam di Indonesia


B
eberapa peneliti pemikiran Islam di Indonesia sejak Kamal Hassan (1975), Greg Barton (1999), Charles Kurzman (2001), Yudi Latif (2003), hingga Zuy Qodir (2010) berkesimpulan bahwa setelah fase “tradisionalis dan modernis” muncul varian pemikiran baru yang melampaui kedua genre pemikiran sebelumnya. Pemikiran baru ini diberi istilah berbeda-beda oleh masing-masing peneliti, namun dengan maksud dan substansi masalah yang sama. Hassan dan Latif menyebutnya sebagai “gerakan pembaharuan”; Barton menyebutnya “neo-modernisme Islam”; sementara Kurzman dan Qodir mengistilahkannya sebagai “Islam Liberal”.

   Istilah terakhir semenjak munculnya fatwa MUI tahun 2005 tentang haramnya sekularisme, pluralism, dan liberalisme menjadi peyoratif (mengalami perobahan makna), padahal dua dekade sebelumnya, oleh para aktivisnya istilah Islam Liberal ini digunakan sendiri dengan penuh kebanggaan. Ulil Abshar Abdalla dan kawan-kawan, misalnya, dengan bangga mendirikan Jaringan Islam Liberal (JIL) tahun 2001. Website resminya pun merupakan akronim dari “Islam Liberal”, yaitu www.islamlib.com.

   Para peneliti itu bersepakat bahwa pelopor gerakan pemikiran baru ini adalah Harun Nasution dan Nurcholish Madjid yang mulai berkiprah di Indonesia pada tahun 1970-an. Barton menambahkan nama Abdurrahman Wahid dan Djohan Effendi sebagai tokoh penting di balik kemunculan pemikiran baru ini. Melalui para tokoh yang sangat berpengaruh di wilayahnya masing-masing pemikiran baru ini cepat menyebar. Harun Nasution berhasil mengembangkannya melalui institusi IAIN yang ia pimpin di Jakarta. Dari IAIN Jakarta inilah kemudian pemikiran Harun Nasution berkembang ke berbagi IAIN dan PTAI lainnya di seluruh Indonesia.
  
   Nurcholish Madjid yang dalam kapasitasnya sebagai tokoh gerakan mahasiswa Islam pada tahun 1970-an, telah berhasil menginspirasi berbagai gerakan mahasiswa Islam untuk mengikuti pemikiran-pemikirannya. Alhasil gerakan mahasiswa Islam seperti HMI, IMM, PMII, dan bahkan gerakan perlajar seperti PII juga banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran baru ini melalui Nurcholish Madjid. Sementara itu, Abdurrahman Wahid dianggap sangat berjasa dalam mengubah wajah NU dan memunculkan faksi liberal di dalam tubuh NU mendampingi para kiai yang telah begitu lama menjaga ortodoksi NU. Walaupun nama Djohan Effendi disebut oleh Barton, namun kepeoloporannya dalam sejarah pemikiran baru ini tidak terlalu tampak di publik.
  
   Ciri pokok yang membedakan gerakan pemikiran Islam baru ini dengan gerakan-gerakan pemikiran sebelumnya adalah penerimaan secara terbuka terhadap beberapa teori orientalis dalam kajian Islam. Misalnya teori tentang “sekularisasi” atau “sekularisme”. Nurcholish Madjid memunculkan istilah “sekularisasi” pada kemunculan kontroversialnya pertama kali tahun 1970-an. Dianggap kontroversial karena saat itu, ia berkesimpulan bahwa “sekularisasi” merupakan jalan untuk memajukan umat Islam dan melepaskannya dari keterbelakangan.
  
   Teorinya ini ia adaptasi dari teori Harvey Cook dalam The Secular City dan teori Robert N. Bellah dalam Beyond Belief yang keduanya berkesimpulan bahwa bila suatu masyarakat ingin maju, maka sekularisasi merupakan proses yang tidak bisa dielakkan. Keduanya tentu mendasarkan teorinya dari pengalaman masyarakat Barat yang dapat bangkit dari keterpurukan Abad Pertengahan setelah melakukan proses sekularisasi dan bahkan menjadikan sekularisme sebagai ideologi baru. Hingga saat ini, teori sekularisasi ini tetap dipercayai sebagai solusi masalah umat Islam oleh penerus pemikiran Madjid seperti terlihat dalam tulisan-tulisan Budi Munawwar-Rachman (2010 dan 2011) dan yang lainnya. Bahkan tulisan-tulisan terakhir para penerus pemikiran Madjid ini bukan hanya menerima sekularisasi, melainkan juga menerima “sekularisme” sebagai ideologi yang juga dianggap dapat memajukan umat Islam saat ini.
  
   Sejak awal kemunculannya, pemikiran liberal semacam ini sudah mendapatkan reaksi keras dari tokoh-tokoh Islam. Pasalnya, sejak awal ke-20, kelompok sekuler dianggap sebagai “lawan” bagi gerakan-gerakan Islam. Tiba-tiba muncul pemikiran ini dari rahim umat Islam, bahkan gerakan Islam sendiri. Kritik-kritik sangat tajam terhadap pemikiran ini dilontarkan oleh M. Rasjidi, Endang Saefudin Anshary, dan Abdul Qodir Djaelani. Secara kebetulan mereka adalah aktivis di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) hingga Yudi Latif (2003) mengistilahkan para pengritik ini sebagai “Kelompok Dakwah”. Tambahan lagi sampai dua dekade berikutnya kritik-kritik terhadap pemikiran Islam Liberal ini masih tetap ada di lingkaran DDII. Tahun 1990-an muncul nama-nama pengritik Islam Liberal baru seperti Ahmad Husnan, Daud Rasyid, dan Hartono Ahmad Jaiz. Semuanya merupakan aktivis DDII.
  
   Pada umumnya, para peneliti ini berkesimpulan bahwa kritik-kritik terhadap Islam Liberal ini dianggap skripturalis (Heffner, 1998) dan sering hanya berputar-putar dalam masalah istilah kebahasaan tanpa menghiraukan substansi dari pemikiran ini (Anwar, 1997; Latif, 2003). Kritik-kritik ini juga dianggap sebagai tidak ilmiah, jumud, konservatif, dan tidak progresif (Pradana Boy, 2009; Bruinessen, 2014). Walaupun kesimpulan-kesimpulan itu masih sangat terbuka untuk dikritik-ulang, namun pada kenyataannya terjadi ketimpangan pengembangan pemikiran antara Islam Liberal dengan para pengritiknya. Pemikiran-pemikiran Islam Liberal yang digagas tahun 1970-an relatif berhasil dikembangkan sebagai paradigma berpikir dalam kajian-kajian akademik di perguruan tinggi Islam. Dari pemikiran ini telah lahir ratusan atau bahkan ribuan penelitian ilmiah mulai dari skripsi, tesis, disertasi, hingga penelitian-penelitian lepas lainnya. Sudah banyak pula yang dipublikasikan secara luas sehingga pemikiran liberal ini terlihat sangat kokoh sebagai “pemikiran baru” dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia.

   Sementara itu, para pengritiknya hanya melahirkan beberapa judul buku. Itupun harus diakui masih berbicara pada masalah-masalah istilah dan pemikiran-pemikiran dasar. Latar belakang beberapa penulis seperti Ahmad Husnan dan Daud Rasyid yang terdidik dalam disiplin ilmu-ilmu Islam klasik di Timur Tengah juga menyebabkan kritik mereka terkesan “skripturalis”, yaitu langsung mengritik pemikiran dengan timbangan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Nabi sehingga terkesan para penulis ini tidak mengerti masalah yang tengah didiskusikan. Sekalipun ada buku-buku M. Rasjidi yang langsung mengritik dari segi pemikiran secara memadai, namun karena Rasjidi tidak mengembangkan kritik-kritik pemikirannya secara lebih lanjut, kesan skripturalis pada tulisan-tulisan terakhir yang mengritik Islam Liberal tidak bisa dihindarkan.

   Kritik-kritik terhadap pemikiran Islam secara lebih memadai muncul ketika didirikan INSISTS tahun 2003 oleh mahasiswa dan alumni ISTAC asal Indonesia di Kuala Lumpur dan mulai menerbitkan jurnal kajian Islam Islamia di Indonesia tahun 2004. Hingga saat ini, jurnal Islamia sudah terbit hingga 18 edisi. Setiap edisi berisi tulisan-tulisan mendalam tentang berbagai topik yang juga sering dijadikan topik dalam pemikiran-pemikiran Islam Liberal seperti tentang hermeneutika dan tafsir Al-Quran, kritik Hadits, sains Islam, demokrasi dan hak asasi manusia, gender, pendidikan Islam, pluralisme agama, dan lainnya. Selain menerbitkan jurnal, buku-buku dengan tema beragam yang mengkritik berbagai aspek pemikiran Islam Liberal juga diterbitkan.

   Tidak berhenti sampai di situ, karakter pemikiran yang dikembangkan para aktivis INSISTS yang mendalam, ilmiah, dan berbahan bacaan sangat luas memungkinkan pemikiran ini dikembangkan sebagai basis paradigma riset di perguruan tinggi. Oleh sebab itu, gagasan-gagasan anti-Islam Liberal yang dikembangkan INSISTS ini dapat diterima di beberapa perguruan tinggi seperti PSTTI-UI, Pascasarjana Pemikiran Islam UMS Solo, Unida Gontor, Universitas Ibnu Khaldun Bogor, dan lainnya. Sejak tahun 2007 sudah lebih dari 100 riset S2 dan S3 yang ditulis di berbagai perguruan tinggi di atas dengan basis paradigma anti-Islam Liberal yang dikembangkan INSISTS. Selain itu, apa yang dikerjakan INSISTS juga menginspirasi banyak peneliti lain di luar yang ditangani langsung oleh para aktivis INSISTS untuk menulis karya ilmiah baik S2 maupun S3 yang mengritik berbagai topik pemikiran Islam Liberal. INSISTS juga menginspirasi lahirnya berbagai gerakan ilmiah sejenis di berbagai kota seantero Indonesia sehingga gerakan pemikiran ini berpotensi menjadi suatu gerakan pemikiran mainstream baru di Indonesia.

   Apa yang dilakukan INSISTS dan turunan-turunan aksinya di lapangan pemikiran ilmiah sesungguhnya telah membuka babak baru dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia. Sebelumnya para peneliti cenderung telah menempatkan pemikiran “Islam Liberal” tanpa lawan sebagai pemikiran Islam baru dalam sejarah pemikiran Indonesia sejak awal abad ke-20. Pemikiran Islam Liberal ini juga telah dianggap sebagai pemikiran paling baik untuk menjawab tantangan modernitas dan untuk memajukan umat Islam di lapangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, klaim-klaim itu sudah mulai harus direvisi setelah kehadiran INSISTS.

   Pemikiran yang dikembangkan INSISTS ini berbasis pada pemikiran “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer” (IIPK) yang digagas oleh Syed M. Naquib Al-Attas. Pemikiran ini langsung menukik pada persoalan ilmu pengetahuan dan kaitnya dengan krisis yang tengah dialami oleh umat Islam, bahkan dihadapi oleh umat manusia secara mondial (global, worldwide) saat ini. Bila pemikiran Islam Liberal berkesimpulan bahwa umat Islam harus meniru Barat bila ingin maju, yaitu melakukan “sekularisasi” dalam pengembangan ilmu pengetahuan; Al-Attas justru berkesimpulan bahwa untuk menjawab persoalan kemanusiaan universal harus dilakukan “Islamisasi”.

   Peradaban Barat saat ini telah sempurna memperlihatkan kebobrokannya; dan Islam menyediakan jawaban atas hal itu sebagaimana pernah diperlihatkan oleh peradaban Islam pada masa lalu. Bila untuk maju, umat Islam harus meniru peradaban Barat saat ini, justru (dengan itu) umat Islam sedang melangkahkan kaki menuju kehancurannya. Hanya saja, untuk menemukan kekayaan khazanah peradaban Islam umat Islam perlu menggali kekayaan pemikiran para ilmuwan dan ulama Muslim di masa lalu yang hingga saat ini masih harus terus dilakukan penggalian. Dengan cara itu, umat Islam dapat melihat secara jelas bagaimana bangunan pemikiran Islam yang berhasil mengantarkan Islam sampai pada kejayaannya.

   Dalam amatan Al-Attas terhadap karakter pemikiran para ulama Muslim terdahulu, karya-karya ilmiah mereka semuanya didasarkan pada suatu pandangan metafisika khas Islam; suatu pandangan metafisika yang melihat dan meletakkan segala hal sesuai dengan petunjuk Allah swt yang diwahyukan pada Nabi saw, bukan semata-mata berdasarkan pengamatan indra dan hasil pemikiran manusia. Al-Attas menyebut pandangan metafisika ini sebagai Islamic worldview. Kesalahan pemikiran yang dikembangkan para pemikir Islam Liberal justru terletak pada masalah fundamental ini, yaitu tidak menggunakan Islamic worldview dalam memahami berbagai hal, termasuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Mereka terjebak dalam Western worldview yang menjerumuskan pemikiran umat Islam pada arus de-spiritualisasi realitas dan pengabaian wahyu sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran utama. Akibatnya, pemikiran Islam Liberal ini alih-alih (sepertinya) mengantarkan umat Islam pada kemajuan, justru malah sedikit demi sedikit umat Islam semakin (menjadi) menolak supremasi wahyu yang berarti menolak supremasi agama. Wallahu A’lam bi Al-Shawwab. □


Catatan Kaki:

[1] Herbert Marcuse guru besar  filsafat Universitas California di San Diego dalam bukunya One-Dimentional Man. Siapa Herbert Marcuse? Herbert Marcuse (1898-1979), anggota Sekolah Frankfurt yang pindah ke Amerika Serikat, kemudian menjabat guru besar filsafat politik di kampus San Diego, Universitas California. Dia adalah salah satu filsuf yang populer dikalangan cendikiawan dalam abad ke XX. Dia diberi gelar ‘filsuf bagi New Left’ dan ‘Inspirator Revolusi Mahasiswa tahun 1968’ Lihat juga blog ini dengan tema: ’Kiblat Kebaikan’



Sumber:
http://jejakislam.net/?p=1084 □□□

Blog Archive