Teorinya
ini ia adaptasi dari teori Harvey Cook dalam The Secular City dan teori
Robert N. Bellah dalam Beyond Belief yang keduanya berkesimpulan bahwa
bila suatu masyarakat ingin maju, maka sekularisasi merupakan proses yang tidak
bisa dielakkan. Keduanya tentu mendasarkan teorinya dari pengalaman masyarakat
Barat yang dapat bangkit dari keterpurukan Abad Pertengahan setelah melakukan
proses sekularisasi dan bahkan menjadikan sekularisme sebagai ideologi baru.
Kata Pengantar
Judul dari “Gelombang Baru
Pemikiran Islam di Indonesia”, maksudnya adalah suatu yang bersifat “modern
atau post modern” yaitu “sekulerisme”. Pemikiran tersebut dicoba ditawarkan
sebagai solusi “kemandekan” umat di ukur dari kehidupan sosiologi kemasyarakatan
secara nasional dan internasional. Sekulerisasi yang dicoba dimasukkan kedalam alam
pemikiran Islam di Indonesia. Dengan itu artinya mencoba memisahkan
atau mengenyampingkan ajaran Islam yang “kaffah”.
Teori sekularisasi adalah suatu
cara mengatasi keadaan di “abad tengah” (medieval
ages) dunia Barat. Sering abad itu yang disebut sebagai “the
dark ages” (abad gelap) dari peradaban Barat. Untuk
mengatasinya (disebutkan karena ulah kekuasaan gereja), perlu memisahkan gereja (kekuasaan dan ajaran gereja) dengan kehidupan dunia. Urusan dunia diserahkan kepada konvensi
pendapat manusia saja (tanpa ajaran dan kekuasaan gereja lagi). Sejak pendekatan sekulerisasi dilaksanakan, “berhasil”. Resep
atau konsep ini pulalah yang akan ditanamkan kepada alam pemikiran Islam di Indonesia.
Ternyata
jangka panjangnya tidak, seperti halnya yang dikritisi oleh Herbert Marcuse [1]
mengungkapkan dalam satu tesis
sebagai yang digambarkannya:
Masyarakat industri moderen
(Barat) merupakan masyarakat yang rasional dalam detail, tetapi irasional dalam
keseluruhan. Marcuse menggambarkan bahwa masyarakatnya bagaikan berada di dalam
sebuah bis besar yang bagus, dengan peralatan teknis yang serba lengkap dan
luks, berjalan lancar dan enak, para penumpangnya merasa puas. Tetapi orang
tidak menyadari lagi kemana bis itu mengarah. Orang sudah terbius dengan
kenikmatan untuk tinggal di dalamnya.
Bahkan pengemudinya pun terbawa saja oleh mekanisme gerak motor yang memutar
roda bis tadi pada porosnya, terus melaju seturut jalan satu-satunya yang
membawa bis tersebut. Tanpa sadar jalan tersebut menuju ke jurang kebinasaan.
Demikianlah Herbert Marcuse melihat peradaban masyarakat industri moderen
(Barat) sesuatu yang kelihatannya (memang) enak dan mantap serta membahagiakan
tapi tidak tahu mau kemana hidup ini dibawa (irasional).
Apatah kita mau terjerumus seperti sinyalemen Marcuse orang Barat [2] yang
hidup di Barat yang dalam pengamatannya justru sebaliknya dari apa yang
diyakini ‘kaum terpelajar’ dari dunia Timur - bekas negera jajahan Barat?
Selanjutnya ikutilah pembahasannya oleh Tiar Anwar Bachtiar, seorang Doktor Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia. Ia juga sebagai
Penasehat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB). □ AFM
Gelombang Baru Pemikiran Islam di Indonesia
B
|
eberapa peneliti pemikiran Islam di
Indonesia sejak Kamal Hassan (1975), Greg Barton (1999), Charles Kurzman
(2001), Yudi Latif (2003), hingga Zuy Qodir (2010) berkesimpulan bahwa setelah
fase “tradisionalis dan modernis” muncul varian pemikiran baru yang melampaui
kedua genre pemikiran sebelumnya. Pemikiran baru ini diberi istilah
berbeda-beda oleh masing-masing peneliti, namun dengan maksud dan substansi
masalah yang sama. Hassan dan Latif menyebutnya sebagai “gerakan pembaharuan”;
Barton menyebutnya “neo-modernisme Islam”; sementara Kurzman dan Qodir
mengistilahkannya sebagai “Islam Liberal”.
Istilah terakhir semenjak munculnya fatwa MUI tahun 2005 tentang
haramnya sekularisme, pluralism, dan liberalisme menjadi peyoratif (mengalami
perobahan makna), padahal dua dekade sebelumnya, oleh para aktivisnya istilah
Islam Liberal ini digunakan sendiri dengan penuh kebanggaan. Ulil Abshar
Abdalla dan kawan-kawan, misalnya, dengan bangga mendirikan Jaringan Islam
Liberal (JIL) tahun 2001. Website resminya pun merupakan akronim dari “Islam
Liberal”, yaitu www.islamlib.com.
Para peneliti itu bersepakat bahwa pelopor gerakan pemikiran baru ini
adalah Harun Nasution dan Nurcholish Madjid yang mulai berkiprah di Indonesia
pada tahun 1970-an. Barton menambahkan nama Abdurrahman Wahid dan Djohan Effendi
sebagai tokoh penting di balik kemunculan pemikiran baru ini. Melalui para
tokoh yang sangat berpengaruh di wilayahnya masing-masing pemikiran baru ini
cepat menyebar. Harun Nasution berhasil mengembangkannya melalui institusi IAIN
yang ia pimpin di Jakarta. Dari IAIN Jakarta inilah kemudian pemikiran Harun
Nasution berkembang ke berbagi IAIN dan PTAI lainnya di seluruh Indonesia.
Nurcholish Madjid yang dalam kapasitasnya sebagai tokoh gerakan
mahasiswa Islam pada tahun 1970-an, telah berhasil menginspirasi berbagai
gerakan mahasiswa Islam untuk mengikuti pemikiran-pemikirannya. Alhasil gerakan
mahasiswa Islam seperti HMI, IMM, PMII, dan bahkan gerakan perlajar seperti PII
juga banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran baru ini melalui Nurcholish
Madjid. Sementara itu, Abdurrahman Wahid dianggap sangat berjasa dalam mengubah
wajah NU dan memunculkan faksi liberal di dalam tubuh NU mendampingi para kiai
yang telah begitu lama menjaga ortodoksi NU. Walaupun nama Djohan Effendi
disebut oleh Barton, namun kepeoloporannya dalam sejarah pemikiran baru ini
tidak terlalu tampak di publik.
Ciri pokok yang membedakan gerakan pemikiran Islam baru ini dengan
gerakan-gerakan pemikiran sebelumnya adalah penerimaan secara terbuka terhadap
beberapa teori orientalis dalam kajian Islam. Misalnya teori tentang
“sekularisasi” atau “sekularisme”. Nurcholish Madjid memunculkan istilah
“sekularisasi” pada kemunculan kontroversialnya pertama kali tahun 1970-an.
Dianggap kontroversial karena saat itu, ia berkesimpulan bahwa “sekularisasi”
merupakan jalan untuk memajukan umat Islam dan melepaskannya dari
keterbelakangan.
Teorinya ini ia adaptasi dari teori Harvey Cook dalam The Secular
City dan teori Robert N. Bellah dalam Beyond Belief yang keduanya
berkesimpulan bahwa bila suatu masyarakat ingin maju, maka sekularisasi
merupakan proses yang tidak bisa dielakkan. Keduanya tentu mendasarkan teorinya
dari pengalaman masyarakat Barat yang dapat bangkit dari keterpurukan Abad
Pertengahan setelah melakukan proses sekularisasi dan bahkan menjadikan
sekularisme sebagai ideologi baru. Hingga saat ini, teori sekularisasi ini
tetap dipercayai sebagai solusi masalah umat Islam oleh penerus pemikiran
Madjid seperti terlihat dalam tulisan-tulisan Budi Munawwar-Rachman (2010 dan
2011) dan yang lainnya. Bahkan tulisan-tulisan terakhir para penerus pemikiran
Madjid ini bukan hanya menerima sekularisasi, melainkan juga menerima “sekularisme”
sebagai ideologi yang juga dianggap dapat memajukan umat Islam saat ini.
Sejak awal kemunculannya, pemikiran liberal semacam ini sudah
mendapatkan reaksi keras dari tokoh-tokoh Islam. Pasalnya, sejak awal ke-20,
kelompok sekuler dianggap sebagai “lawan” bagi gerakan-gerakan Islam. Tiba-tiba
muncul pemikiran ini dari rahim umat Islam, bahkan gerakan Islam sendiri.
Kritik-kritik sangat tajam terhadap pemikiran ini dilontarkan oleh M. Rasjidi,
Endang Saefudin Anshary, dan Abdul Qodir Djaelani. Secara kebetulan mereka
adalah aktivis di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) hingga Yudi Latif
(2003) mengistilahkan para pengritik ini sebagai “Kelompok Dakwah”. Tambahan
lagi sampai dua dekade berikutnya kritik-kritik terhadap pemikiran Islam Liberal
ini masih tetap ada di lingkaran DDII. Tahun 1990-an muncul nama-nama pengritik
Islam Liberal baru seperti Ahmad Husnan, Daud Rasyid, dan Hartono Ahmad Jaiz.
Semuanya merupakan aktivis DDII.
Pada umumnya, para peneliti ini berkesimpulan bahwa kritik-kritik
terhadap Islam Liberal ini dianggap skripturalis (Heffner, 1998) dan sering
hanya berputar-putar dalam masalah istilah kebahasaan tanpa menghiraukan
substansi dari pemikiran ini (Anwar, 1997; Latif, 2003). Kritik-kritik ini juga
dianggap sebagai tidak ilmiah, jumud, konservatif, dan tidak progresif
(Pradana Boy, 2009; Bruinessen, 2014). Walaupun kesimpulan-kesimpulan itu masih
sangat terbuka untuk dikritik-ulang, namun pada kenyataannya terjadi
ketimpangan pengembangan pemikiran antara Islam Liberal dengan para
pengritiknya. Pemikiran-pemikiran Islam Liberal yang digagas tahun 1970-an
relatif berhasil dikembangkan sebagai paradigma berpikir dalam kajian-kajian
akademik di perguruan tinggi Islam. Dari pemikiran ini telah lahir ratusan atau
bahkan ribuan penelitian ilmiah mulai dari skripsi, tesis, disertasi, hingga
penelitian-penelitian lepas lainnya. Sudah banyak pula yang dipublikasikan
secara luas sehingga pemikiran liberal ini terlihat sangat kokoh sebagai
“pemikiran baru” dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia.
Sementara itu, para pengritiknya hanya melahirkan beberapa judul buku.
Itupun harus diakui masih berbicara pada masalah-masalah istilah dan
pemikiran-pemikiran dasar. Latar belakang beberapa penulis seperti Ahmad Husnan
dan Daud Rasyid yang terdidik dalam disiplin ilmu-ilmu Islam klasik di Timur
Tengah juga menyebabkan kritik mereka terkesan “skripturalis”, yaitu langsung
mengritik pemikiran dengan timbangan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Nabi sehingga
terkesan para penulis ini tidak mengerti masalah yang tengah didiskusikan.
Sekalipun ada buku-buku M. Rasjidi yang langsung mengritik dari segi pemikiran
secara memadai, namun karena Rasjidi tidak mengembangkan kritik-kritik
pemikirannya secara lebih lanjut, kesan skripturalis pada tulisan-tulisan terakhir
yang mengritik Islam Liberal tidak bisa dihindarkan.
Kritik-kritik terhadap pemikiran Islam secara lebih memadai muncul
ketika didirikan INSISTS tahun 2003 oleh mahasiswa dan alumni ISTAC asal
Indonesia di Kuala Lumpur dan mulai menerbitkan jurnal kajian Islam Islamia di
Indonesia tahun 2004. Hingga saat ini, jurnal Islamia sudah terbit
hingga 18 edisi. Setiap edisi berisi tulisan-tulisan mendalam tentang berbagai
topik yang juga sering dijadikan topik dalam pemikiran-pemikiran Islam Liberal
seperti tentang hermeneutika dan tafsir Al-Quran, kritik Hadits, sains Islam,
demokrasi dan hak asasi manusia, gender, pendidikan Islam, pluralisme agama,
dan lainnya. Selain menerbitkan jurnal, buku-buku dengan tema beragam yang
mengkritik berbagai aspek pemikiran Islam Liberal juga diterbitkan.
Tidak berhenti sampai di situ, karakter pemikiran yang dikembangkan para
aktivis INSISTS yang mendalam, ilmiah, dan berbahan bacaan sangat luas
memungkinkan pemikiran ini dikembangkan sebagai basis paradigma riset di
perguruan tinggi. Oleh sebab itu, gagasan-gagasan anti-Islam Liberal yang
dikembangkan INSISTS ini dapat diterima di beberapa perguruan tinggi seperti
PSTTI-UI, Pascasarjana Pemikiran Islam UMS Solo, Unida Gontor, Universitas Ibnu
Khaldun Bogor, dan lainnya. Sejak tahun 2007 sudah lebih dari 100 riset S2 dan
S3 yang ditulis di berbagai perguruan tinggi di atas dengan basis paradigma
anti-Islam Liberal yang dikembangkan INSISTS. Selain itu, apa yang dikerjakan
INSISTS juga menginspirasi banyak peneliti lain di luar yang ditangani langsung
oleh para aktivis INSISTS untuk menulis karya ilmiah baik S2 maupun S3 yang
mengritik berbagai topik pemikiran Islam Liberal. INSISTS juga menginspirasi
lahirnya berbagai gerakan ilmiah sejenis di berbagai kota seantero Indonesia sehingga
gerakan pemikiran ini berpotensi menjadi suatu gerakan pemikiran mainstream baru
di Indonesia.
Apa yang dilakukan INSISTS dan turunan-turunan aksinya di lapangan
pemikiran ilmiah sesungguhnya telah membuka babak baru dalam sejarah pemikiran
Islam di Indonesia. Sebelumnya para peneliti cenderung telah menempatkan
pemikiran “Islam Liberal” tanpa lawan sebagai pemikiran Islam baru dalam
sejarah pemikiran Indonesia sejak awal abad ke-20. Pemikiran Islam Liberal ini
juga telah dianggap sebagai pemikiran paling baik untuk menjawab tantangan
modernitas dan untuk memajukan umat Islam di lapangan ilmu pengetahuan. Akan
tetapi, klaim-klaim itu sudah mulai harus direvisi setelah kehadiran INSISTS.
Pemikiran yang dikembangkan INSISTS ini berbasis pada pemikiran “Islamisasi
Ilmu Pengetahuan Kontemporer” (IIPK) yang digagas oleh Syed M. Naquib Al-Attas.
Pemikiran ini langsung menukik pada persoalan ilmu pengetahuan dan kaitnya
dengan krisis yang tengah dialami oleh umat Islam, bahkan dihadapi oleh umat
manusia secara mondial (global, worldwide) saat ini. Bila pemikiran
Islam Liberal berkesimpulan bahwa umat Islam harus meniru Barat bila ingin
maju, yaitu melakukan “sekularisasi” dalam pengembangan ilmu pengetahuan;
Al-Attas justru berkesimpulan bahwa untuk menjawab persoalan kemanusiaan
universal harus dilakukan “Islamisasi”.
Peradaban Barat saat ini telah sempurna memperlihatkan kebobrokannya;
dan Islam menyediakan jawaban atas hal itu sebagaimana pernah diperlihatkan
oleh peradaban Islam pada masa lalu. Bila untuk maju, umat Islam harus meniru
peradaban Barat saat ini, justru (dengan itu) umat Islam sedang melangkahkan kaki menuju
kehancurannya. Hanya saja, untuk menemukan kekayaan khazanah peradaban Islam
umat Islam perlu menggali kekayaan pemikiran para ilmuwan dan ulama Muslim di
masa lalu yang hingga saat ini masih harus terus dilakukan penggalian. Dengan
cara itu, umat Islam dapat melihat secara jelas bagaimana bangunan pemikiran
Islam yang berhasil mengantarkan Islam sampai pada kejayaannya.
Dalam amatan Al-Attas terhadap karakter pemikiran para ulama Muslim
terdahulu, karya-karya ilmiah mereka semuanya didasarkan pada suatu pandangan
metafisika khas Islam; suatu pandangan metafisika yang melihat dan meletakkan
segala hal sesuai dengan petunjuk Allah swt
yang diwahyukan pada Nabi saw, bukan
semata-mata berdasarkan pengamatan indra dan hasil pemikiran manusia. Al-Attas
menyebut pandangan metafisika ini sebagai Islamic worldview. Kesalahan
pemikiran yang dikembangkan para pemikir Islam Liberal justru terletak pada
masalah fundamental ini, yaitu tidak menggunakan Islamic worldview dalam
memahami berbagai hal, termasuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Mereka
terjebak dalam Western worldview yang menjerumuskan pemikiran umat Islam
pada arus de-spiritualisasi realitas dan pengabaian wahyu sebagai sumber
pengetahuan dan kebenaran utama. Akibatnya, pemikiran Islam Liberal ini
alih-alih (sepertinya) mengantarkan umat Islam pada kemajuan, justru malah sedikit demi
sedikit umat Islam semakin (menjadi) menolak supremasi wahyu yang berarti menolak
supremasi agama. Wallahu A’lam bi Al-Shawwab. □
Catatan Kaki:
[1] Herbert Marcuse guru besar filsafat Universitas California di San Diego
dalam bukunya One-Dimentional Man.
Siapa Herbert Marcuse? Herbert Marcuse (1898-1979), anggota Sekolah
Frankfurt yang pindah ke Amerika Serikat, kemudian menjabat guru besar filsafat
politik di kampus San Diego, Universitas California. Dia adalah salah satu
filsuf yang populer dikalangan cendikiawan dalam abad ke XX. Dia diberi gelar
‘filsuf bagi New Left’ dan ‘Inspirator Revolusi Mahasiswa tahun 1968’ Lihat
juga blog ini dengan tema: ’Kiblat Kebaikan’
Sumber:
http://jejakislam.net/?p=1084 □□□