Kata
Pengantar
"Pilihan saya Muhammad memimpin
daftar orang-orang paling berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan pembaca dan
dapat dipertanyakan oleh orang lain, tapi dialah
satu-satunya manusia dalam sejarah yang sangat berhasil baik dalam tingkat
religious (agama) maupun seculer (dunia)."
Michael H. Hart
Masa Millennium Ketiga adalah Masa-nya
Globalisasi tulisannya diangkat dari Judul Asli, Piagam Madinah, Penyatuan Masyarakat
dalam Bingkai Pluralistik. Artikel ini dibuat oleh, Widio Wize Ananda Zen, Mahasiswa
Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Millennium
Ketiga ini tentunya diharapkan lebih baik dari millennium sebelumnya. Pekerjaan
rumah para intelektual, ilmuan, politisi, negarawan, bahkan para tokoh agama dunia
belum selesailah sudah. Konflik-konflik sosial dan antar bangsa masih terjadi
disana-sini. Kesenjangan ekonomi antara negara maju dan berkembang begitu pula.
Padahal sementara ini lompatan ilmu pengetahuan alam dan teknologi telah maju menukik
keatas dengan tajamnya. Sementara ilmu pengetahuan sosial kemanusian diukur
dengan ilmu pengetahuan alam dan teknologi boleh dibilang berjalan ditempat.
Lembaga
Perserikatan Bangsa-bangsa dengan Dewan Keamanannya telah tidak produktif lagi
sebagai lembaga perdamaian dunia. Malah sering dilangkahi oleh negara-negara
penggagasnya sendiri dengan mencoba mengelesaikannya tanpa PBB dan Dewan
Keamanan, itu pun bukan dengan cara damai tapi dengan kekerasan militer yang
banyak menimbulkan korban jiwa manusia. Sampai-sampai negara-negara yang
menjadi sasaranya rusak dan menimbulkan efek vicious cycle yang tak habis-habisnya dalam
menimbulkan ketidak stabilan dalam keamanan dunia.
Dengam
demikian perlu terobosan baru paradigma dunia sesuai dengan perkembangan
kedepan yaitu Millennium Ketiga ini yaitu azaz pandang setiap
bangsa atau negara menegakkan ta’aruf (saling
mengenal); tafahum (saling memahami);
ta’awun (kerja sama); itsar (saling membela dan tidak
bertengkar), maka damailah dan makmurlah manusia di bumi ini. Ayo mari tegakkan
kehidupan di bumi ini dengan memakmurkan bumi dalam semangat ta’awun - kerja sama. seperti yang dipelopori Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wasallam yang tidak asing
lagi bagi Thomas Jefferson, John Locke, Robert Bellah, Michael H. Hart. □ AFM
Masa Millennium Ketiga adalah Masa-nya Globalisasi 1
Piagam Madinah, Konsep Penyatuan Masyarakat dalam
Bingkai Pluralistik Menjadi Satu “Global” Kehidupan Dunia Yang Damai, Selamat,
dan Sejahtera. 2
Dengan nama Allah, Pengasih, Penyayang. Surat
Perjanjian ini dari Muhammad Rasulullah Shalallahu ‘Alayhi Wasallam; antara
kaum Mukmin dan Muslim dari kalangan Quraisy dan Yatsrib beserta yang mengikuti
mereka dan menyusul mereka dan berjuang bersama mereka, bahwa mereka satu umat
di luar golongan manusia lain; they form one nation ummah. 3
K
|
ita
telah sampai pada waktu yang membuat semua menyatu. Sepertinya sedikit
berlebihan tulisan ini dimulai dengan kalimat di atas, tapi saya rasa cukup
adil jika membandingkan dengan Marx dan Engels yang membuka manifestonya dengan
kalimat “Hantu telah menggerayangi Eropa!”. Inilah zaman ketika semuanya
menyatu, seolah daratan di bumi ini kembali bergabung menjadi satu benua saja, Pangea (bahwa di suatu waktu Bumi
terbentuk, semua daratan awalnya menyatu). Zaman ini kita sebut dengan
globalisasi. Globalisasi membuat semuanya seakan tanpa jarak. Globalisasilah
yang memungkinkan saya shalat Subuh di salah satu Masjid di sekitar Jalan
Margonda, kemudian siangnya berada di Jepang, diskusi dengan
mahasiswa-mahasiswa di Thailand sorenya, lalu malamnya kembali ke Depok.
Apa
yang bisa kita ambil dari kondisi tanpa jarak yang dibentuk oleh globalisasi
tersebut? Ya, kita bukan lagi warga negara suatu negara, tetapi kita adalah
warga global. Ada satu hal yang tidak dapat dielakkan dengan adanya
globalisasi, yaitu hadirnya perbedaan baik dalam bentuk ide pemikiran, agama,
warna kulit, suku, dan lainnya. Globalisasi menjadikan mitos negara yang homogen
secara budaya semakin tidak realistis dan memaksa masyarakat suatu negara untuk
membuka diri pada pluralistik dan keanekaragaman (Will Kymlicka, 1995).
Perbedaan yang hadir apabila tidak dapat dikelola dengan bijak, maka akan
membawa comprados-nya yaitu konflik dalam bentuk perselisihan hingga
peperangan.
Konflik
bukanlah hal baru bagi dunia. Konflik di masyarakat seperti kebudayaan yang
berbeda, konflik berdasarkan agama, latar belakang kesukuan 4, konflik
ekonomi 5, dan segala macamnya setiap hari terjadi. Permasalahan
sebenarnya adalah bukan pada dasar konfliknya, tetapi bagaimana konflik-konflik
tersebut dapat dikelola? Tidak jarang manusia mengambil jalan pertikaian hingga
pertumpahan darah untuk menyelesaikan konflik. Alih-alih selesainya konflik,
yang terjadi adalah terbentuknya vicious cycle dilandaskan atas
pembalasan dendam.
Konflik
yang kita hadapi saat ini substansinya bukanlah konflik baru, melainkan pernah
terjadi dan telah ada pula bagaimana cara mengatasinya, secara historis Piagam
Madinah adalah implementasinya. Konstitusi tertulis pertama di dunia ini adalah
perjanjian dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, berlaku di antara
orang-orang Mukmin dan Muslim dari Quraisy dan Yatsrib serta siapapun yang
mengikuti mereka, menyusul di kemudian hari, dan yang berjihad bersama mereka
(Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, 1993). Banyak aspek yang bisa menjadi topik
pembahasan terkait bagaimana Piagam Madinah dapat menjadi resolusi dari konflik
yang ada. Namun dalam tulisan ini, fokus yang diambil adalah bagaimana Piagam
Madinah dapat menyatukan pluralistik masyarakat Madinah ke dalam satu ummah.
Pada
saat itu, kondisi masyarakat Yatsrib sangat plural terdiri dari bermacam-macam
identitas kesukuan dan agama yang dianut. Saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam datang. dua
kabilah besar di Madinah menerimanya, yaitu Bani Aus dan Khazraj, sehingga
Rasulullah Saw langsung diangkat menjadi pemimpin. Begitu pluralnya masyarakat
Madinah menuntut adanya suatu peraturan yang dapat mengatur kehidupan
bermasyarakat. Piagam Madinah hadir dengan nilai-nilai respect, acceptance,
promoting peace serta pendekatan penyelesaian dan mencegah konflik
horizontal antar suku dan agama berdasarkan perbedaan yang ada di antara
mereka.
Pembukaan
Piagam Madinah telah menyebutkan bahwa ...they form one nation-ummah. Dalam
pasal ini, Rasulullah Shalallahu ‘Alayhi Wasallam menyatukan masyarakat Madinah dalam bingkai
pluralistik dengan dikenalkannya institusi masyarakat baru yang disebut ummah
wahidah. Landasan bagi ummah bukanlah keturunan (nasab) dan
batas-batas kekabilahan, tetapi ke-Islam-an (Abdul Aziz, 2011). Penyatuan ini
adalah sebuah hal yang luar biasa pada masa itu. Bayangkan, di tengah dunia
Arab-Islam dengan realitas sosial yang terdiri atas beberapa suku, klan, yang
mementingkan silsilah keturunan bertahan sangat ajeg dan tak tergoyahkan diikat
menjadi satu ummah.
Ummah ini
disatukan atas dasar nilai Islam dan keadilan, bukan oleh hubungan darah
sebagaimana yang terjadi pada suku-suku Arab sebelumnya. Islam mengubah masyarakat
kesukuan ini dengan cara menarik individu ke pusat tanggung jawab sosial, di
hadapan Allah dan Rasulullah Shalallahu ‘Alayhi Wasallam, dan tidak ada seorang pun bisa berlindung
dibalik kekuatan kelompok. Sikap ashabiyyah (fanatik kesukuan) dalam
pengertian membantu suku sendiri secara tidak adil dilarang (Antony Black,
2001). Kesatuan ummah berdasarkan penyatuan berbagai kabilah dengan tetap
menghormati eksistensi setiap kabilah. Piagam Madinah telah menjadi landasan
bagi koalisi besar antar suku (Abdul Aziz, 2011).
Pertanyaannya,
bagaimana bisa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui Piagam
Madinah dapat menyatukan masyarakat plural Madinah?
Pertama, Piagam Madinah menghargai dan
mengakui keberadaan suku-suku yang ada di Madinah. Disebutkan bahwa suku-suku
yang ada, seperti Bani Auf, Bani Saidah, Bani Al-Harits, Bani Jusyam, Bani
Al-Najjar, Bani Amr bin Auf, Bani Al-Nabit, dan Bani Al-Aus tetap menurut adat
kebiasaan baik mereka yang berlaku, bersama-sama membayar tebusan darah seperti
yang sudah-sudah. Dan setiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri
dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang beriman. Dalam menyatukan
suku-suku ke dalam suatu ummah, Piagam Madinah tidak serta merta
membentuk tradisi baru yang mengakibatkan mereka meninggalkan tradisi lama.
Piagam Madinah menghormati tradisi lama yang berupa pembalasan setimpal (qishas).
Kedua, Piagam Madinah mengisyaratkan adanya
penegakan hukum yang adil. Dalam Piagam Madinah disebutkan bahwa orang yang
beriman dan bertakwa harus melawan orang-orang yang berbuat zalim, berbuat
jahat, dan kerusakan di antara mereka. Apabila timbul perselisihan tentang
masalah apapun, maka tempat kembalinya hanya kepada Allah dan kepada Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wasallam.
Ketiga, Piagam Madinah menjamin kebebasan
beragama bagi masyarakat Madinah dan tidak boleh mengganggu penganut agama
lain. Disebutkan di dalam Piagam Madinah bahwa bagi orang Yahudi agama mereka
dan bagi orang Islam agama mereka, termasuk para pengikut mereka dan diri
mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka maka
orang seperti itu hanya akan menghancurkan diri dan keluarga mereka sendiri.
Keempat, Piagam Madinah menjamin hak dan
keselamatan masyarakat Madinah. Apabila ada pihak yang berkhianat terhadap isi
Piagam, maka dia akan dihukum tidak peduli berasal dari suku dan agama apa. Di
dalam Piagam pun dikatakan bahwa jaminan Allah itu satu, Dia melindungi yang
lemah di antara mereka.
Kelima, Piagam ini membungkus semuanya dalam
rangka persaudaraan. Persaudaraan haruslah dijalankan ke semua golongan, tidak
hanya di antara umat Islam. Semua masyarakat Madinah harus bisa bersatu padu
dan bekerja sama dalam tanggung jawabnya mempertahankan negara Madinah dari
apapun yang bisa mengganggu kestabilan negara Madinah.
Piagam
Madinah mempunyai lima prinsip yang ingin dituju sebagai sebuah tujuan otoritas
politik Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui Piagam Madinah,
yaitu ajakan memeluk Islam, keamanan menjalankan ajaran Islam bagi pemeluknya,
jaminan kebebasan beragama bagi pemeluk agama lain, penegakan akhlak mulia, dan
persaudaraan antar anggota masyarakat (Abdul Aziz, 2011). Kelima prinsip
tersebut dalam jangka waktu tertentu dapat menyatukan masyarakat Madinah yang
plural sehingga bisa padu memperkuat negara Madinah. Konsekuensi dari penerapan
Piagam ini adalah kestabilan dan keamanan yang ditemukan di Madinah.
Implikasinya adalah pada stabilitas politik dan menjadikan Madinah sebagai
pasar yang menggiurkan untuk pusat ekonomi.
Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dapat menjembatani pluralistik masyarakat Madinah melalui Piagam
Madinah, dengan nilai-nilai respect, acceptance, dan promoting peace tanpa
pendekatan militeristik ataupun paksaan kepada kelompok kecil untuk mengikuti
mayoritas. Lalu kita bertanya,
apakah masih mungkin nilai-nilai yang terdapat dalam Piagam Madinah diterapkan
dalam menyatukan masyarakat global dengan begitu derasnya konstelasi politik
dan kepentingan ekonomi pribadi?
Sementara Micheal H. Hart mengatakan “Dialah satu-satunya manusia dalam sejarah
yang sangat berhasil baik dalam tingkat religious (agama) maupun seculer
(dunia)." 6 □
Baca
juga tajuk ini: Masa Depan Hidup Manusia.
Sumber Bacaan :
Al-Qur’an
Al-Maududi, Abul A’la. 1978. Al
Khilafah wal Mulk. Kuwait : Daar al-Qalam
Al-Mubarakfuri, Shafiyurrahman. 1993. Sirah
Nabawiyah. Riyadh : Darus Salam
Aziz, Abdul. 2011. Chiefdom Madinah
: Salah Paham Negara Islam. Jakarta : Pustaka Alvabet
Black, Antony. 2001. The Historic of
Islamic Political Thought : From the Prophet to the Present. Edinburgh :
Edinburgh University Press
Kymlicka, Will. 1995. Multicultural
Citizenship. New York : Oxford University Press
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2012. Misykat
: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam.Jakarta :
INSIST-MIUMI
Catatan Kaki
1Judul Asli, Piagam Madinah: Penyatuan Masyarakat dalam Bingkai
Pluralistik. Artikel ini dibuat oleh,
Widio Wize Ananda Zen, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia Angkatan
2010, Penggiat komunitas Penggenggam Hujan UI. Selasa, 14 Januari 2014 - 18:12:00 WIB.
2 Tambahan dari admin
blog.
3 Potongan awal Mitsaq-al-Madinah (Piagam Madinah;
Teks aslinya tidak ditemukan, tetapi teks yang paling sering dirujuk yang
memuat peraturan-peraturan yang ada di Piagam Madinah terdapat di Sirah
Nabawiyah karya Ibnu Ishaq) dalam Abdul Aziz. 2011. Chiefdom Madinah : Salah
Paham Negara Islam. Jakarta : Pustaka Alvabet, hlm. 216
4 Warna kulit dan bahasa termasuk gender (laki dan
perempuan), tambahan dari admin blog.
5 Interest
(kepentingan), tambahan dari admin blog.
6 Tambahan dari admin blog. □□□