Oleh:
A. Faisal Marzuki
A
|
l-Qur’an yang merupakan firman Allah.
Diturunkan untuk membangun umat. Dalam wadah tatanan sebuah masyarakat. Yakni,
membangun dunia dengan menegakkan nizham (tatanan, sistim bangunan
peradaban masyarakat). Al-Qur’an yang datang sebagai ajaran dakwah (seruan,
panggil, ajakkan) kepada umat manusia. Bersifat alamiyyah (universal)
dan insaniyyah (kemanusiaan). Artinya tidak mengkhususkan hanya kepada
golongan warna kulit, atau status sosial, kabilah (marga dan suku) dan asal
bangsa. Melainkan berdasarkan keyakinan dalam ikatan kemanusiaan yang
universal (yaitu anak cucu keturunan Adam as), dan ashabiyya (fanatisma,
kokoh dan kekeh dalam keyakinan itu) sebagai firman Allah Yang Maha Kasih, lagi
Maha sayang menyebutkan:
Dan berbuat baiklah (kepada semua orang dan lingkungan hidup), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. [QS Al-Qashash 28:77]
Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (lita'ārafū)
satu sama lainnya. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
[QS Al-Hujuraat 49:13]
Dari titik tolak seperti diatas itu,
Al-Qur’an datang dengan membawa mabadi (prinsip-prinsip) yang akan menguatkan
tali-tali hubungan jamaah dari sebuah jamaah yang ada. Dengan demikian
Al-Qur’an menjadi penenang setiap individu, masyarakat dan bangsa. Dengan tsiqoh
(kepercayaan penuh) dalam hubungan positif dan membangun mu’amalah
(sistim sosial), dalam tekad yang di ikat dalam janji (dan semua perjanjian).
Disebutkan pada kata adl
(adil) yang menjadi penopang setiap individu, masyarakat dan bangsa sebagai
kaidah yang baku dalam pergaulan sehari-hari. Sedikitpun tidak boleh dirasuki
hawa-nafsu. Tidak terpengaruh oleh belas kasihan dan rasa benci. Tidak akan
tertukar dengan keturunan dan nasab. Tidak berdasarkan kaya atau miskin, kuat
atau lemah. Akan tetapi, semua berjalan di atas relnya berdasarkan satu neraca
untuk semuanya. Dan timbang dengan satu timbangan yang satu pula, untuk semua.
Pisau bukan hanya satu sisi yang tajam kebawah saja, akan tetapi juga tajam ke
atas. Itulah disebut adil sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla menyebutkan:
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah engkau mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Jika kamu memutar balikkan (kata-kata dalam kesaksian) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan. [QS An-Nisaa' 4:135]
Kebebasan Berfikir
Ada
sebuah pepatah lama menyatakan: “Rambut sama hitam, tetapi pendapat
berlainan". Yang menjadi persoalan disini dari anak
keturunan Adam as - kita ini adalah
'sebab' dari berlainan pendapat dalam alam 'kebebasan berfikir' ini
membawa 'akibat' kepada kebaikan atau keburukan.
Mari lihat dengan seksama melalui kacamata 'azaz manfaat'. Kebaikan, yaitu
'membangun', untuk kemashalatan bersama. Dengan itu, indah dan kokohlah
'tatanan masyarakat' itu. Sebaliknya 'keburukan', yaitu 'terpecah belah'
yang mungkin menguntungkan yang satu dan merugikan yang lain, bahkan bisa
kedua-duanya, 'merugi'. Suatu hal yang catastrophic, malapetaka yang sangat besar. Maka,
sia-sialah rencana 'tatanan masyarakat' itu, bagai tanah longsor
melorot-lunglai dari pebukitan yang jatuh kedasar lembah.
Begitulah
dilema hidup manusia itu jika tidak jeli dan cerdas dalam menyikapi kebebasan
berfikir kalau tanpa ada melibatkan petunjuk dari ‘ATAS’. Perlu diketahui bahwa
perkara kebebasan berfikir ini adalah perkara yang sangat besar, dan tidak
semata-mata hanya untuk berbangga diri. Hanya kebebasan berfikir saja yang
diagung-agungkan, tapi lupa dan hilang 'akal budi' bahwa berfikir itu adalah
untuk mencari 'kebenaran' yang menuju ke 'kebaikan'. Bahwa ada faktor
utama lainnya yaitu, Dia (Allah) Yang Mahatahu. Karena Dia melihat dari ATAS,
sebagaimana 'GPS' yang menunjukkan jalan sampai ke tujuan yang dimaksud. Allah
'RABB' alam semesta. Allah Pencipta (Master of Mind) dari ummat manusia. Allah
Mahatahu apa yang menjadi kebutuhan manusia yang sebenarnya. Boleh jadi apa
yang menurut manusia baik, tapi menurut Allah tidak. Sebaliknya boleh jadi apa
yang menurut Allah baik, bagi manusia "menyangka dan merasa" tidak.
Carilah hikmahnya dibalik peristiwa yang ada wahai manusia yang bijak lagi
cerdas!
Sudah dapa dipastikan bahwa bagi yang
mengikuti petunjuk-Nya, hasilnya akan 'pasti' membawa ke keketinggian martabat
dan kejayaan umat manusia itu sendiri. Bagi yang mengingkari nikmat-Nya,
'pasti' akibatnya menuju ke lembah kesengsaraan umat manusia itu sendiri."
Sebagaimana firman-Nya:
Lahā mā kasabat wa ‘alayhā māk-tasabat, maksudnya, manusia mendapat pahala, kenikmatan
dari kebajikan atau kebaikan yang dikerjakannya, dan dia mendapat siksa atau
kesengsaraan dari kejahatan atau keburukan yang diperbuatnya. [QS
Al-Baqarah 2:286]
Artinya di sini adalah yang dituntut dari manusia yang melakukan kebebasan berfikir dalam mengemukakan pendapatnya mesti mempunyai tujuan yang baik dan bijak, kemudian dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Kenapa demikian? Karena hasil atau risikonya berpulang kepada manusia juga. Manusia mendapat kenikmatan dari kebaikan yang dikerjakannya (hasil, benefit). Sebaliknya manusia mendapat kesengsaraan dari keburukan yang dilakukannya (keburukan, risiko).
Pangkal surat An-Nahl ayat 93 dalam firma Allah Azza wa Jalla menyebutkan:
Wa law syā-alLāhu laja’alakum ummataw wāhidatan ●
walākiy yudhillu mayyasyā-u ● wa yahdī may yasyā-u,
Terjemahannya yang penulis ambil dari
Buya Hamka
“Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya dijadikan-Nya kamu (Wahai
manusia! Wahai kaum beriman! Menjadi) semuanya ummat yang satu. Tetapi
disesatkan-Nya barang siapa yang dikehendaki-Nya, dan diberi-Nya petunjuk
barang siapa yang dikehendaki-Nya.”
Sebagai catatan, sebelumnya perlu
dipahami dari kata “disesatkan-Nya barang siapa yang dikehendaki-Nya” dan “diberi-Nya
petunjuk barang siapa yang dikehendaki-Nya.” Disesatkan-Nya atau diberi-Nya
petunjuk sebelum terjadinya, mesti lebih dulu ada usaha sebagai prima causa dari manusia
itu sendiri. Yakni: ● ada niat,
● ada kemauan, serta
● ada tekad ● dan
dikerjakan. Disertai
juga adanya ●
perilaku yang baik dan ● adanya pandangan
(paradigma) serta ●
tujuan yang jelas.
Disamping itu ada dalam rasa hati (berdo'a) mengharapkan ridha (blessing) dari Allah Yang
Mahakuasa. Dengan itu petunjuk datang daripada kesesatan yang datang.
Dapatlah kita mengambil pelajaran
disini bahwasanya Allah Ta’ala
berkuasa membuat ummat itu menjadi satu. Seperti halnya: Tidak ada berselisih
pendapat; Tidak ada pebedaan yang menjurus kepada perpecahan; Tidak ada suatu
pertikaian yang menjurus kepada baku hantam yang satu dengan yang lainnya. Tapi itu semua tidak serta-merta secara
instan terjadi.
Kenapa demikian? Karena di diri manusia dalam berfikir pada awalnya dikendalikan oleh adanya rasa melindungi dan mempertahankan “kepentingan diri sendiri atau kelompoknya”. Para ahli psychology menyebutkan adanya unsur “Ego” atau “Aku” dalam diri jiwa masing-masing manusia. Demikianlah Allah Ta’ala mentakdirkan bahwa fikiran manusia 'dalam keadaan itu' menjadi tidak sama dalam Ego masing-masing dari diri manusia.
Dijelaskan oleh firman-Nya bahwa dalam berfikirnya itu ada yang “sesat”, yaitu hanya untuk diri atau kelompoknya saja yang difikirkan disatu pihak. Dilain pihak, ada yang mendapat “petunjuk”, yaitu memikirkan kemashlahatan bersama. Di sini terjadilah ujian yang sangat pelik dan berat dari “kebebasan berpikir itu”. Baik atau tidaknya hasilnya tergantung dari penggunaan timbangan azaz manfaat. Kalau tidak, maka akan timbul hasil yang tidak diharapkan, yaitu pergesekan dan pertentangan di antara satu sama lainnya demi diri atau kelompok bangsanya. Padahalnya yang diharapkan itu adalah untuk kemashlahatan bersama sebagai manusia 'Sosial' ketimbang manusia 'Ego'.
Dalam diri manusia sebenarnya, disamping ada takdir 'Ego', ada pula takdir 'Sosial', yaitu hidup bermasyarakat. Sebenarnya keselamatan 'Ego' bergantung kepada relasi baik antar sesama 'Ego' lainnya. Oleh karena itu hakekat yang sebenarnya tentang manusia itu pada dasarnya adalah sebagai makhluk sosial, yakni melakukan relasi sesama 'Ego' dalam komunitas hidup bernegara dan berantar negara bagi kemashlahatan bersama sebagaimana maksud firman-Nya dalam surat An-Nahl ayat 93 seperti diatas.
Mencapai
kepada ummat yang (menjadi) satu “yang damai” itu sangat perlu adanya “latihan”
(pembelajaran) dari “takdir Ego” menjadi mampu hidup di dalam “takdir Sosial”.
Perangkat keberhasilannya adalah komunikasi dan relasi dalam semangat lita'ārafū yaitu saling kenal
mengenal, saling hormat menghormati, respect each others. Dibarengi
pula dengan adanya kemampuan dalam “menahan diri” seperti dasar pengendalian
'Ego' dalam bentuk adanya kesabaran dan toleransi. Demikianlah perjalanan diri
manusia dalam bersosial akan selalu diuji, dan diuji lagi, dan seterusnya. Nah,
keberhasilan dari pembelajaran ujian itu membuat diri dalam bermasyarakat,
bernegara, berbangsa, berantar bangsa menjadi matang (mature). □ AFM