Kata Pengantar
- "lima taqūlūna mā lā taf'alun"? Artinya, mengapa kamu menyatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? [QS Ash-Shaff 61:2]
- Dan "ata'murunan nāsa bil birri wa tansawna anfusakum"? Artinya, mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri (untuk juga berbuat kebajikan)? [QS Al-Baqarah 2:44]
S
|
angat boleh jadi peringatan Allah ‘Azza
wa Jalla diatas telah ditujukan kepada Umat Islam terutama dalam konteks
keterpurukan sosiologis kemasyarakat yang ada sekarang ini kalau tidak diatasi
akan menuju ke jurang kebinasaan yang mati seperti “ayam yang mengeram di
lumbung padi, mati kelaparan”. Padahal negeri-negeri mayoritas yang berpenduduk
muslim kaya akan sumber alamnya seperti minyak mentah dan gas alam, serta
lain-lainnya sebagai bahan tenaga atau power mesin ekonomi
penggerak industri dan alat transportasi udara, laut dan darat bagi
negara-negara barat dan negara maju lainnya.
Sementara ajaran Islam yang kaffah
yaitu ajaran kebaikan hidup di akhirat dan di dunia sebagai khalifah-khalifah
di muka bumi sebagai pemakmur bumi. Dan diingatkan pula bahwa dalam memakmurkan
bumi umatnya mesti dalam suatu wadah organisasi yang mesti kompak bersatu “innallõha
yuhibbul ladzīna yuqõtiluna fī sabīlihī shoffan ka-annahum bunyānun
marshūsh”. Artinya, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berusaha
keras (berjuang) di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan
seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. [QS Ash-Shaff 61:4]
Dengan itu artinya diperlukan
Ta’liful Qulūb
”Ruh-ruh itu adalah tentara-tentara
yang selalu siap siaga, yang telah saling mengenal maka ia (bertemu dan)
menyatu, sedang yang tidak maka akan saling berselisih (dan saling
mengingkari)”. [HR Muslim]
Karakter ruh dan jiwa manusia yang
telah bertemu dan menyatu dalam bersosial kemasyarakatan, adalah power
penggerak yang selalu siap siaga digunakan untuk mempertahankan dan memajukan
peradaban manusia. Kesatuaannya adalah kunci kekuatan, sedang perselisihannya
adalah sumber bencana dan kelemahan. Ruh dan Jiwa adalah potential power
kehidupan individual dari Allah yang sangat setia menghidupkan manusia
menjalankan misi hidupnya di bumi. Ia hanya akan dapat berguna dalam artian
positif dan membangun jika diikat dengan kemuliaan interaksi sesama sesuai
dengan kaidah-kaidah yang diberikan dari Yang Menciptakanya, Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman yang artinya:
”Dan Dia (Allah) yang mempersatukan
hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkankan semua
(kekayaan, potensi) yang berada dibumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan
hati mereka, tetapi (kecuali adanya ridha) Allah telah mempersatukan hati
mereka. Sungguh, Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. [QS Al-Anfāl 8:63]
Dan tiada satupun ikatan yang paling
kokoh untuk mempertemukannya selain ikatan akidah dan keimanan. Imam Syahid
Hasan Al Banna berkata: ”Yang saya maksud dengan ukhuwah adalah terikatnya hati
dan ruhani dengan ikatan aqidah. Aqidah adalah sekokoh-kokoh dan
semulia-mulianya ikatan. Ukhuwah adalah saudaranya keimanan, sedangkan perpecahan
adalah saudara kembarnya kekufuran”. [Risalah Ta’lim, 193]
Sayangnya kesadaran dan semangat makna Ta’liful
Qulūb inilah yang terlupakan dikalangan negeri-negeri berpenduduk muslim
akibat dari trauma keterjajahan mental post kolonialisme yang belum
bangkit benar. Untuk itu ikuti paparan analisis Imam Shamsi Ali dalam
tulisannya dengan tajuk Ta'liful Qulūb vs Ta'liful Afkār. □ AFM
Ta'liful Qulūb vs Ta'liful Afkār
W
|
alau Islam terus berkibar dan tegap
tinggi, di sisi lain tak disangkal umat Islam sedang hidup dalam keadaan yang
memprihatinkan. Di negara-negara mayoritas Muslim, umat ini sedang teruji dan
tercabik-cabik. Di Timur Tengah misalnya, negara-negara yang dahulu masuk dalam
kategori makmur, jaya dan damai kini hidup dalam "neraka kecil" (thõmah
shugra, minor hell). Perhatikan Irak, Suriah, Libya, bahkan Yaman.
Bahkan dari dulu hingga kini ada
upaya-upaya untuk memperluas "pengrusakan" jantung dunia Islam dengan
cara cerdik dan halus. Selain negara-negara Arab Muslim di Timur Tengah, ada
dua negara Muslim non Arab yang berpengaruh lainnya. Yaitu Iran dan Turki. Iran
sejak lama sudah ada upaya-upaya untuk "menjahannamkannya" dengan
berbagai sanksi ekonomi, bahkan tuduhan pembangunan senjata nuklir. Kini
giliran Turki yang akan diobok-obok melalui Rusia dengan tuduhan mendukung ISIS
di Suriah. Bahkan keluarga Erdogan dituduh mendapat keuntungan dari perdagangan
illegal minyak oleh ISIS.
Sementara itu dengan berbagai kekerasan
yang terjadi di mana-mana, menjadikan kehidupan komunitas Muslim di
negara-negara mayoritas non Muslim juga menjadi "minor hell".
Mungkin tidak secara fisik. Tapi secara psikologis menjadi beban berat yang
luar biasa. Imej Islam yang sedemikian buruk, atau tepatnya diburuk-burukkan,
menjadikan kebencian sebagian non Muslim semakin terbuka dan meninggi. Di
beberapa tempat bahkan terjadi serangan fisik, seperti di Prancis.
Pertanyaan terbesar kemudian adalah ada
apa dengan umat ini? Dan apa yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi
masalah-masalah besar yang dihadapinya?
Nyanyian lama pasti adalah karena
Amerika dan sekutunya Barat yang menjadikan demikian. Atau karena Yahudi dan
Nashora yang berkolaborasi dalam upaya menghangcurkan Islam dan umatnya. Dan
oleh karenanya mari kita deklarasikan perang melawan mereka, tentu dengan
retorikan-retorika indah nan mematikan dari atas mimbar.
Tapi benarkah demikian? Benarkah bahwa
orang lain selalu ditempatkan pada posisi "tertuduh" di saat kita
menghadapi permasalahan-permasalahan itu?
Jawabannya,
bisa benar, bisa salah, tapi juga bisa dua-duanya. Artinya bisa benar jika
Amerika dan sekutunya menjadi biang keladi jahannam kecil itu. Tapi juga bisa
salah karena Amerika belum tentu "penyebab awal" tapi mendapatkan
"kesempatan" untuk melakukan itu. Maksudnya? Ada faktor utama dan
pertama dari keterlibatan orang lain dalam "jahannam kecil" di dunia
Islam itu.
Dan kalau saja umat ini jujur maka akan
diakui bahwa sesungguhnya penyebab utama dan pertama dari setiap tragedi yang
terjadi dalam tubuh umat ini adalah karena: "lima taqūlūna mā lā
taf'alun"? – mengapa kamu menyatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Dan "ata'murunan nāsa bil birri wa tansawna anfusakum"? –
mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu
melupakan dirimu sendiri (untuk juga berbuat kebajikan)?
Intinya adalah karena slogan-slogan
keagamaan kita selama ini "remain slogans" (hanya tinggal
dimulut, tapi tak dilaksanakan). Slogan iman, slogan ibadah,
slogan akhlak, slogan ukhuwah dan wihdatul ummah, dan
seterusnya masih tergantung dengan indah di atas langit. Belum turun tanzīl
ke atas bumi menjadi realita kehidupan manusia.
Salah satu slogan besar umat ini adalah
ukhuwah Islamiyah (innamal mukminuna ikhwah) dan "ummah
wahidah" (qul inna hadzihi ummatukum ummatan wahidah).
Kenyataannya umat ini adalah umat yang
paling terbagi ketika sudah memasuki dunia realita. Dalam realita ekonomi,
politik, dan lain-lain umat ini paling terkotak-kotak, bahkan dikotak-kotakkan
oleh kepentingan orang lain.
Lalu apa yang seharusnya dilakukan?
Hanya satu jawabannya. Yaitu kembali
kepada ukhuwah dan wihdatul ummah. Menyadari kembali akan
persaudaraan yang sejatinya lebih kokoh dibandingkan persaudaraan seibu dan
seayah. Persaudaraan yang menjadi pengikat dunia akhirat dan tidak akan
terputus oleh kiamat sekalipun.
Menyadari bahwa umat ini dengan segala
latar belakang dan kecenderungannya adalah satu - ummah wahidah. Dan
karenanya harus ditumbuhkan kesadaran satu tubuh - jasad wahid yang
saling terikat, walau melakukan fungsinya masing-masing secara ragam.
Dari semua itu satu hal yang mutlak
disadari. Bahwa yang dituntut pertama kali dalam upaya īkhā dan wihdah
itu adalah ta'liful qulūb. Menjinakkan hati-hati kita sehingga tidak
liar dan buas terhadap sesama.
Jika hati telah menjinak maka akan
terjalin "kasih sayang" - ruhamā bainahum di antara
sesama. Dan kalau ini terjadi maka perbedaan apapun yang ada akan dilalui (overlooked)
bahkan dianggap "rahmah" atau jalan kebaikan yang Allah
berikan kepada umat ini dalam menjalankan misi besarnya.
Yang menjadi masalah memang ketika
tendensi "dictatorship" hadir dalam kehidupan kita. Termasuk
di dalamnya kediktatoran berpikir dan penafsiran. Sehingga perbedaan penafsiran
akan segera disimpulkan sebagai "kekufuran".
Padahal, arti ta'liful qulūb –
keterikatan hati jauh lebih penting dan urgent ketimbang "wihatul afkar"
– kesatuan pemikiran-pemikiran (suara bulat penuh) yang memang mustahil, bahkan
bertentangan dengan tabiat kehidupan manusia - pepatah Minang menyatakan,
"Kalaulah tidak bisa bulat yang dapat dilontarkan, namun kalau pipihpun
sudah dapat dilayangkan". Be smart! □□□