Saturday, December 5, 2015

Umat Dalam Jurang Kebinasaan?





Kata Pengantar

  • "lima taqūlūna mā lā taf'alun"? Artinya, mengapa kamu menyatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? [QS Ash-Shaff 61:2]

  • Dan "ata'murunan nāsa bil birri wa tansawna anfusakum"? Artinya, mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri (untuk juga berbuat kebajikan)? [QS Al-Baqarah 2:44]




S
angat boleh jadi peringatan Allah ‘Azza wa Jalla diatas telah ditujukan kepada Umat Islam terutama dalam konteks keterpurukan sosiologis kemasyarakat yang ada sekarang ini kalau tidak diatasi akan menuju ke jurang kebinasaan yang mati seperti “ayam yang mengeram di lumbung padi, mati kelaparan”. Padahal negeri-negeri mayoritas yang berpenduduk muslim kaya akan sumber alamnya seperti minyak mentah dan gas alam, serta lain-lainnya sebagai bahan tenaga atau  power mesin ekonomi penggerak industri dan alat transportasi udara, laut dan darat bagi negara-negara barat dan negara maju lainnya.

Sementara ajaran Islam yang kaffah yaitu ajaran kebaikan hidup di akhirat dan di dunia sebagai khalifah-khalifah di muka bumi sebagai pemakmur bumi. Dan diingatkan pula bahwa dalam memakmurkan bumi umatnya mesti dalam suatu wadah organisasi yang mesti kompak bersatu “innallõha yuhibbul ladzīna yuqõtiluna fī sabīlihī shoffan ka-annahum bunyānun marshūsh”. Artinya, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berusaha keras (berjuang) di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. [QS Ash-Shaff 61:4]

Dengan itu artinya diperlukan Ta’liful Qulūb

”Ruh-ruh itu adalah tentara-tentara yang selalu siap siaga, yang telah saling mengenal maka ia (bertemu dan) menyatu, sedang yang tidak maka akan saling berselisih (dan saling mengingkari)”. [HR Muslim]

Karakter ruh dan jiwa manusia yang telah bertemu dan menyatu dalam bersosial kemasyarakatan, adalah power penggerak yang selalu siap siaga digunakan untuk mempertahankan dan memajukan peradaban manusia. Kesatuaannya adalah kunci kekuatan, sedang perselisihannya adalah sumber bencana dan kelemahan. Ruh dan Jiwa adalah potential power kehidupan individual dari Allah yang sangat setia menghidupkan manusia menjalankan misi hidupnya di bumi. Ia hanya akan dapat berguna dalam artian positif dan membangun jika diikat dengan kemuliaan interaksi sesama sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan dari Yang Menciptakanya, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

”Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkankan semua (kekayaan, potensi) yang berada dibumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi (kecuali adanya ridha) Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. [QS Al-Anfāl 8:63]

Dan tiada satupun ikatan yang paling kokoh untuk mempertemukannya selain ikatan akidah dan keimanan. Imam Syahid Hasan Al Banna berkata: ”Yang saya maksud dengan ukhuwah adalah terikatnya hati dan ruhani dengan ikatan aqidah. Aqidah adalah sekokoh-kokoh dan semulia-mulianya ikatan. Ukhuwah adalah saudaranya keimanan, sedangkan perpecahan adalah saudara kembarnya kekufuran”. [Risalah Ta’lim, 193]

Sayangnya kesadaran dan semangat makna Ta’liful Qulūb inilah yang terlupakan dikalangan negeri-negeri berpenduduk muslim akibat dari trauma keterjajahan mental post kolonialisme yang belum bangkit benar. Untuk itu ikuti paparan analisis Imam Shamsi Ali dalam tulisannya dengan tajuk Ta'liful Qulūb vs Ta'liful Afkār. □ AFM


Ta'liful Qulūb vs Ta'liful Afkār


W
alau Islam terus berkibar dan tegap tinggi, di sisi lain tak disangkal umat Islam sedang hidup dalam keadaan yang memprihatinkan. Di negara-negara mayoritas Muslim, umat ini sedang teruji dan tercabik-cabik. Di Timur Tengah misalnya, negara-negara yang dahulu masuk dalam kategori makmur, jaya dan damai kini hidup dalam "neraka kecil" (thõmah shugra, minor hell). Perhatikan Irak, Suriah, Libya, bahkan Yaman.

Bahkan dari dulu hingga kini ada upaya-upaya untuk memperluas "pengrusakan" jantung dunia Islam dengan cara cerdik dan halus. Selain negara-negara Arab Muslim di Timur Tengah, ada dua negara Muslim non Arab yang berpengaruh lainnya. Yaitu Iran dan Turki. Iran sejak lama sudah ada upaya-upaya untuk "menjahannamkannya" dengan berbagai sanksi ekonomi, bahkan tuduhan pembangunan senjata nuklir. Kini giliran Turki yang akan diobok-obok melalui Rusia dengan tuduhan mendukung ISIS di Suriah. Bahkan keluarga Erdogan dituduh mendapat keuntungan dari perdagangan illegal minyak oleh ISIS.

Sementara itu dengan berbagai kekerasan yang terjadi di mana-mana, menjadikan kehidupan komunitas Muslim di negara-negara mayoritas non Muslim juga menjadi "minor hell". Mungkin tidak secara fisik. Tapi secara psikologis menjadi beban berat yang luar biasa. Imej Islam yang sedemikian buruk, atau tepatnya diburuk-burukkan, menjadikan kebencian sebagian non Muslim semakin terbuka dan meninggi. Di beberapa tempat bahkan terjadi serangan fisik, seperti di Prancis.


Pertanyaan terbesar kemudian adalah ada apa dengan umat ini? Dan apa yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah besar yang dihadapinya?

Nyanyian lama pasti adalah karena Amerika dan sekutunya Barat yang menjadikan demikian. Atau karena Yahudi dan Nashora yang berkolaborasi dalam upaya menghangcurkan Islam dan umatnya. Dan oleh karenanya mari kita deklarasikan perang melawan mereka, tentu dengan retorikan-retorika indah nan mematikan dari atas mimbar.


Tapi benarkah demikian? Benarkah bahwa orang lain selalu ditempatkan pada posisi "tertuduh" di saat kita menghadapi permasalahan-permasalahan itu?

Jawabannya, bisa benar, bisa salah, tapi juga bisa dua-duanya. Artinya bisa benar jika Amerika dan sekutunya menjadi biang keladi jahannam kecil itu. Tapi juga bisa salah karena Amerika belum tentu "penyebab awal" tapi mendapatkan "kesempatan" untuk melakukan itu. Maksudnya? Ada faktor utama dan pertama dari keterlibatan orang lain dalam "jahannam kecil" di dunia Islam itu.

Dan kalau saja umat ini jujur maka akan diakui bahwa sesungguhnya penyebab utama dan pertama dari setiap tragedi yang terjadi dalam tubuh umat ini adalah karena: "lima taqūlūna mā lā taf'alun"? – mengapa kamu menyatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Dan "ata'murunan nāsa bil birri wa tansawna anfusakum"? – mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri (untuk juga berbuat kebajikan)?

Intinya adalah karena slogan-slogan keagamaan kita selama ini "remain slogans" (hanya tinggal dimulut, tapi tak dilaksanakan). Slogan iman, slogan ibadah, slogan akhlak, slogan ukhuwah dan wihdatul ummah, dan seterusnya masih tergantung dengan indah di atas langit. Belum turun tanzīl ke atas bumi menjadi realita kehidupan manusia.

Salah satu slogan besar umat ini adalah ukhuwah Islamiyah (innamal mukminuna ikhwah) dan "ummah wahidah" (qul inna hadzihi ummatukum ummatan wahidah).
 
Kenyataannya umat ini adalah umat yang paling terbagi ketika sudah memasuki dunia realita. Dalam realita ekonomi, politik, dan lain-lain umat ini paling terkotak-kotak, bahkan dikotak-kotakkan oleh kepentingan orang lain.

Lalu apa yang seharusnya dilakukan?

Hanya satu jawabannya. Yaitu kembali kepada ukhuwah dan wihdatul ummah. Menyadari kembali akan persaudaraan yang sejatinya lebih kokoh dibandingkan persaudaraan seibu dan seayah. Persaudaraan yang menjadi pengikat dunia akhirat dan tidak akan terputus oleh kiamat sekalipun.

Menyadari bahwa umat ini dengan segala latar belakang dan kecenderungannya adalah satu - ummah wahidah. Dan karenanya harus ditumbuhkan kesadaran satu tubuh - jasad wahid yang saling terikat, walau melakukan fungsinya masing-masing secara ragam.

Dari semua itu satu hal yang mutlak disadari. Bahwa yang dituntut pertama kali dalam upaya īkhā dan wihdah itu adalah ta'liful qulūb. Menjinakkan hati-hati kita sehingga tidak liar dan buas terhadap sesama.

Jika hati telah menjinak maka akan terjalin "kasih sayang" -  ruhamā bainahum di antara sesama. Dan kalau ini terjadi maka perbedaan apapun yang ada akan dilalui (overlooked) bahkan dianggap "rahmah" atau jalan kebaikan yang Allah berikan kepada umat ini dalam menjalankan misi besarnya.

Yang menjadi masalah memang ketika tendensi "dictatorship" hadir dalam kehidupan kita. Termasuk di dalamnya kediktatoran berpikir dan penafsiran. Sehingga perbedaan penafsiran akan segera disimpulkan sebagai "kekufuran".

Padahal, arti ta'liful qulūb – keterikatan hati jauh lebih penting dan urgent ketimbang "wihatul afkar" – kesatuan pemikiran-pemikiran (suara bulat penuh) yang memang mustahil, bahkan bertentangan dengan tabiat kehidupan manusia - pepatah Minang menyatakan, "Kalaulah tidak bisa bulat yang dapat dilontarkan, namun kalau pipihpun sudah dapat dilayangkan". Be smart! □□□

Blog Archive