ISRA’ - MI’RAJ (3)
Oleh: A. Faisal Marzuki
Tujuan Isra’ - Mi’raj
P
|
erisriwa Isra’ - Mi’raj itu sebetulnya bertujuan
membawa Rasulullah saw ke satu posisi yang paling tinggi untuk memahami
betapa dahsyatnya ciptaan Allah. Untuk apakah semuanya itu? Yaitu untuk
memotivasi Rasulullah saw. Mengapakah demikian? Karena sebelum Isra’ - Mi’raj, Rasulullah saw sedang berada
pada titik terendah perjuangannya yang paling sulit, yaitu ketika dijepit oleh
orang kafir dan diembargo secara ekonomi. Di saat-saat itu justru Allah
mewafatkan paman Rasulullah, Abi Thalib dan mewafatkan istri Rasulullah,
Khadijah ra. Hal ini bukannya
kebetulan, melainkan sesuai dengan ketetapan-Nya, karena memang tak ada yang
kebetulan di dalam kehidupan ini bagi Allah swt.
Semuanya itu justru terjadi pada saat Rasulullah
saw berada pada titik nadir
(terendah) perjuangannya. Beliau berharap memindahkan front syi’arnya dari
pusat Makkah ke luar kota Makkah - yaitu ke Tha’if. Beliau berharap disambut
baik oleh penduduk Tha’if, tapi malah yang terjadi beliau dilempari batu sampai
berdarah-darah. Maka kemudian Allah swt
memompa kembali semangat beliau, yaitu dengan cara Isra’ - Mi’raj. “Muhammad,
engkau adalah utusan Allah swt,”
mungkin seperti itulah yang ingin disampaikan oleh Allah swt melalui peristiwa Isra’ - Mi’raj tersebut - dengan memperlihatkan secara ril kebesaran dan
kekuasaan alam ciptaan-Nya.
Kemudian, ketika Rasulullah saw kembali
dari Isra’ - Mi’raj, maka setahun kemudian terjadilah titik balik
perjuangannya, yaitu Beliau saw bersama
pengikutnya Hijrah ke Madinah, kemudian dari Madinah bisa menaklukkan kota
Makkah dari kaum musyrikin Makkah yang telah berusaha membunuhnya tapi tidak
berhasil. Malah Rasul saw bersama
Abubakar as pergi Hijrah ke Yatrib
dengan selamat, walaupun dalam bayangan pengejaran dan ancaman pembunuhannya.
Sesampai disana Yatrib diberi nama baru yaitu Madinah yang artinya Kota Yang
Berperadaban, yaitu mendirikan (negara) kota. Kemudian membangunnya,
memajukannya, memurnikan dan memartabatkan, yaitu jauh dari cara-cara
jahiliyyah (tidak beradab, semena-mena). Penyandangan nama tersebut pantas,
karena jalannya pemerintahan di atur layaknya seperti zaman modern ini yaitu
negara berjalan berdasarkan hukum.
KESIMPULAN
U
|
ntuk menyimpulkan paparan diatas terutama yang
menyangkut sains (ilmu pengetahuan modern) penulis kutipkan pendapat seorang
pakar astronomi yang juga mengetahu ilmu agama bidang tertentu (ahli tafsir
ayat-ayat Kauniyyah), Dr. T. Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika,
LAPAN - Anggota Tim Tafsir Kauni Kementerian Agama-LIPI sebagai berikut ini.
Isra’ - Mi’raj bukanlah kisah perjalanan
antariksa. Aspek astronomis sama sekali tidak ada dalam kajian Isra’ - Mi’raj.
Namun, Isra’ - Mi’raj mengusik keingintahuan akal manusia untuk mencari
penjelasan ilmu. Aspek aqidah dan ibadah berintegrasi dengan aspek ilmiah dalam
membahas Isra’ - Mi’raj. Inspirasi saintifik Isra’ - Mi’raj mendorong kita
untuk berfikir mengintegrasikan sains dalam aqidah dan ibadah.
Mari kita mendudukkan masalah Isra’ - Mi’raj
sebagai mana adanya yang diceritakan di dalam Al-Qur’an dan Hadits-Hadits
shahih. Kemudian sekilas kita ulas kesalahpahaman yang sering terjadi dalam
mengaitkan Isra’ - Mi’raj dengan kajian astronomi. Hal yang juga penting dalam
mengambil hikmah peringatan Isra’ - Mi’raj adalah menggali inspirasi saintifik
yang mengintegrasikan sains dalam memperkuat aqidah dan menyempurnakan ibadah.
Kisah dalam Al-Qur’an dan Hadits
Di dalam surat Al-Isrā’ ayat 1, Allah
menjelaskan tentang Isra’, Allah swt
berfirman yang artinya: Mahasuci (Allah),
yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad saw) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya, [1] agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya
Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
Dan tentang Mi’raj Allah menjelaskan dalam Surah
An-Najm Allah swt berfirman yang
artinya: Dan sungguh dia (Nabi Muhammad saw) telah melihatnya (dalam rupanya
yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil
Muntahā, [2] di dekatnya ada Surga
tempat tinggal, (Nabi Muhammad saw melihat
Jibril as) ketika Sidratil Muntahā diliputi oleh sesuatu yang
meliputinya, penglihatannya (Nabi Muhammad saw)
tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sungguh,
dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling
besar.” (QS An-Najm 53:13-18)
Sidratul Muntaha secara harfiah berarti
‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu perlambang batas yang tak seorang
manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah swt yang tahu hal-hal yang lebih jauh
dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits yang
menerangkan apa, di mana, dan bagaimana Sidratul Muntaha itu.
Kejadian-kejadian sekitar Isra’ - Mi’raj
dijelaskan di dalam Hadits-Hadits Nabi. Dari Hadits-Hadits yang shahih,
didapati rangkaian kisah-kisah berikut seperti telah dipaparkan sebelumnya.
Suatu hari Malaikat Jibril as datang
dan membawa Nabi saw, lalu dibedahnya
dada Nabi saw dan dibersihkannya
hatinya, diisinya dengan iman dan hikmah.
Kemudian didatangkan Buraq, ‘binatang’ berwarna
putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan Buraq itu Nabi as melakukan Isra’ dari Masjidil Haram
di Makkah ke Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis, Palestina. Nabi saw shalat dua rakaat di Baitul Maqdis,
lalu dibawakan oleh Jibril as segelas
khamr (minuman keras) dan segelas
susu, Nabi saw memilih susu. Kata
malaikat Jibril as, “Engkau dalam
kesucian, sekiranya kau pilih khamr,
sesatlah ummat engkau.”
Dengan Buraq pula Nabi saw melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia. Di sana
dijumpainya Nabi Adam as yang
dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka.
Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua
dijumpainya Nabi Isa as dan Nabi
Yahya as. Di langit ke tiga ada Nabi
Yusuf as. Nabi Idris as dijumpai di langit ke empat. Lalu
Nabi saw bertemu dengan Nabi Harun as di langit ke lima, Nabi Musa as di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim as di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh
dilihatnya Baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat shalat tiap harinya, setiap
Malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari
Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam (pena). Dari Sidratul Muntaha
dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di Surga, dua
sungai fisik (dhahir) di Dunia: sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril as membawa tiga gelas berisi khamr,
susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril as
pun berkomentar, “Itulah (perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan ummat
engkau.” Jibril mengajak Nabi saw
melihat Surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an Surah
An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi saw
melihat wujud Jibril as yang
sebenarnya.
Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya
perintah shalat wajib. Mulanya diwajibkan shalat lima puluh kali
sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa as,
Nabi saw meminta keringanan dan
diberinya pengurangan sepuluh-sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima
kali sehari semalam. Nabi saw enggan
meminta keringanan lagi, “Aku telah meminta keringan kepada Tuhanku, kini saya
rela dan menyerah.” Maka Allah swt
berfirman, “Itulah fardhu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku.”
Urutan kejadian sejak melihat Baitul Ma’mur
sampai menerima perintah shalat tidak sama dalam beberapa Hadits, mungkin
menunjukkan kejadian-kajadian itu serempak dialami Nabi saw. Dalam kisah itu, hal yang fisik (dzhahir) dan non-fisik
(bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat di dalamnya. Nabi saw yang pergi dengan jasad fisik hingga
bisa shalat di Masjidil Aqsha dan memilih susu yang ditawarkan Jibril as, tetapi mengalami hal-hal non-fisik,
seperti pertemuan dengan para Nabi yang telah wafat jauh sebelum kelahiran Nabi
saw dan pergi sampai ke Surga. Juga
ditunjukkan dua sungai non-fisik di Surga dan dua sungai fisik di Dunia.
Dijelaskannya makna perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad saw, dan menolak khamr atau madu. Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang Mu’min
semua kejadian itu benar diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya.
“Dan (ingatlah), ketika Kami
wahyukan kepadamu, “Sungguh, (ilmu) Tuhanmu meliputi seluruh manusia”. Dan Kami
tidak menjadikan mimpi, [3] (penglihatan,
ar-ru’yā) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi
manusia, …” [QS Al-Isrā’ 17:60].
“Ketika orang-orang Quraisy tak
mempercayai aku (kata Nabi saw), aku
berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah swt menampakkan kepada saya Baitul
Maqdis, aku dapatkan apa yang aku inginkan dan aku jelaskan kepada mereka
tanda-tandanya, aku memperhatikannya….” [HR Bukhari, Muslim, dan
lainnya].
Hakikat Tujuh Langit
Peristiwa Isra’ - Mi’raj yang menyebut-nyebut
tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit,
khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering disebut-sebut dalam
Al-Qur’an. Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru
yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di
atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan?
Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari
hamburan cahaya biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samā’ atau samāwāt) berarti segala yang
ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang,
planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang
melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada.
Bilangan ‘tujuh’ sendiri dalam beberapa hal
dalam Al-Qur’an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem
desimal. Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering
mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Surah
Al-Baqarah Allah swt menjanjikan: Perumpamaan orang yang
menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap
tangkai ada seratus biji. Allah
melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendakinya,….” (QS Al-Baqarah
2:261). Juga di dalam Surah Luqmān yang
artinya: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena
dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)-nya, niscaya tidak akan habis-habisnya
(dituliskan) kalimat-kalimat Allah….[4] (QS Luqmān 31:27)
Jadi ‘tujuh langit’ lebih mengena
bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit yang
tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke
dua, langit ke tiga, … sampai langit ke tujuh dalam kisah Isra’ - Mi’raj?
Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi.
Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di langit pertama, matahari di
langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan
planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang
yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita
ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya -termasuk
bumi - mengorbit jauh dari matahari.
Pengertian langit dalam kisah Isra’ Mi’raj
bukanlah pengertian langit secara fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi
saw pun bukan fenomena fisik, seperti
perjumpaan dengan para Nabi saw yang
hakikatnya telah wafat. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah Isra’ - Mi’raj
adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan
ilmu manusia. Hanya Rasulullah saw
yang berkesempatan mengetahuinya. Isra’ - Mi’raj adalah mu’jizat yang hanya
diberikan Allah swt kepada Nabi
Muhammad saw.
Perjalanan Keluar Dimensi Ruang Waktu
Isra’ - Mi’raj jelas bukan perjalanan seperti
dengan pesawat terbang antarnegara dari Makkah ke Palestina dan penerbangan
antariksa dari Masjidil Aqsha ke langit ke tujuh lalu ke Sidratul Muntaha.
Isra’ - Mi’raj adalah perjalanan keluar dari dimensi ruang waktu, lihat Gambar
di atas. Tentang caranya, iptek (sains dan teknologi) tidak dapat menjelaskan.
Tetapi bahwa Rasulullah saw melakukan
perjalanan keluar ruang waktu, dan bukan dalam keadaan mimpi, adalah logika
yang bisa menjelaskan beberapa kejadian yang diceritakan dalam Hadits shahih.
Penjelasan perjalanan keluar dimensi ruang waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan
bahwa itu sesuatu yang lazim ditinjau dari segi sains, tanpa harus
mempertentangkannya dan menganggapnya sebagai suatu kisah yang hanya dapat
dipercaya saja dengan iman.
Kita hidup di alam yang dibatas oleh dimensi
ruang-waktu yaitu tiga dimensi ruang - mudahnya kita sebut panjang, lebar, dan
tinggi, serta satu dimensi waktu. Sehingga kita selalu memikirkan soal jarak
dan waktu. Dalam kisah Isra’ - Mi’raj, Rasulullah saw bersama Jibril as dengan
wahana “Buraq” keluar dari dimensi ruang, sehingga dengan sekejap sudah berada
di Masjidil Aqsha. Rasul bukan bermimpi karena dapat menjelaskan secara detil
tentang Masjid Al-Aqsha dan tentang kafilah yang masih dalam perjalanan. Rasul
juga keluar dari dimensi waktu sehingga dapat menembus masa lalu dengan menemui
beberapa Nabi. Di langit pertama (langit dunia) sampai langit tujuh
berturut-turut bertemu (1) Nabi Adam as,
(2) Nabi Isa as dan Nabi Yahya as, (3) Nabi Yusuf as, (4) Nabi Idris as,
(5) Nabi Harun as, (6) Nabi Musa as, dan (7) Nabi Ibrahim as. Rasulullah saw juga ditunjukkan Surga dan Neraka, suatu alam yang mungkin
berada di masa depan, mungkin juga sudah ada masa sekarang sampai setelah
kiamat nanti.
Sekadar analogi sederhana perjalanan keluar
dimensi ruang waktu adalah seperti kita pergi ke alam lain yang dimensinya
lebih besar. Sekadar ilustrasi, dimensi 1 adalah garis, dimensi 2 adalah
bidang, dimensi 3 adalah ruang. Alam dua dimensi (bidang) dengan mudah
menggambarkan alam satu dimensi (garis). Demikian juga alam tiga dimensi
(ruang) dengan mudah menggambarkan alam dua dimensi (bidang). Tetapi dimensi
rendah tidak akan sempurna menggambarkan dimensi yang lebih tinggi. Kotak
berdimensi tiga tidak tampak sempurna bila digambarkan di bidang yang
berdimensi dua.
Sekarang bayangkan ada alam berdimensi
dua (bidang) berbentuk U. Makhluk di alam “U” itu bila akan berjalan dari
ujung satu ke ujung lainnya perlu menempuh jarak jauh. Kita yang berada di alam
yang berdimensi lebih tinggi dengan mudah memindahkannya dari satu ujung ke
ujung lainnya dengan mengangkat makhluk itu keluar dari dimensi dua, tanpa
perlu berkeliling menyusuri lengkungan “U”, perhatikan Gambar diatas,
sebelumnya.
Alam malaikat (juga jin) bisa jadi berdimensi
lebih tinggi dari dimensi ruang waktu, sehingga bagi mereka tidak ada lagi
masalah jarak dan waktu. Karena itu mereka bisa melihat kita, tetapi kita tidak
bisa melihat mereka. Ibaratnya dimensi dua tidak dapat menggambarkan dimensi
tiga, tetapi sebaliknya dimensi tiga mudah saja menggambarkan dimensi dua.
Bukankah isyarat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits juga menunjukkan hal itu.
Malaikat dan jin tidak diberikan batas waktu umur, sehingga seolah tidak ada
kematian bagi mereka. Mereka pun bisa berada di berbagai tempat karena tak
dibatas oleh ruang.
Rasulullah saw
bersama Jibril as diajak ke dimensi
malaikat, sehingga Rasulullah saw
dapat melihat Jibril as dalam
bentuk aslinya, baca Surah An-Najm ayat 13-18 seperti tersebut diatas. Rasul saw pun dengan mudah pindah dari suatu
tempat ke tempat lainnya, tanpa terikat ruang dan waktu. Langit dalam konteks
Isra’ - Mi’raj pun bukanlah langit fisik berupa planet atau bintang, tetapi
suatu dimensi tinggi. Langit memang bermakna sesuatu di atas kita, dalam arti
fisik maupun non-fisik.
Sains Terintegrasi dengan Aqidah dan
Ibadah
Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa
menjabarkan hakikat perjalanan Isra’ - Mi’raj. Allah hanya memberikan ilmu
kepada manusia sedikit sekali, sebagaimana yang disebutkan dalam Surah Al-Isrā’
yang artinya: Dan mereka bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan
kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”, (QS Al-Isrā’ 17:85). Hanya
dengan iman kita mempercayai bahwa Isra’ - Mi’raj benar-benar terjadi dan
dilakukan oleh Rasulullah saw.
Rupanya, begitulah rencana Allah swt menguji
keimanan hamba-hamba-Nya (QS Al-Isrā’ 17:60) dan menyampaikan perintah shalat
wajib secara langsung kepada Rasulullah saw.
“…dan (ingatlah), ketika Kami
wahyukan kepadamu: ‘Sungguh, (ilmu) Tuhanmu meliputi suluruh manusia’ dan Kami
tidak menjadikan penglihatan - Ar-Ru’ya
(saat Isra’ Mi’raj) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai
ujian bagi manusia …” (QS Al-Isrā’ 17:60)
Pemahaman dengan pendekatan konsep ektra dimensi
sekadar pendekatan sains untuk merasionalkan konsep aqidah terkait Isra’ - Mi’raj,
walau belum tentu tepat. Tetapi upaya pendekatan saintifik sering dipakai
sebagai dalil aqli (akal) untuk
memperkuat keyakinan dalam aqidah Islam. Sains seharusnya tidak kontradiktif
dengan aqidah dan aqidah bukan hal yang bersifat dogmatis semata, tetapi memungkinkan
dicerna dengan akal. Mengintegrasikan sains dalam memahami aqidah dapat
menghapuskan dikhotomi aqidah dan sains, karena Islam mengajarkan bahwa kajian
sains tentang ayat-ayat kauniyah tak terpisahkan dari pemaknaan aqidah.
“Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal [Ulil Albab], (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami,
Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka
peliharalah Kami dari siksa neraka.” [QS Āli ‘Imrān 3:190-191]
Pada sisi lain Isra’ Mi’raj
mengajarkan makna mendalam dalam hal ibadah. Makna penting Isra’ Mi’raj bagi
ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah shalat wajib lima waktu.
Ini menunjukkan kekhususan shalat sebagai ibadah utama dalam Islam. Shalat
mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat
maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh
orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau
haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.
Shalat lima kali sehari semalam yang
didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu
membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah swt mengingatkan yang artinya:
“Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang
telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah (laksanakanlah) shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan
(ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih
besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan. [QS Al-‘Ankabūt 29:45]
Isra’ - Mi’raj juga memberikan inspirasi untuk
merenungi makna ibadah shalat, termasuk aspek saintifiknya. Umat Islam telah
membuktikan bahwa sains pun bisa diintegrasikan dalam urusan ibadah, untuk
menyempurnakan pelaksanaan ibadah. Demi kepentingan ibadah shalat, umat Islam
mengembangkan ilmu astronomi atau ilmu falak untuk penentuan arah kiblat dan
waktu shalat. Tuntutan ibadah mendorong kemajuan
sains astronomi pada awal sejarah Islam. Kini astronomi telah menjadi
alat bantu utama dalam penentuan arah kiblat dan waktu shalat. Konsepsi
astronomi bola digunakan untuk penentuan arah kiblat. Perhitungan posisi
matahari digunakan untuk mencari waktu istimewa dalam penentuan arah kiblat dan
jadwal shalat harian. Kita cukup melihat jadwal shalat, tidak lagi direpotkan
harus melihat langsung fenonema cahaya matahari atau bayangannya setiap akan
shalat. Kini semua ummat Islam Indonesia maupun dunia, apa pun komuniti (ormas)-nya,
bahkan dunia secara umum bisa bersepakat dengan kriteria astronomis dalam
penyusunan jadwal shalat.
Boleh juga dibaca atau diikuti tajuk ini (klik
--->) Penciptaan
Alam Semesta Dalam Enam Masa dan (klik --->) Dahsyatnya
Penciptaan Alam Semesta yang menerangkan bagaimana Kekuasaan Allah dalam
menciptakan Alam Semesta dan Kemaha Besaran Kerajaan-Nya yang dengan itu
menambah tebal dan kuat keyakinan kita kepada-Nya. Allahu ‘Alam Bish-Shawab, Wabillahit
Taufiq Wal-Hidayah. Kembali ke (klik --->) Hikmah Isra’ Mi’raj 1. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Masjidil Aqsha dan daerah sekitarnya dapat
berkah dari Allah dengan diturunkannya nabi-nabi di negeri itu berikut kesuburan
tanahnya.
[2] Sidratil Muntahā yaitu tempat yang paling atas pada langit yang
ke-7, yang telah dikunjungi Nabi saw
ketika Mi’raj.
[3] Mimpi adalah terjemahan dari kata Ar-Ru’ya dalam ayat ini maksudnya ialah
mimpi tentang Perang Badar yang dialami Rasulullah saw, sebelum peristiwa Perang Badar itu terjadi. Banyak pula pala
mufasir menerjemahkan kata Ar-Ru’ya dengan
penglihatan yang maksudnya, penglihatan yang dialami Rasulullah saw pada waktu malam Isra’ dan Mi’raj
[4] Ilmu-Nya dan hikmah-Nya, artinya semua itu
tidak cukup untuk menuliskan kalimat-kalimat Allah. □□
Daftar Kepustakaan:
Media Elektronik
1.
http://www.al-habib.info/review/masjid-aqsha-dan-kubah-emas-yerusalem.htm
2.
http://www.bmtnu-ngasem.com/2016/03/pembahasan-lengkap-isra-miraj-nabi.html
3.
https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/07/08/isra%E2%80%99-mi%E2%80%99raj-inspirasi-mengintergrasikan-sains-dalam-aqidah-dan-ibadah/
4.
https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/06/22/isra-miraj-perjalanan-keluar-dimensi-ruang-waktu/
5.
https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/04/28/isra-miraj-mujizat-salah-tafsir-dan-makna-pentingnya/
Media Cetak (Buku)
1.
Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyur
Rahman Al-Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar, 1997, Jakarta.
2.
Terpesona di Sidratul Muntaha - Serial
ke-3 Diskusi Tasawuf Modern, Agus Mustofa, Padma Press, Surabaya, 2008
3. Translasi dari Bahasa Al-Qur’an (Arab) ke
Bahasa Indonesia bersumber dari ALFATIH, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Di Sarikan
Dari Tafsir Ibnu Katsir.
4. Dan sumber-sumber lainnya. □□□