Thursday, July 6, 2017

Membangun Kembali peradaban Islam 4




Membangkitkan tradisi keilmuan


J
ika substansi peradaban Islam adalah pandangan hidupnya, maka membangun kembali peradaban Islam adalah memperkuat pandangan hidup Islam. Hal ini dilakukan dengan menggali konsep-konsep penting khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menyebarkannya agar dimiliki oleh kaum terpelajarnya yang secara sosial berperan sebagai agen perubahan dan yang secara individual akan menjadi decision maker.

   Memperkuat pandangan hidup Muslim artinya memberi solusi terhadap persoalan ummat secara fundamental dan integral. Pentingnya pandangan hidup Islam ditekankan al-Attas dalam berbagai tulisannya, dan bahkan dalam kontek pengembangan sains telah diformulasikan dengan baik oleh Prof. Alparslan Acikgenc. Dengan pendekatan ini kita tidak perlu meletakkan dua pilihan yang saling bertolak belakang, atau meletakkan Islam vis a vis Barat dalam setting yang konfrontatif. Barat dan kebudayaan asing lainnya harus dilihat dalam konteks kebutuhan yang bersifat konsepsional, dalam artian bahwa disatu sisi Islam dapat “mengadapsi” atau meminjam konsep-konsep asing yang sesuai atau disesuaikan terlebih dulu dengan pandangan hidup Islam, dan di sisi lain Islam dapat menolak ide asing yang tidak diperlukan, dengan kesadaran bahwa realitas ajaran Islam memang berbeda secara asasi dari kebudayaan manapun, termasuk Barat.

   Untuk menggambarkan pentingnya pandangan hidup Islam atau framework Islam dalam menerima dan menolak konsep-konsep asing kita rujuk sinyalemen Professor Khurshid Ahmad, pakar Ekonomi Islam asal Pakistan dibawah ini:

The capitalist and the Socialits model can have no place as our ideal-types, although we would like to avail from all those experience of mankind which can be gainfully assimilated and integrated within the Islamic framework and can serve our own purpose wihtout in any way impairing out values and norms. But we must reject the archytype of capitalism and socialism. Both this model of development are incompatible with our value system; both are exploitative and unjust and fail to treat man as man, as God’s vicegerent (khalifah) on earth. Both have been unable to meet in their own realms the basis economic, social, political, and moral chalenges of our time and the real need of a humane society and a just economy.

Terjemahan bebasnya adalah bahwa model [ekonomi] kapitalis dan sosialis tidak bisa menjadi tipe ideal kita, meskipun kita akan memanfaatkan semua pengalaman manusia untuk diasimilasikan dan diintegrasikan dengan framework Islam, untuk dapat membantu mencapai tujuan kita sendiri dengan tanpa mengotori nilai-nilai dan norma kita. Bahkan kita kita harus menolak model kapitalisme dan sosialisme. Kedua model pembangunan ini tidak cocok dengan sistem nilai kita, keduanya eksploitatif, tidak adil dan gagal memperlakukan manusia sebagai manusia, sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Keduanya telah gagal mengatasi tantangan ekonomi, sosial, politik, moral masa kini dan memenuhi kebutuhan real umat manusia dan ekonomi yang adil di dunia mereka sendiri.

   Konsep pembangunan dalam Islam tidak sama dengan konsep pembangunan kapitalis ataupun sosialis. Pembanguan ekonomi dalam literatur umum terdiri dari serangkaian kegiatan ekonomi yang menyebabkan pertumbuhan dalam produktifitas eknomi secara keseluruhan dan produktifitas pekerja secara rata-rata, dan juga pertumbuhan rasio antara tenaga kerja dan keseluruhan penduduk. Pembangunan ekonomi dalam Islam lebih luas dari itu, karena pembangunan ekonomi adalah bagian dari pengembangan manusia. Disini fungsi Islam sebagai agama dan pandangan hidup adalah memberi petunjuk bagi pengembangan manusia sesuai dengan arah dan garis yang benar. Tetap mempertimbangkan aspek-aspek eknomi, tapi selalu dalam framework pengembangan manusia seutuhnya.

   Pernyataan Professor Khurshid di atas telah cukup jelas menunjukkan pentingnya pandangan hidup atau dalam istilahnya framework Islam, dalam mengkaji ekonomi asing dan mengembangkan ekonomi Islam. Berdasarkan framework itu maka pengembangan ekonomi Islam bersifat komprehensif yang meliputi aspek-aspek moral, spiritual dan material. Perkembangan merupakan tujuan dan aktivitas yang berorientasi pada nilai, diarahkan pada perkembangan manusia dari berbagai dimensi. Moral dan material, ekonomi dan sosial, spiritual dan fisikal tidak terpisahkan, demi meraih kesejahteraan hidup dunia dan akherat. Dalam Islam fokus dari upaya-upaya pembangunan adalah manusia. Pembangunan berearti pembangunan manusia secara fisik dan lingkungan sosial ekonominya.

   Barat atau kebudayaan asing lainnya dengan secara terbuka seharusnya mengakui bahwa Islam memiliki pandangan hidup, filsafat dan kebudayaannya sendiri yang harus diterima apa adanya dan tidak ada jalan rekonsiliasi, meskipun tetap membangun sikap toleransi. Bagi mereka yang gagal memahami hal ini secara akademis, baik Orientalis maupun intelektual Muslim, akan menganggap bahwa penolakan konsep Barat dalam bentuk apapun akan selalu dihubungkan dengan kecemburuan kultural dan religius (cultural and religious prejudice), yang sebenarnya tidak perlu.

   Sementara bagi mereka yang benar-benar dapat memahami esensi pandangan hidup Islam dan juga Barat akan dapat mengidentifikasi lebih akurat perbedaan dan bahkan pertentangan pada keduanya dan dapat dengan secara kritis menentukan apakah suatu konsep asing diterima (diadapsi) atau ditolak sama sekali. Sesungguhnya, dalam suatu pandangan hidup dan peradaban proses ‘meminjam’ atau adapsi adalah hal yang alami dan ini telah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam, tapi mengadopsi suatu konsep tanpa proses tranformasi yang utamanya melibatkan pengetahuan dan kesadaran akan pandangan hidup, tidak akan memajukan peradaban yang bersangkutan tapi justru menghancurkan.

   Dengan pendekatan integral melalui konsep pandangan hidup Islam yang merujuk kepada tradisi intelektual Islam secara kritis dan kreatif akan menunjukkan bahwa pemikiran dalam Islam itu bersifat konseptual, integral dan memproyeksikan pandangan hidup Islam (worldview) yang dinamis, teratur dan rasional yang dipancarkan oleh konsep Islam sebagai Dīn. Secara teoritis, pandangan hidup Islam tercipta dari adanya konsep ilmu pengetahuan dan pengembangannya yang dibentuk dari kerangka kerja sistem metafisika Islam yang utamanya meliputi pengertian tentang kebenaran dan realitas yang Mutlak. Dalam perspektif pandangan hidup inilah kita dapat mengetahui apakah suatu pemahaman atau penafsiran tentang Islam yang berupa ilmu pengetahuan, filsafat, sains dan lainnya itu benar-benar sesuai dengan Islam dan sejalan dengan pernyataan dan kesimpulan umum Kebenaran yang Diwahyukan (Revealed Truth). Jika terdapat penafsiran atau pemahaman yang tidak sejalan maka perlu dikoreksi ulang dengan apa yang disebut dengan Perubahan Paradigma (Paradigm Shift), yang berarti perubahan pandangan hidup dan sistem metafisikanya.

   Dalam tradisi pemikiran Islam aktivitas koreksi ulang atau konseptualisasi ulang ini dapat berarti tajdid yang hakekatnya selalu berorientasi pada pemurnian (refinement) yang sifatnya kembali kepada ajaran asal dan bukan adopsi pemikiran asing. Kembali kepada ajaran asal tidak selalu bisa difahami sebagai kembali kepada corak kehidupan dizaman Nabi, tapi harus dimaknai secara konseptual dan kreatif. Maka, sesuai dengan makna Islam itu sendiri, tajdid atau islah seperti yang didefinisikan al-Attas mempunyai implikasi membebaskan, artinya membebaskan manusia dari belenggu tradisi magis, mitologis, animistis dan kultur kebangsaan yang bertentangan dengan Islam; pembebasan manusia dari pengaruh pemikiran sekuler terhadap pikiran dan bahasanya, atau pembebasan manusia dari dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil kepada fitrah atau hakekat kemanusiaannya yang benar. Proses pembebasan ini sekarang dikenal dengan sebutan Islamisasi. Dalam konteks zaman sekarang, proses ini memerlukan pengetahuan tentang paradigma dan pandangan hidup Islam yang tercermin di dalam al-Qur’an dan Sunnah serta pendapat-pendapat para ulama terdahulu yang secara ijma’ dianggap qoth’iy. Selain itu diperlukan juga pemahaman terhadap kebudayaan asing dan pemikiran yang menjadi asasnya, namun ‘memahami’ tidak selalu berarti ‘mengambil konsep’. Kita, misalnya tidak perlu mengambil konsep pembebasan dari pandangan hidup asing, sebab ia telah inheren dalam pemikiran Islam dan pembaharuan Islam. Proses pembaharuan atau Islamisasi yang merujuk kepada sumber asal ajaran Islam dan ulama yang memiliki otoritas dibidangnya menunjukkan pembaharuan dalam Islam tidak bersifat evolusioner tapi lebih bermakna devolusioner, dalam artian bahwa ia bukan merupakan proses perkembangan bertahap dimana yang terakhir lebih baik dari yang pertama, tapi suatu proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep asalnya difahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada masanya dan penjelasan itu tidak bertentangan dengan aslinya.

   Sesungguhnya proses pembaharuan atau Islamisasi yang berulang-ulang dalam tradisi pemikiran Islam ini telah di ramalkan oleh Nabi sendiri dalam hadithnya tentang tajdid. (Sunan Abu Dawud). Namun proses Islamisasi tidak melulu berarti menyesuaikan unsur-unsur asing dengan Islam dan tidak pula bermakna bahwa ajaran asasi agama Islam itu usang dan perlu diperbaharui agar sesuai dengan keadaan zaman yang terus menerus berubah. Proses tajdid diperlukan karena pemahaman ummat Islam terhadap ajaran Islam, dan bukan karena ajaran Islamnya, telah semakin jauh dari bentuk dan sifat aslinya. Perlu ditekankan disini bahwa dalam tradisi Islam (sunnah) setiap usaha pembaharuan (tajdid) pamahaman dan penafsiran Islam selalu merujuk kepada kebenaran yang mutlak yang termaktub dalam al-Qur’an. Ini sangat berbeda secara diametris dengan pemikiran dalam kebudayaan Barat yang sifatnya terus menerus mencari dan tidak memiliki rujukan yang mutlak dan pasti, sehingga pendapat atau pemahaman yang baru mesti menolak pendapat yang lama dan seterusnya. Pembaharuan dalam Islam bukan menolak atau menghapuskan pendapat lama atau konsep asalnya tapi merupakan rekonseptualisasi yang kreatif berdasarkan akumulasi pemikiran lama yang dijalin dalam ikatan tradisi dan otoritas. □ [Oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi]




Diakses dari banihamzah-wordpress-com □□□

Blog Archive