Tantangan Pemikiran dan Dampaknya
B
|
erpegang pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan dan
pandangan hidup adalah ujung tombak dan soko guru suatu peradaban, maka
tantangan ekternal yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah ilmu pengetahuan yang
bersumber dari kebudayaan Barat. Barat sendiri adalah peradaban yang tumbuh dan
berkembang dari kombinasi beberapa unsur yaitu filsafat dan nilai-nilai kuno
Yunani dan Romawi, serta agama Yahudi dan Kristen yang dimodifikasi oleh bangsa
Eropa.
Sedangkan Islam adalah peradaban yang lahir dan
tumbuh berdasarkan pada wahyu yang memproyeksikan sebuah pandangan hidup yang
sempurna, yang dipahami, ditafsiri, dijelaskan dan dipraktekkan sehingga
membentuk tradisi intelektual dimana ilmu pengetahuan religius dan rasional
diintegrasikan dalam bangunan ilmu yang mengandung nilai-nilai dan
konsep-konsep yang berguna bagi pembentukan kehidupan yang aman, tenteram dan
damai.
Identitas peradaban Barat dapat dilihat dari dua
periode penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah aliran
pemikiran Barat modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka sejak empat
abad terakhir. Ringkasnya modernisme adalah paham yang muncul menjelang
kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad
industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya
pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme,
empirisisme, cara berfikir dikhotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian
kebenaran metafisis (baca: Agama).
Selain itu modernisme yang terkadang disebut
Westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme
liberalisme, sekularisme dan sebagainya. John Lock, salah seorang filosof Barat
modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan pluralisme
agama adalah inti modernisme. Tapi yang dianggap cukup menonjol dalam
modernisme adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrim.
Sedangkan postmodernisme adalah gerakan
pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai
kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser
kepada paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme dan
persamaan gender (gender equality),
dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan
modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan
pluralismenya. Itulah sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang
kini sedang menguasai dunia. [Untuk mempermudah gambaran tentang peradaban
Barat modern dan postmodern berikut diagram tentang modernisme dan
postmodernisme].
Dampak dari paham, aliran dan pemikiran yang
dibawa modernisme dan postmodernisme terhadap paham ilmu pengetahuan Islam
(epistemologi) cukup besar. Secara etimologis istilah modernisasi telah
menggantikan istilah tajdid dalam
Islam. Secara epistemologis modernisme dengan rasionalismenya telah
mempengaruhi cendekiawan Muslim untuk menekankan penggunaan rasio – dalam
pengertian reason bukan ‘aql – dalam memahami masalah-masalah
keagamaan. Fazlur Rahman misalnya mengakui bahwa kaum modernis menekankan
penggunaan akal dalam memahami agama, masalah demokrasi dan masalah wanita; dan
mengakui adanya pengaruh Barat dalam pemikiran modernis.
Apa yang disinyalir Rahman terjadi pada tokoh cendekiawan Muslim Indonesia Nurcholish Madjid. Dengan tanpa menggunakan terminologi Islam ia berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan, maka. Maka dari itu modernitas membawa kepada pendekatan (taqarrub) kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Istilah-istilah yang digunakan adalah murni
Barat, sehingga pengaruh pemikiran Barat didalamnya sudah bisa diduga. Banyak
persoalan yang perlu dijelaskan. Jika yang ia maksud modernisasi adalah tajdid, tentu membawa banyak persoalan.
Jika yang ia maksud adalah sekedar peningkatan taraf hidup Muslim maka ia tidak
serta merta berarti taqarrub kepada
Allah. Demikian pula dalam memahami makna rasionalisasi. Ia pisahkan
rasionalisasi dari rasionalisme, yang berarti penggunaan akal. Jika demikian
maka dalam pendapat ini tidak ada yang baru. Al-Qur’an telah memerintahkan
penggunaan akal dalam berbagai ayatnya. Yang diperlukan sekarang bukan hanya
sekedar menggunakan akal, tapi bagaimana konstruk epistemologi Islam yang harus
dibangun. Sebab konsep akal dalam Islam tidak sama dengan rasio dalam pengertian
Barat, dan menggunakan akal atau berfikir (yatafakkar)
dalam al-Qur’an harus dibarengi dengan berzikir menggunakan qalb (yadhkuru).
Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran
Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu
sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah
“menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan
ummat Islam untuk mengukhrawikannya” kemudian diperkuat dengan idenya tentang
“liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam” dengan memandang negatif
tradisi dan kaum tradisionalis. Gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan
Robert N. Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen, dan tidak ada
modifikasi yang berarti. Ia hanya mencarikan justifikasinya dalam ajaran Islam.
Menurut Nurcholish, konsep tentang dunia sebagai
tempat hidup yang bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan duniawi
ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Sehingga, sekularisasi
adalah proses penduniawian. Disini Nurcholish seakan akan ingin agar kehidupan
dunia ini tidak dianggap hina dan rendah oleh ummat Islam sehingga lari dari
padanya. Implikasinya tentu ia berharap agar kehidupan dunia ini dianggap mulia
dan tinggi serta harus dihadapi. Tapi ternyata ia justru memisahkan nilai-nilai
spiritual yang sebenarnya memuliakan dan meninggikan kehidupan dunia itu.
Disini sekularisasi masih berarti pengosongan nilai-nilai ruhani dari alam
materi (disenchantment of nature).
Al-Quran menegaskan bahwa alam semesta adalah ayat (kata, kalimat, tanda
symbol) yang merupakan manifestasi lahir ataupun batin dari Tuhan. Alam
memiliki makna keteraturan dan harus dihormati dikarenakan ia memiliki hubungan
simbolis dengan Tuhan.
Sekularisasi justru mendorong orang untuk tidak
menghormati alam dan kehidupan dunia, telah mengikis dan menghilangkan hubungan
simbolis ini. Hasilnya, alam tidak perlu dihormati. Hubungan harmonis antara
manusia dan alam telah diceraikan dan dihancurkan. Hasilnya, manusia akan
terdorong untuk melakukan segala macam kezaliman, kemusnahan, kerusakan di atas
muka bumi. Hasilnya, alam menjadi korban eksploitasi yang hanya berharga demi
sekedar kajian saintifik dan penelitian ilmiah. Sekularisasi telah menjadikan
manusia ‘menuhankan dirinya’ untuk kemudian berlaku tidak adil terhadap alam.
Nurcholish juga membatasi makna sekularisasi
agar tidak berarti sekularisme. Pembatasan diberikan dengan adanya kepercayaan
akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Pembatasan ini tetap saja
bersifat memisahkan secara dichotomis. Orang-orang sekuler di dalam Kristen
adalah orang-orang yang percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, hanya saja
mereka, karena sejarah mereka, tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia
mereka, agama adalah properti pribadi dan bukan publik. Dalam Islam agama
adalah urusan dunia dan akherat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus.
Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisisme
(secularizationism).
Sejalan dengan gagasan rasionalisasi dan sekularisasi Nurcholish Madjid, Dr.Harun Nasution mencanangkan gagasan rasionalisasi. Gagasan ini dikembangkan dalam studi Islam di seluruh IAIN. Berbeda dari Nurcholish, Harun mencanangkan gagasannya itu setelah ia menyelesaikan doktornya di Institute of Islamic Studies McGill, Canada dengan thesis berjudul “Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh”. Latar belakang pendidikannya dan pergaulannya dengan ulama-ulama di Mesir memperluas pengetahuannya tentang tradisi pemikiran Islam. Karya-karyanya yang ia tulis setelah kepulangannya dari Canada dijadikan buku teks terutama dilingkungan IAIN.
Hanya sayangnya ia mengangkat kembali doktrin
teologis Mu’tazilah dan mengecilkan doktrin teologi Ash’ariyyah. Asumsinya
bahwa teologi ummat Islam yang dipakai ummat Islam pada kejayaannya di zaman
Abbasiyah adalah teologi rasional Mu’tazilah. Ia bahkan mengatakan bahwa selama
ummat Islam mempertahankan kepercayaan pada pandangan hidup fatalistik
berdasarkan doktrin Ash’ariyyah, maka hampir mustahil untuk dapat
berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk itu teologi Ash’ariyyah perlu
diganti dengan teologi Mu’tazilah.
Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan dan
tidak berupa konsep-konsep baru. Asumsinya bahwa Mu’tazilah adalah teologi yang
berhasil membawa Islam ketingkat peradaban yang tinggi masih perlu pembuktian
lebih jauh. Sebab setelah al-Mutawakkil, yang bukan Mu’tazilah berkuasa,
peradaban Islam masih terus eksis dan prestasinya lebih baik dari al-Ma’mun
pendukung Mu’tazilah. Al-Hassan menyatakan:
But with
his ortodoxy and fanaticism….al-Mutawakkil like al-Ma’mun was patron of science
and scholarship and re-opened the Dar al-Hikmah, granting fresh endowment. The
best work of translation was done during his regn. He was generous patron of
scientific research. The best work of Dar al-Hikmah was done under
alk-Mutawakkil.
Kritiknya terhadap teologi Ash’ari yang hanya
difokuskan pada qada dan qadar hanya menunjukkan pembelaan terhadap teologi
Mu’tazilah saja. Dan ini lebih cenderung membatasi pemikiran Islam hanya pada
diskursus yang terjadi dalam Kalam. Ini justru mempersempit Islam itu sendiri.
Selain itu gagasan Islam Rasional tidak mendalam sampai kepada pembahasa
tentang arti, peranan dan kedudukan akal dalam Islam dalam kaitannya dengan
wahyu. Dalam salah satu sub bab dalam bukunya Islam Rasional yang berjudul: “Masalah
Akal dan Akhlak” ia tidak menjelaskan masalah secara mendalam. Demikian pula
dalam bukunya Akal dan Wahyu dalam Islam, ia banyak mengutip ayat-ayat tentang
pentingnya berfikir rasional dan mengungkapkan berbagai pandangan ulama
terdahulu dan kita hampir tidak dapat menemukan konsep Harun sendiri tentang
hubungan keduanya secara teoritis dan konseptual. Jadi teologi rasionalnya
Harun masih dalam tingkat gagasan dan belum berupa konsep baru apalagi untuk
disebut sebagai Neo-Mu’tazilah.
Gagasan yag lebih vulgar dan bahkan secara
eksplisit merupakan kepanjangan dari Westernisasi adalah trend pemikiran yang
kini dikenal dengan liberalisasi. Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution
cenderung mengadapsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong
menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Relativisme,
pluralisme, equality (persamaaan), dekonstruksi dan lain sebagainya adalah
terma-terma pemikiran postmodern. Karena bermuatan Westernisasi maka trend
pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial. Meski ia di perkotaan dan
perguruan tinggi, namun secara perlahan-lahan berpengaruh dalam pembentukan
opini dan jika dibiarkan maka akan berkembang menjadi framework pemikiran.
Lebih-lebih trend pemikiran ini juga diminati oleh para dosen yang pernah
belajar dengan orientalis di Barat.
Cara berfikir dichotomis yang melihat Islam
dengan pandangan ganda Islam historis-Islam normatif, Islam liberal dan Islam
literal, kebenaran obyektif dan kebenaran subyektif, berfikir tekstual dan
kontekstual adalah cara pandang yang berdasarkan pandangan hidup manusia Barat.
Pendekatan seperti ini pada gilirannya akan mempersulit kita dalam
mengkonseptualisasikan epistemologi Islam dan konsep otoritas dalam Islam.
Terbukti dengan berfikir dichotomis seperti itu para cendekiawan justru semakin
kritis terhadap tradisi dan khazanah pemikiran Islam daripada mengapresiasi secara
kreatif dan sikap kritisnya terhadap Barat menghilang. Tuduhan Nurcholish bahwa
ummat Islam memahami tradisi seperti dogma, misalnya, bukan alasan yang tepat
untuk meninggalkannya. Dalam setiap agama selalu ada unsur-unsur dogmatisnya,
bahkan dalam dunia sains yang rasional sekalipun aksioma-aksioma itu dipegang
melebihi agama.
Walhasil, Upaya-upaya pembaharuan pemikiran di
dunia Islam, ternyata masih bersifat seporadis, artinya pemikiran dan
gagasannya tidak didukung oleh komunitas yang memang menekuni khusus dalam
mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkan pemikiran Islam. Terkadang merupakan
gerakan yang dipaksakan dan dipopulerkan, khususnya oleh media. Jika pun ada
komunitas itu, kualitas keilmuannya masih belum memadahi untuk suatu proyek
pembangunan konsep-konsep keislaman.
Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon
merupakan pembaharuan itu ternyata lebih cenderung mengkopi konsep-konsep Barat
modern dan postmodern. Kerancuan di sana sini tidak dapat dihindarkan. Sebab
makna dan tujuan ilmu serta beberapa konsep ilmu yang di miliki umat Islam itu
tercampur oleh pendekatan kebudayaan dan pandangan hidup Barat. Paham, ide,
nilai dan filsafat ilmu Barat modern dan postmodern kini bercampur baur dalam
pemikiran Islam. Akibatnya, Muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah
Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan menggunakan pemahaman, nilai, ide,
pendekatan dan bahkan terminologi Barat. Konsep yang dihasilkan, boleh jadi
tidak lagi compatible dengan pandangan hidup Islam. Mulanya memang sekedar
pemikiran atau konsep tapi implikasnya akan masuk ke sistem pendidikan dan
akhirnya akan membentuk pandangan hidup. Jika pemikiran Muslim sudah
terbaratkan, maka bidang-bidang lain akan ikut dengan sendirinya.
Untuk itu apa yang diperlukan dalam kajian Islam
di Indonesia adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam dan
menguasai pemikiran dan kebudayaan asing terutama Barat khususnya tentang
pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, sains dan teknologinya agar
ummat Islam melahirkan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang dan dalam
konteks kekinian atau kontemporer. Namun masalahnya ummat Islam sendiri masih
menghadapi problem internalnya. □ [Oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi]
Bersambung ke: Membangun Kembali Peradaban Islam3
Diakses dari banihamzah-wordpress-com □□□