Pendahuluan
M
|
embangun kembali peradaban Islam memerlukan
beberapa prasyarat konseptual. Pertama, memahami sejarah jatuh
bangunnya peradaban Islam dimasa lalu; Kedua, memahami kondisi ummat Islam masa
kini dan mengidentifikasi masalah atau problematika yang sedang dihadapi ummat
Islam masa kini; Ketiga,
sebagai prasyarat bagi poin kedua, adalah memahami kembali konsep-konsep kunci
dalam Islam.
Yang
pertama telah kita bahas di atas, dimana telah digambarkan mengenai
cara-cara bagaimana kejayaan peradaban Islam itu dicapai dan bagaimana
kejatuhannya itu terjadi. Sedangkan yang
kedua akan kita bahas khususnya untuk mencari solusi yang berupa
langkah-langkah strategis dan juga praktis. Pada saat yang sama kita perlu
memahami Islam dengan menggali konsep baru dalam berbagai bidang sehingga dapat
membentuk bangunan baru peradaban Islam yang mampu menghadapi tantangan zaman.
Artinya dengan konsep-konsep Islam kita dapat bersikap kritis ataupun
apresiatif terhadap konsep-konsep yang datang dari luar Islam.
Kondisi Ummat Islam
Setelah perang dunia kedua banyak negara Islam
yang telah merdeka dan kemudian mengembangkan kembali ekonomi mereka yang telah
hancur. Dengan keterbatasan yang ada sejatinya ekonomi ummat Islam dewasa ini
masih berpotensi untuk bangkit. Dengan letak geografis yang menurut Ibn Khaldun
ideal, kini negara-negara Islam menduduki daerah-daerah yang kaya minyak dan
sumber alam lainnya. Selain itu, ummat Islam masih mampu melahirkan figur-figur
pemimpin politik yang handal, pakar-pakar dalam berbagai bidang sains seperti
pakar nuklir, pakar industri pesawat terbang, pakar bedah syaraf dunia, peraih
hadiah noble bidang fisika dan lain sebagainya. Yang lebih penting lagi adalah
bahwa peradaban Islam memiliki sumber rujukan, al-Qur’an dan Hadith yang dapat
berfungsi sebagai kekuatan pemersatu (unifying
force) yang tidak dimiliki peradaban lain. Von Grunebaum dengan nada heran
menulis:
Bangsa-bangsa
datang dan pergi. Kerajaan-kerajaan bangun dan jatuh. Tapi Islam bertahan dan
dapat terus mengayomi pengembara (nomads)
dan penghuni tetap (settlers),
pembangun peradaban dalam Islam dan perusaknya. Jadi apa faktor-faktor yang
mempersatukan mereka menjadi satu ummah; yaitu mereka yang secara sadar atau
tidak cenderung untuk mempertahankan individualitas mereka, sedangkan di sisi
lain berupaya untuk mengikat diri mereka dengan Islam yang universal sebagai
kekayaan spiritual mereka yang sangat berharga?
Jadi, secara optimistik sejatinya kondisi ummat
Islam secara umum pada dekade ini tidaklah seburuk kondisi ummat Islam pada
saat kekhalifahan Islam jatuh ke tangan musuh. Namun, jika kita lebih bersikap
introspektif maka akan kita temui bahwa umat Islam kini belum mampu berprestasi
seperti, apalagi mengungguli, prestasi ummat Islam di zaman dulu. Muslim kini
lebih banyak menguasai ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh kebudayaan dan pandangan
hidup Barat. Berikut ini akan diidentifikasi apa akar masalah yang menggelayuti
ummat Islam saat ini dan apa langkah-langkah yang perlu diprioritaskan untuk
segera diambil dalam rangka membangun peradaban Islam.
Identifikasi Masalah Umat
Salah satu ciri terpenting peradaban Islam
adalah perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan. Dan ini telah terbukti bahwa
perjalanan panjang peradaban Islam diwarnai oleh lahirnya ilmuwan Muslim dalam
berbagai bidang dengan prestasi dalam bidang masing-masing. Salah satu pertanda
kemunduran ummat Islam yang banyak disoroti adalah merosotnya prestasi
cendekiawan Muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Meskipun ada
pula yang menyoroti kemunduran dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Oleh
karena itu, pada dekade ini banyak tokoh cendekiawan dan pemimpin Muslim yang
perduli akan kemunduran ummat Islam yang mencoba menawarkan pemikiran
pembaharuan atau strategi pembenahan kondisi ummat.
Jika digambarkan secara umum pemikiran
pembaharuan atau pembenahan ummat Islam maka akan kita dapati beberapa kelompok
sebagai berikut:
Pertama, kelompok
cendekiawan yang berusaha memperbaharui bidang sosial dan politik, seperti
misalnya Jamaluddin al-Afghani
(1838-1897), Mohammad Rasyid Ridha
(1865-1935), Dr. Abdurrazzaq Sanhuri Pasha
(1895-1971), [ketiganya dari Mesir], Abu
al-A’la al-Maududi dan sebagainya;
Kedua,
kelompok cendekiawan yang menitikberatkan pada pendidikan dan pemahaman ulang
ajaran Islam agar sesuai dengan tantangan modern. Termasuk dalam kelompok ini
adalah Muhammad Abduh
(1849-1905), Sir Syed Ahmad Khan, Muhammad
Iqbal dan sebagainya. Di antara kelompok ini (Ahmad Khan, Abduh)
berkesimpulan bahwa kelemahan umat Islam adalah di bidang sains dan teknologi.
Untuk mengatasi masalah ini mereka tidak hanya menempuh jalur pendidikan, tapi
menyarankan agar Muslim melakukan interpretasi ulang agama Islam dengan
menekankan aspek intelektual agar ummat bisa menyesuaikan diri dan beradaptasi
dengan perkembangan-perkembangan baru yang ada di Barat.
Ketiga,
kelompok cendekiawan yang berusaha membenahi ilmu pengetahuan dan pendidikan
Islam. Mereka itu adalah Sultan
Selim III (1789-1807), Sultan
Mahmud II (1807-1839) hingga ke Pasha
Muhammad ‘Ali di Mesir (1803-1849) dan sebagainya. Mereka menyadari
pentingnya pendidikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan Islam dan karena itu
reformasi pendidikan adalah cara yang terbaik untuk membangkitkan ummat Islam.
Mereka malah menekankan bidang militer dan ilmu teknik, yang kemudian diikuti
oleh cabang-cabang ilmu yang lain.
Keempat, adalah kelompok cendekiawan yang bergiat mencari konsep-ekonomi Islam dan bahkan di antaranya mendirikan lembaga-lembaga ekonomi ummat, seperti lembaga keuangan Islam, bank Islam, ekonomi syariah dsb. di antara tokohnya adalah Umer Chapra, Khursyid Ahmad dsb.
Keempat trend pembaharuan tersebut tidak dapat
dipahami secara rigid, artinya kelompok yang menekankan politik dipastikan
tidak memperhatikan pendidikan, dan kelompok yang menekankan pembenahan ekonomi
tidak memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan. Muhammad Ali misalnya,
selain membenahi pendidikan ia juga mengembangkan ekonomi dan juga bergerak
dalam bidang politik. Pengelompokan di atas hanya sekedar untuk menggambarkan
bahwa masing-masing kelompok memberi prioritas kepada bidang tertentu yang
menjadi andalannya. Implikasinya akan dapat dilihat dari langkah-langkah yang
diambil dari masing-masing kelompok. Ada yang bersifat praktis dengan target
jangka pendek, ada pula yang strategis yang dampaknya baru akan dirasakan dalam
jangka panjang.
Tidak sepenuhnya berbeda dari kelompok-kelompok
di atas, al-Attas dalam
Risalah Untuk Kaum Muslimin yang selesai ditulisnya pada awal tahun 1973,
melihat bahwa kebanyakan pemimpin ummat Islam hanya memperhatikan kulit luar
dari inti permasalahan yang menggiring ummat kedalam kancah ketidakberuntungan
ini. Ia menyatakan:
“Kini
sudah jelas bagi kita kaum Muslimin bahwa akar masalah yang sedang kita hadapi
ini sesungguhnya terletak pada masalah di sekitar pengertian ilmu. Akal pikiran
kita telah diliputi oleh masalah sifat dan tujuan ilmu yang salah…orang Islam
telah terpedaya dan secara tidak sadar telah menerima pengertian ilmu yang
dianggap sama dengan pengertian kebudayaan Barat. Mereka telah memberi
pengertian ilmu sesuai dengan sifat dan tabiat kepribadian mereka. Sedangkan
makna ilmu itu berbeda-beda sesuai dengan agama dan kebudayaan berdasarkan
pandangan hidup masing-masing. Islam pun mempunyai pandangan hidup tersendiri
yang mencerminkan sifat dan tabiat kepribadiannya sendiri yang berbeda dari
pandangan hidup agama dan kebudayaan lain.”
Apa yang disimpulkan oleh al-Attas di atas
adalah benar adanya. Kalau di zaman dulu problem yang dihadapi ummat Islam
adalah tantangan ekstern dan intern seperti agresi militer, instabilitias
politik, keterpurukan ekonomi, kerusakan moralitas masyarakat dan pemimpin,
maka di zaman kita sekarang ini tantangan ekstern dan internnya lebih kompleks
dan bermuara pada masalah ilmu pengetahuan.
Di sini al-Attas sangat menyadari bahwa
peradaban Islam adalah peradaban yang memperhatikan ilmu pengetahuan dan bahkan
dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam dan pandangan
hidup Islam berkaitan sangat erat sekali. Sebab, menurutnya ilmu itu
“mempengaruhi sikap hidup manusia”. Jadi
kesimpulan di atas bahwa pandangan hidup adalah asas peradaban tentulah benar adanya.
Dan tidak salah pula jika disimpulkan bahwa hancurnya peradaban Islam adalah
karena hancurnya ilmu pengetahuan Islam.
Jadi tantangan eksternal ummat Islam dewasa ini
yang berbentuk ilmu pengetahuan itu adalah derasnya arus pemikiran Barat yang
masuk kedalam pemikiran Muslim dalam bentuk konsep-konsep kunci yang sarat
dengan nilai-nalai Barat. Berikut akan dijelaskan problem ekternal dan internal
sekaligus. □ [Oleh DR. Hamid Fahmi Zarkasyi]
Bersambung ke: Membangun Kembali Peradaban Islam2
Bahan posting:
Diakses dari banihamzah-wordpress-com □□□