KATA PENGANTAR
S
|
ejarah telah membuktikan bahwa kontribusi Islam
pada kemajuan ilmu pengetahuan di dunia modern menjadi fakta sejarah yang tak
terbantahkan. Bahkan bermula dari dunia Islam lah ilmu pengetahuan mengalami
transmisi (penyebaran, penularan), diseminasi dan proliferasi (pengembangan) ke
dunia Barat yang sebelumnya diliputi oleh Masa Gelap (Dark Ages)
mendorong munculnya zaman renaissance atau enlightenment
(pencerahan) di Eropa.
Melalui dunia Islam lah mereka mendapat akses
untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan moderen. Menurut George
Barton, ketika dunia Barat sudah cukup masak untuk merasakan perlunya ilmu
pengetahuan yang lebih dalam, perhatiannya pertama-tama tidak ditujukan kepada
sumber-sumber Yunani, melainkan kepada sumber-sumber Arab (Islam).
Nah mari kita lacak sejarah asal usulnya
Kontribusi Islam Bagi kemajuan Peradaban Dunia ini. Untuk itu selanjutnya mari
kita ikuti jejak kegemilangan umat Islam dalam pentas sejarah dunia yang
dipaparkan oleh H. Budi Suherman Januardi, MM dibawah ini. Selamat menyimaknya.
□ AFM
JEJAK KEGEMILANGAN UMAT ISLAM DALAM PENTAS SEJARAH DUNIA
S
|
ejarah perjuangan umat Islam dalam pentas
peradaban dunia berlangsung sangat lama sekira 13 abad, yaitu sejak masa
kepemimpinan Rasulullah saw di
Madinah (10 tahun, 622-632M); Masa Daulat Khulafaur Rasyidin (29 tahun,
632-661M); Masa Daulat Umayyah (89 tahun, 661-750M) dan Masa Daulat Abbasiyah
(508 tahun, 750-1258 M) sampai tumbangnya Kekhilafahan Turki Utsmani (429
tahun, 1496-1924) pada tanggal 28 Rajab
tahun 1342 H atau bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924 M, dimana masa-masa
kejayaan dan puncak keemasannya banyak melahirkan banyak ilmuwan muslim berkaliber
internasional yang telah menorehkan karya-karya luar biasa dan bermanfaat bagi
umat manusia yang terjadi selama kurang lebih 700 (1065) tahun, dimulai dari
abad 6 M sampai dengan abad 12 M. Pada masa tersebut, kendali peradaban dunia
berada pada tangan umat Islam.
Pada saat berjayanya peradaban Islam semangat
pencarian ilmu sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Semangat pencarian
ilmu yang berkembang menjadi tradisi intelektual secara historis dimulai dari
pemahaman (tafaqquh) terhadap al-Qur'an
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw
yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin,
tabi' tabiin dan para ulama yang datang kemudian dengan merujuk pada Sunnah
Nabi Muhammad saw.
Era Rasullah saw (622-632) dan Periode Daulat Khulafaur Rasyidin (632-661)
K
|
esuksesan Rasulullah Muhammad saw dalam
membangun peradaban Islam yang tiada taranya dalam sejarah dicapai dalam kurun
waktu 23 tahun, 13 tahun langkah persiapan pada periode Makkah (Makiyyah) dan
10 tahun periode Madinah (Madaniyah). Periode 23 tahun merupakan rentang waktu
kurang dari satu generasi, dimana beliau saw
telah berhasil memegang kendali kekuasaan atas bangsa-bangsa yang lebih tua
peradabannya saat itu khususnya Romawi, Persia dan Mesir.
Seorang ahli pikir Perancis bernama Dr. Gustave
Le Bone mengatakan:
“Dalam satu abad atau 3 keturunan, tidak ada
bangsa-bangsa manusia dapat mengadakan perubahan yang berarti. Bangsa Perancis memerlukan
30 keturunan atau 1000 tahun baru dapat mengadakan suatu masyarakat yang
bercelup Perancis. Hal ini terdapat pada seluruh bangsa dan umat, tak
terkecuali selain dari umat Islam, sebab Muhammad El-Rasul (maksudnya Muhammad
Rasullullah saw) sudah dapat mengadakan suatu masyarakat baru dalam
tempo satu keturunan (23 tahun) yang tidak dapat ditiru atau diperbuat oleh
orang lain”.
Masa kerasulan Muhammad saw pada akhir periode Madinah merupakan puncak (kulminasi)
peradaban Islam, karena disitulah sistem Islam disempurnakan dan ditegakkan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, firman Allah swt menyebutkan yang artinya:
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. [QS
Al-Māidah 5:3].
Generasi masa itu merupakan generasi terbaik
sebagaimana firman Allah swt
menyebutkan yang artinya:
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Alloh”. [QS Āli
‘Imrān 3:110].
Periode Daulat Umayyah (661-750M)
M
|
asa Kedaulatan Umayyah berlangsung selama lebih
kurang 90 tahun. Beberapa orang Khalifah besar Bani Umayyah ini adalah Muawiyah
bin Abi Sufyan (661-680), Abdul Malik bin Marwan (685- 705), Al-Walid bin Abdul
Malik (705-715), Umar bin Abdul Aziz (717- 720) dan Hasyim bin Abdul Malik
(724- 743).
Awal berlangsungya periode Daulat Umayyah lebih
memprioritaskan pada perluasan wilayah kekuasaan. Ekspansi wilayah yang sempat
terhenti pada masa Khalifah Utsman dan Khalifah Ali dilanjutkan kembali oleh
Daulat Umayyah. Pada zaman Muawiyah, Tunisia ditaklukkan. Di sebelah Timur,
Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan
sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota
Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian
dilanjutkan oleh khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai
Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh (Balkan?), Bukhara, Khawarizm,
Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai
Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke Barat secara besar-besaran
dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah
masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban, dimana umat Islam merasa hidup
bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun,
tercatat bahwa pada tahun 711 M merupakan suatu ekspedisi militer dari Afrika
Utara menuju wilayah Barat Daya, benua Eropa. Setelah Al-Jazair dan Marokko
dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, panglima pasukan Islam, dengan pasukannya
menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan
mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Al-Tariq).
Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran
ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordova, dengan cepatnya dapat
dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan
Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordova.
Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari
rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Pada zaman
Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee.
Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan
menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam
peperangan yang terjadi di luar kota Tours, Al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya
mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas,
pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam pada zaman
Bani Umayyah.
Pada lapangan perdagangan yakni pada saat peradaban Islam telah menguasai dunia perdagangan sejak permulaan Daulat Umayyah (661-750M), dimana pesisir lautan Hindia sampai ke Lembah Sind, sehingga terjalin kesatuan wilayah yang luas dari Timur sampai Barat yang berimplikasi terhadap lancarnya lalu-lintas dagang di dataran antara Tiongkok dengan dunia belahan Barat pegunungan Thian Shan melalui Jalan Sutera (Silk Road) yang terkenal itu, yang kemudian terbuka pula jalur perdagangan melalui Teluk Parsi, Teluk Aden yang menghubungkannya dengan kota-kota dagang di sepanjang pesisir Benua Eropa, menyebabkan “kebutuhan Eropa pada saat itu amat tergantung pada kegiatan dagang di dalam wilayah Islam”.
Pada bidang lainnya, pembangunan yang dilakukan
Muawiyah diantaranya mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan
menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga
berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya,
jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi
tersendiri. Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Khalifah Abdul Malik
mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang
dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan
memakai kata-kata dan tulisan Arab. Keberhasilan Khalifah Abdul Malik diikuti
oleh puteranya Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan
keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti
untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini
digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang
menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung
pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Pada lapangan perdagangan yakni pada saat
peradaban Islam telah menguasai dunia perdagangan sejak permulaan Daulat
Umayyah (661-750M), dimana pesisir lautan Hindia sampai ke Lembah Sind,
sehingga terjalin kesatuan wilayah yang luas dari Timur sampai Barat yang
berimplikasi terhadap lancarnya lalu-lintas dagang di dataran antara Tiongkok
dengan dunia belahan Barat pegunungan Thian Shan melalui Jalan Sutera (Silk
Road) yang terkenal itu, yang kemudian terbuka pula jalur perdagangan melalui
Teluk Parsi, Teluk Aden yang menghubungkannya dengan kota-kota dagang di
sepanjang pesisir Benua Eropa, menyebabkan “kebutuhan Eropa pada saat itu amat
tergantung pada kegiatan dagang di dalam wilayah Islam”.
Periode Daulat Abbasiyah (132H/750M s/d 656H/1258 M)
M
|
asa Kedaulatan Abbasiyah berlangsung selama 508
tahun, sebuah rentang sejarah yang cukup lama dalam sebuah peradaban.
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya
membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode: (1) Periode Pertama
(132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama; (2) Periode
Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama; (3)
Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia
kedua; (4) Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti
Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan
masa pengaruh Turki kedua; (5) Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa
khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di
sekitar kota Bagdad.
Tidak seperti pada periode Umayyah, Periode
pertama Daulat Abbasiyah lebih memprioritaskan pada penekanan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Fakta sejarah
mencatat bahwa masa Kedaulatan Abbasiyah merupakan pencapaian cemerlang di
dunia Islam pada bidang sains, teknologi dan filsafat. Pada saat itu dua
pertiga bagian dunia dikuasai oleh Kekhilafahan Islam.
Masa sepuluh Khalifah pertama dari Daulat
Abbasiyah merupakan masa kejayaan (keemasan) peradaban Islam, dimana Baghdad
mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat. Secara politis, para khalifah
betul-betul merupakan tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan
agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat
tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir,
pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat
dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Pada masa sepuluh Khalifah pertama itu, puncak
pencapaian kemajuan peradaban Islam terjadi pada masa pemerintahan Harun
Al-Rasyid (786-809 M). Harun Al-Rasyid adalah figur khalifah shaleh ahli
ibadah; senang bershadaqah; sangat mencintai ilmu sekaligus mencintai para
‘ulama; senang dikritik serta sangat merindukan nasihat terutama dari para
‘ulama. Pada masa pemerintahannya dilakukan sebuah gerakan penerjemahan
berbagai buku Yunani dengan menggaji para penerjemah dari golongan Kristen dan
penganut agama lainnya yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, yang salah
satu karya besarnya adalah pembangunan Baitul Hikmah, sebagai pusat
penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang
besar. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di
samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan
berdiskusi.
Harun Al-Rasyid juga menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan bagi keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat yang tak tertandingi.
Terjadinya perkembangan lembaga pendidikan pada
masa Harun Al Rasyid mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik
sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun
sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama juga
lahir para imam mazhab hukum yang empat hidup Imam Abu Hanifah (700-767); Imam
Malik (713-795); Imam Syafi'i (767-820) dan Imam Ahmad bin Hanbal (780-855).
Pencapaian kemajuan dunia Islam pada bidang ilmu
pengetahuan tersebut tidak terlepas dari adanya sikap terbuka dari pemerintahan
Islam pada saat itu terhadap berbagai budaya dari bangsa-bangsa sebelumnya
seperti Yunani, Persia, India dan yang lainnya. Gerakan penterjemahan yang
dilakukan sejak Khalifah Al-Mansur (745-775) hingga Harun Al-Rasyid
berimplikasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang
astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, farmasi, biologi, fisika dan sejarah.
Menurut Demitri Gutas proses penterjemahan di
zaman Abbasiyah didorong oleh motif sosial, politik dan intelektual. Ini
berarti bahwa para pihak baik dari unsur masyarakat, elit penguasa, pengusaha
dan cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga dampaknya secara kultural
sangat besar.
Gerakan penerjemahan pada zaman itu kemudian
diikuti oleh suatu periode kreativitas besar, karena generasi baru para ilmuwan
dan ahli pikir muslim yang terpelajar itu kemudian membangun dengan ilmu
pengetahuan yang diperolehnya untuk mengkontribusikannya dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan.
Menurut Marshall, proses pengislaman
tradisi-tradisi itu telah berbuat lebih jauh dari sekadar mengintegrasikan dan
memperbaiki, hal itu telah menghasilkan energi kreatif yang luar biasa.
Menurutnya, periode kekhalifahan dalam sejarah Islam merupakan periode
pengembangan di bidang ilmu, pengetahuan dan kebudayaan, dimana pada zaman itu
telah melahirkan tokoh-tokoh besar di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan
seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Farabi. Berbagai pusat pendidikan tempat
menuntut ilmu dengan perpustakaan-perpustakaan besar bermunculan di Cordova,
Palermo, Nisyapur, Kairo, Baghdad, Damaskus, dan Bukhara, dimana pada saat yang
sama telah mengungguli Eropa yang tenggelam dalam kegelapan selama
berabad-abad. Kehidupan kebudayaan dan politik baik dari kalangan orang Islam
maupun non-muslim pada zaman kekhilafahan dilakukan dalam kerangka Islam dan
bahasa Arab, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan agama dan suku yang plural.
Pada saat itu umat Islam telah berhasil
melakukan sebuah akselerasi, jauh meninggalkan peradaban yang ada pada saat
itu. Hidupnya tradisi keilmuan, tradisi intelektual melalui gerakan
penerjamahan yang kemudian dilanjutkan dengan gerakan penyelidikan yang
didukung oleh kuatnya elaborasi dan spirit pencarian, pengembangan ilmu
pengetahuan yang berkembang secara pesat tersebut, mengakibatkan terjadinya
lompatan kemajuan di berbagai bidang keilmuan yang telah melahirkan berbagai
karya ilmiah yang luar biasa.
Menurut Oliver Leaman proses penterjemahan yang
dilakukan ilmuwan muslim tidak hanya menterjemahkan karya-karya Yunani secara ansich, tetapi juga mengkaji teks-teks
itu, memberi komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran
Islam. Proses asimilasi tersebut menurut Thomas Brown terjadi ketika peradaban
Islam telah kokoh. Sains, filsafat dan kedoketeran Yunani diadapsi sehingga
masuk kedalam lingkungan pandangan hidup Islam. Proses ini menggambarkan betapa
tingginya tingkat kreativitas ilmuwan muslim sehingga dari proses tersebut
telah melahirkan pemikiran baru yang berbeda sama sekali dari pemikiran Yunani
dan bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani.
Pada masa-masa permulaan perkembangan kekuasaan,
Islam telah memberikan kontribusi kepada dunia berupa tiga jenis alat penting
yaitu paper (kertas), compass (kompas) and gunpowder
(mesiu). Penemuan alat cetak (movable types) di Tiongkok pada penghujung abad
ke-8 M dan penemuan alat cetak serupa di Barat pada pertengahan abad 15 oleh
Johann Gutenberg, menurut buku Historians’
History of the World, akan tidak ada arti dan gunanya jika Bangsa Arab
tidak menemukan lebih dahulu cara-cara bagi pembuatan kertas.
Pencapaian prestasi yang gemilang sebagai
implikasi dari gerakan terjemahan yang dilakukan pada zaman Daulat Abbasiah
sangat jelas terlihat pada lahirnya para ilmuwan muslim yang mashur dan
berkaliber internasional seperti: Al-Biruni (fisika, kedokteran); Jabir bin
Hayyan (Geber) pada ilmu kimia; Al-Khawarizmi (Algorism) pada ilmu matematika;
Al-Kindi (filsafat); Al-Farazi, Al-Fargani, Al-Bitruji (astronomi); Abu Ali
Al-Hasan bin Haythami pada bidang teknik dan optik; Ibnu Sina (Avicenna) yang
dikenal dengan Bapak Ilmu Kedokteran Modern; Ibnu Rusyd (Averroes) pada bidang
filsafat; Ibnu Khaldun (sejarah, sosiologi). Mereka telah meletakkan dasar pada
berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Beberapa ilmuwan muslim lainnya pada masa Daulat
Abbasiyah yang karyanya diakui dunia diantaranya:
• Al-Razi (guru Ibnu Sina), berkarya dibidang
kimia dan kedokteran, menghasilkan 224 judul buku, 140 buku tentang pengobatan,
diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Bukunya yang paling masyhur adalah Al-Hawi
Fi ‘Ilm At Tadawi (30 jilid, berisi tentang jenis-jenis penyakit dan upaya
penyembuhannya). Buku-bukunya menjadi bahan rujukan serta panduan dokter di
seluruh Eropa hingga abad 17. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan
antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku
mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibnu
Sina;
• Al-Battani (Al-Batenius), seorang astronom.
Hasil perhitungannya tentang bumi mengelilingi pusat tata surya dalam waktu 365
hari, 5 jam, 46 menit, 24 detik, mendekati akurat. Buku yang paling terkenal
adalah Kitab Al Zij dalam bahasa latin: De Scienta Stellerum u De Numeris
Stellerumet Motibus, dimana terjemahan tertua dari karyanya masih ada di
Vatikan;
• Al Ya’qubi, seorang ahli geografi, sejarawan
dan pengembara. Buku tertua dalam sejarah ilmu geografi berjudul Al Buldan
(891), yang diterbitkan kembali oleh Belanda dengan judul Ibn Waddih qui
dicitur al-Ya’qubi historiae;
• Al Buzjani (Abul Wafa). Ia mengembangkan
beberapa teori penting di bidang matematika (geometri dan trigonometri).
Sejarah telah membuktikan bahwa kontribusi Islam
pada kemajuan ilmu pengetahuan di dunia modern menjadi fakta sejarah yang tak
terbantahkan. Bahkan bermula dari dunia Islamlah ilmu pengetahuan mengalami
transmisi (penyebaran, penularan), diseminasi dan proliferasi (pengembangan) ke
dunia Barat yang sebelumnya diliputi oleh masa ‘the Dark Ages’ mendorong
munculnya zaman renaissance atau enlightenment (pencerahan) di Eropa.
Melalui dunia Islam-lah mereka
mendapat akses untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan modern.
Menurut George Barton, ketika dunia Barat sudah cukup masak untuk merasakan
perlunya ilmu pengetahuan yang lebih dalam, perhatiannya pertama-tama tidak
ditujukan kepada sumber-sumber Yunani, melainkan kepada sumber-sumber Arab.
Sebelum Islam datang, menurut
Gustav Le Bon, Eropa berada dalam kondisi kegelapan, tak satupun bidang ilmu
yang maju bahkan lebih percaya pada tahayul. Sebuah kisah menarik terjadi
pada zaman Daulat Abbasiah saat kepemimpinan Harun Al-Rasyid, tatkala beliau
mengirimkan jam sebagai hadiah pada Charlemagne seorang penguasa di Eropa.
Penunjuk waktu yang setiap jamnya berbunyi itu oleh pihak Uskup dan para Rahib
disangka bahwa di dalam jam itu ada jinnya sehingga mereka merasa ketakutan,
karena dianggap sebagai benda sihir. Pada masa itu dan masa-masa berikutnya,
baik di belahan Timur Kristen maupun di belahan Barat Kristen masih
mempergunakan jam pasir sebagai penentuan waktu.
Bagaimana kondisi kegelapan Eropa
pada zaman pertengahan (Abad 9 M) bukan hanya pada aspek mental-dimana
cenderung bersifat takhayul, demikian pula halnya dalam aspek fisik material.
Hal ini sebagaimana digambarkan oleh William Drapper:
“Pada zaman itu Ibu
Kota pemerintahan Islam di Cordova merupakan kota paling beradab di Eropa,
113.000 buah rumah, 21 kota satelit, 70 perpustakaan dan toko-toko buku,
masjid-masjid dan istana yang banyak. Cordova menjadi mashur di seluruh dunia,
dimana jalan yang panjangnya bermil-mil dan telah dikeraskan diterangi dengan
lampu-lampu dari rumah-rumah di tepinya. Sementara kondisi di London 7 abad
sesudah itu (yakni abad 15 M), satu lampu umumpun tidak ada. Di Paris
berabad-abad sesudah zaman Cordova, orang yang melangkahi ambang pintunya pada
saat hujan, melangkah sampai mata kakinya ke dalam lumpur”.
Menurut Philip K. Hitti, jarak
peradaban antara kaum muslimin di bawah kepemimpinan Harun Al-Rasyid jauh
melampaui peradaban yang ada pada orang-orang Kristen pimpinan Charlemagne.
Pertengahan abad 9 M peradaban
Islam telah meliputi seluruh Spanyol. Masuknya Islam ke Spanyol yaitu setelah
Abdur Rahman ad-Dakhil (756 M) berhasil membangun pemerintahan yang berpusat di
Andalusia.
Melalui Spanyol, Sicilia dan
Perancis Selatan yang berada langsung di bawah pemerintahan Islam, peradaban
Islam memasuki Eropa. Bahasa Arab menjadi bahasa internasional yang digunakan
berbagai suku bangsa di berbagai negeri di dunia. Baghdad di Timur dan Cordova
di Barat, dua kota raksasa Islam menerangi dunia dengan cahaya gilang-gemilang.
Sekitar tahun 830 M, Alfonsi-Raja Asturia telah mendatangkan dua sarjana Islam
untuk mendidik ahli warisnya. Sekolah Tinggi Kedokteran yang didirikan di
Perancis (di Montpellier) dibina oleh beberapa orang Mahaguru dari Andalusia.
Keunggulan ilmiah kaum muslimin tersebar jauh memasuki Eropa dan menarik kaum
intelektual dan bangsawan Barat ke negeri-negeri pusatnya. Diantara mereka
terdapat Roger Bacon (Inggeris); Gerbert d’Aurillac yang kemudian menjadi Paus
Perancis pertama dengan gelar Sylvester II, selama 3 tahun tinggal di Todelo
mempelajari ilmu matematika, astronomi, kimia dan ilmu lainnya dari para
sarjana Islam.
Tidaklah mengherankan, karena pada
saat kekhilafahan Islam berkuasa saat itu Spanyol menjadi pusat pembelajaran (centre of learning) bagi masyarakat
Eropa dengan adanya Universitas Cordova. Di Andalusia itulah mereka banyak
menimba ilmu, dan dari negeri tersebut muncul nama-nama ‘ulama besar seperti
Imam Asy-Syathibi pengarang kitab Al-Muwafaqat, sebuah kitab tentang Ushul Fiqh
yang sangat berpengaruh; Ibnu Hazm Al-Andalusi pengarang kitab Al-Fashl fi
al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal, sebuah kitab tentang perbandingan sekte dan
agama-agama dunia, dimana bukti tersebut telah mengilhami penulis-penulis Barat
untuk melakukan hal yang sama.
Di Andalusia (Spanyol bagian
Selatan), berbagai universitasnya pada saat itu dipenuhi oleh banyak mahasiswa
Katolik dari Perancis, Inggeris, Jerman dan Italia. Pada masa itu, para pemuda
Kristen dari berbagai negara di Eropa dikirim berbondong-bondong ke sejumlah
perguruan tinggi di Andalusia guna menimba ilmu pengetahuan dan teknologi dari
para ilmuwan muslim. Adalah Gerard dari Cremona; Campanus dari Navarra; Aberald
dari Bath; Albert dan Daniel dari Morley yang telah menimba ilmu demikian
banyak dari para ilmuwan muslim, untuk kemudian pulang dan menggunakannya
secara efektif bagi penelitian dan pengembangan di masing-masing bangsanya.
Dari sini kemudian sebuah revolusi pemikiran dan kebudayaan telah pecah dan
menyebarluas ke seluruh masyarakat dan seluruh benua. Para pemuda Kristen yang
sebelumnya telah banyak belajar dari para ilmuwan muslim, telah berhasil
melakukan sebuah transformasi nilai-nilai yang unggul dari peradaban Islam yang
kemudian diimplementasikan pada peradaban mereka (Barat) yang selanjutnya
berimplikasi terhadap kemajuan diberbagai bidang ilmu pengetahuan.
Semaraknya pengembangan ilmu dan
pengetahuan di dunia Islam diindikasikan dengan banyaknya perpustakaan tersebar
di kota-kota dan negeri-negeri Islam yang jumlahnya sangat fantastis. Sejarah
mencatat, perpustakaan di Cordova pada abad 10 Masehi mempunyai 600.000 jilid
buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Cairo mempunyai 2.000.000 jilid buku.
Perpustakaan Al Hakim di Andalusia mempunyai berbagai buku dalam 40 kamar yang
setiap kamarnya berisi 18.000 jilid buku. Perpustakaan Abudal Daulah di Shiros
(Iran Selatan) buku-bukunya memenuhi 360 kamar. Sementara ratusan tahun
sesudahnya (abad 15 M), menurut catatan Catholik Encyclopedia, perpustakaan
Gereja Canterbury yang merupakan perpustakaan dunia Barat yang paling kaya saat
jumlah bukunya tidak melebihi 1.800 jilid buku.
Sejarah juga mencatat bahwa Uskup
Agung Raymond di Spanyol mendirikan Badan Penterjemah di Todelo yang ditujukan
guna menterjemahkan sebagian besar karangan sarjana-sarjana Muslim tentang ilmu
pasti, astronomi, kimia, kedokteran, filsafat, dll, dimana waktu yang
dibutuhkan untuk menterjemahkannya yaitu lebih dari satu setengah abad
(1135-1284 M).
Dari pusat-pusat peradaban Islam yang meliputi Baghdad,
Damaskus, Cordova, Sevilla, Granada dan Istanbul, telah memancarkan sinar
gemerlap yang menerangi seluruh penjuru dunia terlebih Cordova, Sevilla,
Granada yang merupakan bagian dari kekuasaan Islam di Spanyol telah banyak
memberikan kontribusi besar terhadap tumbuh dan berkembangnya peradaban modern
di dunia Barat.
Periode Setelah Daulat Abbasiyah Sampai
Tumbangannya Kekhilafahan Turki Utsmani.
Pada masa Khilafah Utsmani, para
ahli sejarah sepakat bahwa zaman Khalifah Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566 M)
merupakan zaman kejayaan dan kebesaran yang pada masanya telah jauh
meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains dan politik.
Pasca berakhirnya keluasaan Daulat
Abbasiyah, kepemimpinan Islam berlanjut dengan kepemimpinan Daulat Utsmaniyah.
Daulat Utsmaniyah yang juga dikenal dengan sebutan Kesultanan atau Kekaisaran
Turki Ottoman, didirikan oleh Bani Utsman, yang selama lebih dari enam abad
kekuasaannya (1299 s/d 1923) dipimpin oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya
runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara kecil.
Kesultanan ini menjadi pusat
interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya,
Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi dengan Konstantinopel
(sekarang Istambul) sebagai ibukotanya. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan
Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang
kuat. Kekuatan Kesultanan Usmaniyah terkikis secara perlahan-lahan pada abad
ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad 20. Musuh-musuh Islam
membutuhkan waktu selama satu abad untuk melepaskan ikatan ideologi Islam dari
tubuh umat Islam, yang pada akhirnya tanggal 3 Maret 1924 M yang bertepatan
dengan tanggal 28 Rajab 1342 Hijriah, melalui Mustafa Kemal Attaturk yang
merupakan agen Inggris dan anggota Freemasonry (sebuah organisasi
Yahudi), membubarkan institusi Kekhilafahan Islam terakhir di Turki dan
menggantikannya dengan Republik Turki. Maka, sejak saat itu ideologi Islam
benar-benar terkubur ditandai dengan dihilangkannya institusi khilafah oleh
majelis nasional Turki dan diusirnya Khalifah terakhir.
BEBERAPA CATATAN PENTING
M
|
enyimak betapa besar kontribusi Islam terhadap
lahirnya peradaban Islam berskala dunia terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan
teknologi, sesungguhnya kemajuan yang dicapai Barat pada mulanya bersumber dari
peradaban Islam. Dunia Barat sekarang sejatinya berterima kasih kepada umat
Islam. Akan tetapi pada kenyataannya pihak Barat (non Muslim) telah sengaja
menutup-nutupi peran besar atas jasa para pejuang dan ilmuwan muslim tersebut
yang pada akhirnya terabaikan bahkan sampai terlupakan. Oleh karena itu, umat
Islam perlu kembali menggelorakan semangat keilmuan para ilmuwan muslim atas sumbangsihnya
yang amat besar bagi peradaban umat manusia di dunia dalam menyongsong kembali
kejayaan Islam dan umatnya.
Kita dapat menyimak, bahwa puncak pencapaian
penguasaan sains dan teknologi pada zaman kejayaan umat Islam masa lalu terkait
erat dengan tegaknya sistem kekhilafahan, dimana adanya sistem komando yang
terintegrasi secara global yang peranan secara politik sejalan dengan peranan
agama. Kita juga mendapatkan gambaran dalam sejarah bahwa sosok para pemimpin
terdahulu yang shaleh selain sebagai seorang negarawan yang handal dan mumpuni,
juga sebagai seorang ‘ulama wara’ yang takut pada Rabb-nya, mencintai ilmu
serta mencintai rakyatnya. Pada aspek ini kita bisa melihat adanya integrasi
tiga pilar utama dalam pembentukan peradaban Islam yaitu agama, politik dan
ilmu pengetahuan terpadu dalam satu kendali sistem kekhilafahan dibawah
pimpinan seorang khalifah.
Keberlangsungan sistem kekhilafahan terutama
sejak zaman Daulat Umayyah dan Daulat Abbasiyah walaupun bersifat khalifatul
mulk (estapeta kepemimpinan didasarkan pada keturunan/dinasti) yang adakalanya
dipimpin oleh orang shaleh dan sekali waktu dipimpin oleh orang zhalim dan
durhaka, tetapi seburuk-buruk kondisi pada masa kehilafahan, masih jauh lebih
baik daripada masa setelah tercerabutnya kekhilafahan, karena pada masa
kekhilafahan hukum Islam masih tegak dan ditaati oleh umat Islam, demikian juga
adanya ketaatan terhadap berbagai fatwa para ‘ulama.
Segala hal yang baik dari para pendahulu umat
Islam seyogiannya menjadi cerminan teladan bagi kita, sementara segala hal yang
kurang baik, sejatinya dijadikan sebagai pelajaran yang sangat berharga.
Kemunduran Peradaban Islam
A
|
wal meredupnya peradaban Islam sekarang ini terjadi
sejak abad ke-8 hijriah (abad 13 M) hingga abad ke-14 hijriah (abad 20 M) yang
telah mengakibatkan proses peralihan dari peradaban Islam ke peradaban Barat
yang ditandai dengan masa pencerahan di dunia Barat serta terjadinya
penjajahan, penaklukan dan aneksasi terhadap negeri-negeri muslim oleh armada
perang dari negara-negara Barat lebih disebabkan oleh melemahnya legitimasi
politik dunia Islam karena peran kekhilafahan cenderung bersifat simbol serta
hanya sebatas seremonial saja hingga tumbangnya sistem kekhilafahan di dunia
Islam. Dari situlah kemudian dimulainya hegemoni dunia Barat terhadap dunia
Islam.
Jadi, sesungguhnya faktor utama kekalahan dan
melemahnya peran umat Islam bukanlah terletak pada kuatnya pihak musuh-musuh
Islam, tetapi lebih disebabkan oleh melemahnya kekuatan umat Islam yang
diakibatkan oleh perbuatan kemaksiatan yang dilakukan. Kemaksiatan terbesar
terutama berupa sikap menyekutukan Alloh Swt (musyrik) dalam beribadah serta
tidak memperdulikan lagi atas berbagai aturan (syari’at) yang
diperintahkan-Nya.
Perbuatan maksiat yang dilakukan oleh umat Islam
itulah yang telah dikhawatirkan oleh Umar bin Kaththab ra saat beliau menjadi Khalifah, hal ini sebagaimana dapat kita
simak dari pesan tertulis beliau yang pernah disampaikannya kepada Sa’ad bin
Abi Waqash ketika akan menghadapi sebuah pertempuran. Pada surat itu ditulis
pesan sebagai berikut:
“Umar bin Kaththab ra
telah menulis sepucuk surat kepada Sa’ad bin Abi Waqash ra: ‘Sesungguhnya kami
memerintahkan kepadamu dan kepada seluruh pasukan yang kamu pimpin, agar taqwa
dalam segala keadaan, karena taqwa kepada Alloh merupakan seutama-utamanya
persiapan dan strategi paling kuat dalam menghadapi pertempuran. Aku
perintahkan pula kepadamu dan pasukan yang kamu pimpin agar benar-benar menjaga
diri dari berbuat maksiat. Karena maksiat yang engkau perbuat pada saat
berjuang lebih aku khawatirkan daripada kekuatan musuh, sebab engkau akan
ditolong Allah jika musuh-musuh Allah telah berbuat banyak maksiat, karena jika
tidak demikian kamu tidak akan punya kekuatan sebab jumlah kita tidaklah
sebanyak jumlah pasukan mereka, dimana persiapan mereka berbeda dengan
persiapan yang kita lakukan. Jika kita sama-sama berbuat maksiat sebagaimana
yang dilakukan oleh musuh-musuh kita, maka kekuatan musuh akan semakin hebat.
Sangatlah berat kita akan dapat mengalahkan musuh kita jika hanya mengandalkan
pada kekuatan yang kita miliki, kecuali dengan mengandalkan ketaqwaan kita
kepada Allah dan senantiasa menjaga diri dari berbuat maksiat...” (Lihat
: Kitab Al ‘Aqdul Farid jilid I, hlm. 101; Kitab Nihayatul Arab jilid VI, hlm.
168; Kitab Ikhbarul Umar wa Ikhbaru Abdullah bin Umar jilid I, hlm. 241-242;
Kitab Ikbasu min Ikhbarul Khulafa Ar-Rosyidin hlm 779, serta buku Jihad tulisan
Dr. Mahfudz Azzam, hlm. 28).
PENUTUP
D
|
emikianlah uraian dari tajuk “Kontribusi Islam
Bagi Kemajuan Peradaban Dunia” menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi
generasi millennial ke-3 ini, seperti, yang telah diuraikan oleh H. Budi
Suherdiman Januardi, MM.
Memang peradaban ini silih berganti dipergilirkan
dari abad ke abad seperti peradaban Mesir, selanjutnya Babylonia, Yunani, Romawi, Islam
(Timur Tengah), kemudian, kini Barat (Eropa dan Amerika).
Selanjutnya setelah Barat boleh jadi
salah satu atau beberapa dari negeri-negeri di Asia? Wallahu ‘alam bish-Shawab, billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Senarai Pustaka
1. Abu Khalil,
Syauqi. Harun Al Rasyid, Pemimpin dan Raja yang Mulia. Jakarta: Pustaka Azzam,
2002.
2. Al-Sharqawi,
Effat. Filsafat Kebudayaan Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1986.
3. Enan, M.A.
Decisive Moments in the History of Islam (Detik-detik Menentukan dalam Sejarah
Islam). Alih Bahasa oleh Mahyuddin Syaf, Surabaya: Bina Ilmu, 1979.
4. Gibbon, Edward.
The Decline and The Fall of Roman Impire, Abridged and Illustrated London.
United Kingdom: Bison Books Ltd. 1979.
5. Gutas, Dimitri.
Greek Thought, Arabic Culture, The Graeco-Arabic Translation Movement in
Baghdad and Early Abbasid Society (2nd-4th/8th-10 centuries). Routledge,
London-New York, 1998.
6. Muttaqo Al Hindi.
Kitab ‘Muntakhob Kanzu’l-Ummal, Jilid VI.
7. Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1985.
Leaman, Oliver. Scientif and Philosophical Enquiry: Achievement and Reaction in Muslim History dalam Farhad Daftary (ed), Intellectual Traditions in Islam, I.B Tauris, London-New York in Association with The Institute of Ismaili Studies, 2000.
7. Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1985.
Leaman, Oliver. Scientif and Philosophical Enquiry: Achievement and Reaction in Muslim History dalam Farhad Daftary (ed), Intellectual Traditions in Islam, I.B Tauris, London-New York in Association with The Institute of Ismaili Studies, 2000.
8. Leaman, Oliver. An
Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge: University Press,
Cambridge, 1985.
9. Muhammad
Ash-Shalabi, Ali. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2004.
10. Nasution, Harun.
Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya. Jilid I, cetakan kelima. Jakarta: UI
Press, 1985.
11. Sou’yb, Joesoef.
Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
12. Sou’yb, Joesoef.
Sejarah Daulat Umayyah. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
13. Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Abbasiah. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
14. Stryzewska, Bojena Gajane. Tarikh al-Daulat al-Islamiyah. Beirut: Al Maktab Al-Tijari, tanpa tahun.
13. Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Abbasiah. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
14. Stryzewska, Bojena Gajane. Tarikh al-Daulat al-Islamiyah. Beirut: Al Maktab Al-Tijari, tanpa tahun.
15. Suyuthi, Imam.
Tarikh Khulafa. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2006.
16. Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987, cet. V.
16. Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987, cet. V.
17. Watt, W.
Montgomery. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta:
Tiara Wicana Yogya, 1990.
18. Yatim, Badri.
Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006. □□
Sumber:
Jejak Kegemilangan Umat Islam Dalam Pentas
Sejarah Dunia, H. Budi Suherdiman Januardi, MM, diakses dari
http://www.dudung.net/artikel-islami/jejak-kegemilangan-umat-islam-dalam-pentas-sejarah-dunia.html□□□