Suatu analisa dengan menggunakan pendekatan teologi dan adab berbeda pendapat
Oleh: A. Faisal Marzuki
Kata
Pengantar
M
|
embicarakan sesuatu, atau untuk mengetahui
sesuatu, apa penyebab dari keadaan sampai seperti itu, sunatullāh mengajarkannya. Sunatullāh sendiri merupakan tradisi Allah dalam melaksanakan ketetapan-Nya. Dalam bahasa
akademis disebut hukum alam dari suatu kausalitas, yaitu hubungan antara suatu
kejadian (sebab) dan kejadian kedua (akibat atau dampak), yang mana kejadian
kedua dipahami sebagai konsekuensi dari yang pertama.
Hukum kausalitas Allah Ta’ala
sendiri menyebutkan bahwa:
Pertama,
Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu
kaum (masyarakat, bangsa), hingga kaum itu “mengubah” (kebiasaan-kebiasaan atau
cara berbuat yang baik menjadi tidak lagi baik sehingga) apa yang ada pada diri
mereka sendiri (yakni nikmat yang diperoleh dicabut kembali), [QS Al-Anfāl
8:53].
Kedua:
Malang karena perbuatan sendiri, lihat Surat Yāsīn ayat 19.
Ketiga:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum mereka merubah keadaan diri mereka sendiri”.
[QS Ar-Ra’d 13:11]
Oleh karena itu “Islam Lahir Berkembang Jatuh
dan Bangkit Lagi” mesti dilihat dari kacamata itu, karena dasar atau alat untuk
membedah atau memahami agama terletak dari ilmu teologi (tauhid atau ilmu kalam
atau ilmu ushuluddīn) dan mematuhi
ketentuan etika (adab) dalam berbeda pendapat yang jangan sampai menjadi Syiqaq,
faktor yang menyebabkan umat terdahulu tercerai berai dan binasa.
Perlu di catat disini bahwa adanya
Islam di bumi ini sebagai anugerah dari Rabb
Al-‘Ālamīn - Maha Pencipta Alam Semesta dan Umat Manusia, [QS Al-Mā’idah
5:3] sebagai rahmat bagi manusia dan lingkungan hidupnya di alam semesta raya
di raya ini, [QS Yūnus 10:21 s/d 24]. Kebenarannya telah dicatat sejarah, diakui
oleh para orientalis.
Hal semacam itu lah yang akan dibahas
dalam penulisan tajuk diatas, Allāhu ‘alam.
□ AFM
ISLAM LAHIR DAN BERKEMBANG
I
|
slam lahir dan berkembang ditopang dari
konsep teologinya. Teologi yang berkembang di era klasik Islam ini adalah “teologi
sunnatullah” atau teologi yang
berdasarkan pada sunatullah (hukum
alam). Teologi sunatullah pada
prinsipnya keberimanan yang berdasarkan kepada ‘aql (rasio), teologi ini kajiannya filsafat. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan filosofis. Sehingga produk teologi yang dihasilkan
adalah teologi yang dibangun berdasarkan argumen-argumen logis-rasional.
Ciri-ciri teologi sunnatullah ini adalah:
-Kedudukan
akal ditempat terhormat, [QS ‘Āli ‘Imrān 3:7]; [QS Al-Baqarah 2:44]
-Kebebasan
manusia dalam kemauan dan perbuatan, [QS Al-Baqarah 2:286]
-Kebebasan
berpikir dengan memperhatikan rambu-rambu al-Qur’an dan Hadits
-Percaya
pada adanya sunnatullah dan kausalitas
-Mengambil
metaforis dari teks wahyu
-Dinamika
dalam sikap dan berpikir.
Lahirnya teologi sunnatullah ini didukung oleh lahirnya iklim “dialog”
antara dunia Islam dengan alam pikiran Yunani Kuno, sebagai inspirasinya.
Ketika dunia Islam mulai bersentuhan dengan pengetahuan Yunani Kuno yang telah
ada lebih dulu, maka pemikiran rasional (‘aql)
mulai bergeliat dalam dunia Islam, karena ada bahan paradigma yang patut
dipelajari dan disaring dengan saringan kaidah Islam. Semangat penalaran yang
ada dalam filsafat inilah yang dijadikan oleh para pemikir Islam untuk
membangun teologi sunatullah.
Di antara para filsuf Yunani, Aristoteles adalah yang paling menarik
bagi orang-orang Islam. Dari dia para pemikir muslim mengambil terutama metode
berpikir sistematis dan rasional, yaitu yang dituangkan dalam bentuk ilmu al-Manthiq (logika formal). Mereka
memandangnya sebagai “al-Mu’allim al-Awwal”
(guru pertama). Aristotalianisma dengan demikian menjadi bagian integral dari
khazanah pemikiran Islam. Tetapi sesungguhnya, pemahaman kaum muslimin terhadap
pikiran guru pertama itu, secara keseluruhannya, adalah terjadi melalui
teropong neoplatonisme, karena sebagian besar lewat karya-karya para penafsir,
khususnya karya-karya Plotinus dan Prophiry. Salah satu karya kefilsafatan yang
amat besar pengaruhnya kepada dunia pemikiran filsafat Islam adalah “Theologia
Aristotelis”.
Dengan logikia formal yang demikian itu, maka bangunan teologi Islam di
masa klasik penuh vitalitas rasionalistik. Sehingga pembuktian Tuhan mempunyai
dasar argumennya yang rasional (logika). Bukan hanya itu, persoalan tentang
proses penciptaan alam semesta yang termasuk bagian dari teologi juga mempunyai
dasar ‘aql (rasional).
Periode klasik ini secara umum terbagi
menjadi dua. Pertama adalah periode klasik (650-1000) yaitu periode zaman di
mana daerah Islam mulai meluas melalui Afrika Utara sampai ke Iberia (Purtugis,
Spanyol), dan Perancis bagian selatan yang berbatasan dengan Iberia di Barat,
dan di Persia sampai ke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada
kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, dan kemudian di
Damsyik (Damaskus) dan terakhir di Baghdad. Di masa inilah berkembang dan maju
pesat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ilmu-ilmu pengetahuan yang
berkembang coraknya bermacam-macam seperti fiqih, filsafat, sufisme dan
termasuk teologi. Dari periode ini ulama-ulama fiqih yang muncul seperti Imam
Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i.
Dari Ilmu
Tanzilah yaitu, ilmu-ilmu
yang dikembangkan ‘aql (akal) manusia
terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah swt baik dalam kitab-Nya, Al-Qur’an maupun Al-Hadits Rasulullah saw, disusunlah Kitab Fiqih yang membahas masalah-masalah:
thaharah, shalat, janazah, zakat, puasa, haji, umrah, muamalat (perdagangan,
bank, perseroan, dll), nikah, jinayat (kriminal, pembunuhan), hudud (hukuman),
jihad (peperangan), makanan dan penyembelihan; Ushuluddin; Aqdhiyah
(hukum-hukum pengadilan); al-Khilafah (hal-hal yang menyangkut dengan
pemerintahan); Kitab Hadits; Ilmu Kalam; Tauhid (Akaid); Mantiq (logika);
Ilmu-ilmu Tafsir al-Qur’an; Seni Tulis
Arab Qur’an, dst.
Dari Ilmu
Kauniyah yaitu, ilmu-ilmu yang dikembangkan ‘aql (akal)
manusia karena interaksinya dengan alam, seperti ilmu yang terkait dengan benda
atau makhluk “mati”, melahirkan Ilmu ke-Alam-an (Ilmu Alam). Yang terkait
dengan “benda atau makhluk hidup” seperti manusia melahirkan Ilmu
ke-Manusia-an. Yang terkait dengan interaksi antar manusia melahirkan ilmu
sosial.
Ilmu Alam ini melahirkan ilmu-ilmu
Astronomi, Fisika, Biologi, Kimia, Optik dan ilmu-ilmu bantunya seperti
Matematika (termasuk angka), Aljabar (Al-Jabr),
Algoritma yang selanjutnya melahirkan teknologi arsitektur dan bangunan,
kedokteran, obat-obatan, teknik mekanikal, robotik, kamera, komputer dan
lainnya. Ilmu Humaniora melahirkan Ilmu Psikologi, Bahasa atau Tata Bahasa dan
sebagainya. Ilmu Sosial melahirkan ilmu-ilmu: Politik, Ekonomi dan Perdagangan
serta Hukum dan lain-lain.
Kedua disiplin ilmu itu diamalkan ketika umat Islam berjaya di abad
tengah. Mazhab yang empat lahir pada perioda ini. Ilmu Fikih, Ushul Fiqh,
Mawarits (Ilmu Waris) dll, begitu pula ilmu sosiologi, ekonomi, astronomi,
kedokteran, kimia, biologi, farmasi, ilmu bedah, aljabar, dan algoritma dst.
Dengan algoritma ini komputer dan enkripsi data dapat tercipta.
Tulisan angka yang ada sekarang ini, dikembangkan oleh orang Islam. Angka
tersebut diambil dari India, tapi bentuknya perlu jastifikasi, logis.
Penjastifikasian itu dikembangkan dan hasilnya angka nol (0) dari yang tidak
ada sudutnya; Angka 1, dimana sudut-nya ada 1; Angka 2, dimana sudutnya ada 2,
dan seterusnya sampai dengan angka 9, dimana sudutnya ada 9. Angka-angka mana
orang Eropa menyebutnya sebagai ’angka Arab’ (Arabic numerals), karena
orang Eropa mengambil dari orang Islam yang berbahasa Arab, mereka belajar ke Al-Andalus,
Spanyol Islam, berkuasa antara abad ke-7 s/d abad ke-15.
Ketika itu Eropa masih menggunakan angka Romawi yang menggunakan simbul
huruf untuk menyebutkan suatu angka yang ditambah atau dikurang dan tidak
mengenal angka 0 (nol), serta jumlah yang dihitung sangat terbatas sekali.
Mereka tidak mengenal bilangan pecahan dan bilangat berpangkat. Sains dan
teknologi abad sekarang ini maju oleh ’angka Arab’ ini. Atau boleh juga disebut
’angka Islam’. Sains dan teknologi tidak akan cepat berkembang seperti sekarang
apabila masih tetap menggunakan angka Romawi yang terbatas kemampuannya, dan
tidak bisa melakukan operasi matematika canggih.
ISLAM JATUH - akan bangkit kembali?
K
|
edua adalah fase disintegerasi
(1000-1250 M). Di masa ini persatuan dan kesatuan umat Islam mulai mengalami
kemunduran. Konflik (kekuasaan) politik seringkali melanda sehingga klimaksnya
adalah hancurnya imperium Islam yang menyebabkan Baghdad berhasil dikuasasi
oleh Hulaghu Khan di tahun 1258.
Karena semangat pemikirannya yang cenderung “antoposentris” -adalah
paham bahwa segala sesuatu dimulai oleh manusia dan untuk manusia dan
lingkungan alamnya, maka teologi di abad klasik ini
termasuk teologi Qadariyyah. Paham ini terkenal dengan nama free will dan free act. Artinya manusia mempunyai kebebasan atau kemerdekaan
dalam menentukan hidupnya. Seluruh prestasi yang dihasilkan oleh manusia
bukanlah dari Tuhan melainkan dari manusianya sendiri karena manusia diyakini
mempunyai kekuatan dan kapabelitas untuk menghasilkan prestasi tersebut sebagai
manusia khalifah [QS Al-Baqarah 2:30; An-Naml 27:62; Fāthir 35:39] ciptaan-Nya
di muka bumi.
Teologi sunnatullah atau Qadariyyah ini bukan sekedar berorientasi pada
kehidupan akhirat saja, melainkan juga mempunyai target dunia sebagai
khalifah-khalifah [QS Fāthir 35:39]. Oleh karena itu, di era Qadariyah ini, di
samping basis keimanan umat Islam menjadi kuat karena ditopang oleh ‘aql (orang yang berilmu, akal sehat),
bidang-bidang lain seperti ekonomi, politik dan sejenisnya mengalami kemajuan
pesat. Mesir, Suriah dan Persia, ketika itu menjadi pusat perdagangan
rempah-rempah, sutra dan lain-lain di Timur Tengah. Hasil-hasil yang berasal
dari Timur di bawa ke Barat harus melalui daerah-daerah tersebut. Kairo,
Alexandria, Damsyik (Damaskus), Baghdad dan Siraz (nama kota di Persia – Iran
sekarang) menjadi kota-kota dagang yang penting.
Sementara itu di bidang tasawuf yang berkembang adalah tasawuf falsafi.
Tasawuf falsafi merupakan sebuah pemikiran atau aktifitas untuk mengenal lebih
dekat kepada Tuhan tetapi tetap menggunakan pemikiran filosofis. Dalam
mendekatkan diri kepada Tuhan, para sufi menempuh jalan panjang dan sulit
meskipun akhirnya sampai juga pada tujuan mereka. Dalam mendekatkan diri,
mereka dihinggapi oleh rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan, sehingga mereka
di stasiun al-mahabbah atau cinta ilahi. Kalau cinta mereka dibalas
Tuhan mereka akan meningkat ke level yang lebih tinggi, yaitu al-ma’rifat.
Bukan hanya itu, pada zaman klasik ini sains juga mengalami kemajuan
pesat. Ilmu kedokteran banyak dikembangkan oleh para ahli seperti Ibnu Rusd, Al-Razi
dan Ibnu Sina. Ilmu kimia mengalami kemajuan di tangan Jabir dan Al-Razi.
Sumbangan ulama Islam bagi ilmu kimia lebih banyak dari yang diberikan oleh
orang-orang Yunani. Matematika dikembangkan oleh al-Khawarizmi, Umar Al-Khayam.
Angka kosong (nol) adalah penemuan ulama Islam yang kemudian bersama “Angka
Arab” (Arabic Numerical: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0) lainnya dibawa ke Eropa
pada permulaan abad ke-12 M. Astronomi berkembang di tangan Al-Fazzari, Al-Farghani
dan lain-lain.
Masa Bangkitnya Eropa (Barat)
P
|
ada periode (1250-1800) ini telah terjadi pembalikan
sejarah antara Islam dan Barat. Islam yang di era klasik bisa mencapai kejayaan
ilmu pengetahuan dan teologi berkat pengembangan ilmu, maka di era pertengahan
ini Islam justru mengalami era kegelapan (the darkness age). Setelah Baghdad
berhasil dihancur oleh Genghis Khan dan Hulaghu Khan, maka semua literature-literatur
(buku-buku) di Perpustakaan Islam dibakar habis oleh mereka, termasuk The House of Wisdom sebuah gedung Pusat Pembelajaran
dan Kajian Ilmu dan Perpustakaan di hancurkan. Dan ketika Al-Andalus, Spanyol
Islam ditundukkan, semua buku-buku di perpustakaan diambil oleh Barat untuk
mereka pelajari.
Pada periode pertengahan juga di bagi dua. Periode pertengahan I
(1250-1500) adalah fase kemunduran. Pada fase ini bibit-bibit perpecahan dan
disintegrasi antara umat Islam mengalami eskalasi. Konflik antara Sunni dan Syi’ah
semakin menajam. Di sisi lain secara geofrafis dunia Islam hancur
berkeping-keping menjadi pecahan-pecahan kecil akibat kuatnya disintegrasi.
Secara umum teritori Islam terbagi dua yaitu: Pertama, bagian Arab yang terdiri
dari Arabia, Suria, Iraq, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir
sebagai pusatnya. Kedua, yaitu bagian Persia yang terdiri dari atas Balkan,
Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat.
Fase II adalah fase dari tiga kerajaan besar (1500-1800) yang dimulai
dengan zaman kemajuan (1500-1700) dan zaman kemunduran (1700-1800). Tiga
kerajaan besar itu adalah: ● Kerajaan Turki Utsmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki; ● Kerajaan Safawi di Persia;
● Kerajaan Mughal di India. Di masa kemajuan ini masing-masing kerajaan
mempunyai keunggulan masing-masing khsususnya di bidang literatur dan seni
arsitektur. Namun, bila dibandingkan dengan kemajuan di era klasik, kemajuan di
era ini sungguh jauh. Karena pada era pertengahan ini perhatian umat Islam
terhadap ilmu pengetahuan masih merosot tajam alias masih rendah dibanding
sebelumnya.
Karena perhatian dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan atau filsafat
rendah, maka teologi yang berkembang pada periode pertengahan ini adalah
teologi Jabariyyah. Ciri-ciri teologi ini adalah:
-
Kedudukan akal rendah
-
Ketidakbebasan dalam kemauan dan perbuatan
-
Kebebasan berpikir yang diikat oleh banyak dogma
-
Ketidakpercayaan kepada sunnatullah dan kausalitas
-
Terikat pada arti literal al-Qur’an dan Hadits
-
Statis dalam sikap dan berpikir
Kedudukan akal yang rendah menjadikan umat Islam tidak lagi merumuskan
teologi baru yang benar-benar bernas dan bergairah hingga menjadikan umat
bertindak dan berpikir progresif. Pada periode ini yang berkembang bukan lagi berfastabiqul khairot untuk kemajuan
Islam, tetapi justru sebaliknya mayoritas umat Islam berduyun-duyun berteduh di
bawah pohon taqlid. Sikap umat Islam
yang semacam, ini menyebabkan semangat dan aktifitas intelektual di dunia Muslim
menjadi mandek total.
Selanjutnya, karena tidak adanya pemikiran logis yang mampu meerenungkan
alam semesta, sebagaimana yang dipraktikkan oleh para pemikir dan filosuf Muslim,
maka kreatifitas berpikir untuk merumuskan teologi-teologi baru tidak nampak.
Umat Islam hanya percaya bahwa seluruh jagad raya ini adalah dikendalikan oleh Yang
Maha Tahu, tanpa ada ikhtiar yang
semestinya ia lakukan - menyerahkan kepada takdir tanpa usaha.
Kondisi yang dekaden ini justru diperparah dengan distrosi terhadap
nilai-nilai Tasawuf. Tasawuf yang di era klasik menjadi pemicu kemajuan, kini
di era pertengahan di jadikan sebagai Tarikat. Praktik sufisme yang sudah
mengental menjadi praktik Tarikat ini akhirnya menjadikan seluruh aspek tasawuf
tergerus menjadi tasawuf amali dan tasawuf falsafi yang akrab dengan aktifitas
dan semangat perenungan, sedang berpikir, berfilsafat dan refleksi menjadi
tidak berlaku.
Dalam teologi Jabariyyah yang statis dan fatalistik ini, berlaku sebuah
keyakinan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak, tidak mempunyai kekuasaan dan
tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa
dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.
Dengan pandangan semacam ini, maka manusia tidak lebih dari sebuah
wayang yang digerakkan oleh seorang dalang. Seluruh perbuatan manusia adalah
perbuatan yang dipaksakan oleh “Allah” kepada manusia itu sendiri (menurut
pandangan mereka). Perbuatan ini tidak muncul dari kemauannya sendiri. Termasuk
masalah keburukan adalah bukan kehendak manusia, melainkan dari kehendak “Tuhan”.
Jadi, bagi teologi periode ini, manusia yang mencuri atau korupsi itu pada
dasarnya bukan kehendaknya sendiri, melainkan kehendak “Tuhan” yang dipaksakan
kepada manusia itu - konsep pemikiran fatalistik.
Namun karena seperti yang telah disinggung di atas, bahwa karena teologi
Islam adalah lahir dari masalah kekuasaan (politik kekuasaan), maka di dalam
paham ini sebenarnya kuat sekali tendensi menjadi penguasa. Hal ini nampak
sekali pada penguasa daulah Umayyah di Damaskus. Seolah-olah karena didorong
oleh keperluan membela sahabat Utsman Bin Affan, tetapi yang pasti itu hanyalah
sekedar topeng belaka, kepentingan utamanya adalah untuk kepentingan politiknya
sendiri. Bila diperingatkan bahwa tindakan-tindakan mereka yang menindas rakyat
dan mengekang perkembangan pemikiran di kalangan ummat itu menyalahi semangat
Islam dan bahwa mereka harus mempertanggung jawabkan kedzaliman itu di hadapan
umat, selain di hadapan Tuhan kelak di akhirat, rezim Umayyah itu menolak
dengan mengatakan bahwa kami tidak bisa dimintai tanggungjawab atas
tindakan-tindakan kami. Sebab Tuhanlah yang menghendaki semuanya itu. Hanya
pada-Nya lah kekuasaan untuk menentukan kebaikan atau keburukan, kilahnya.
Dengan teologi yang demikian itu, maka produktifitas para ulama di masa
ini menurun drastis. Hasil-hasil karya yang sejak era klasik bisa berkembang
pesat dengan berbagi fan keilmuan, di era pertengahan ini mengalami mati suri.
Begitu juga di bidang lain seperti ekonomi dan, industri dan pertanian juga
menurun drastis. Hanya di bidang politik yang agak menonjol karena pada zaman
pertengahan ini masih dijumpai tiga imperium besar yaitu Turki Utsmani, Safawi
dan Mughal.
Abad Moderen (1800 dan seterusnya) Abad
Barat
I
|
stilah modern, secara umum, berasal
dari kata moderna yang artinya sekarang (Bahasa Jerman Jetzeit). Dengan pengertian itu kita
tahu bahwa yang disebut moderen, manakala semangat kekinian menjadi kesadaran
seseorang. Jadi kalau ada orang atau masyarakat hidup di era sekarang tapi
kesadarannya berada di abad tengah Eropa maka pertanda mereka bukan modern,
tetapi manusia primitif. Abad moderen ini merupakan spirit zaman baru (zeitgeist)
yang berada di abad 19 sebagai bentuk peradaban dan semangat zaman. Modernitas
Eropa dicirikan oleh tigal hal yaitu individualistik, rasionalisme dan
kemajuan.
Ketika memasuki abad ke 19 umat Islam mengalami keterkejutan yang luar
biasa. Sebab, pada era ini Eropa (Barat), yang di era klasik Islam Eropa masih
berada dalam kegelapan dan kemunduran, kini justru berbalik menjadi pusat peradaban
dunia. Era kemajuan di Eropa (Barat) inilah yang populer disebut sebagai abad
moderen. Abad moderen adalah masa peralihan dari kebudayaan “teosentris” ke “antroposentris”. Maksud dari antroposentris disini adalah bahwa
nasib manusia ditentukan (tergantung usaha) manusia sendiri. Dari pandangan atau pemikiran seperti itu, ada
peralihan peralihan dari peradaban langit ke peradaban bumi, dari metafiskikan
ke fisika, dari immateri ke materi. Peradaban ini pada hakekatnya adalah hasil renaissance
dan pencerahan (enlightenment)
yang terjadi di Eropa. Era renaissance adalah era lahirnya kebebasan dan
terlepasnya kehidupan dari norma-norma agama di Eropa. Era renaissance ini
ditandai oleh munculnya pengetahuan baru yang didapatkan melalui intensitas
observasi dan pengamatan alam semsta. Pada taraf ini dunia atau alam semesta
menjadi daya tarik utama untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Dari sini
berkembanglah ilmu astronomi dan geography. Meskipun sebelumnya, di dunia Islam
ilmu-ilmu semacam ini sudah ditemukan oleh para pemikir Muslim seperti
Astronomi: Al-Battani (859-929), Al-Sufi (903-986), Ibnu Yunus (950-1009),
Al-Farghani, Al-Zarqali (1029-1087) dan Jabir Aflah (1145-xxxx); Geography:
Hisyam Al-Kalbi (Abad 8), Musa Al-Khawarizmi (780-850), Al-Ya’qubi (xxx-897),
Ibn Khardadbeh (820-912), Al-Idrisi (1100-1166).
Indikasi selanjutnya adalah bahwa modernitas ini ditandai juga oleh
penelitian dan pengkajian terhadap teks-teks klasik yang berasal dari Islam dan
kemudiannya Yunani Kuno yang sebelumnya mereka tinggalkan. Yang menarik di sini
adalah, ternyata Islam juga merupakan faktor penentu lahirnya modernistas di
Barat. Memang periode klasik Islam telah melahirkan peradaban Islam, yang
berpengaruh terhadap peradaban Barat. Pengaruh ini diakui oleh pengarang-pengarang
Barat seperti Gustave Le Bon, Jacques Risler, Rom Landau dan Alfred Guillaume.
Seperti Gustave Le Bon (1814-1931), seorang ahli pikir Perancis menyebutkan:
“Dalam satu abad atau 3 keturunan, tidak ada
bangsa-bangsa manusia dapat mengadakan perubahan yang berarti. Bangsa Perancis
memerlukan 30 keturunan atau 1000 tahun baru dapat mengadakan suatu masyarakat
yang bercelup (menjadi bangsa) Perancis. Hal ini terdapat pada seluruh bangsa
dan umat, tak terkecuali selain dari umat Islam, sebab Muhammad El Rasul
sudah
dapat mengadakan suatu masyarakat baru dalam tempo satu keturunan yang tidak dapat ditiru atau diperbuat oleh
orang lain”.
Semangat zaman yang antroposentris ini akhirnya melahirkan berbagai
sikap hidup di antaranya adalah sikap kritis. Sikap kritis ditujukan terhadap
dogma-dogma agama Kristen Eropa yang sudah sekian tahun membatu. Sikap yang
lain adalah humanisme. Sikap ini ditunjukkan dengan maraknya berbagai hasil
karya seni seperti musik, lukis, patung atau drama yang lebih mengangkat
manusia daripada eksistensi Tuhan. Seperti lukisan Leonardo Davinci tentang
Monalisa. Lukisan ini merupakan pertanda terjadinya peralihan peradaban dari
yang sebelumnya berbasis pada nilai teosentrisme menuju ke wilayah humanisme.
Sebelum pintu modernitas benar-benar terbuka, di Barat telah muncul beberapa
pemikir atau filsof yang mulai melancarkan serangan-serangannya terhadap
peradaban abad pertengahan Eropah. Abad pertengahan Eropa adalah abad yang
lebih mengunggulkan Tuhan, lebih membela Bible
- Kitab Suci umat Kristen daripada akal. Era ini ditandai oleh kuatnya otoritas
gereja atas segala peradaban dan kebudayaan. Oleh karena itu tokoh-tokoh
pemikir di ambang modernitas berusaha untuk mendobrak tatanan atau sistem rezim
gereja yang menindas itu. Dalam hal ini Nicollo Machiavelli (1469-1527) yang mempelopori
untuk menyerang sistem kekuasaan (politik) gereja yang absolut, kemudian
Giordano Bruno (1548-1600) yang dengan gencar mengkritik pakem-pakem agama
gereja dan Francis Bacon (1561-1626) yang mulai intens menegakkan semangat ilmu
pengetahuan dengan semboyannya knowledge is power.
Dengan gugatan dan serangan-serangan kritis dari para filsuf itulah,
fajar modernitas akhirnya muncul. Lahirnya modernitas ini secara epistemologis
ditandai oleh bangkitnya kembali rasionalitas yang sebelumnya, yakni di era
pertengahan, telah dipasung dengan ketat. Maka modernitas ini secara eksplisit
merupakan era kemerdekaan bagi rasio. Kemerdekaan rasio ini secara simbolik
dideklarasikan oleh Descartes (1596-1650) dengan statemennya cogito ergo sum
(aku berpikir maka aku ada).
Melihat fajar pencerahan dan kebangkitan peradaban di Barat yang
berkembang pesat itu, hal itu seolah menyentak umat Islam dari tidur panjangnya
yang dia lakukan sejak kemunduran dari kejayaannya. Ketika modernitas ini telah
muncul di Barat, maka umat baru melek bahwa umat Islam telah mengalami
dekadensi dan kemunduran yang luar biasa. Akibat kemundurannya itu, umat Islam
akhirnya menjadi obyek penjajahan Barat. Salah satu bukti konkritnya adalah
hancurnya tiga kerajaan besar– yang di era pertengahan masih eksis — oleh
ekspansi dan imperialisme bangsa Barat. Turki Utsmani yang pernah berjaya di
abad pertengahan mengalami kekalahan dalam perangnya di Eropa; Kerajaan Safawi
di Mesir, dalam waktu tiga minggu berhasil ditaklukkan oleh Napoleon Bonaparte;
dan Kerajaan Mughal di India telah dihancurkan oleh Inggris.
MASA KEBANGKITAN KEMBALI
M
|
elihat dahsyatnya imbas peradaban moderen
terhadap dunia Islam tersebut, para pemikir Muslim akhirnya terlecut untuk
berpikir keras merumuskan teologi yang bisa membangkitkan kembali girah (gairah, semangat) umat Islam
untuk mencapai kejayaannya yang telah sirna.
Muncullah kemudian para mujadid
baru dalam dunia Islam dengan menawarkan berbagai ide yang bertujuan memajukan
dunia Islam dan mengejar ketertinggalannya dari Barat. Atas semangat ini dunia
Islampun mulai ikut memasuki rimba raya “modernitas”.
Namun, usaha-usaha pembaharuan atau modernisasi dalam dunia Islam,
sebenarnya sebelumnya telah dimulai dari sebuah zaman yang disebut moderen ini.
Usaha-usaha itu terutama dijalankan oleh kerajaan Utsmani. Dalam peperanganya
dengan negara-negara Eropa, Kerajaan Turki Utsmani pada awal abad ke 17,
mengalami kekalahan dari Peter Agung dari Rusia. Dengan modernisasi yang
dilakukan oleh Rusia, Rusia menjadi lebih kuat dari Turki Utsmani. Hal ini
akhirnya, membuat sultan-sultan Utsmani juga ingin mengadakan modernisasi di
Turki, terutama di lapangan militer. Usaha-usaha yang modernisasi yang dijalankan
oleh sultan Utsmani pada waktu itu lebih terpusat pada usaha untuk memperkuat
kekuatan militer.
Di antara tokoh-tokoh mujadid
atau pemikir-pemikir baru Islam yang sangat getol mengusung isu-isu moderen
adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Jamaluddin Al-Afghani, Zia Gokalp, Seyyid
Ahmad Khan dan seterusnya. Para pemikir dan filsof ini adalah tokoh-tokoh
pembaharu yang mencoba menyerukan untuk kembali kepada teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional,
filosofis dan ilmiah Islam zaman klasik di kalangan ulama dan umat Islam zaman
moderen.
Pemikir-pemikir kontemporer Islam lainnya
saat ini antara lain adalah adalah Tariq Ramadan (Eropa), Hamza Yusuf (asal
muallaf bernama Mark Hanson, Amerika), Yusuf Al-Qaradawi (Timur Tengah), Syed
Muhammad Naquib al-Attas (Malaysia), Hamid Fahmi Zarkasyi dan Adian Husaini (Indonesia).
Khususnya Syed Muhammad Naquib al-Attas, Hamid Fahmi Zarkasyi dan Adian Husaini
pengusung membangun kembali peradaban Islam. Buku-buku dan kajian
mereka padat dengan terma-terma peradaban Islam.
Untuk merealisasikan semangat teologi
sunatullah tersebut, maka pada abad ke 19 mulai didirikan sekolah-sekolah
moderen gaya Barat di Mesir, Turki dan India. Di sekolah-sekolah ini semangat
ilmiah mulai dihidupkan kembali. Pola berpikir yang rasional, filosofis dan
ilmiah mulai dibudayakan. Namun meskipun demikian, program dan tawaran para mujadid untuk kembali ke teologi sunnatullah yang mengedepankan
rasionalitas itu dalam realitas empiriknya tidak mendapat apresiasi oleh seluruh
umat Islam di dunia. Masih banyak masyarakat muslim yang justru menentang
modernitas. Mereka justru berusaha untuk tertutup dan tak bersedia menyerap
nilai-nilai modernitas. Namun usaha para mujadid
awal seperti Muhammad Abduh dan kawan-kawan untuk kembali ke teologi sunnatullah tetap ada hasilnya.
Dengan digaungkannya teologi sunnatullah
untuk mengimbangi peradaban modern Barat itu, produktifitas dan kreatifitas
umat Islam mulai meningkat kembali meskipun itu masih jauh dari Barat.
Di samping semangat rasionalitas yang ada dalam teologi sunnatullah, unsur lain yang turut dikampanyekan oleh para
pemikir atau mujadid masa-masa awal adalah perlunya untuk kembali kepada
al-Qur’an dan al-Hadits. Berlainan di Barat yang maju karena meninggalkan
kekristenannya, sementara Islam maju karena keislamannya (ajaran dan praktek
ibadahnya).
Sebagian para mujadid berasumsi bahwa di samping faktor politik yang
sudah rapuh, salah satu sebab mundurnya umat Islam adalah dipicu oleh kuatnya
takhayyul, bid’ah dan khurofat yang berkembang di dunia umat Islam. Umat Islam,
selama ini terjerembab ke dalam jurang mistik yang dalam sehingga tidak bisa
berpikir secara jernih dan rasional.
Oleh karena itu dengan kembali ke
al-Qur’an dan al-Hadits itu dimaksudkan agar umat Islam bisa kembali berpikir
jernih dan tidak terperangkap oleh takahyyul dan mitos-mitos bias dari ajaran (agama)
Islam. Di samping itu, dalam memahami al-Qur’an diharapkan umat Islam lebih
rasional “…dan kamu membaca Kitab (Al-Qur’an dan Sunnah; tidakkah kamu pikirkan”
[QS Al-Baqarah 2:44], “…kecuali orang-orang berakal dapat mengerti”, [QS Āli ‘Imrān
3:7]
Faktor
lain dari penyebab mundurnya Islam - disamping bekas terjajahnya belum pulih
benar dan kurang pendidikan dan ketimpangan materi pelajaran Ilmu Tanzilah dan Ilmu Kauniyah) - adalah adanya perbedaan ide dan persepsi (Ikhtilaf dan Khilaf) diantara umat Islam sendiri. Terma Khilaf tidak sekedar berarti dua hal yang berlawanan, akan tetapi
termasuk dua hal yang berbeda. Sedangkan Ikhtilaf
bermakna perbedaan dua hal saja. Khusus dua hal yang saling berlawanan
biasa disebut Jadal.
Dengan
keadaan mental, pendidikan dan ketimpangan-ketimpangan seperti itu
mengakibatkan adanya perbedaan mereka dalam menyikapi segala ranah kehidupan,
meliputi akidah, ide, pemikiran etika dan budaya sampai kepada pemahaman
terhadap Fikih dan tata cara melakukan ritual (ibadah) kepada Allah.
Berbeda tidak harus bertolak belakang atau berlawanan, adakalanya
perbedaan timbul dari sesuatu yang satu kemudian dipandang dari dua sudut yang
berlainan, hingga lahirlah dua pandangan dan pemahaman berbeda. Adapun
perbedaan harus benar-benar dihindari, yaitu perbedaan yang timbul dari dua hal
yang berlawanan hingga berakhir dengan ketegangan, bahkan dapat berakhir dengan
anarkisme. Inilah yang disebut sebagai Syiqaq,
faktor yang menyebabkan umat terdahulu tercerai berai dan binasa.
Menghadapi
zaman yang deras informasi yang mengglobal, Islam harus mampu menyatu,
berdialektika dengan segala informasi yang mengandung info baik dan problematik (baik, buruk, buruk). Ia dituntut
perduli dan menempati barisan terdepan dalam mencari solusi terhadap
problematika tersebut.
Menurutnya,
Al-Qur’an dan As-Sunnah sangat menekankan persatuan (Wahdat al-Ummah) dan rasa persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah). Keduanya menempati posisi tertinggi dalam
urutan tanggungjawab (Taklif) yang
selalu harus dipelihara eksistensinya. Segala faktor yang mengancam persatuan
dan persaudaraan umat Islam hendaknya dikubur dalam-dalam, termasuk membiarkan
umat berbeda pandang tanpa batas.
Perbedaan ide, pendapat dengan mengungkung umat Islam dalam suatu corak
pemikiran serta membuatnya seragam. Kemudian menyulap menjadi “the yes-man” akan mengakibatkan miskin
kreasi dan ide. Kita menyadari dan mengimani betul fitrah manusia sebagai
makhluk yang dikarunia akal sehat. Intinya berarti sebuah anugerah maha besar
yang sudah selayaknya terus diasah dan dipelihara.
Berfikir, mencari dan menelusuri adalah keniscayaan yang harus ditempuh
demi kemashlahatan bagi seluruh umat manusia. Mencari solusi, pada
gilirannya akan berurusan dengan terma dialog, diskusi, dan benturan-benturan
ide tentunya. Untuk menggelutinya mesti ada konsep, aturan,
adab (etika) dan batas-batas yang harus diperhatikan, agar upaya pemunculan ide
ini bisa terarah dan tidak memporak porandakan “bangunan kokoh keislaman” yang
berdiri disekitarnya.
Dengan demikian, kita menyadari betapa
kita sangat membutuhkan etika dalam berbeda pendapat, agar kita dapat menjadi
lebih baik dan mendapatkan hal-hal yang positif dari perbedaan itu. Dengan
etika berbeda pendapat, umat akan terhindar dari prasangka buruk dan hawanafsu,
dan sebaliknya akan terbimbing untuk selalu mengikuti kebenaran.
Dengan begitu kita akan senantiasa dapat merapatkan barisan, saling
mengasihi, dan saling tolong-menolong di antara sesama umat Islam, sesuai
dengan firman Allah swt yang artinya:
“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.” [QS Āli ‘Imrān
3:103]
“Maha Berkah (Maha Suci) Allah yang
ditangan-Nya (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang
menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa yang lebih baik amalnya.
Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Bahan Penulisan:
●https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2017/07/sejarah-islam-diantara-imperium-dunia.html
●https://jendelailmu-faisal.blogspot.com/2017/07/ilmu-dalam-pandangan-islam.html
●https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2017/07/islamic-worldview-dan-aplikasinya.html
●https://imaam-book-discussion.blogspot.com/2017/08/etika-dialog-dalam-islam.html
●https://sahlanazwar.blogspot.com/2013/04/sejarah-perkembangan-pemikiran-teologi.html□□□