Tuesday, August 8, 2017

Lahir Berkembang Jatuh dan Bangkitnya Islam


Suatu analisa dengan menggunakan pendekatan teologi dan adab berbeda pendapat

Oleh: A. Faisal Marzuki





Kata Pengantar

M
embicarakan sesuatu, atau untuk mengetahui sesuatu, apa penyebab dari keadaan sampai seperti itu, sunatullāh mengajarkannya. Sunatullāh sendiri merupakan tradisi Allah dalam melaksanakan ketetapan-Nya. Dalam bahasa akademis disebut hukum alam dari suatu kausalitas, yaitu hubungan antara suatu kejadian (sebab) dan kejadian kedua (akibat atau dampak), yang mana kejadian kedua dipahami sebagai konsekuensi dari yang pertama.

Hukum kausalitas Allah Ta’ala sendiri menyebutkan bahwa:

Pertama, Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum (masyarakat, bangsa), hingga kaum itu “mengubah” (kebiasaan-kebiasaan atau cara berbuat yang baik menjadi tidak lagi baik sehingga) apa yang ada pada diri mereka sendiri (yakni nikmat yang diperoleh dicabut kembali), [QS Al-Anfāl 8:53].

Kedua: Malang karena perbuatan sendiri, lihat Surat Yāsīn ayat 19.

Ketiga: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum  mereka merubah keadaan diri mereka sendiri”. [QS Ar-Ra’d 13:11]

Oleh karena itu “Islam Lahir Berkembang Jatuh dan Bangkit Lagi” mesti dilihat dari kacamata itu, karena dasar atau alat untuk membedah atau memahami agama terletak dari ilmu teologi (tauhid atau ilmu kalam atau ilmu ushuluddīn) dan mematuhi ketentuan etika (adab) dalam berbeda pendapat yang jangan sampai menjadi Syiqaq, faktor yang menyebabkan umat terdahulu tercerai berai dan binasa.

Perlu di catat disini bahwa adanya Islam di bumi ini sebagai anugerah dari Rabb Al-‘Ālamīn - Maha Pencipta Alam Semesta dan Umat Manusia, [QS Al-Mā’idah 5:3] sebagai rahmat bagi manusia dan lingkungan hidupnya di alam semesta raya di raya ini, [QS Yūnus 10:21 s/d 24]. Kebenarannya telah dicatat sejarah, diakui oleh para orientalis.

Hal semacam itu lah yang akan dibahas dalam penulisan tajuk diatas, Allāhu ‘alam. □ AFM



ISLAM LAHIR DAN BERKEMBANG


I
slam lahir dan berkembang ditopang dari konsep teologinya. Teologi yang berkembang di era klasik Islam ini adalah “teologi sunnatullah” atau teologi yang berdasarkan pada sunatullah (hukum alam). Teologi sunatullah pada prinsipnya keberimanan yang berdasarkan kepada ‘aql (rasio), teologi ini kajiannya filsafat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis. Sehingga produk teologi yang dihasilkan adalah teologi yang dibangun berdasarkan argumen-argumen logis-rasional.

Ciri-ciri teologi sunnatullah ini adalah:

-Kedudukan akal ditempat terhormat, [QS ‘Āli ‘Imrān 3:7]; [QS Al-Baqarah 2:44]
-Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, [QS Al-Baqarah 2:286]
-Kebebasan berpikir dengan memperhatikan rambu-rambu al-Qur’an dan Hadits
-Percaya pada adanya sunnatullah dan kausalitas
-Mengambil metaforis dari teks wahyu
-Dinamika dalam sikap dan berpikir.

   Lahirnya teologi sunnatullah ini didukung oleh lahirnya iklim “dialog” antara dunia Islam dengan alam pikiran Yunani Kuno, sebagai inspirasinya. Ketika dunia Islam mulai bersentuhan dengan pengetahuan Yunani Kuno yang telah ada lebih dulu, maka pemikiran rasional (‘aql) mulai bergeliat dalam dunia Islam, karena ada bahan paradigma yang patut dipelajari dan disaring dengan saringan kaidah Islam. Semangat penalaran yang ada dalam filsafat inilah yang dijadikan oleh para pemikir Islam untuk membangun teologi sunatullah.

   Di antara para filsuf Yunani, Aristoteles adalah yang paling menarik bagi orang-orang Islam. Dari dia para pemikir muslim mengambil terutama metode berpikir sistematis dan rasional, yaitu yang dituangkan dalam bentuk ilmu al-Manthiq (logika formal). Mereka memandangnya sebagai “al-Mu’allim al-Awwal” (guru pertama). Aristotalianisma dengan demikian menjadi bagian integral dari khazanah pemikiran Islam. Tetapi sesungguhnya, pemahaman kaum muslimin terhadap pikiran guru pertama itu, secara keseluruhannya, adalah terjadi melalui teropong neoplatonisme, karena sebagian besar lewat karya-karya para penafsir, khususnya karya-karya Plotinus dan Prophiry. Salah satu karya kefilsafatan yang amat besar pengaruhnya kepada dunia pemikiran filsafat Islam adalah “Theologia Aristotelis”.

   Dengan logikia formal yang demikian itu, maka bangunan teologi Islam di masa klasik penuh vitalitas rasionalistik. Sehingga pembuktian Tuhan mempunyai dasar argumennya yang rasional (logika). Bukan hanya itu, persoalan tentang proses penciptaan alam semesta yang termasuk bagian dari teologi juga mempunyai dasar ‘aql (rasional).

Periode klasik ini secara umum terbagi menjadi dua. Pertama adalah periode klasik (650-1000) yaitu periode zaman di mana daerah Islam mulai meluas melalui Afrika Utara sampai ke Iberia (Purtugis, Spanyol), dan Perancis bagian selatan yang berbatasan dengan Iberia di Barat, dan di Persia sampai ke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, dan kemudian di Damsyik (Damaskus) dan terakhir di Baghdad. Di masa inilah berkembang dan maju pesat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang coraknya bermacam-macam seperti fiqih, filsafat, sufisme dan termasuk teologi. Dari periode ini ulama-ulama fiqih yang muncul seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i.

   Dari Ilmu Tanzilah yaitu, ilmu-ilmu yang dikembangkan ‘aql (akal) manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah swt baik dalam kitab-Nya, Al-Qur’an maupun Al-Hadits Rasulullah saw, disusunlah Kitab Fiqih yang membahas masalah-masalah: thaharah, shalat, janazah, zakat, puasa, haji, umrah, muamalat (perdagangan, bank, perseroan, dll), nikah, jinayat (kriminal, pembunuhan), hudud (hukuman), jihad (peperangan), makanan dan penyembelihan; Ushuluddin; Aqdhiyah (hukum-hukum pengadilan); al-Khilafah (hal-hal yang menyangkut dengan pemerintahan); Kitab Hadits; Ilmu Kalam; Tauhid (Akaid); Mantiq (logika); Ilmu-ilmu Tafsir al-Qur’an; Seni Tulis  Arab Qur’an,  dst.

   Dari Ilmu Kauniyah yaitu, ilmu-ilmu yang dikembangkan ‘aql (akal) manusia karena interaksinya dengan alam, seperti ilmu yang terkait dengan benda atau makhluk “mati”, melahirkan Ilmu ke-Alam-an (Ilmu Alam). Yang terkait dengan “benda atau makhluk hidup” seperti manusia melahirkan Ilmu ke-Manusia-an. Yang terkait dengan interaksi antar manusia melahirkan ilmu sosial.

Ilmu Alam ini melahirkan ilmu-ilmu Astronomi, Fisika, Biologi, Kimia, Optik dan ilmu-ilmu bantunya seperti Matematika (termasuk angka), Aljabar (Al-Jabr), Algoritma yang selanjutnya melahirkan teknologi arsitektur dan bangunan, kedokteran, obat-obatan, teknik mekanikal, robotik, kamera, komputer dan lainnya. Ilmu Humaniora melahirkan Ilmu Psikologi, Bahasa atau Tata Bahasa dan sebagainya. Ilmu Sosial melahirkan ilmu-ilmu: Politik, Ekonomi dan Perdagangan serta Hukum dan lain-lain.

   Kedua disiplin ilmu itu diamalkan ketika umat Islam berjaya di abad tengah. Mazhab yang empat lahir pada perioda ini. Ilmu Fikih, Ushul Fiqh, Mawarits (Ilmu Waris) dll, begitu pula ilmu sosiologi, ekonomi, astronomi, kedokteran, kimia, biologi, farmasi, ilmu bedah, aljabar, dan algoritma dst. Dengan algoritma ini komputer dan enkripsi data dapat tercipta.

Tulisan angka yang ada sekarang ini, dikembangkan oleh orang Islam. Angka tersebut diambil dari India, tapi bentuknya perlu jastifikasi, logis. Penjastifikasian itu dikembangkan dan hasilnya angka nol (0) dari yang tidak ada sudutnya; Angka 1, dimana sudut-nya ada 1; Angka 2, dimana sudutnya ada 2, dan seterusnya sampai dengan angka 9, dimana sudutnya ada 9. Angka-angka mana orang Eropa menyebutnya sebagai ’angka Arab’ (Arabic numerals), karena orang Eropa mengambil dari orang Islam yang berbahasa Arab, mereka belajar ke Al-Andalus, Spanyol Islam, berkuasa antara abad ke-7 s/d abad ke-15.

Ketika itu Eropa masih menggunakan angka Romawi yang menggunakan simbul huruf untuk menyebutkan suatu angka yang ditambah atau dikurang dan tidak mengenal angka 0 (nol), serta jumlah yang dihitung sangat terbatas sekali.

Mereka tidak mengenal bilangan pecahan dan bilangat berpangkat. Sains dan teknologi abad sekarang ini maju oleh ’angka Arab’ ini. Atau boleh juga disebut ’angka Islam’. Sains dan teknologi tidak akan cepat berkembang seperti sekarang apabila masih tetap menggunakan angka Romawi yang terbatas kemampuannya, dan tidak bisa melakukan operasi matematika canggih.



ISLAM JATUH - akan bangkit kembali?


K
edua adalah fase disintegerasi (1000-1250 M). Di masa ini persatuan dan kesatuan umat Islam mulai mengalami kemunduran. Konflik (kekuasaan) politik seringkali melanda sehingga klimaksnya adalah hancurnya imperium Islam yang menyebabkan Baghdad berhasil dikuasasi oleh Hulaghu Khan di tahun 1258.

   Karena semangat pemikirannya yang cenderung “antoposentris” -adalah paham bahwa segala sesuatu dimulai oleh manusia dan untuk manusia dan lingkungan alamnya, maka teologi di abad klasik ini termasuk teologi Qadariyyah. Paham ini terkenal dengan nama free will dan free act. Artinya manusia mempunyai kebebasan atau kemerdekaan dalam menentukan hidupnya. Seluruh prestasi yang dihasilkan oleh manusia bukanlah dari Tuhan melainkan dari manusianya sendiri karena manusia diyakini mempunyai kekuatan dan kapabelitas untuk menghasilkan prestasi tersebut sebagai manusia khalifah [QS Al-Baqarah 2:30; An-Naml 27:62; Fāthir 35:39] ciptaan-Nya di muka bumi.

   Teologi sunnatullah atau Qadariyyah ini bukan sekedar berorientasi pada kehidupan akhirat saja, melainkan juga mempunyai target dunia sebagai khalifah-khalifah [QS Fāthir 35:39]. Oleh karena itu, di era Qadariyah ini, di samping basis keimanan umat Islam menjadi kuat karena ditopang oleh ‘aql (orang yang berilmu, akal sehat), bidang-bidang lain seperti ekonomi, politik dan sejenisnya mengalami kemajuan pesat. Mesir, Suriah dan Persia, ketika itu menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, sutra dan lain-lain di Timur Tengah. Hasil-hasil yang berasal dari Timur di bawa ke Barat harus melalui daerah-daerah tersebut. Kairo, Alexandria, Damsyik (Damaskus), Baghdad dan Siraz (nama kota di Persia – Iran sekarang) menjadi kota-kota dagang yang penting.

   Sementara itu di bidang tasawuf yang berkembang adalah tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi merupakan sebuah pemikiran atau aktifitas untuk mengenal lebih dekat kepada Tuhan tetapi tetap menggunakan pemikiran filosofis. Dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, para sufi menempuh jalan panjang dan sulit meskipun akhirnya sampai juga pada tujuan mereka. Dalam mendekatkan diri, mereka dihinggapi oleh rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan, sehingga mereka di stasiun al-mahabbah atau cinta ilahi. Kalau cinta mereka dibalas Tuhan mereka akan meningkat ke level yang lebih tinggi, yaitu al-ma’rifat.

   Bukan hanya itu, pada zaman klasik ini sains juga mengalami kemajuan pesat. Ilmu kedokteran banyak dikembangkan oleh para ahli seperti Ibnu Rusd, Al-Razi dan Ibnu Sina. Ilmu kimia mengalami kemajuan di tangan Jabir dan Al-Razi. Sumbangan ulama Islam bagi ilmu kimia lebih banyak dari yang diberikan oleh orang-orang Yunani. Matematika dikembangkan oleh al-Khawarizmi, Umar Al-Khayam. Angka kosong (nol) adalah penemuan ulama Islam yang kemudian bersama “Angka Arab” (Arabic Numerical: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0) lainnya dibawa ke Eropa pada permulaan abad ke-12 M. Astronomi berkembang di tangan Al-Fazzari, Al-Farghani dan lain-lain.


Masa Bangkitnya Eropa (Barat)

P
ada periode  (1250-1800) ini telah terjadi pembalikan sejarah antara Islam dan Barat. Islam yang di era klasik bisa mencapai kejayaan ilmu pengetahuan dan teologi berkat pengembangan ilmu, maka di era pertengahan ini Islam justru mengalami era kegelapan (the darkness age). Setelah Baghdad berhasil dihancur oleh Genghis Khan dan Hulaghu Khan, maka semua literature-literatur (buku-buku) di Perpustakaan Islam dibakar habis oleh mereka, termasuk The House of Wisdom sebuah gedung Pusat Pembelajaran dan Kajian Ilmu dan Perpustakaan di hancurkan. Dan ketika Al-Andalus, Spanyol Islam ditundukkan, semua buku-buku di perpustakaan diambil oleh Barat untuk mereka pelajari.

   Pada periode pertengahan juga di bagi dua. Periode pertengahan I (1250-1500) adalah fase kemunduran. Pada fase ini bibit-bibit perpecahan dan disintegrasi antara umat Islam mengalami eskalasi. Konflik antara Sunni dan Syi’ah semakin menajam. Di sisi lain secara geofrafis dunia Islam hancur berkeping-keping menjadi pecahan-pecahan kecil akibat kuatnya disintegrasi. Secara umum teritori Islam terbagi dua yaitu: Pertama, bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Suria, Iraq, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya. Kedua, yaitu bagian Persia yang terdiri dari atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat.

   Fase II adalah fase dari tiga kerajaan besar (1500-1800) yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700) dan zaman kemunduran (1700-1800). Tiga kerajaan besar itu adalah: ● Kerajaan Turki Utsmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki; ● Kerajaan Safawi di Persia; ● Kerajaan Mughal di India. Di masa kemajuan ini masing-masing kerajaan mempunyai keunggulan masing-masing khsususnya di bidang literatur dan seni arsitektur. Namun, bila dibandingkan dengan kemajuan di era klasik, kemajuan di era ini sungguh jauh. Karena pada era pertengahan ini perhatian umat Islam terhadap ilmu pengetahuan masih merosot tajam alias masih rendah dibanding sebelumnya.

   Karena perhatian dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan atau filsafat rendah, maka teologi yang berkembang pada periode pertengahan ini adalah teologi Jabariyyah. Ciri-ciri teologi ini adalah:

- Kedudukan akal rendah
- Ketidakbebasan dalam kemauan dan perbuatan
- Kebebasan berpikir yang diikat oleh banyak dogma
- Ketidakpercayaan kepada sunnatullah dan kausalitas
- Terikat pada arti literal al-Qur’an dan Hadits
- Statis dalam sikap dan berpikir

   Kedudukan akal yang rendah menjadikan umat Islam tidak lagi merumuskan teologi baru yang benar-benar bernas dan bergairah hingga menjadikan umat bertindak dan berpikir progresif. Pada periode ini yang berkembang bukan lagi berfastabiqul khairot untuk kemajuan Islam, tetapi justru sebaliknya mayoritas umat Islam berduyun-duyun berteduh di bawah pohon taqlid. Sikap umat Islam yang semacam, ini menyebabkan semangat dan aktifitas intelektual di dunia Muslim menjadi mandek total.

   Selanjutnya, karena tidak adanya pemikiran logis yang mampu meerenungkan alam semesta, sebagaimana yang dipraktikkan oleh para pemikir dan filosuf Muslim, maka kreatifitas berpikir untuk merumuskan teologi-teologi baru tidak nampak. Umat Islam hanya percaya bahwa seluruh jagad raya ini adalah dikendalikan oleh Yang Maha Tahu,  tanpa ada ikhtiar yang semestinya ia lakukan - menyerahkan kepada takdir tanpa usaha.

   Kondisi yang dekaden ini justru diperparah dengan distrosi terhadap nilai-nilai Tasawuf. Tasawuf yang di era klasik menjadi pemicu kemajuan, kini di era pertengahan di jadikan sebagai Tarikat. Praktik sufisme yang sudah mengental menjadi praktik Tarikat ini akhirnya menjadikan seluruh aspek tasawuf tergerus menjadi tasawuf amali dan tasawuf falsafi yang akrab dengan aktifitas dan semangat perenungan, sedang berpikir, berfilsafat dan refleksi menjadi tidak berlaku.

   Dalam teologi Jabariyyah yang statis dan fatalistik ini, berlaku sebuah keyakinan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak, tidak mempunyai kekuasaan dan tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.

   Dengan pandangan semacam ini, maka manusia tidak lebih dari sebuah wayang yang digerakkan oleh seorang dalang. Seluruh perbuatan manusia adalah perbuatan yang dipaksakan oleh “Allah” kepada manusia itu sendiri (menurut pandangan mereka). Perbuatan ini tidak muncul dari kemauannya sendiri. Termasuk masalah keburukan adalah bukan kehendak manusia, melainkan dari kehendak “Tuhan”. Jadi, bagi teologi periode ini, manusia yang mencuri atau korupsi itu pada dasarnya bukan kehendaknya sendiri, melainkan kehendak “Tuhan” yang dipaksakan kepada manusia itu - konsep pemikiran fatalistik.

   Namun karena seperti yang telah disinggung di atas, bahwa karena teologi Islam adalah lahir dari masalah kekuasaan (politik kekuasaan), maka di dalam paham ini sebenarnya kuat sekali tendensi menjadi penguasa. Hal ini nampak sekali pada penguasa daulah Umayyah di Damaskus. Seolah-olah karena didorong oleh keperluan membela sahabat Utsman Bin Affan, tetapi yang pasti itu hanyalah sekedar topeng belaka, kepentingan utamanya adalah untuk kepentingan politiknya sendiri. Bila diperingatkan bahwa tindakan-tindakan mereka yang menindas rakyat dan mengekang perkembangan pemikiran di kalangan ummat itu menyalahi semangat Islam dan bahwa mereka harus mempertanggung jawabkan kedzaliman itu di hadapan umat, selain di hadapan Tuhan kelak di akhirat, rezim Umayyah itu menolak dengan mengatakan bahwa kami tidak bisa dimintai tanggungjawab atas tindakan-tindakan kami. Sebab Tuhanlah yang menghendaki semuanya itu. Hanya pada-Nya lah kekuasaan untuk menentukan kebaikan atau keburukan, kilahnya.

   Dengan teologi yang demikian itu, maka produktifitas para ulama di masa ini menurun drastis. Hasil-hasil karya yang sejak era klasik bisa berkembang pesat dengan berbagi fan keilmuan, di era pertengahan ini mengalami mati suri. Begitu juga di bidang lain seperti ekonomi dan, industri dan pertanian juga menurun drastis. Hanya di bidang politik yang agak menonjol karena pada zaman pertengahan ini masih dijumpai tiga imperium besar yaitu Turki Utsmani, Safawi dan Mughal.


Abad Moderen (1800 dan seterusnya) Abad Barat

I
stilah modern, secara umum, berasal dari kata moderna yang artinya sekarang (Bahasa Jerman Jetzeit). Dengan pengertian itu kita tahu bahwa yang disebut moderen, manakala semangat kekinian menjadi kesadaran seseorang. Jadi kalau ada orang atau masyarakat hidup di era sekarang tapi kesadarannya berada di abad tengah Eropa maka pertanda mereka bukan modern, tetapi manusia primitif. Abad moderen ini merupakan spirit zaman baru (zeitgeist) yang berada di abad 19 sebagai bentuk peradaban dan semangat zaman. Modernitas Eropa dicirikan oleh tigal hal yaitu individualistik, rasionalisme dan kemajuan.

   Ketika memasuki abad ke 19 umat Islam mengalami keterkejutan yang luar biasa. Sebab, pada era ini Eropa (Barat), yang di era klasik Islam Eropa masih berada dalam kegelapan dan kemunduran, kini justru berbalik menjadi pusat peradaban dunia. Era kemajuan di Eropa (Barat) inilah yang populer disebut sebagai abad moderen. Abad moderen adalah masa peralihan dari kebudayaan “teosentris” ke “antroposentris”.  Maksud dari antroposentris disini adalah bahwa nasib manusia ditentukan (tergantung usaha) manusia sendiri.  Dari pandangan atau pemikiran seperti itu, ada peralihan peralihan dari peradaban langit ke peradaban bumi, dari metafiskikan ke fisika, dari immateri ke materi. Peradaban ini pada hakekatnya adalah hasil renaissance dan pencerahan (enlightenment) yang terjadi di Eropa. Era renaissance adalah era lahirnya kebebasan dan terlepasnya kehidupan dari norma-norma agama di Eropa. Era renaissance ini ditandai oleh munculnya pengetahuan baru yang didapatkan melalui intensitas observasi dan pengamatan alam semsta. Pada taraf ini dunia atau alam semesta menjadi daya tarik utama untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Dari sini berkembanglah ilmu astronomi dan geography. Meskipun sebelumnya, di dunia Islam ilmu-ilmu semacam ini sudah ditemukan oleh para pemikir Muslim seperti Astronomi: Al-Battani (859-929), Al-Sufi (903-986), Ibnu Yunus (950-1009), Al-Farghani, Al-Zarqali (1029-1087) dan Jabir Aflah (1145-xxxx); Geography: Hisyam Al-Kalbi (Abad 8), Musa Al-Khawarizmi (780-850), Al-Ya’qubi (xxx-897), Ibn Khardadbeh (820-912), Al-Idrisi (1100-1166).

   Indikasi selanjutnya adalah bahwa modernitas ini ditandai juga oleh penelitian dan pengkajian terhadap teks-teks klasik yang berasal dari Islam dan kemudiannya Yunani Kuno yang sebelumnya mereka tinggalkan. Yang menarik di sini adalah, ternyata Islam juga merupakan faktor penentu lahirnya modernistas di Barat. Memang periode klasik Islam telah melahirkan peradaban Islam, yang berpengaruh terhadap peradaban Barat. Pengaruh ini diakui oleh pengarang-pengarang Barat seperti Gustave Le Bon, Jacques Risler, Rom Landau dan Alfred Guillaume.

Seperti Gustave Le Bon (1814-1931), seorang ahli pikir Perancis menyebutkan:

“Dalam satu abad atau 3 keturunan, tidak ada bangsa-bangsa manusia dapat mengadakan perubahan yang berarti. Bangsa Perancis memerlukan 30 keturunan atau 1000 tahun baru dapat mengadakan suatu masyarakat yang bercelup (menjadi bangsa) Perancis. Hal ini terdapat pada seluruh bangsa dan umat, tak terkecuali selain dari umat Islam, sebab Muhammad El Rasul sudah dapat mengadakan suatu masyarakat baru dalam tempo satu keturunan  yang tidak dapat ditiru atau diperbuat oleh orang lain”. 


   Semangat zaman yang antroposentris ini akhirnya melahirkan berbagai sikap hidup di antaranya adalah sikap kritis. Sikap kritis ditujukan terhadap dogma-dogma agama Kristen Eropa yang sudah sekian tahun membatu. Sikap yang lain adalah humanisme. Sikap ini ditunjukkan dengan maraknya berbagai hasil karya seni seperti musik, lukis, patung atau drama yang lebih mengangkat manusia daripada eksistensi Tuhan. Seperti lukisan Leonardo Davinci tentang Monalisa. Lukisan ini merupakan pertanda terjadinya peralihan peradaban dari yang sebelumnya berbasis pada nilai teosentrisme menuju ke wilayah humanisme.

   Sebelum pintu modernitas benar-benar terbuka, di Barat telah muncul beberapa pemikir atau filsof yang mulai melancarkan serangan-serangannya terhadap peradaban abad pertengahan Eropah. Abad pertengahan Eropa adalah abad yang lebih mengunggulkan Tuhan, lebih membela Bible - Kitab Suci umat Kristen daripada akal. Era ini ditandai oleh kuatnya otoritas gereja atas segala peradaban dan kebudayaan. Oleh karena itu tokoh-tokoh pemikir di ambang modernitas berusaha untuk mendobrak tatanan atau sistem rezim gereja yang menindas itu. Dalam hal ini Nicollo Machiavelli (1469-1527) yang mempelopori untuk menyerang sistem kekuasaan (politik) gereja yang absolut, kemudian Giordano Bruno (1548-1600) yang dengan gencar mengkritik pakem-pakem agama gereja dan Francis Bacon (1561-1626) yang mulai intens menegakkan semangat ilmu pengetahuan dengan semboyannya knowledge is power.

   Dengan gugatan dan serangan-serangan kritis dari para filsuf itulah, fajar modernitas akhirnya muncul. Lahirnya modernitas ini secara epistemologis ditandai oleh bangkitnya kembali rasionalitas yang sebelumnya, yakni di era pertengahan, telah dipasung dengan ketat. Maka modernitas ini secara eksplisit merupakan era kemerdekaan bagi rasio. Kemerdekaan rasio ini secara simbolik dideklarasikan oleh Descartes (1596-1650) dengan statemennya cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada).

   Melihat fajar pencerahan dan kebangkitan peradaban di Barat yang berkembang pesat itu, hal itu seolah menyentak umat Islam dari tidur panjangnya yang dia lakukan sejak kemunduran dari kejayaannya. Ketika modernitas ini telah muncul di Barat, maka umat baru melek bahwa umat Islam telah mengalami dekadensi dan kemunduran yang luar biasa. Akibat kemundurannya itu, umat Islam akhirnya menjadi obyek penjajahan Barat. Salah satu bukti konkritnya adalah hancurnya tiga kerajaan besar– yang di era pertengahan masih eksis — oleh ekspansi dan imperialisme bangsa Barat. Turki Utsmani yang pernah berjaya di abad pertengahan mengalami kekalahan dalam perangnya di Eropa; Kerajaan Safawi di Mesir, dalam waktu tiga minggu berhasil ditaklukkan oleh Napoleon Bonaparte; dan Kerajaan Mughal di India telah dihancurkan oleh Inggris.



MASA KEBANGKITAN KEMBALI


M
elihat dahsyatnya imbas peradaban moderen terhadap dunia Islam tersebut, para pemikir Muslim akhirnya terlecut untuk berpikir keras merumuskan teologi yang bisa membangkitkan kembali girah (gairah, semangat) umat Islam untuk mencapai kejayaannya yang telah sirna.

   Muncullah kemudian para mujadid baru dalam dunia Islam dengan menawarkan berbagai ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan mengejar ketertinggalannya dari Barat. Atas semangat ini dunia Islampun mulai ikut memasuki rimba raya “modernitas”.

   Namun, usaha-usaha pembaharuan atau modernisasi dalam dunia Islam, sebenarnya sebelumnya telah dimulai dari sebuah zaman yang disebut moderen ini. Usaha-usaha itu terutama dijalankan oleh kerajaan Utsmani. Dalam peperanganya dengan negara-negara Eropa, Kerajaan Turki Utsmani pada awal abad ke 17, mengalami kekalahan dari Peter Agung dari Rusia. Dengan modernisasi yang dilakukan oleh Rusia, Rusia menjadi lebih kuat dari Turki Utsmani. Hal ini akhirnya, membuat sultan-sultan Utsmani juga ingin mengadakan modernisasi di Turki, terutama di lapangan militer. Usaha-usaha yang modernisasi yang dijalankan oleh sultan Utsmani pada waktu itu lebih terpusat pada usaha untuk memperkuat kekuatan militer.

   Di antara tokoh-tokoh mujadid atau pemikir-pemikir baru Islam yang sangat getol mengusung isu-isu moderen adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Jamaluddin Al-Afghani, Zia Gokalp, Seyyid Ahmad Khan dan seterusnya. Para pemikir dan filsof ini adalah tokoh-tokoh pembaharu yang mencoba menyerukan untuk kembali kepada teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah Islam zaman klasik di kalangan ulama dan umat Islam zaman moderen.

Pemikir-pemikir kontemporer Islam lainnya saat ini antara lain adalah adalah Tariq Ramadan (Eropa), Hamza Yusuf (asal muallaf bernama Mark Hanson, Amerika), Yusuf Al-Qaradawi (Timur Tengah), Syed Muhammad Naquib al-Attas (Malaysia), Hamid Fahmi Zarkasyi dan Adian Husaini (Indonesia). Khususnya Syed Muhammad Naquib al-Attas,  Hamid Fahmi Zarkasyi dan Adian Husaini pengusung membangun kembali peradaban Islam. Buku-buku dan kajian mereka padat dengan terma-terma peradaban Islam.

   Untuk merealisasikan semangat teologi sunatullah tersebut, maka pada abad ke 19 mulai didirikan sekolah-sekolah moderen gaya Barat di Mesir, Turki dan India. Di sekolah-sekolah ini semangat ilmiah mulai dihidupkan kembali. Pola berpikir yang rasional, filosofis dan ilmiah mulai dibudayakan. Namun meskipun demikian, program dan tawaran para mujadid untuk kembali ke teologi sunnatullah yang mengedepankan rasionalitas itu dalam realitas empiriknya tidak mendapat apresiasi oleh seluruh umat Islam di dunia. Masih banyak masyarakat muslim yang justru menentang modernitas. Mereka justru berusaha untuk tertutup dan tak bersedia menyerap nilai-nilai modernitas. Namun usaha para mujadid awal seperti Muhammad Abduh dan kawan-kawan untuk kembali ke teologi sunnatullah tetap ada hasilnya. Dengan digaungkannya teologi sunnatullah untuk mengimbangi peradaban modern Barat itu, produktifitas dan kreatifitas umat Islam mulai meningkat kembali meskipun itu masih jauh dari Barat.

   Di samping semangat rasionalitas yang ada dalam teologi sunnatullah, unsur lain yang turut dikampanyekan oleh para pemikir atau mujadid masa-masa awal adalah perlunya untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Berlainan di Barat yang maju karena meninggalkan kekristenannya, sementara Islam maju karena keislamannya (ajaran dan praktek ibadahnya).

   Sebagian para mujadid berasumsi bahwa di samping faktor politik yang sudah rapuh, salah satu sebab mundurnya umat Islam adalah dipicu oleh kuatnya takhayyul, bid’ah dan khurofat yang berkembang di dunia umat Islam. Umat Islam, selama ini terjerembab ke dalam jurang mistik yang dalam sehingga tidak bisa berpikir secara jernih dan rasional.

Oleh karena itu dengan kembali ke al-Qur’an dan al-Hadits itu dimaksudkan agar umat Islam bisa kembali berpikir jernih dan tidak terperangkap oleh takahyyul dan mitos-mitos bias dari ajaran (agama) Islam. Di samping itu, dalam memahami al-Qur’an diharapkan umat Islam lebih rasional “…dan kamu membaca Kitab (Al-Qur’an dan Sunnah; tidakkah kamu pikirkan” [QS Al-Baqarah 2:44], “…kecuali orang-orang berakal dapat mengerti”, [QS Āli ‘Imrān 3:7]

   Faktor lain dari penyebab mundurnya Islam - disamping bekas terjajahnya belum pulih benar dan kurang pendidikan dan ketimpangan materi pelajaran Ilmu Tanzilah dan Ilmu Kauniyah) - adalah adanya perbedaan ide dan persepsi (Ikhtilaf dan Khilaf) diantara umat Islam sendiri. Terma Khilaf tidak sekedar berarti dua hal yang berlawanan, akan tetapi termasuk dua hal yang berbeda. Sedangkan Ikhtilaf bermakna perbedaan dua hal saja. Khusus dua hal yang saling berlawanan biasa disebut Jadal.

   Dengan keadaan mental, pendidikan dan ketimpangan-ketimpangan seperti itu mengakibatkan adanya perbedaan mereka dalam menyikapi segala ranah kehidupan, meliputi akidah, ide, pemikiran etika dan budaya sampai kepada pemahaman terhadap Fikih dan tata cara melakukan ritual (ibadah) kepada Allah.

   Berbeda tidak harus bertolak belakang atau berlawanan, adakalanya perbedaan timbul dari sesuatu yang satu kemudian dipandang dari dua sudut yang berlainan, hingga lahirlah dua pandangan dan pemahaman berbeda. Adapun perbedaan harus benar-benar dihindari, yaitu perbedaan yang timbul dari dua hal yang berlawanan hingga berakhir dengan ketegangan, bahkan dapat berakhir dengan anarkisme. Inilah yang disebut sebagai Syiqaq, faktor yang menyebabkan umat terdahulu tercerai berai dan binasa.

   Menghadapi zaman yang deras informasi yang mengglobal, Islam harus mampu menyatu, berdialektika dengan segala informasi yang mengandung info baik dan  problematik (baik, buruk, buruk). Ia dituntut perduli dan menempati barisan terdepan dalam mencari solusi terhadap problematika tersebut.

   Menurutnya, Al-Qur’an dan As-Sunnah sangat menekankan persatuan (Wahdat al-Ummah) dan rasa persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah). Keduanya menempati posisi tertinggi dalam urutan tanggungjawab (Taklif) yang selalu harus dipelihara eksistensinya. Segala faktor yang mengancam persatuan dan persaudaraan umat Islam hendaknya dikubur dalam-dalam, termasuk membiarkan umat berbeda pandang tanpa batas.

   Perbedaan ide, pendapat dengan mengungkung umat Islam dalam suatu corak pemikiran serta membuatnya seragam. Kemudian menyulap menjadi “the yes-man” akan mengakibatkan miskin kreasi dan ide. Kita menyadari dan mengimani betul fitrah manusia sebagai makhluk yang dikarunia akal sehat. Intinya berarti sebuah anugerah maha besar yang sudah selayaknya terus diasah dan dipelihara.

   Berfikir, mencari dan menelusuri adalah keniscayaan yang harus ditempuh demi kemashlahatan bagi seluruh umat manusia. Mencari solusi, pada gilirannya akan berurusan dengan terma dialog, diskusi, dan benturan-benturan ide tentunya. Untuk menggelutinya mesti ada konsep, aturan, adab (etika) dan batas-batas yang harus diperhatikan, agar upaya pemunculan ide ini bisa terarah dan tidak memporak porandakan “bangunan kokoh keislaman” yang berdiri disekitarnya.

Dengan demikian, kita menyadari betapa kita sangat membutuhkan etika dalam berbeda pendapat, agar kita dapat menjadi lebih baik dan mendapatkan hal-hal yang positif dari perbedaan itu. Dengan etika berbeda pendapat, umat akan terhindar dari prasangka buruk dan hawanafsu, dan sebaliknya akan terbimbing untuk selalu mengikuti kebenaran.

   Dengan begitu kita akan senantiasa dapat merapatkan barisan, saling mengasihi, dan saling tolong-menolong di antara sesama umat Islam, sesuai dengan firman Allah swt yang artinya:

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” [QS Āli ‘Imrān 3:103]

“Maha Berkah (Maha Suci) Allah yang ditangan-Nya (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa yang lebih baik amalnya. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM



Bahan Penulisan:

●https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2017/07/sejarah-islam-diantara-imperium-dunia.html
●https://jendelailmu-faisal.blogspot.com/2017/07/ilmu-dalam-pandangan-islam.html
●https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2017/07/islamic-worldview-dan-aplikasinya.html
●https://imaam-book-discussion.blogspot.com/2017/08/etika-dialog-dalam-islam.html
●https://sahlanazwar.blogspot.com/2013/04/sejarah-perkembangan-pemikiran-teologi.html□□□

Blog Archive