Saturday, February 6, 2016

Negara Teokrasi vs Negara Khilafah Islamiyah 2





Negara Teokrasi Budha

Menurut Prasasti Kedukan Bukit, kekaisaran Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Çri Yacanaca (Dapunta Hyang Sri Jayanasa). Ia memimpin 20.000 tentara (terutama tentara darat dan beberapa ratus kapal) dari Minanga Tamwan ke Palembang, Jambi, dan Bengkulu.
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim. Kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar asia tenggara. Dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300mil di Barat.
Pada tahun 680, kerajaan Melayu ditaklukkan Sriwijaya. Pada saat itu kerajaan Sriwijaya dipimpin oleh Jayanasa. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur, imperium menguasai bagian selatan Sumatera hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Ekspansi militer Sriwijaya ke Melayu dan Jawa, menjadikan Sriwijaya menguasai dua pusat perdagangan strategis. Namun, Sriwijaya merasa terusik ketika pada abad ke 7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochima mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal itu, Raja Dharmasetu melakukan invasi kebeberapa wilayah Indochina. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja. Namun, dominasi ini berakhir ketika Raja Khmer Jayawarman II, memutuskan hubungan dengan kerajaan Sriwijaya.
Kepemimpinan Dharmasetu digantikan oleh Samaratungga. Raja Samaratungga memfokuskan untuk memperkuat dominasi Sriwijaya di daerah Jawa. Pada masa raja Samaratungga, di Jawa dibangun Candi Borobudur yang pembangunannya selesai pada tahun 825. Pada abad 12 luas kerajaan Sriwijaya meliputi Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan, Filipina, Sri Langka, Semenanjung Melayu, dan Maluku.
Dalam bidang keagamaan, Sriwijaya merupakan pusat pengajaran agama Budha Vajhrayana. Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Ching, yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India pada tahun 671 dan 695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Budha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet. I Ching melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.
Raja raja sriwijaya yang pernah memerintah: Jayanasa (prasasti Kedukan Bukit, 683 dan prasasti Talang Tuo, 684), Indravarman (sumber Tiongkok, 704-716, 724), Rudra vikraman atau Lieou-t’eng-wei-kong (sumber Tiongkok, 728), Dharmasetu (prasasti Ligor, 775), Sangramadhananjaya or Vishnu (teks Arab, 790), Samaratunga (792), Maharaja (sumber Arab, 851), Balaputra (prasasti Nalanda, 860), Sri Uda Haridana atau Cri Udayadityavarman (sumber Tiongkok, 960), Sri Wuja or Cri Udayadityan (sumber Tiongkok, 962) Hia-Tche (sumber Tiongkok, 980), Culamani varmadevan (sumber Tiongkok, 988, 1003; prasasti Tanjore atau prasasti Leiden, 1044), Maravijaya tungan atau Maraviyayatunga-varman (sumber Tiongkok, 1008; prasasti Leiden, 1044), Sumatrabhumi (sumber Tiongkok, 1017), Sri Sangrama vijayatungan atau Cri Sangarama vijayatungavarman (prasasti Chola, 1025), Sri Deva (sumber Tiongkok, 1028), Dharmaviran, Sri Maharaja (sumber Tiongkok, 1156)Trailorajan (sumber Tiongkok, 1178), Maulibhusana Varmadevan (perunggu Buddha Chaiya, 1183).


Negara Khilafah Islam

D
alam sejarah Islam, adanya “Negara Khilafah Islam” atau “Daulah Islamiyah” bukan negara Teokrasi, sebab Khalifah (kepala negara) diakui sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan. Sumber hukum Negara Khilafah bukan dari Khalifah, namun bersumber dari Qur’an dan Sunnah. Dalam sejarah Islam abad-abad yang lalu “khilafah” adalah kepemimpinan umum untuk seluruh penduduk umat yang mayoritas penduduknya muslim yang ada di seluruh dunia yang dikuasainya. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh serta menyampaikan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem sistem yang diterapkan didunia Islam saat ini, karena sistem Khilafah mempunyai keunikan yang menjadi ciri khasnya.
Khalifah adalah kepala negara bagi kaum Muslimin. Dia bukan seorang diktator, karena pemilihan seorang Khalifah melalui kontrak politik yang khas yaitu bai’at. Tanpa adanya bai’at dari umat, seseorang tidak sah menjabat sebagai Khalifah. Ini berbeda dengan para raja dan diktator (demokrasi tapi sifatnya oligarki) yang menguasai negeri negeri Muslim saat ini. Yang mana diktator ini merebut kekuasaan dengan paksa serta merampas sebagian kekayaan umat.
Khalifah wajib bertindak adil sesuai dengan Syari’at Islam. Undang-undang yang dilegalisasi Khalifah harus bersumbar dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ Pada Sahabat. Pembuatan undang undang harus digali dengan metode yang terperinci yakni ijtihad. Jika Khalifah melakukan kezaliman terhadap umat, maka Khalifah dapat di adukan kepada Mahkamah Mazhalim. Mahkamah Mazhalim dapat memberikan impeachment terhadap Khalifah serta menurunkannya dari jabatan khalifah serta menggantinya.
Beberapa orang menyamakan Khalifah dengan Paus, seolah olah Khalifah adalah pemimpin spiritual, ini tidak benar. Dalam hal ini Khalifah bukan orang suci, juga bukan manusia pilihan Tuhan. Jabatan Khalifah adalah jabatan eksekutif. Khalifah sebagai manusia biasa tetap berpotensi melakukan kesalahan, oleh karana itu dalam Negara Khilafah Islam ada sarana check and balance yang menjaga agar Khalifah tetap akuntabel.
Khalifah bukan dipilih Allah, tapi dipilih oleh kaum muslimin melalui kontrak bai’at (demokrasi atau musyawarah syariyah). Bentuk Negara Khilafah Islam bukan Teokrasi, karena kepemimpinan Khalifah tidak terbatas pada masalah moral spiritual. Masalah ekonomi, kesejahteraan, pangan, keamanan adalah masalah masalah yang harus diperhatikan Khalifah. Sistem Khilafah Islam ini telah terbukti selama berabad abad dalam memberikan kesejahteraan yang maksimal kepada rakyat.
Negara Khilafah Islam bukan tipe negara yang mementingkan satu wilayah dengan mengorbankan wilayah lain. Khilafah memang punya karakter ekspansionis, namun perluasan wilayah ini bukan untuk tujuan penjajahan. Pembebasan negeri-negeri (ketika itu) adalah bagian dari kebijakan politik luar negerinya untuk menyampaikan risalah Islam.
Sistem Khilafah bukan sistem demokrasi sekularisme. Sistem demokrasi sekularisme sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam. Dalam teori sistem “Demokrasi Sekularisme”, rakyat yang boleh membuat undang-undang yang semata-mata diambil dari pemikiran manusia saja. Ini bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Sistem Khilafah, yang berhak menentukan paradigma (dasar hukum dari) dibuatnya undang-undang hanya bersumber dari Allah. Umat, bahkan Khalifah, tidak boleh melegalisasi undang undang yang bersumber dari pendapat manusia sendiri tanpa merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah Rasul dan boleh berijtihad asalkan masih berpedoman kepada kedua Kitab tersebut.
Khilafah, harus melindungi kaum minoritas. Bagi kaum Non-Muslim yang berada dalam naungan Negara Khilafah Islam, mereka tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan keyakinannya untuk kemudian memeluk Islam. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah 2:256]
Khalifah wajib melindungi kaum Non-Muslim. Jiwa, harta, dan kehormatan kaum Non-Muslim harus dilindungi Khalifah. Dalam sejarah zaman keemasan terlihat baik di timur tengah maupun di Spanyol Andalusia terpelihara hubungan harmonis antara Muslim dan non-Muslim, apalagi di zaman Nabi saw. Nabi Muhammad bersabda: “Siapa saja yang membunuh seorang mu‘āhad (non-Muslim yang terikat perjanjian dengan Daulah Islam) tanpa alasan yang benar, dia tidak akan pernah mencium bau surga, padahal sesungguhnya harumnya surga itu sudah tercium dari jarak 500 tahun.” [HR Ahmad]
Negara Khilafah Islam, memberikan kedudukan yang mulia bagi wanita. Dalam Islam, wanita diberi hak untuk memiliki kekayaan, pernikahan, perceraian dengan alasan-alasan yang kuat, dan memegang jabatan di masyarakat. Islam mewajibkan pakaian yang khas bagi wanita Muslimah, yakni tertutup aurat sebagaimana mestinya (Jilbab).

Penutup

Demikianlah bahasan tajuk “Negara Teokrasi vs Negara Khilafah Islamiyah” diatas dapat menambah khasanah keilmuan kita tentang sistim bernegara. Dalam hal tajuk diatas dapat diberi catatan disini, khususnya mengenai sejarah “Sistim Khilafah”. Masa kini - abad modern atau post modern ini, perkembangan kenegaraan sudah jauh berkembang menjadi negara-negara nasional. Masa sekarang rasa kenasionalannya lebih menonjol ketimbang sistim khilafah tempoe doeloe yang tidak ada kenasional bangsa ketika itu. Dalam uraian lainnya menyebutkan pula bahwa setelah sistim khilafah yang dilakukan oleh “Khulafa Al-Rasyidin” [1] (baca: khulafa ar-Rasyidin atau khulafaul rasyidin) yang benar-benar murni dipilih, perkembangan selanjutnya sudah tidak murni lagi, selanjutnya ada rasa asal keturunan dan pewarisan kepada anak dan keturunan “khalifah”, malah ini merupakan biang perpecahan yang tidak lagi adanya (satu) Khilafah Islam lagi. Jadi mimpi untuk mengaplikasikan kembali seperti zaman tempoe doeloe tidak akan berjalan mulus dan bertele-tele - karena sangat kompleksnya. Sementara dunia Barat sudah sangat begitu maju (developed countries) dengan sistim dan jalan pemerintahan sudah relatif baik (sistim demokrasi sekulerisme) dibandingkan dengan negara-negara developing countries sekarang ini. Negara-negara di dunia Barat membela dan memperhatikan sekali kesejahteraan warganya, hukumnya berjalan dengan baik, pengaturan dan sistim perpajakan berjalan efektif, pemerintah menegakkan (dan tunduk) hukum, pemerintah merupakan pelayan bagi warganya (relatif seperti zaman Khulafa Al-Rasyidin), dst-nya, dst-nya. Untuk itu boleh jadi pemikiran dari Jamaluddin Al-Afghani dan terbentuknya “Uni Eropa” baru-baru ini patut dipelajari dan ditelaah baik-baik. Lihat tajuk blog ini: Jamaluddin Al-Afghani Bapak Kebangkitan Islam 1 dan Jamaluddin Al-Afghani Bapak Kebangkitan Islam 2 serta “Sejarah Terbentuknya  Uni Eropa”.

Kedepan di millennium ketiga ini semestinya dasar pijakan bernegara dan antar negara baiknya berpedoman sebagai berikut: Dalam kenyataannya sekarang ini, bangsa-bangsa di dunia ini terdiri dari suku-suku bangsa, bahasa, warna kulit. Dalam hal ini konsep ajaran Islam menggariskan bahwa semua bangsa terdiri dari berbagai bahasa; warna kulit; suku itu, berasal dari satu keturunan. Semuanya berasal dari satu bapak, yaitu Adam as. Jadi kedudukannya sama yang satu dengan lainnya. Tidak ada perbedaan dalam “bersosial kemasyarakatan” - sebagai mana yang dicontohkan Rasul saw, lihat blog kami dengan tajuk Piagam Madinah dan Masa Millennium Ketiga adalah Masa-nya Globalisasi... - seperti berbangsa dan berantar bangsa, sebagaimana firman Allah swt menyebutkan: Wahai manusia! Sesungguhnya Kami (Allah swt) menciptakan kamu dari seorang laki-laki (Adam as) dan seorang perempuan (Hawa, Eve), dan (kemudiannya dari keturunan Adam dan Hawa) menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling lita’ārafū, QS al-Hujarat 49:13. Lita’ārafū artinya saling kenal mengenal; saling menghargai satu sama lain (respect each other); sapa menyapa; atau tolong menolong, itu lebih baik. Setidak-tidaknya, tidak saling membenci atau memerangi satu sama lainnya. Maknanya adalah status sosial di mata Allah swt adalah sama. Tidak ada kasta. Satu yang lainnya tidak ada beda di hadapan Allah Penciptanya. Dari kesemuanya itu bagi-Nya ukurannya adalah siapa diantara kamu dari orang-seorang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa kepada-Nya. Dalam hal takwa yang dimaksudkan di sini adalah menjalani perintah lita’ārafū, sebagai individual atau kelompok dan kelompok yang lebih besar lagi seperti bangsa dan antar bangsa. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu”, QS al-Hujarat 49:13.  Lita’ārafū, saling kenal mengenal (respect each other). Setidak-tidaknya tidak saling merendahkan; merasa lebih dari yang lain; atau memerangi satu sama lainnya.
Lita’ārafū dapat ditegakkan jika ada kedamaian atau peace. Kedamaian dapat ditegakkan karena adanya keadilan: “Sesungguhnya Allah menyuruh (memerintahkan kamu) berlaku adil”, QS an-Nahl 16:90. Lawan keadilan adalah kezaliman; keseweng-wenangan; curang karena merasa lebih kuat atau lebih cerdik atau lebih tinggi derajatnya dalam suatu sistim sosial kemasyarakatan dalam berbangsa dan antar bangsa. Dalam sistim sosial terbuka di abad ke-21 (millennium ketiga) ini dimana citizen (warga anggota) bangsa atau antar bangsa sangat memerlukan konsep lita’ārafū. Tegaknya lita’ārafū  ini bisa dijamin dengan adanya suasana peace (damai; tidak main hakim sendiri dengan melakukan kriminal), love (saling menghargai, membantu, dan memberi maaf), juctice (adanya keadilan), tolerant (dalam berbeda pendapat atau agama) - “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam, sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat”, QS al-Baqarah 2:256, honesty (jujur; berhati-hati; tidak berbuat salah yang disengaja; tidak berkata bohong) dan integrity (berakhlak mulia [2], satu kata dengan perbuatan dan bertanggung jawab akan hal itu - jangan lain apa yang dikatakan (apa yang dijanjikan) tapi tidak dilakukan (khianat)  [3], empati – merasakan ada orang lain). Menjauhi kejahatan seperti cara-cara tidak adil; zalim (menindas); kesewenang-wenangan – karena merasa kuat; dan berbuat curang (unfair).
Dengan demikian perlu terobosan baru paradigma dunia sesuai dengan perkembangan kedepan yaitu “Millennium Ketiga” ini yaitu azaz pandang setiap bangsa atau negara menegakkan ta’aruf (saling mengenal); tafahum (saling memahami); ta’awun (kerja sama); itsar (saling membela dan tidak bertengkar), maka damailah dan makmurlah manusia di bumi ini. Ayo mari tegakkan kehidupan di bumi ini dengan memakmurkan bumi dalam semangat ta’awun - kerja sama, seperti yang dipelopori Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang tidak asing lagi bagi Thomas Jefferson, John Locke, Robert Bellah, Michael H. Hart.  Allahu ‘alam bish-shawab. □ AFM




Catatan Kaki:

[1] Al-Khulafa Al-Rasyidin (bahasa Arab: الخلفاء الراشدون) atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang Khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi Muhammad wafat. Empat orang tersebut adalah para sahabat dekat Muhammad yang tercatat paling dekat dan paling dikenal dalam membela ajaran yang dibawanya di saat masa kerasulan Muhammad. Keempat khalifah tersebut dipilih bukan berdasarkan keturunannya, melainkan berdasarkan konsensus bersama umat Islam.

Sistem pemilihan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap tidak ada rujukan yang jelas yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad tentang bagaimana suksesi kepemimpinan Islam akan berlangsung, dalam hal ini pintu ijtihad terbuka lebar.

Secara resmi istilah Khulafaur Rasyidin merujuk pada empat orang khalifah pertama Islam yaitu berturut-turut Abu Bakar ash-Shiddiq (573-634, menjadi khalifah pertama 632-634); Umar bin Khattab al-Farūq (583-644, menjadi khalifah kedua 634-644); Utsman bin Affan (573-655, menjadi khalifah ketiga 644-655); Ali bin Abi Thalib (599-661, menjadi khalifah keempat 656-661), namun sebagian ulama menganggap bahwa Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang memperoleh petunjuk tidak terbatas pada keempat orang tersebut di atas, tetapi dapat mencakup pula para khalifah setelahnya yang kehidupannya benar-benar sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan As-Sunnah. Salah seorang yang oleh kesepakatan banyak ulama dapat diberi gelar khulafaur rasyidin adalah Umar bin Abdul-Aziz, khalifah Bani Umayyah ke-8.

[2] Sesungguhnya aku (Rasul saw) diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia (budi pekerti yang menghantarkan manusia menuju peradaban yang maju dan mulia). [Al-Hadits]

[3] Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang (kemudiannya) tidak kamu perbuat (kerjakan)? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa (berkata, berjanji) yang (kemudiannya) tiada kamu kerjakan. [QS ash-Shaff 61:2-3]

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/halaqoh-online/negara-teokrasi-vs-negara-khilafah-islam/155516782566/
http://rezarakhman.blogspot.com/2014/11/sejarah-terbentuknya-uni-eropa_16.html

Blog Archive