Negara Teokrasi Budha
Menurut
Prasasti Kedukan Bukit, kekaisaran Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Çri
Yacanaca (Dapunta Hyang Sri Jayanasa). Ia memimpin 20.000 tentara (terutama
tentara darat dan beberapa ratus kapal) dari Minanga Tamwan ke Palembang,
Jambi, dan Bengkulu.
Kerajaan
Sriwijaya merupakan kerajaan maritim. Kerajaan ini tidak memperluas
kekuasaannya di luar asia tenggara. Dengan pengecualian berkontribusi untuk
populasi Madagaskar sejauh 3.300mil di Barat.
Pada
tahun 680, kerajaan Melayu ditaklukkan Sriwijaya. Pada saat itu kerajaan
Sriwijaya dipimpin oleh Jayanasa. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa
terdapat dua kerajaan di Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian
imperium Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain
Tarumanegara dan Holing berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan,
pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di Jawa Tengah berada di bawah
dominasi Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur, imperium menguasai bagian
selatan Sumatera hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut
China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di
semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan
Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah
pengaruh Sriwijaya.
Ekspansi
militer Sriwijaya ke Melayu dan Jawa, menjadikan Sriwijaya menguasai dua pusat
perdagangan strategis. Namun, Sriwijaya merasa terusik ketika pada abad ke 7,
pelabuhan Cham di sebelah timur Indochima mengalihkan banyak pedagang dari
Sriwijaya. Untuk mencegah hal itu, Raja Dharmasetu melakukan invasi kebeberapa
wilayah Indochina. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja. Namun,
dominasi ini berakhir ketika Raja Khmer Jayawarman II, memutuskan hubungan
dengan kerajaan Sriwijaya.
Kepemimpinan
Dharmasetu digantikan oleh Samaratungga. Raja Samaratungga memfokuskan untuk
memperkuat dominasi Sriwijaya di daerah Jawa. Pada masa raja Samaratungga, di Jawa
dibangun Candi Borobudur yang pembangunannya selesai pada tahun 825. Pada abad
12 luas kerajaan Sriwijaya meliputi Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan, Filipina,
Sri Langka, Semenanjung Melayu, dan Maluku.
Dalam
bidang keagamaan, Sriwijaya merupakan pusat pengajaran agama Budha Vajhrayana.
Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia.
Antara lain pendeta dari Tiongkok I Ching, yang melakukan kunjungan ke Sumatra
dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India pada tahun 671 dan 695,
serta di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Budha asal Benggala yang berperan
dalam mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet. I Ching melaporkan bahwa
Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha. Pengunjung yang datang ke
pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.
Raja
raja sriwijaya yang pernah memerintah: Jayanasa (prasasti Kedukan Bukit, 683
dan prasasti Talang Tuo, 684), Indravarman (sumber Tiongkok, 704-716, 724), Rudra
vikraman atau Lieou-t’eng-wei-kong (sumber Tiongkok, 728), Dharmasetu (prasasti
Ligor, 775), Sangramadhananjaya or Vishnu (teks Arab, 790), Samaratunga (792), Maharaja
(sumber Arab, 851), Balaputra (prasasti Nalanda, 860), Sri Uda Haridana atau
Cri Udayadityavarman (sumber Tiongkok, 960), Sri Wuja or Cri Udayadityan
(sumber Tiongkok, 962) Hia-Tche (sumber Tiongkok, 980), Culamani varmadevan
(sumber Tiongkok, 988, 1003; prasasti Tanjore atau prasasti Leiden, 1044), Maravijaya
tungan atau Maraviyayatunga-varman (sumber Tiongkok, 1008; prasasti Leiden,
1044), Sumatrabhumi (sumber Tiongkok, 1017), Sri Sangrama vijayatungan atau Cri
Sangarama vijayatungavarman (prasasti Chola, 1025), Sri Deva (sumber Tiongkok,
1028), Dharmaviran, Sri Maharaja (sumber Tiongkok, 1156)Trailorajan (sumber
Tiongkok, 1178), Maulibhusana Varmadevan (perunggu Buddha Chaiya, 1183).
Negara Khilafah Islam
D
|
alam sejarah Islam, adanya “Negara
Khilafah Islam” atau “Daulah Islamiyah” bukan negara Teokrasi, sebab Khalifah
(kepala negara) diakui sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan.
Sumber hukum Negara Khilafah bukan dari Khalifah, namun bersumber dari Qur’an
dan Sunnah. Dalam sejarah Islam abad-abad yang lalu “khilafah” adalah
kepemimpinan umum untuk seluruh penduduk umat yang mayoritas penduduknya muslim
yang ada di seluruh dunia yang dikuasainya. Khilafah bertanggung jawab
menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh serta menyampaikan ajaran Islam
ke seluruh penjuru dunia. Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem
sistem yang diterapkan didunia Islam saat ini, karena sistem Khilafah mempunyai
keunikan yang menjadi ciri khasnya.
Khalifah
adalah kepala negara bagi kaum Muslimin. Dia bukan seorang diktator, karena
pemilihan seorang Khalifah melalui kontrak politik yang khas yaitu bai’at.
Tanpa adanya bai’at dari umat, seseorang tidak sah menjabat sebagai Khalifah.
Ini berbeda dengan para raja dan diktator (demokrasi tapi sifatnya oligarki) yang
menguasai negeri negeri Muslim saat ini. Yang mana diktator ini merebut
kekuasaan dengan paksa serta merampas sebagian kekayaan umat.
Khalifah
wajib bertindak adil sesuai dengan Syari’at Islam. Undang-undang yang
dilegalisasi Khalifah harus bersumbar dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ Pada
Sahabat. Pembuatan undang undang harus digali dengan metode yang terperinci
yakni ijtihad. Jika Khalifah melakukan kezaliman terhadap umat, maka Khalifah
dapat di adukan kepada Mahkamah Mazhalim. Mahkamah Mazhalim dapat memberikan impeachment terhadap Khalifah serta
menurunkannya dari jabatan khalifah serta menggantinya.
Beberapa
orang menyamakan Khalifah dengan Paus, seolah olah Khalifah adalah pemimpin
spiritual, ini tidak benar. Dalam hal ini Khalifah bukan orang suci, juga bukan
manusia pilihan Tuhan. Jabatan Khalifah adalah jabatan eksekutif. Khalifah
sebagai manusia biasa tetap berpotensi melakukan kesalahan, oleh karana itu
dalam Negara Khilafah Islam ada sarana check
and balance yang menjaga agar Khalifah tetap akuntabel.
Khalifah
bukan dipilih Allah, tapi dipilih oleh kaum muslimin melalui kontrak bai’at
(demokrasi atau musyawarah syariyah). Bentuk Negara Khilafah Islam bukan
Teokrasi, karena kepemimpinan Khalifah tidak terbatas pada masalah moral
spiritual. Masalah ekonomi, kesejahteraan, pangan, keamanan adalah masalah
masalah yang harus diperhatikan Khalifah. Sistem Khilafah Islam ini telah
terbukti selama berabad abad dalam memberikan kesejahteraan yang maksimal
kepada rakyat.
Negara
Khilafah Islam bukan tipe negara yang mementingkan satu wilayah dengan
mengorbankan wilayah lain. Khilafah memang punya karakter ekspansionis, namun
perluasan wilayah ini bukan untuk tujuan penjajahan. Pembebasan negeri-negeri (ketika
itu) adalah bagian dari kebijakan politik luar negerinya untuk menyampaikan
risalah Islam.
Sistem
Khilafah bukan sistem demokrasi sekularisme. Sistem demokrasi sekularisme sama
sekali tidak ada hubungannya dengan Islam. Dalam teori sistem “Demokrasi
Sekularisme”, rakyat yang boleh membuat undang-undang yang semata-mata diambil
dari pemikiran manusia saja. Ini bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Sistem
Khilafah, yang berhak menentukan paradigma (dasar hukum dari) dibuatnya undang-undang
hanya bersumber dari Allah. Umat, bahkan Khalifah, tidak boleh melegalisasi
undang undang yang bersumber dari pendapat manusia sendiri tanpa merujuk kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah Rasul dan boleh berijtihad asalkan masih berpedoman
kepada kedua Kitab tersebut.
Khilafah,
harus melindungi kaum minoritas. Bagi kaum Non-Muslim yang berada dalam naungan
Negara Khilafah Islam, mereka tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan
keyakinannya untuk kemudian memeluk Islam. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat
yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah 2:256]
Khalifah
wajib melindungi kaum Non-Muslim. Jiwa, harta, dan kehormatan kaum Non-Muslim
harus dilindungi Khalifah. Dalam sejarah zaman keemasan terlihat baik di timur
tengah maupun di Spanyol Andalusia terpelihara hubungan harmonis antara Muslim
dan non-Muslim, apalagi di zaman Nabi saw.
Nabi Muhammad bersabda: “Siapa saja yang membunuh seorang mu‘āhad (non-Muslim
yang terikat perjanjian dengan Daulah Islam) tanpa alasan yang benar, dia tidak
akan pernah mencium bau surga, padahal sesungguhnya harumnya surga itu sudah
tercium dari jarak 500 tahun.” [HR Ahmad]
Negara
Khilafah Islam, memberikan kedudukan yang mulia bagi wanita. Dalam Islam,
wanita diberi hak untuk memiliki kekayaan, pernikahan, perceraian dengan
alasan-alasan yang kuat, dan memegang jabatan di masyarakat. Islam mewajibkan
pakaian yang khas bagi wanita Muslimah, yakni tertutup aurat sebagaimana
mestinya (Jilbab).
Penutup
Demikianlah bahasan tajuk “Negara Teokrasi vs Negara Khilafah Islamiyah” diatas dapat menambah khasanah keilmuan kita tentang sistim bernegara. Dalam hal tajuk diatas dapat diberi catatan disini, khususnya mengenai sejarah “Sistim Khilafah”. Masa kini - abad modern atau post modern ini, perkembangan kenegaraan sudah jauh berkembang menjadi negara-negara nasional. Masa sekarang rasa kenasionalannya lebih menonjol ketimbang sistim khilafah tempoe doeloe yang tidak ada kenasional bangsa ketika itu. Dalam uraian lainnya menyebutkan pula bahwa setelah sistim khilafah yang dilakukan oleh “Khulafa Al-Rasyidin” [1] (baca: khulafa ar-Rasyidin atau khulafaul rasyidin) yang benar-benar murni dipilih, perkembangan selanjutnya sudah tidak murni lagi, selanjutnya ada rasa asal keturunan dan pewarisan kepada anak dan keturunan “khalifah”, malah ini merupakan biang perpecahan yang tidak lagi adanya (satu) Khilafah Islam lagi. Jadi mimpi untuk mengaplikasikan kembali seperti zaman tempoe doeloe tidak akan berjalan mulus dan bertele-tele - karena sangat kompleksnya. Sementara dunia Barat sudah sangat begitu maju (developed countries) dengan sistim dan jalan pemerintahan sudah relatif baik (sistim demokrasi sekulerisme) dibandingkan dengan negara-negara developing countries sekarang ini. Negara-negara di dunia Barat membela dan memperhatikan sekali kesejahteraan warganya, hukumnya berjalan dengan baik, pengaturan dan sistim perpajakan berjalan efektif, pemerintah menegakkan (dan tunduk) hukum, pemerintah merupakan pelayan bagi warganya (relatif seperti zaman Khulafa Al-Rasyidin), dst-nya, dst-nya. Untuk itu boleh jadi pemikiran dari Jamaluddin Al-Afghani dan terbentuknya “Uni Eropa” baru-baru ini patut dipelajari dan ditelaah baik-baik. Lihat tajuk blog ini: Jamaluddin Al-Afghani Bapak Kebangkitan Islam 1 dan Jamaluddin Al-Afghani Bapak Kebangkitan Islam 2 serta “Sejarah Terbentuknya Uni Eropa”.
Kedepan
di millennium ketiga ini semestinya dasar pijakan bernegara dan antar negara
baiknya berpedoman sebagai berikut: Dalam kenyataannya sekarang ini,
bangsa-bangsa di dunia ini terdiri dari suku-suku bangsa, bahasa, warna kulit.
Dalam hal ini konsep ajaran Islam menggariskan bahwa semua bangsa terdiri dari
berbagai bahasa; warna kulit; suku itu, berasal dari satu keturunan. Semuanya
berasal dari satu bapak, yaitu Adam as.
Jadi kedudukannya sama yang satu dengan lainnya. Tidak ada perbedaan dalam “bersosial
kemasyarakatan” - sebagai mana yang dicontohkan Rasul saw, lihat blog kami dengan tajuk Piagam Madinah
dan Masa Millennium Ketiga adalah
Masa-nya Globalisasi... - seperti berbangsa dan berantar
bangsa, sebagaimana firman Allah swt menyebutkan: Wahai manusia! Sesungguhnya
Kami (Allah swt) menciptakan kamu
dari seorang laki-laki (Adam as) dan
seorang perempuan (Hawa, Eve), dan (kemudiannya dari keturunan Adam dan Hawa)
menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling lita’ārafū, QS
al-Hujarat 49:13. Lita’ārafū
artinya saling kenal mengenal; saling menghargai satu sama lain (respect each other); sapa menyapa; atau
tolong menolong, itu lebih baik. Setidak-tidaknya, tidak saling membenci atau
memerangi satu sama lainnya. Maknanya adalah status sosial di mata Allah swt
adalah sama. Tidak ada kasta. Satu yang lainnya tidak ada beda di hadapan Allah
Penciptanya. Dari kesemuanya itu bagi-Nya ukurannya adalah siapa diantara kamu
dari orang-seorang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa
kepada-Nya. Dalam hal takwa yang dimaksudkan di sini adalah menjalani perintah lita’ārafū, sebagai individual atau
kelompok dan kelompok yang lebih besar lagi seperti bangsa dan antar bangsa. “Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa diantara kamu”, QS al-Hujarat 49:13. Lita’ārafū,
saling kenal mengenal (respect each other).
Setidak-tidaknya tidak saling merendahkan; merasa lebih dari yang lain; atau
memerangi satu sama lainnya.
Lita’ārafū
dapat ditegakkan jika ada kedamaian atau peace.
Kedamaian dapat ditegakkan karena adanya keadilan: “Sesungguhnya
Allah menyuruh (memerintahkan kamu) berlaku adil”, QS an-Nahl 16:90.
Lawan keadilan adalah kezaliman; keseweng-wenangan; curang karena merasa lebih
kuat atau lebih cerdik atau lebih tinggi derajatnya dalam suatu sistim sosial
kemasyarakatan dalam berbangsa dan antar bangsa. Dalam sistim sosial terbuka di
abad ke-21 (millennium ketiga) ini dimana citizen
(warga anggota) bangsa atau antar bangsa sangat memerlukan konsep lita’ārafū. Tegaknya lita’ārafū ini bisa dijamin dengan adanya suasana peace (damai; tidak main hakim sendiri
dengan melakukan kriminal), love (saling menghargai, membantu, dan
memberi maaf), juctice (adanya keadilan), tolerant
(dalam berbeda pendapat atau agama) - “Tidak ada paksaan untuk
memeluk agama Islam, sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar
dengan jalan yang sesat”, QS al-Baqarah 2:256, honesty
(jujur; berhati-hati; tidak berbuat salah yang disengaja; tidak berkata
bohong) dan integrity (berakhlak mulia [2], satu kata dengan perbuatan dan
bertanggung jawab akan hal itu - jangan lain apa yang dikatakan (apa yang
dijanjikan) tapi tidak dilakukan (khianat) [3], empati – merasakan ada
orang lain). Menjauhi kejahatan seperti cara-cara tidak adil; zalim (menindas);
kesewenang-wenangan – karena merasa kuat; dan berbuat curang (unfair).
Dengan demikian perlu terobosan
baru paradigma dunia sesuai dengan perkembangan kedepan yaitu “Millennium
Ketiga” ini yaitu azaz pandang setiap bangsa atau negara menegakkan ta’aruf (saling mengenal); tafahum (saling memahami); ta’awun (kerja sama); itsar (saling membela dan tidak bertengkar), maka damailah
dan makmurlah manusia di bumi ini. Ayo mari tegakkan kehidupan di bumi ini dengan
memakmurkan bumi dalam semangat ta’awun
- kerja sama, seperti yang dipelopori Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wasallam yang tidak asing
lagi bagi Thomas Jefferson, John Locke, Robert Bellah, Michael H. Hart.
Allahu ‘alam
bish-shawab. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Al-Khulafa
Al-Rasyidin (bahasa Arab: الخلفاء الراشدون) atau Khalifah
Ar-Rasyidin adalah empat orang Khalifah (pemimpin) pertama agama Islam,
yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi
Muhammad wafat. Empat orang tersebut adalah para sahabat dekat Muhammad yang
tercatat paling dekat dan paling dikenal dalam membela ajaran yang dibawanya di
saat masa kerasulan Muhammad. Keempat khalifah tersebut dipilih bukan
berdasarkan keturunannya, melainkan berdasarkan konsensus bersama umat Islam.
Sistem pemilihan terhadap
masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para
sahabat menganggap tidak ada rujukan yang jelas yang ditinggalkan oleh Nabi
Muhammad tentang bagaimana suksesi kepemimpinan Islam akan berlangsung, dalam
hal ini pintu ijtihad terbuka lebar.
Secara resmi istilah Khulafaur Rasyidin
merujuk pada empat orang khalifah pertama Islam yaitu berturut-turut Abu Bakar
ash-Shiddiq (573-634, menjadi khalifah pertama 632-634); Umar bin Khattab
al-Farūq (583-644, menjadi khalifah kedua 634-644); Utsman bin Affan (573-655,
menjadi khalifah ketiga 644-655); Ali bin Abi Thalib (599-661, menjadi khalifah
keempat 656-661), namun sebagian ulama menganggap bahwa Khulafaur Rasyidin
atau khalifah yang memperoleh petunjuk tidak terbatas pada keempat orang
tersebut di atas, tetapi dapat mencakup pula para khalifah setelahnya yang
kehidupannya benar-benar sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan As-Sunnah. Salah
seorang yang oleh kesepakatan banyak ulama dapat diberi gelar khulafaur
rasyidin adalah Umar bin Abdul-Aziz, khalifah Bani Umayyah ke-8.
[2] Sesungguhnya
aku (Rasul saw) diutus untuk
menyempurnakan akhlak manusia (budi pekerti yang menghantarkan manusia menuju
peradaban yang maju dan mulia). [Al-Hadits]
[3] Hai
orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang (kemudiannya) tidak
kamu perbuat (kerjakan)? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa (berkata, berjanji) yang (kemudiannya) tiada kamu kerjakan.
[QS ash-Shaff 61:2-3]
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/halaqoh-online/negara-teokrasi-vs-negara-khilafah-islam/155516782566/
http://rezarakhman.blogspot.com/2014/11/sejarah-terbentuknya-uni-eropa_16.html