Tuesday, October 23, 2018

Menyoroti Makna Peradaban Islam




 
MENYOROT MAKNA PERADABAN DALAM (AJARAN) ISLAM
Oleh: A. Faisal Marzuki


  • Sir George Bernard Shaw (1856-1950) mengatakan: “Saya senantiasa menghormati agama Muhammad, karena potensi yang dimilikinya. Ini (Islam) adalah satu-satunya agama yang bagi saya memiliki kemampuan menyatukan dan merubah peradaban.
  • Fulton Sheen menamakan peradaban yang akan datang itu berorientasi pada "keagamaan dan Ketuhanan yang murni" (purely religious and theistic).


I
stilah atau kata Peradaban (civilization) sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah budaya (culture) yang populer dalam kalangan akademis.

Kata lain dari Peradaban yang sering kita baca atau dengar adalah Tamaddun. Ucapan ini acapkali di pakai di Malaysia. Sedangkan di Barat di sebut Civilization. Di Indonesia Peradaban. Walaupun Tamaddun berasal dari bahasa Arab, tapi kini yang sering di pakai oleh penduduk Timur Tengah adalah Hadharah untuk kata Peradaban. Sebutan lainnya dari Peradaban ialah Umran, dan Madaniyah.

Apa sebenarnya makna ideal sesungguhnya kata peradaban ini, terutama peradaban yang diperkenalkan oleh orang Muslim dalam perjalanan sejarah peradabannya dari abad tengah sampai sekarang ini.

Peradaban menurut definisi orang-orang terdahulu, hanya melingkupi tempat tinggal. Peradaban menurut mereka adalah kebalikan dari peradaban Badui yang hidup di lembah gurun padang pasir, sebagaimana yang ditunjukkan dari arti kata tersebut oleh Ibnu Manzhur (1232-1311) seorang imam ahli bahasa yang lahir di Mesir, dalam suatu pernyataannya:

“Peradaban (hadharah) terdiri dari adab (hadhar), sedang hadhirah kelompok selain penghuni lembah (Badui).

Setelah itu, makna peradaban berkembang meliputi seluruh kehidupan manusia dari perkembangan produksi, ilmu pengetahuan, keahlian, adanya hukum (undang-undang) yang mengatur kehidupan. Yaitu peradaban yang tidak ada dalam kehidupan masyarakat lembah Badui. Padahal kehidupan akan lebih baik jika adanya peradaban. Pada masyarakat Badui (yang terbelakang) peradaban bukanlah suatu kebutuhan primer dilihat dari inti definisi tersebut.

Ibnu Khaldun (1332-1406) ahli filsafat dan sejarah, penemu ilmu sosiologi (“bapak ahli sosiologi”) kelas dunia, lahir dan besar di Tunisia, mendefinisikan:

"Peradaban sebagai kondisi normal suatu masyarakat yang memerlukan kebutuhan pokok berupa adanya 'pembangunan dalam suatu masyarakat.'"

Sedangkan asal kata peradaban dalam istilah Eropa (Barat) dikembalikan pada sisi yang tampak secara lahiriah. Kata peradaban dalam bahasa Inggris adalah civilization, berasal dari kata Latin “civic” yang berarti kota atau tempat di kota. Menurut mereka peradaban adalah orang-orang yang tinggal di kota. Perkembangan definisi lainnya, yakni meliputi situasi manusia yang terjadi di kota. Jadi antara kata peradaban dan perkotaan (madaniyah) terdapat kesamaan.

Namun, asal kata dari definisi bahasa ini tidaklah digunakan oleh para pemikir dan ahli filsafat secara global. Bahkan terdapat banyak pandangan yang saling menjelaskan satu sama lain, tapi menjurus pada perbedaan dari sudut pandang pemikiran, konsep, akhlak dan akidah.

Diantara para pemikir yang melihat dari diri manusia itu sendiri, yaitu, apa yang diukir manusia dalam tatacara kehidupannya, perilakunya dan interaksi antar sesama, itulah peradaban. Tidak diragukan bahwa pendapat ini merupakan pendapat baik, yaitu menempatkan nilai manusia dan meninggikannya di atas nilai materi. Mereka memperhatikan segi pemikiran dan indra rasa secara bersamaan. Di antara mereka adalah Malik bin Nabi (1905-1973), seorang intelektual Muslim asal Al-Jazair yang hidup di antara kota-kota Paris, Kairo dan Al-Jazair. Ia menulis buku tentang peradaban dan pergerakan Islamiyah. Ia mengatakan:

“Peradaban adalah pencarian pemikiran dan ruhani seperti yang tertulis dalam bukunya: “Syuruth An-Nahdhah, halaman 33.

Sayid Quthub (1906-1966), seorang penulis, pemikir, pendakwah, sastrawan serta intelektual Muslim. Penulis buku tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini menguatkan definisi yang diberikan Malik bin Nabi, sebagaimana perkataan dalam bukunya Al-Mustaqbal li Hadza Ad-Din, halaman 56 menyebutkan:

“Peradaban adalah apa yang diberikan manusia berupa bentuk-bentuk gambaran, pemahaman, konsep, nilai kebaikan untuk menuntun manusia.”

Sebelum itu, Alexis Carrel (1873-1944) seorang dokter dan intelektual asal Perancis yang mendapatkan hadiah Nobel bidang kedokteran tahun 1912 mengatakan:

“Peradaban adalah pencarian atau pembahasan tentang akal dan ruh, ilmu-ilmu yang dipergunakan untuk mencapai kebahagian manusia, baik secara jiwa maupun akhlak manusia.” sebagaimana tersebut dalam bukunya “Man the Unknown”, halaman 57.

Ungkapaan Gustave Le Bon (1841-1931) seorang Orientalis asal Perancis, pendiri sekolah ilmu jiwa dan sosiologi, penulis buku The Arab Civilization yang menjadi rujukuan di Eropa, mengatakan:

“Peradaban adalah kematangan pemikiran dan metode dasar serta keyakinan, mengubah perasaan manusia menuju arah yang lebih baik”, sebagaimana terdapat dalam bukunya “The Spirit of the People”, halaman 17.

Semua defini diatas menjelaskan seputar kepedulian manusia akan esensi dirinya, dan ruang lingkup tabiat pemikiran serta perilakunya.

Diantara para intelektual ada yang mendefinisikan bahwa peradaban adalah nilai yang dipergunakan manusia untuk membantu kehidupannya. Namun, mereka tidak melihat esensi manusia seperti pendapat sebelumnya, tapi melihat apa yang dapat dinilai manusia dalam masyarakat. Mereka melihat pada sisi lain dalam bentuk menyeluruh di setiap bidang. Mereka ini memperhatikan berbagai situasi menurut perhitungan dari sisi lain, sebagaimana Dr. Husain Mu’nist (1911-1996) seorang dosen sejarah di Universias Kairo. Bidang tulisannya meliputi sejarah, peradaban Arab, Inggris, Perancis dan Spanyol, berpendapat bahwa:

“Peradaban adalah buah atau hasil dari setiap kesungguhan yang dibangun manusia, untuk memperbaiki keadaan kehidupannya, baik kesungguhan itu menuai hasil untuk sampai pada buah dari tujuan tersebut maupun tidak. Baik hasil materi maupun maknawi. Ini dituliskan dalam bukunya: Al-Hadharah, halaman 13. Ia melihat dengan penglihatan universal pada kesungguhan manusia dan nilai-nilainya.

Sedang Will Durrant (1885-1981) seorang sejarawan Amerika terkenal. Karya tulisnya yang popular adalah The Story of Civilization yang terdiri dari 42 jilid dan memuat sejarah awal mulainya peradaban sejak pertumbuhannya hingga kini, mengatakan:

“Peradaban adalah aturan masyarakat yang menentukan manusia atas tambahan nilai peradabannya dengan empat unsur yaitu ekonomi, politik, keyakinan (akidah) yang diciptakan, disusul berbagai ilmu dan keahlian sebagaimana yang ia tuliskan dalam bukunya The Story of Civilization (I/9).




Dari sisi lain, ada yang melihat peradaban dari sisi materi semata. Mereka menetapkan peradaban pada perkara yang berhubungan dengan kemewahan hidup dan memberikan kesenangan pada manusia serta kemudahan. Mereka tidak melihat sisi peradaban yang ada dibalik kedalaman hati manusia. Mereka tidak melihat pada keyakinan pemikiran, tidak pula akhlak dan konsep-konsep. Mereka ini berada dalam dua kelompok pendapat, yaitu, Kelompok Pertama: Mendewakan materi. Mereka pengagum “ladaniyah” (tidak beragama, ateis) berpaham Komunis, dan Kapitalis semata. Kelompok Kedua: Kalangan materialism. Sebagaimana dijelaskan dalam buku-bukunya, mereka tidak bermaksud meminimalkan peran akhlak (moral), tapi menetapkan peradaban menurut apa yang tampak semata, tak ada kaitannya sama sekali dengan perilaku manusia.

Sebagaimana uraian panjang lebar dari banyak definisi tentang peradaban seperti uraian diatas, menunjukkan bahwa pengertian peradaban bukan sesuatu yang disepakati di antara para pemikir dan intelektual. Difinisi ini dikembalikan kepada kalimat baru yang muncul kemudian. Definisi ini juga membawa makna berbeda-beda bagi setiap pemikir. Hal ini disebabkan karena merujuk pada perbedaan konsep dan ideologi pada setiap lembaga pendidikan pemikiran manusia. Setiap definisi saling bertentangan atau kadang saling melengkapi.

P
eradaban menurut penulis buku “Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia” - Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, sebagaimana yang ia tuliskan:

“Peradaban adalah kekuatan manusia untuk mendirikan hubungan yang seimbang dengan Tuhannya, dengan manusia yang hidup bersama mereka, dengan lingkungan pertumbuhan dan perkembangan. Mana kala jalinan ini semakin bertambah erat, peradaban itu makin cemerlang dan menakjubkan. Sebaliknya, hubungan itu tidak erat, maka hubungannya menjadi lemah, sehingga manusia menjadi makhluk ciptaan yang patut diwaspadai".

Peradaban itu merupakan hasil interaksi antara manusia dan Tuhannya dari satu sudut, juga interaksi antara sesama manusia dengan segala perbedaan derajat dan sifat mereka dari sudut lainnya, interaksi manusia dengan lingkungan sekitarnya. Jadi, definisi peradaban terjalin dalam tiga interaksi hubungan tersebut agar menjadi seimbang, yaitu: Manusia, Tuhan, dan alam sekitarnya.

Dari definisi ini dapat dipahami, terdapat sekumpulan peradaban dalam satu sisi, bahkan telah menjadi suatu nilai adab dalam sisi tersebut. Mana kala ada penyimpangan keras, maka akan menyimpang pula sisi peradaban lainnya.

Manusia yang sanggup mengendalikan benda sekitarnya, niscaya mendapat ketenangan, memberikan kepuasan, sehingga menciptakan alat, menemukan peralatan, mengembangkan temuan, menggunakan temuan itu dengan baik tanpa harus menodai unsur lingkungan seperti pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup. Itulah manusia yang berperadaban dalam menjalin tiga pihak sebagaimana telah kami sebutkan dalam definisi tentang peradaban.

Dari sisi lain, ada yang berbuat baik kepada anak-anak, orang tua, istri dan tetangga, serta berinteraksi dengan mereka dalam ruang lingkup akhlak yang tinggi dan nilai-nilai luhur. Itulah manusia yang berperadaban dalam ruang lingkup ini. Namun dia dianggap berbuat buruk (tidak berperadaban) jika interaksinya dengan lingkungan sekitarnya seperti  khewan, tanaman, sungai dan tanah serta udara, seperti, menyakiti khewan, merusak pepohonan, mengotori sungai dengan membuah sampah dan limbah berbahaya, merusak tanah akibat penambangan yang semena-mena, mengotori udara dengan menebarkan polusi yang merusak lapisan ozon dan pernapasan atau kesehatan manusia, dan seterusnya.

Bahkan, kadang ia beradab dalam salah satu mata rantai, tapi menyimpang di salah satu dari tiga rantai hubungan lainnya. Manusia berbuat baik kepada keluarga, masyarakat, umat, sebagai manusia yang beradab, tapi ia berbuat buruk kepada mayarakat atau bangsa lain. Dia tidak berbuat adil sebagaimana dia berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat bangsanya. Tidak menyampaikan rahmat kasih sayang kepada mereka sebagaimana yang dia perbuat kepada umatnya. Maka, dalam keadaan ini telah menyimpang. Sebesar itu kedzalimannya, sebesar itu penyimpangannya. Sebesar itu pengrusakannya, sebesar itu pula akibatnya.

Manusia yang menciptakan senjata akan menjadi manusia beradab jika senjata itu digunakan seperlunya untuk membela, menetapkan yang hak dan keadilan, memenuhi hak kemerdekaan dan kebaikan. Namun, jika ia menciptakan senjata untuk berbuat zhalim dan memerangi orang atau bangsa lain tanpa alasan dan komunikasi terlebih dahulu, maka dia manusia yang menyimpang, meskipun ia telah sampai pada nilai-nilai yang begitu tinggi dalam menciptakan temuan dan keahliannya.

Disamping itu mengkonsumsi yang merusak raga dan keselamatan manusia seperti candu, ganja  dan bahan-bahan ekstasi lainnya. Membudayakan minuman keras, perjudian, prostitusi, riba, kekejian dan kefasikan yang mana hal itu tidaklah mungkin disebut peradaban. Orang yang menyimpang secara culas atau berbuat kedzaliman terhadap sesuatu bangsa yang lemah, dan membiarkan kemiskinan merajalela, semuanya itu bukan termasuk peradaban.


Kemudian orang-orang yang menyimpang yang dilihat dari hubungan dengan Tuhan Pencipta alam semesta, maka tidaklah mungkin secara nyata orang yang mengingkari-Nya disebut berperadaban - padahal ada bukti otentik yang tak terbantahkan atas keberadaan dan kekuasaan serta kekuatan-Nya. Tidak mungkin pula dapat diterima bahwa yang bersujud kepada manusia, batu atau sapi merupakan peradaban. Sebaliknya, semua ini, bukan berarti bahwa kami mengingkari mereka sebagai orang yang berperadaban dari sisi kehidupan lain, seperti menciptakan aturan yang bermanfaat; hukum berjalan dengan baik; mensejahterakan hidup rakyatnya; industri, perdagangan, ekonominya maju; mendirikan sekolah yang tidak memungut bayaran dan sebagainya.

Selanjutnya mari ikuti kisah Khalifah dan Warganya sehubungan dengan bagaimana (ajaran) Islam menegakkan peradaban walaupun berbeda suku, bangsa dan agama seperti yang dikisahkan dibawah ini.

Kisah Khalifah dan Warganya dalam praktek menegakkan keadilan dalam Islam:

S
ebuah baju besi milik Khalifah Ali bin Abi Thalib ra terjatuh dari untanya dan dipungut oleh seorang Yahudi. Ali tidak lupa ciri-ciri baju besinya, melihat baju besi itu ada ditangan orang itu ia memintanya. Sayang, orang Yahudi ini tidak mau mengembalikan baju besi itu. Ia tetap bersitegang mengaku bahwa baju itu miliknya. Kemudian, dicapailah kesepakatan di antara mereka agar diselesaikan di pengadilan. Di sana akan diputuskan siapa yang berhak atas kepemilikan baju besi tersebut.

Syuraih adalah seorang hakim Muslim terkenal yang akan mengadili perkara tersebut. Ali yang pada saat itu menjadi Amirul Mukminin (Kepala Pemerintahan), datang ke persidangan, begitu pula orang Yahudi warga Madinah ini.

Setelah mendengar argumen kedua belah pihak yang bertikai, hakim Syuraih berkata kepada Ali as: “Untuk menguatkan tuntutan anda, bawalah dua orang saksi yang benar-benar bisa memberi keterangan meyakinkan bahwa baju besi ini memang milik Anda”. Ali pun akhirnya mengajukan pembantunya bernama Qundur, dan puteranya Hasan. Hakim Syuraih berkata: “Saya bisa menerima kesaksian Qundur, tetapi tidak bisa menerima kesaksian Hasan karena Hasan adalah putra Anda”. Ali berkata: “Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah saw pernah bersabda bahwa Hasan dan Husein adalah penghulu di surga." Dengan suara lembut dan penuh wibawa, Syuraih menjawab: "Ya, memang benar, tapi saya tetap tidak bisa menerima kesaksiannya (karena bias)". Syuraih tetap pada keputusannya, tidak dapat menerima kesaksian dari Ali ra.   

Diputuskanlah oleh Syuraih bahwa baju besi itu adalah milik orang Yahudi. Ia memenangkan orang Yahudi itu atas Amirul Mukminin, Kepala Pemerintahan, Ali bin Abi Thalib ra sebab tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan barang itu milik Ali ra. Ali ra menerima keputusan itu dengan lapang hati dan ia menyadari bahwa ia tidak dapat menghadirkan saksi untuk memperkuat tuntutannya itu.   

Melihat jalannya persidangan dan adegan yang mengharukan itu, begitu lapang hatinya Ali ra walaupun sebagai penguasa menerima keputusan hakim Syuraih. Tiba-tiba orang Yahudi itu pun lalu berkata kepada majelis persidangan: "Sesungguhnya baju besi itu benar-benar milik Amiril Mukminin. Aku memungutnya sewaktu baju itu terjatuh dari untanya". Ali terkejut. Tapi orang Yahudi itu meneruskan ucapannya dengan membaca dua kalimat syahadat, karena - dengan jalannya persidangan seperti itu - ia yakin kini, bahwa keadilan dalam (ajaran) Islam itu benar-benar ditegakkan sekalipun terhadap warga Madinah yang bukan Muslim dan bukan pula Arab. Pisau hukum 'bukan saja tajam kebawah tapi tajam juga keatas'. Dari peristiwa yang baru saja dialaminya itulah, orang Yahudi tersebut malah mendapat hidayah dari Allah swt memeluk agama Islam.

Dengan gambaran contoh-contoh diatas, dapatlah kami katakan - tanpa bermaksud diskriminatif dan fanatik, bahwa Peradaban Islam merupakan satu-satunya peradaban di dunia yang memenuhi keunggulan dalam menjalin tiga interaksi dari hubungan Tuhan-sesama manusia-alam sekitar. Yaitu, peradaban yang memiliki bentuk gambaran sempurna tentang adanya Sang Pencipta, memahamkan bagaimana melaksanakan sebenar-benarnya beribadah kepadah-Nya. Berinteraksi dengan akhlak yang baik dengan keluarga, tetangga, lingkungan kerja, komunitas, kemudian interaksi yang baik kepada mereka yang ajaran tidak sama dan bahkan bertolak belakang dengan yang kita yakini. Begitu pula berlainan suku bangsa.

Islam pula lah yang mula-mula menetapkan akhlak berperang kepada manusia. Dilarang merusak tanaman dan pohon-pohonan, membunuh anak kecil, perempuan dan orang tua. Mereka yang telah menyerah tidak boleh dibunuh. Meskipun kaum Muslimin dalam keadaan berperang, kerasnya pertentangan dengan pihak lain, tapi mereka tetap memelihara kulurusan akhlak, bermuamalah dan berperadaban sebagaimana mereka bersikap terhadap kaum Muslimin. Hal ini digambarkan dari kisah dibawah ini.

Kisah Perang Khandaq. Umat Islam pernah ditantang perang tanding satu lawan satu oleh Amr bin Abd Wad al-Amiri, dedengkot musyrikin Quraisy yang sangat ditakuti. Nabi bertanya kepada para sahabat tentang siapa yang akan memenuhi tantangan ini. Para sahabat terlihat gentar. Nyali mereka surut. Dalam situasi ini Ali bin Abi Thalib ra maju, menyanggupi ajakan Amr bin Abd Wad. Melihat Ali yang masih terlalu muda, Nabi saw lantas mengulangi lagi tawarannya kepada sahabat. Hingga tiga kali, memang hanya Ali yang menyatakan berani melawan jawara Quraisy itu.


Amr bin Abd Wad menanggapinya dengan tertawa mengejek. Namun faktanya, selama perkelahian posisi Amr bin Abd Wad selalu terpojok di tangan Ali. Akhirnya paha kekar Amr bin Abd Wad pun kena telak dari ayunan pedang Ali, Amr bin Abd Wad tumbang jatuh ke tanah. Kemenangan Ali sudah di depan mata. Hanya dengan sedikit gerakan saja, nyawa musuh dipastikan melayang. Dalam situasi terpojok Amr bin Abd Wad masih menyempatkan diri memberontak dan tiba-tiba ia meludahi wajah Ali. Menanggapi hinaan ini, Ali justru menyingkir dan mengurungkan niat membunuh hingga beberapa saat. “Saat dia meludahi wajahku, aku marah. Aku tidak ingin membunuhnya lantaran amarahku. Aku tunggu sampai lenyap kemarahanku dan membunuhnya semata karena Allah swt," Kata Ali menjawab kegelisahan dari sebagian sahabat atas sikapnya.

Meskipun Amr bin Abd Wad akhirnya gugur di tangan Ali as, proses peperangan ini memberikan beberapa pelajaran. Perjuangan dan pembelaan Islam harus didasarkan pada ketulusan iman, bukan kebencian dan kemarahan. Sahabat Rasulullah saw yang kelak menjadi khalifah keempat ini juga menjernihkan bahwa spirit ketuhanan adalah satu-satunya landasan mengalahkan nafsu keinginan di balik ego pribadi golongan.

Selanjutnya, Islamlah yang telah memperlihatkan seorang wanita masuk neraka gara-gara seokar kucing peliharaannya tidak diperlakukan dengan baik. [1] Begitu pula diperlihatkan seorang masuk surga gara-gara memberi minum seekor anjing yang sangat kehausan. [2] Dalam satu riwayat lain, seortang fasik yang memberi minum anjing yang hampir mati kehausan mengelilinginya untuk diberi minum. [3]

Di sisi lain - disamping masalah keadilan dan kemanusiaan yang diuraikan diatas - peradaban Islam juga memberikan sumbangsih secara langsung dalam kemajuan berbagai bidang ilmu (sains) bagi kemajuan peradaban manusia seperti kedokteran, arsitektur, pertamanan, astronomi, kimia, fisika, geografi, matematika, aljabar, algoritma, robotik, pertanian, bangunan, peralatan dan teknologi, dan sebagainya.











Peradaban Islam dengan pola pandang seperti itu, merupakan satu-satunya peradaban yang manakjubkan pada setiap sisi hubungan kehidupan sesama manusia, lingkungan alam dan Sang Mahapenciptanya. Sedangkan peradaban lainnya selalu terdapat kukurangan. Baik dari satu sisi, tapi timpang disisi lainnya, begitu seterusnya.

Dalam tulisan Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A., guru besar Universitas Islam Negeri Yogyakarta; Guru Besar Pascasarjana FIAI UII Yogyakarta, dalam tulisan beliau yang bertema: Peradaban Islam di Tengah Pergeseran Peradaban Dunia, menuliskan:

Menurut Toynbee, Schurbart, Berdyaev, dan Sorokin, peradaban baru yang akan muncul bercorak "keagamaan yang ideal" (religiously ideational).

Dalam pengamatan Northop, peradaban yang akan datang berbasis "persenyawaan yang selaras antara estetika-teoritika" (integral as harmonius of the aesthetic-theoritic). Atau peradaban yang bertumpu pada "kesukarelaan etika dan rasional" (voluntaristically ethical and rational) sebagaimana diprediksi Albert Schweitzer.

Adapun Fulton Sheen menamakan peradaban yang akan datang itu berorientasi pada "keagamaan dan Ketuhanan yang murni" (purely religious and theistic).



Sir George Bernard Shaw (1856-1950), seorang dramawan Irlandia, kritikus dan polemik yang pengaruhnya terhadap teater, budaya dan politik Barat yang berkembang dari tahun 1880 sampai kematiannya, mengatakan:

“Saya senantiasa menghormati agama Muhammad, karena potensi yang dimilikinya. Ini (Islam) adalah satu-satunya agama yang bagi saya memiliki kemampuan menyatukan dan merubah peradaban. Saya sudah mempelajari Muhammad sesosok pribadi agung yang jauh dari kesan seorang anti kristus, dia harus dipanggil “sang penyelamat kemanusiaan”.

"Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan sedemikian hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia." [The Genuine Islam - Islam yang Sebenarnya, Vol. 1, No. 8, 1936]

Dari sini, kami dapat memahami firman Allah Ta’ala: “Kamu (umat Islam) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” [4] Mahabenar Firman-Mu ya Allah! Billahit Taufiq wal-Hidyah. □ AFM



Catatan Kaki:
[1] Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Telah diadzab seorang perempuan lantaran seekor kucing. Ia tidak memberi makan, minum, tidak membiarkannya untuk makan dari serangga-serangga tanah.” [HR Al-Bukhari]
[2] Dari Abu Hurairah, dari Nabi, bahwa seorang lelaki melihat anjing memakan tanah lantaran kehausan. Lantas lelaki tersebut mengambil sepatunya, lalu memenuhi sepatu tersebut dengan air, lalu meminumkannya kepada anjing. Allah berterima kasih kepadanya dan memasukkannya ke dalam surga. [HR Al-Bukhari]
[3] Dari Abu Hurairah, dari Nabi bersabda: “Ketika seekor anjing mengelilinginya yang hampir mati diserang kehausan, ketika itu dilihat oleh seorang pelacur dari kalangan bani Israil. Ia melepas sepatunya, dan mengisinya dengan air. Lalu Dia ampuni dosanya lantaran perbuatan tersebut. [HR Al-Bukhari].
[4] “Kamu (umat Islam) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf (agent of development), dan mencegah dari yang mungkar (agent of change), dan beriman (percaya dan meyakini adanya Maha Pencipta serta mengerjakan perbuatan baik) kepada Allah.” [QS Āli ‘Imrān 3:110] □


Kepustakaan:
1. Sumbangan Peradan Islam Pada Dunia, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani
2. Shalat Membangun Peradaban Dunia, Ahmad Faisal Marzuki
3. Peradaban Islam di Tengah Pergeseran Peradaban Dunia, Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A.
4. Dan sumber-sumber lainnya. □

Blog Archive