MENYOROT MAKNA PERADABAN DALAM (AJARAN) ISLAM
Oleh: A. Faisal Marzuki
- Sir George Bernard Shaw (1856-1950) mengatakan: “Saya senantiasa menghormati agama Muhammad, karena potensi yang dimilikinya. Ini (Islam) adalah satu-satunya agama yang bagi saya memiliki kemampuan menyatukan dan merubah peradaban.
- Fulton Sheen menamakan peradaban yang akan datang itu berorientasi pada "keagamaan dan Ketuhanan yang murni" (purely religious and theistic).
I
|
stilah atau kata Peradaban
(civilization) sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari
istilah budaya (culture) yang populer dalam kalangan akademis.
Kata lain dari Peradaban yang
sering kita baca atau dengar adalah Tamaddun.
Ucapan ini acapkali di pakai di Malaysia. Sedangkan di Barat di sebut Civilization. Di Indonesia Peradaban.
Walaupun Tamaddun berasal dari bahasa Arab, tapi kini yang sering di pakai oleh
penduduk Timur Tengah adalah Hadharah
untuk kata Peradaban. Sebutan lainnya dari Peradaban ialah Umran, dan Madaniyah.
Apa sebenarnya makna ideal sesungguhnya kata
peradaban ini, terutama peradaban yang diperkenalkan oleh orang Muslim dalam perjalanan sejarah peradabannya dari abad
tengah sampai sekarang ini.
Peradaban menurut definisi orang-orang
terdahulu, hanya melingkupi tempat tinggal. Peradaban menurut mereka adalah kebalikan
dari peradaban Badui yang hidup di lembah gurun padang pasir, sebagaimana yang
ditunjukkan dari arti kata tersebut oleh Ibnu Manzhur (1232-1311) seorang imam
ahli bahasa yang lahir di Mesir, dalam suatu pernyataannya:
“Peradaban
(hadharah) terdiri dari adab (hadhar), sedang hadhirah kelompok selain penghuni lembah (Badui).
Setelah itu, makna peradaban berkembang meliputi
seluruh kehidupan manusia dari perkembangan produksi, ilmu pengetahuan,
keahlian, adanya hukum (undang-undang) yang mengatur kehidupan. Yaitu peradaban
yang tidak ada dalam kehidupan masyarakat lembah Badui. Padahal kehidupan akan
lebih baik jika adanya peradaban. Pada masyarakat Badui (yang terbelakang)
peradaban bukanlah suatu kebutuhan primer dilihat dari inti definisi tersebut.
Ibnu Khaldun (1332-1406) ahli filsafat dan
sejarah, penemu ilmu sosiologi (“bapak ahli sosiologi”) kelas dunia, lahir dan
besar di Tunisia, mendefinisikan:
"Peradaban
sebagai kondisi normal suatu masyarakat yang memerlukan kebutuhan pokok berupa
adanya 'pembangunan dalam suatu masyarakat.'"
Sedangkan asal kata peradaban dalam istilah
Eropa (Barat) dikembalikan pada sisi yang tampak secara lahiriah. Kata
peradaban dalam bahasa Inggris adalah civilization,
berasal dari kata Latin “civic” yang
berarti kota atau tempat di kota. Menurut mereka peradaban adalah orang-orang
yang tinggal di kota. Perkembangan definisi lainnya, yakni meliputi situasi
manusia yang terjadi di kota. Jadi antara kata peradaban dan perkotaan (madaniyah) terdapat kesamaan.
Namun, asal kata dari definisi bahasa ini
tidaklah digunakan oleh para pemikir dan ahli filsafat secara global. Bahkan
terdapat banyak pandangan yang saling menjelaskan satu sama lain, tapi menjurus
pada perbedaan dari sudut pandang pemikiran, konsep, akhlak dan akidah.
Diantara para pemikir yang melihat dari diri
manusia itu sendiri, yaitu, apa yang diukir manusia dalam tatacara
kehidupannya, perilakunya dan interaksi antar sesama, itulah peradaban. Tidak
diragukan bahwa pendapat ini merupakan pendapat baik, yaitu menempatkan nilai
manusia dan meninggikannya di atas nilai materi. Mereka memperhatikan segi
pemikiran dan indra rasa secara bersamaan. Di antara mereka adalah Malik bin
Nabi (1905-1973), seorang intelektual Muslim asal Al-Jazair yang hidup di
antara kota-kota Paris, Kairo dan Al-Jazair. Ia menulis buku tentang peradaban
dan pergerakan Islamiyah. Ia mengatakan:
“Peradaban
adalah pencarian pemikiran dan ruhani seperti yang tertulis dalam bukunya: “Syuruth An-Nahdhah, halaman 33.
Sayid Quthub (1906-1966), seorang penulis,
pemikir, pendakwah, sastrawan serta intelektual Muslim. Penulis buku tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini menguatkan
definisi yang diberikan Malik bin Nabi, sebagaimana perkataan dalam bukunya Al-Mustaqbal li Hadza Ad-Din, halaman 56
menyebutkan:
“Peradaban
adalah apa yang diberikan manusia berupa bentuk-bentuk gambaran, pemahaman,
konsep, nilai kebaikan untuk menuntun manusia.”
Sebelum itu, Alexis Carrel (1873-1944) seorang
dokter dan intelektual asal Perancis yang mendapatkan hadiah Nobel bidang kedokteran
tahun 1912 mengatakan:
“Peradaban
adalah pencarian atau pembahasan tentang akal dan ruh, ilmu-ilmu yang
dipergunakan untuk mencapai kebahagian manusia, baik secara jiwa maupun akhlak
manusia.” sebagaimana tersebut dalam bukunya “Man the Unknown”, halaman 57.
Ungkapaan Gustave Le Bon (1841-1931) seorang
Orientalis asal Perancis, pendiri sekolah ilmu jiwa dan sosiologi, penulis buku
The Arab Civilization yang menjadi
rujukuan di Eropa, mengatakan:
“Peradaban
adalah kematangan pemikiran dan metode dasar serta keyakinan, mengubah perasaan
manusia menuju arah yang lebih baik”, sebagaimana terdapat dalam bukunya “The Spirit of the People”, halaman 17.
Semua defini diatas menjelaskan seputar
kepedulian manusia akan esensi dirinya, dan ruang lingkup tabiat pemikiran
serta perilakunya.
Diantara para intelektual ada yang
mendefinisikan bahwa peradaban adalah nilai yang dipergunakan manusia untuk
membantu kehidupannya. Namun, mereka tidak melihat esensi manusia seperti
pendapat sebelumnya, tapi melihat apa yang dapat dinilai manusia dalam
masyarakat. Mereka melihat pada sisi lain dalam bentuk menyeluruh di setiap
bidang. Mereka ini memperhatikan berbagai situasi menurut perhitungan dari sisi
lain, sebagaimana Dr. Husain Mu’nist (1911-1996) seorang dosen sejarah di
Universias Kairo. Bidang tulisannya meliputi sejarah, peradaban Arab, Inggris,
Perancis dan Spanyol, berpendapat bahwa:
“Peradaban
adalah buah atau hasil dari setiap kesungguhan yang dibangun manusia, untuk
memperbaiki keadaan kehidupannya, baik kesungguhan itu menuai hasil untuk
sampai pada buah dari tujuan tersebut maupun tidak. Baik hasil materi maupun
maknawi. Ini dituliskan dalam bukunya: Al-Hadharah,
halaman 13. Ia melihat dengan penglihatan universal pada kesungguhan manusia
dan nilai-nilainya.
Sedang Will Durrant (1885-1981) seorang
sejarawan Amerika terkenal. Karya tulisnya yang popular adalah The Story of Civilization yang terdiri
dari 42 jilid dan memuat sejarah awal mulainya peradaban sejak pertumbuhannya
hingga kini, mengatakan:
“Peradaban
adalah aturan masyarakat yang menentukan manusia atas tambahan nilai
peradabannya dengan empat unsur yaitu ekonomi, politik, keyakinan (akidah) yang
diciptakan, disusul berbagai ilmu dan keahlian sebagaimana yang ia tuliskan
dalam bukunya The Story of Civilization
(I/9).
Dari sisi lain, ada yang melihat peradaban dari sisi materi semata. Mereka menetapkan peradaban pada perkara yang berhubungan dengan kemewahan hidup dan memberikan kesenangan pada manusia serta kemudahan. Mereka tidak melihat sisi peradaban yang ada dibalik kedalaman hati manusia. Mereka tidak melihat pada keyakinan pemikiran, tidak pula akhlak dan konsep-konsep. Mereka ini berada dalam dua kelompok pendapat, yaitu, Kelompok Pertama: Mendewakan materi. Mereka pengagum “ladaniyah” (tidak beragama, ateis) berpaham Komunis, dan Kapitalis semata. Kelompok Kedua: Kalangan materialism. Sebagaimana dijelaskan dalam buku-bukunya, mereka tidak bermaksud meminimalkan peran akhlak (moral), tapi menetapkan peradaban menurut apa yang tampak semata, tak ada kaitannya sama sekali dengan perilaku manusia.
Sebagaimana uraian panjang lebar dari banyak
definisi tentang peradaban seperti uraian diatas, menunjukkan bahwa pengertian
peradaban bukan sesuatu yang disepakati di antara para pemikir dan intelektual.
Difinisi ini dikembalikan kepada kalimat baru yang muncul kemudian. Definisi
ini juga membawa makna berbeda-beda bagi setiap pemikir. Hal ini disebabkan
karena merujuk pada perbedaan konsep dan ideologi pada setiap lembaga
pendidikan pemikiran manusia. Setiap definisi saling bertentangan atau kadang
saling melengkapi.
P
|
eradaban menurut penulis buku “Sumbangan
Peradaban Islam Pada Dunia” - Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, sebagaimana yang ia
tuliskan:
“Peradaban adalah kekuatan manusia untuk mendirikan hubungan yang
seimbang dengan Tuhannya, dengan manusia yang hidup bersama mereka, dengan
lingkungan pertumbuhan dan perkembangan. Mana kala jalinan ini semakin
bertambah erat, peradaban itu makin cemerlang dan menakjubkan. Sebaliknya,
hubungan itu tidak erat, maka hubungannya menjadi lemah, sehingga manusia
menjadi makhluk ciptaan yang patut diwaspadai".
Peradaban itu merupakan hasil interaksi antara
manusia dan Tuhannya dari satu sudut, juga interaksi antara sesama manusia
dengan segala perbedaan derajat dan sifat mereka dari sudut lainnya, interaksi
manusia dengan lingkungan sekitarnya. Jadi, definisi peradaban terjalin dalam
tiga interaksi hubungan tersebut agar menjadi seimbang, yaitu: Manusia, Tuhan,
dan alam sekitarnya.
Dari definisi ini dapat dipahami, terdapat
sekumpulan peradaban dalam satu sisi, bahkan telah menjadi suatu nilai adab
dalam sisi tersebut. Mana kala ada penyimpangan keras, maka akan menyimpang
pula sisi peradaban lainnya.
Manusia yang sanggup mengendalikan benda
sekitarnya, niscaya mendapat ketenangan, memberikan kepuasan, sehingga
menciptakan alat, menemukan peralatan, mengembangkan temuan, menggunakan temuan
itu dengan baik tanpa harus menodai unsur lingkungan seperti pencemaran
dan pengrusakan lingkungan hidup. Itulah manusia yang berperadaban dalam
menjalin tiga pihak sebagaimana telah kami sebutkan dalam definisi tentang
peradaban.
Dari sisi lain, ada yang berbuat baik kepada
anak-anak, orang tua, istri dan tetangga, serta berinteraksi dengan mereka
dalam ruang lingkup akhlak yang tinggi dan nilai-nilai luhur. Itulah manusia
yang berperadaban dalam ruang lingkup ini. Namun dia dianggap berbuat buruk
(tidak berperadaban) jika interaksinya dengan lingkungan sekitarnya
seperti khewan, tanaman, sungai dan
tanah serta udara, seperti, menyakiti khewan, merusak pepohonan, mengotori
sungai dengan membuah sampah dan limbah berbahaya, merusak tanah akibat
penambangan yang semena-mena, mengotori udara dengan menebarkan polusi yang
merusak lapisan ozon dan pernapasan atau kesehatan manusia, dan seterusnya.
Bahkan, kadang ia beradab dalam salah satu mata
rantai, tapi menyimpang di salah satu dari tiga rantai hubungan lainnya.
Manusia berbuat baik kepada keluarga, masyarakat, umat, sebagai manusia yang
beradab, tapi ia berbuat buruk kepada mayarakat atau bangsa lain. Dia tidak
berbuat adil sebagaimana dia berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat
bangsanya. Tidak menyampaikan rahmat kasih sayang kepada mereka sebagaimana
yang dia perbuat kepada umatnya. Maka, dalam keadaan ini telah menyimpang.
Sebesar itu kedzalimannya, sebesar itu penyimpangannya. Sebesar itu
pengrusakannya, sebesar itu pula akibatnya.
Manusia yang menciptakan senjata akan menjadi
manusia beradab jika senjata itu digunakan seperlunya untuk membela, menetapkan
yang hak dan keadilan, memenuhi hak kemerdekaan dan kebaikan. Namun, jika ia
menciptakan senjata untuk berbuat zhalim dan memerangi orang atau bangsa lain
tanpa alasan dan komunikasi terlebih dahulu, maka dia manusia yang menyimpang,
meskipun ia telah sampai pada nilai-nilai yang begitu tinggi dalam menciptakan
temuan dan keahliannya.
Disamping itu mengkonsumsi yang merusak raga dan
keselamatan manusia seperti candu, ganja dan bahan-bahan ekstasi lainnya. Membudayakan minuman keras, perjudian,
prostitusi, riba, kekejian dan kefasikan yang mana hal itu tidaklah mungkin
disebut peradaban. Orang yang menyimpang secara culas atau berbuat kedzaliman
terhadap sesuatu bangsa yang lemah, dan membiarkan kemiskinan merajalela,
semuanya itu bukan termasuk peradaban.
Kemudian orang-orang yang
menyimpang yang dilihat dari hubungan dengan Tuhan Pencipta alam semesta, maka tidaklah mungkin
secara nyata orang yang mengingkari-Nya disebut berperadaban - padahal ada
bukti otentik yang tak terbantahkan atas keberadaan dan kekuasaan serta
kekuatan-Nya. Tidak mungkin pula dapat diterima bahwa yang bersujud kepada manusia,
batu atau sapi merupakan peradaban. Sebaliknya, semua ini, bukan berarti bahwa
kami mengingkari mereka sebagai orang yang berperadaban dari sisi kehidupan
lain, seperti menciptakan aturan yang bermanfaat; hukum berjalan dengan baik; mensejahterakan
hidup rakyatnya; industri, perdagangan, ekonominya maju; mendirikan sekolah
yang tidak memungut bayaran dan sebagainya.
Selanjutnya mari ikuti kisah Khalifah dan Warganya sehubungan dengan bagaimana (ajaran) Islam menegakkan peradaban walaupun berbeda suku, bangsa dan agama seperti yang dikisahkan dibawah ini.
Selanjutnya mari ikuti kisah Khalifah dan Warganya sehubungan dengan bagaimana (ajaran) Islam menegakkan peradaban walaupun berbeda suku, bangsa dan agama seperti yang dikisahkan dibawah ini.
Kisah Khalifah dan
Warganya dalam praktek menegakkan keadilan dalam Islam:
S
|
ebuah
baju besi milik Khalifah Ali bin Abi Thalib ra terjatuh dari untanya dan dipungut oleh seorang Yahudi. Ali tidak lupa ciri-ciri baju besinya, melihat baju besi itu ada ditangan orang itu ia memintanya. Sayang, orang Yahudi ini tidak mau mengembalikan baju besi itu. Ia tetap bersitegang mengaku bahwa baju itu miliknya. Kemudian, dicapailah kesepakatan di antara mereka agar diselesaikan di pengadilan. Di sana akan diputuskan siapa yang berhak atas kepemilikan baju besi tersebut.
Syuraih
adalah seorang hakim Muslim terkenal yang akan mengadili perkara tersebut. Ali
yang pada saat itu menjadi Amirul Mukminin (Kepala Pemerintahan), datang ke
persidangan, begitu pula orang Yahudi warga Madinah ini.
Setelah
mendengar argumen kedua belah pihak yang bertikai, hakim Syuraih berkata kepada
Ali as: “Untuk menguatkan tuntutan anda, bawalah dua orang saksi yang benar-benar
bisa memberi keterangan meyakinkan bahwa baju besi ini memang milik Anda”. Ali
pun akhirnya mengajukan pembantunya bernama Qundur, dan puteranya Hasan. Hakim
Syuraih berkata: “Saya bisa menerima kesaksian Qundur, tetapi tidak bisa
menerima kesaksian Hasan karena Hasan adalah putra Anda”. Ali berkata:
“Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah saw pernah bersabda bahwa Hasan dan Husein adalah penghulu di surga." Dengan suara lembut dan penuh wibawa, Syuraih menjawab: "Ya, memang benar, tapi saya tetap tidak bisa menerima kesaksiannya (karena bias)". Syuraih tetap pada keputusannya, tidak dapat menerima kesaksian dari Ali ra.
Diputuskanlah
oleh Syuraih bahwa baju besi itu adalah milik orang Yahudi. Ia memenangkan
orang Yahudi itu atas Amirul Mukminin, Kepala Pemerintahan, Ali bin Abi Thalib ra sebab tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan barang itu milik Ali ra. Ali ra menerima keputusan itu dengan lapang hati dan ia menyadari bahwa ia tidak dapat menghadirkan saksi untuk memperkuat tuntutannya itu.
Melihat
jalannya persidangan dan adegan yang mengharukan itu, begitu lapang hatinya Ali
ra walaupun sebagai penguasa menerima keputusan hakim Syuraih. Tiba-tiba orang Yahudi itu pun lalu berkata kepada majelis persidangan: "Sesungguhnya baju besi itu benar-benar milik Amiril Mukminin. Aku memungutnya sewaktu baju itu terjatuh dari untanya". Ali terkejut. Tapi orang Yahudi itu meneruskan ucapannya dengan membaca dua kalimat syahadat, karena - dengan jalannya persidangan seperti itu - ia yakin kini, bahwa keadilan dalam (ajaran) Islam itu benar-benar ditegakkan sekalipun terhadap warga Madinah yang bukan Muslim dan bukan pula Arab. Pisau hukum 'bukan saja tajam kebawah tapi tajam juga keatas'. Dari peristiwa yang baru saja dialaminya itulah, orang Yahudi tersebut malah mendapat hidayah dari Allah swt memeluk agama Islam.
Dengan gambaran contoh-contoh diatas, dapatlah
kami katakan - tanpa bermaksud diskriminatif dan fanatik, bahwa Peradaban Islam
merupakan satu-satunya peradaban di dunia yang memenuhi keunggulan dalam
menjalin tiga interaksi dari hubungan Tuhan-sesama manusia-alam sekitar.
Yaitu, peradaban yang memiliki bentuk gambaran sempurna tentang adanya Sang
Pencipta, memahamkan bagaimana melaksanakan sebenar-benarnya beribadah
kepadah-Nya. Berinteraksi dengan akhlak yang baik dengan keluarga, tetangga,
lingkungan kerja, komunitas, kemudian interaksi yang baik kepada mereka yang
ajaran tidak sama dan bahkan bertolak belakang dengan yang kita yakini. Begitu pula berlainan suku bangsa.
Islam pula lah yang mula-mula menetapkan akhlak berperang kepada manusia. Dilarang merusak tanaman dan pohon-pohonan, membunuh anak kecil, perempuan dan orang tua. Mereka yang telah menyerah tidak boleh dibunuh. Meskipun kaum Muslimin dalam keadaan berperang, kerasnya pertentangan dengan pihak lain, tapi mereka tetap memelihara kulurusan akhlak, bermuamalah dan berperadaban sebagaimana mereka bersikap terhadap kaum Muslimin. Hal ini digambarkan dari kisah dibawah ini.
Islam pula lah yang mula-mula menetapkan akhlak berperang kepada manusia. Dilarang merusak tanaman dan pohon-pohonan, membunuh anak kecil, perempuan dan orang tua. Mereka yang telah menyerah tidak boleh dibunuh. Meskipun kaum Muslimin dalam keadaan berperang, kerasnya pertentangan dengan pihak lain, tapi mereka tetap memelihara kulurusan akhlak, bermuamalah dan berperadaban sebagaimana mereka bersikap terhadap kaum Muslimin. Hal ini digambarkan dari kisah dibawah ini.
Kisah Perang Khandaq. Umat
Islam pernah ditantang perang tanding satu lawan satu oleh Amr bin Abd Wad
al-Amiri, dedengkot musyrikin Quraisy yang sangat ditakuti. Nabi bertanya
kepada para sahabat tentang siapa yang akan memenuhi tantangan ini. Para
sahabat terlihat gentar. Nyali mereka surut. Dalam situasi ini Ali bin Abi
Thalib ra maju, menyanggupi ajakan Amr bin Abd Wad. Melihat Ali yang masih terlalu muda, Nabi saw lantas mengulangi lagi tawarannya kepada sahabat. Hingga tiga kali, memang hanya Ali yang menyatakan berani melawan jawara Quraisy itu.
Amr bin Abd Wad menanggapinya dengan tertawa
mengejek. Namun faktanya, selama perkelahian posisi Amr bin Abd Wad selalu
terpojok di tangan Ali. Akhirnya paha kekar Amr bin Abd Wad pun kena telak
dari ayunan pedang Ali, Amr bin Abd Wad tumbang jatuh ke tanah. Kemenangan Ali sudah
di depan mata. Hanya dengan sedikit gerakan saja, nyawa musuh dipastikan
melayang. Dalam situasi terpojok Amr bin Abd Wad masih menyempatkan diri memberontak
dan tiba-tiba ia meludahi wajah Ali. Menanggapi hinaan ini, Ali justru
menyingkir dan mengurungkan niat membunuh hingga beberapa saat. “Saat dia
meludahi wajahku, aku marah. Aku tidak ingin membunuhnya lantaran amarahku. Aku
tunggu sampai lenyap kemarahanku dan membunuhnya semata karena Allah swt," Kata Ali menjawab kegelisahan dari sebagian sahabat atas sikapnya.
Meskipun Amr bin Abd Wad
akhirnya gugur di tangan Ali as, proses peperangan ini memberikan beberapa
pelajaran. Perjuangan dan pembelaan Islam harus didasarkan pada ketulusan iman,
bukan kebencian dan kemarahan. Sahabat Rasulullah saw yang kelak menjadi khalifah keempat ini juga menjernihkan bahwa spirit ketuhanan adalah satu-satunya landasan mengalahkan nafsu keinginan di balik ego pribadi golongan.
Selanjutnya, Islamlah yang telah memperlihatkan
seorang wanita masuk neraka gara-gara seokar kucing peliharaannya tidak
diperlakukan dengan baik. [1] Begitu pula diperlihatkan seorang masuk surga
gara-gara memberi minum seekor anjing yang sangat kehausan. [2] Dalam satu
riwayat lain, seortang fasik yang memberi minum anjing yang hampir mati
kehausan mengelilinginya untuk diberi minum. [3]
Di sisi lain - disamping masalah keadilan dan kemanusiaan yang diuraikan diatas - peradaban Islam juga memberikan sumbangsih secara langsung dalam kemajuan berbagai bidang ilmu (sains) bagi kemajuan peradaban manusia seperti kedokteran, arsitektur, pertamanan, astronomi, kimia, fisika, geografi, matematika, aljabar, algoritma, robotik, pertanian, bangunan, peralatan dan teknologi, dan sebagainya.
Di sisi lain - disamping masalah keadilan dan kemanusiaan yang diuraikan diatas - peradaban Islam juga memberikan sumbangsih secara langsung dalam kemajuan berbagai bidang ilmu (sains) bagi kemajuan peradaban manusia seperti kedokteran, arsitektur, pertamanan, astronomi, kimia, fisika, geografi, matematika, aljabar, algoritma, robotik, pertanian, bangunan, peralatan dan teknologi, dan sebagainya.
Peradaban Islam dengan pola pandang seperti itu,
merupakan satu-satunya peradaban yang manakjubkan pada setiap sisi hubungan
kehidupan sesama manusia, lingkungan alam dan Sang Mahapenciptanya. Sedangkan
peradaban lainnya selalu terdapat kukurangan. Baik dari satu sisi, tapi timpang
disisi lainnya, begitu seterusnya.
Dalam tulisan Prof.
Dr. Faisal Ismail, M.A., guru besar Universitas Islam Negeri Yogyakarta; Guru
Besar Pascasarjana FIAI UII Yogyakarta, dalam tulisan beliau yang bertema: Peradaban Islam di Tengah
Pergeseran Peradaban Dunia, menuliskan:
Menurut
Toynbee, Schurbart, Berdyaev, dan Sorokin, peradaban baru yang akan muncul
bercorak "keagamaan yang ideal" (religiously
ideational).
Dalam
pengamatan Northop, peradaban yang akan datang berbasis "persenyawaan yang
selaras antara estetika-teoritika" (integral
as harmonius of the aesthetic-theoritic). Atau peradaban yang bertumpu pada
"kesukarelaan etika dan rasional" (voluntaristically ethical and rational) sebagaimana diprediksi
Albert Schweitzer.
Adapun
Fulton Sheen menamakan peradaban yang akan datang itu berorientasi pada
"keagamaan dan Ketuhanan yang murni" (purely religious and theistic).
Sir George Bernard Shaw (1856-1950), seorang
dramawan Irlandia, kritikus dan polemik yang pengaruhnya terhadap teater,
budaya dan politik Barat yang berkembang dari tahun 1880 sampai kematiannya,
mengatakan:
“Saya
senantiasa menghormati agama Muhammad, karena potensi yang dimilikinya. Ini
(Islam) adalah satu-satunya agama yang bagi saya memiliki kemampuan menyatukan
dan merubah peradaban. Saya sudah mempelajari Muhammad sesosok pribadi agung
yang jauh dari kesan seorang anti kristus, dia harus dipanggil “sang penyelamat
kemanusiaan”.
"Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan sedemikian hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia." [The Genuine Islam - Islam yang Sebenarnya, Vol. 1, No. 8, 1936]
"Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan sedemikian hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia." [The Genuine Islam - Islam yang Sebenarnya, Vol. 1, No. 8, 1936]
Dari sini, kami dapat memahami firman Allah
Ta’ala: “Kamu (umat Islam) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia.” [4] Mahabenar Firman-Mu ya Allah! Billahit Taufiq wal-Hidyah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Dari Abu Hurairah, Rasulullah
bersabda: “Telah diadzab seorang perempuan lantaran seekor kucing. Ia tidak
memberi makan, minum, tidak membiarkannya untuk makan dari serangga-serangga
tanah.” [HR Al-Bukhari]
[2] Dari Abu Hurairah, dari Nabi, bahwa
seorang lelaki melihat anjing memakan tanah lantaran kehausan. Lantas lelaki
tersebut mengambil sepatunya, lalu memenuhi sepatu tersebut dengan air, lalu
meminumkannya kepada anjing. Allah berterima kasih kepadanya dan memasukkannya
ke dalam surga. [HR Al-Bukhari]
[3] Dari Abu Hurairah, dari Nabi
bersabda: “Ketika seekor anjing mengelilinginya yang hampir mati diserang
kehausan, ketika itu dilihat oleh seorang pelacur dari kalangan bani Israil. Ia
melepas sepatunya, dan mengisinya dengan air. Lalu Dia ampuni dosanya lantaran
perbuatan tersebut. [HR Al-Bukhari].
[4] “Kamu (umat Islam) adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf (agent of development), dan mencegah dari yang mungkar (agent of change), dan beriman (percaya
dan meyakini adanya Maha Pencipta serta mengerjakan perbuatan baik) kepada
Allah.” [QS Āli ‘Imrān 3:110] □
Kepustakaan:
1. Sumbangan Peradan Islam Pada Dunia, Prof. Dr.
Raghib As-Sirjani
2. Shalat Membangun Peradaban Dunia, Ahmad
Faisal Marzuki
3. Peradaban Islam di Tengah Pergeseran Peradaban Dunia, Prof.
Dr. Faisal Ismail, M.A.
4. Dan sumber-sumber lainnya. □