Friday, March 20, 2015

Makna Surat Al-Ikhlāsh II



Oleh: A. Faisal Marzuki



A
yat Keempat dari Surat al-Ikhlāsh menyatakan: “Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.” Makin jelaslah disini bahwa kalau diakui Dia (Tuhan) beranak, tandanya dalam konsep ini Allah Tuhan itu mengenal waktu tua, perlu pensiun. Karena Tuanya maka tidak sanggup lagi menjalankan kekuasaan-Nya. Selanjutnya memerlukan anak untuk menyilihkan kekuasaan-Nya.

Kalau diakui bahwa Dia berbilang (tidak Esa lagi) karena ada bapak kemudian ada anak, tapi kedudukannya sama. Maka konsekuensi dari fikiran yang sehat yang mana jua pun akan menyatakan bahwa ‘keduanya’ akan sama kurang kekuasaannya. Kalau ada dua yang setara, sekedudukan, sama tinggi pangkatnya, sama kekuasaanya atas alam jagat raya ini, maka tidak ada fikiran sehat yang akan dapat menerimanya kalau dikatakan bahwa keduanya berkuasa mutlak. Dan kalau keduanya sama tarafnya, ini berarti sama-sama kurang kuasanya, yakni masing-masing mendapat separuh. Dengan itu maka tidak ada yang sempurna mutlak ketuhanan dari keduanya itu. Artinya dengan itu bahwa itu adalah bukan tuhan melainkan alam dalam bentuk seperti  teori ‘trias politika’ yang satu berkuasa sebagai eksekutif, yang satu berkuasa sebagai legislatif, yang satunya lagi berkuasa sebagai judikatif.

   Sebenarnya yang Tuhan itu ialah Mutlak kuasa-Nya, tiada berbagi, tiada separuh seorang, tiada gandengan, tiada bandingan dan tiada ada tandingan. Dan tiada pula ada Tuhan yang menganggur (tidur, istirahat, lelah dan capek). Atau belum bertugas karena bapaknya masih ada (dalam konsep raja dengan putra mahkotanya). Dengan itu diterimalah oleh perasaan yang bersih lagi murni. Itulah yang dirasakan akal cerdas yang tulus. Kalau tidak begitu, maka kacau dan galaulah jalan fikirannya. Kalau diperturutkan juga jalan fikiran yang irrasional (seperti trinitas, patung tuhan manusia, patung tuhan lembu atau bintang lainya, tuhan api, tuhan air dan sebagainya diluar konsep tauhid), maka fikirannya tidak jernih lagi (jahillyah, bodoh). Itu sebabnya  maka  surat ini  dinamai Surat al-Ikhlāsh, artinya sesuai dengan jiwa murni manusia, dengan logika sehat, dengan keteraturan berfikir yaitu berlaku hanif seperti halnya Nabi Ibrahim as dalam memahami konsep ketuhanannya yang murni (ikhlas dan hanif).

Renungilah Kebesaran Allah



Galaksi-galaksi Bertebaran di Alam semsta



●●●

   Abus Su’ud dalam tafsirnya mengatakan: “Diulanginya nama Allah dua kali seperti pada ayat pertama Surat al-Ikhlāsh: Dia adalah Allah, (Yang) Maha Esa’ dan ayat kedua Surat al-Ikhlāsh: Allah adalah (tempat) pergantungan (bagi semua makhluk), supaya menjadi jelas sejelas-jelasnya bahwa bahwa yang tidak mempunyai kedua (Al-Ahad dan Ash-Shamad) sifat pokok itu bukanlah Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan. Karena sifat Tuhan tidak berbilang melainkan Esa (Al-Ahad) dan Dia-lah pergantungan (Ash-Shamad, dibutuhkan) segala makhluk (segala sesuatu yang diciptakan-Nya). Dengan ini jelaslah bahwa pada-Nya berkumpul segala sifat Kesempurnaan (yang tiada bercacat sedikit pun).

   Imam Al-Ghazali menulis di dalam bukunya ‘Jawahirul-Qur’an: “Kepentingan al-Qur’an itu ialah untuk ma’rifat (mengenal lebih dalam lagi) terhadap Allah dan ma’rifat terhadap hari Akhirat dan ma’rifat terhadap  ash-Shirothal Mustaqim. Ketiga ma’rifat itu sangat utama pentingnya (yang perlu diketahui oleh setiap muslim). Adapun yang lainnya adalah pengiring-pengiring (yang perlu diketahui oleh setiap muslim) dari (kejelasan) ketiga ma’rifat tersebut. Maka Surat al-Ikhlāsh adalah mengandung salah satu daripada ma’rifat yang tiga itu, yaitu ma’rifatulLõh.

Dengan ma’rifatulLõh menggunakan Surat al-Ikhlāsh ini maka bersihlah pandangan terhadap ketuhanan Allah berdasarkan pandangan yang telah diberitahukan-Nya seperti yang termaktub dalam makna Surat al-Ikhlāsh itu.

   Ibnul Qayyim menulis dalam Zādatul Ma’ad: “Nabi saw selalu membaca pada shalat Sunnah al-Fajar dan shalat al-Witir kedua Surat al-Ikhlāsh dan al-Kafirun. Karena kedua surat itu mengumpulkan Tauhid Ilmu dan Amal; Tauhid Ma’rifat dan Iradat; Tauhid I’tiqad dan Tujuan. Surat al-Ikhlāsh mengandung Tauhid I’tiqad dan Ma’rifat dan apa yang wajib dipandang tetap teguh pada Allah menurut akal murni, yaitu Esa, Tunggal, Nafi yang mutlak daripada adanya berserikat dan bersekutu, dari segi mana pun. Dia adalah Pergantungan yang tetap, yang pada-Nya terkumpul segala sifat kesempurnaan. Tidak pernah berkekurangan dari segi mana pun. Nafi (menolak paham) daripada beranak dan diperanakkan. Karena kalau ada keduanya itu, maka Dia tidak jadi tempat pergantungan lagi dan Keesaan-Nya tidak bersih lagi. Dan Nafi atau tiada adanya kufu’, tandingan, bandingan dan gandengan adalah menafikan perserupaan, perumpamaan atau pun pandangan lainnya yang dibuat-buat manusia (yang sebenarnya bersifat jahilliyah). Sebab itu, maka  Surat al-Ikhlāsh ini mengandung segala kesempurnaan bagi Allah dan menafikan segala kekurangan. Inilah pokok Tauhid menurut ilmiah dan aqidah. yang melepaskan orang yang berpegang teguh seteguh-teguhnya kepada-Nya daripada kesesatan dalam mempersekutukan-Nya.

   Itulah sebab mengapa Surat al-Ikhlāsh dikatakan oleh Nabi saw Sepertiga Qur’an. Sebab al-Qur’an berisi berita (khabar) dan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan-Nya (Insyā). Insya salah satu tiga pokok yaitu: (1) Perintah, (2) Larangan, (3) Boleh atau diizinkan. Khabar ada dua yaitu: (1) Khabar yang datang dari Allah sebagai Khaliq - Pencipta dengan nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya - Asmaul-Husna dan hukum-hukum-Nya, (2) Khabar dari makhluk-Nya, maka diikhlaskanlah oleh makhluk di dalam Surat al-Ikhlāsh  tentang nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya. Dengan itu jadilah isinya itu mengandung sepertiga (isi) al-Qur’an. Dan dibersihkannya barangsiapa yang membacanya dengan Iman, daripada menyekutukan Allah secara (pseudo) Ilmiah. Sebagaimana Surat Al-Kafirun pun membersihkan dari syirik secara amali (perbuatan dan praktek hidup sehari-hari) yang mungkin terasa (timbul) dari kehendak dan kesengajaan (yang tidak disadarinya).

   Selanjutnya Ibnul Qayyum menyambung lagi: “Menegakkan akidah itu dengan ilmu. Persediaan ilmu hendaklah sebelum beramal. Sebab ilmu itu adalah Imamnya. Ilmu adalah penunjuk jalan. Ilmu adalah hakimnya, yaitu yang memberikan keputusan di mana tempatnya dan telah sampai dimana. Maka “Qul HuwalLlõhu Ahad” adalah puncak ilmu dari akidah. Itu sebabnya kenapa Nabi saw menyatakan sepertiga al-Qur’an. Hadits-hadits yang menyatakan seperti itu boleh dikatakan hadits-hadts yang mencapai mutawatir.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh oleh Bukhari dari Aisya radhiyallahu anha (semoga Allah meridhainya) bahwa Nabi saw pada satu waktu telah mengirim siryah (patroli) ke suatu tempat. Pemimpin patrol itu tiap-tiap shalat yang menjahar menutupnya dengan membaca “Qul HuwalLlõhu Ahad.” Setelah mereka kembali pulang dari tugasnya itu. Kemudian mereka beritahukan perbuatan pemimpin mereka itu kepada Nabi saw. Lalu Beliau saw berkata: Tanyakanlah kepadanya apa sebab dia lakukan demikian. Lalu mereka pun bertanya kepadanya; ‘mengapa ketika shalatmu selalu ditutup dengan membaca “Qul HuwalLlõhu Ahad.” Lalu dia menjawab: “Itu adalah sifat Tuhan Yang bersifat Ar-Rahman, dan saya senang membacanya.”  Mendengar perkataan itu bersabdalah Nabi saw: “Katakanlah kepadanya bahwa Allah pun senang kepadanya.”

Bahkan ada sebuah hadits yang diterima dari Ubay dan Anas bahwa Nabi saw pernah bersabda: “Di azazkan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi atas Qul HuwalLlõhu Ahad.” Betapa pun derajat hadits ini, namun maknanya memang tepat. Al-Imam az-Zamakhsyari di dalam Tafsirnya memberi arti hadits ini: “Yaitu tidaklah semuanya yang itu (disebutkan tentang Qul HuwalLlõhu Ahad.) dijadikan melainkan menjadi bukti atas mentauhidkan Allah dan mengetahui sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam Surat al-Ikhlāsh ini” (begitu tinggi nilainya).

Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah, berkata dia: Aku datang bersama Nabi saw, tiba-tiba beliau mendengar seseorang membaca: “Qul HuwalLlõhu Ahad.” Maka berkatalah Beliau saw: “Wajabat” – Wajiblah. Lalu aku bertanya: “Wajib apa ya Rasul Allah” Beliau menjawab: “Wajib orang itu masuk surga.” Kata Tirmidzi Hadits itu Hasan (bagus) dan shahih.

   Demikianlah riwayat turunnya Surat Al-Ikhlash yang begitu jelas dan tinggi nilainya. Begitu pula kedudukannya, maknanya, fadilahnya.  Dengan itu kiranya wajib kita imani, pahami dengan sungguh-sungguh seperti yang dipaparkan dalam tulisan ini. Kemudiannya ucapkan dan gunakan dalam membacanya dalam shalat-shalat yang kita lakukan. RasululLah saw biasanya membuka hari barunya dengan melakukan shalat fajar (qabliah subuh) dengan membaca kedua surat ini (al-Kafirun dan al-Ikhlāsh) Pembukaan hari ini dengan bacaan tersebut memiliki makna dan tujuan tertentu. Insya Allah sebagaimana yang dikatakan Rasul Allah saw - dengan itu “Wajib orang itu masuk surga.” Wallõhu ‘alam bish-shawab. □AFM


Bahan bacaan:
  1. Prof. Dr. HAMKA, Tafsir Al-Azhar juz xxx, Penerbit PT Pustaka Panjimas, Jakarta 1984.
  2. Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 12, Gema Insani, Jakarta 2001
  3. Urgensi Mengenal Allah, Insight of Dinul Islam, Powered by AFM

Blog Archive