Oleh: A. Faisal Marzuki
A
|
yat
Keempat dari Surat al-Ikhlāsh menyatakan: “Dan tidak ada sesuatu pun yang
setara dengan Dia.” Makin jelaslah disini bahwa kalau diakui Dia (Tuhan)
beranak, tandanya dalam konsep ini Allah Tuhan itu mengenal waktu tua, perlu pensiun.
Karena Tuanya maka tidak sanggup lagi menjalankan kekuasaan-Nya. Selanjutnya
memerlukan anak untuk menyilihkan kekuasaan-Nya.
Kalau
diakui bahwa Dia berbilang (tidak Esa lagi) karena ada bapak kemudian ada anak,
tapi kedudukannya sama. Maka konsekuensi dari fikiran yang sehat yang mana jua
pun akan menyatakan bahwa ‘keduanya’ akan sama kurang kekuasaannya. Kalau ada
dua yang setara, sekedudukan, sama tinggi pangkatnya, sama kekuasaanya atas
alam jagat raya ini, maka tidak ada fikiran sehat yang akan dapat menerimanya
kalau dikatakan bahwa keduanya berkuasa mutlak. Dan kalau keduanya sama
tarafnya, ini berarti sama-sama kurang kuasanya, yakni masing-masing mendapat
separuh. Dengan itu maka tidak ada yang sempurna mutlak ketuhanan dari keduanya
itu. Artinya dengan itu bahwa itu adalah bukan tuhan melainkan alam dalam
bentuk seperti teori ‘trias politika’
yang satu berkuasa sebagai eksekutif, yang satu berkuasa sebagai legislatif,
yang satunya lagi berkuasa sebagai judikatif.
Sebenarnya yang Tuhan itu ialah Mutlak
kuasa-Nya, tiada berbagi, tiada separuh seorang, tiada gandengan, tiada
bandingan dan tiada ada tandingan. Dan tiada pula ada Tuhan yang menganggur (tidur,
istirahat, lelah dan capek). Atau belum bertugas karena bapaknya masih ada (dalam
konsep raja dengan putra mahkotanya). Dengan itu diterimalah oleh perasaan yang
bersih lagi murni. Itulah yang dirasakan akal cerdas yang tulus. Kalau tidak
begitu, maka kacau dan galaulah jalan fikirannya. Kalau diperturutkan juga
jalan fikiran yang irrasional (seperti trinitas, patung tuhan manusia, patung
tuhan lembu atau bintang lainya, tuhan api, tuhan air dan sebagainya diluar
konsep tauhid), maka fikirannya tidak jernih lagi (jahillyah, bodoh). Itu
sebabnya maka surat ini
dinamai Surat al-Ikhlāsh, artinya sesuai dengan jiwa murni manusia,
dengan logika sehat, dengan keteraturan berfikir yaitu berlaku hanif seperti
halnya Nabi Ibrahim as dalam memahami konsep ketuhanannya yang murni (ikhlas
dan hanif).
Renungilah Kebesaran Allah
Galaksi-galaksi Bertebaran di Alam semsta
●●●
Abus Su’ud dalam tafsirnya mengatakan: “Diulanginya
nama Allah dua kali seperti pada ayat pertama Surat al-Ikhlāsh: Dia adalah
Allah, (Yang) Maha Esa’ dan ayat kedua Surat al-Ikhlāsh: Allah adalah (tempat)
pergantungan (bagi semua makhluk), supaya menjadi jelas sejelas-jelasnya bahwa
bahwa yang tidak mempunyai kedua (Al-Ahad dan Ash-Shamad) sifat pokok itu
bukanlah Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan. Karena sifat Tuhan tidak berbilang
melainkan Esa (Al-Ahad) dan Dia-lah pergantungan (Ash-Shamad, dibutuhkan)
segala makhluk (segala sesuatu yang diciptakan-Nya). Dengan ini jelaslah bahwa
pada-Nya berkumpul segala sifat Kesempurnaan (yang tiada bercacat sedikit pun).
Imam Al-Ghazali menulis di dalam bukunya ‘Jawahirul-Qur’an:
“Kepentingan al-Qur’an itu ialah untuk ma’rifat (mengenal lebih dalam lagi)
terhadap Allah dan ma’rifat terhadap hari Akhirat dan ma’rifat terhadap ash-Shirothal Mustaqim. Ketiga ma’rifat itu
sangat utama pentingnya (yang perlu diketahui oleh setiap muslim). Adapun yang lainnya
adalah pengiring-pengiring (yang perlu diketahui oleh setiap muslim) dari (kejelasan)
ketiga ma’rifat tersebut. Maka Surat al-Ikhlāsh adalah mengandung salah satu
daripada ma’rifat yang tiga itu, yaitu ma’rifatulLõh.
Dengan ma’rifatulLõh menggunakan
Surat al-Ikhlāsh ini maka bersihlah pandangan terhadap ketuhanan Allah
berdasarkan pandangan yang telah diberitahukan-Nya seperti yang termaktub
dalam makna Surat al-Ikhlāsh itu.
Ibnul Qayyim menulis dalam Zādatul Ma’ad: “Nabi
saw selalu membaca pada shalat Sunnah al-Fajar dan shalat al-Witir kedua Surat
al-Ikhlāsh dan al-Kafirun. Karena kedua surat itu mengumpulkan Tauhid Ilmu dan
Amal; Tauhid Ma’rifat dan Iradat; Tauhid I’tiqad dan Tujuan. Surat al-Ikhlāsh
mengandung Tauhid I’tiqad dan Ma’rifat dan apa yang wajib dipandang tetap teguh
pada Allah menurut akal murni, yaitu Esa, Tunggal, Nafi yang mutlak daripada
adanya berserikat dan bersekutu, dari segi mana pun. Dia adalah Pergantungan
yang tetap, yang pada-Nya terkumpul segala sifat kesempurnaan. Tidak pernah
berkekurangan dari segi mana pun. Nafi (menolak paham) daripada beranak dan
diperanakkan. Karena kalau ada keduanya itu, maka Dia tidak jadi tempat
pergantungan lagi dan Keesaan-Nya tidak bersih lagi. Dan Nafi atau tiada adanya
kufu’, tandingan, bandingan dan gandengan adalah menafikan perserupaan,
perumpamaan atau pun pandangan lainnya yang dibuat-buat manusia (yang
sebenarnya bersifat jahilliyah). Sebab itu, maka Surat al-Ikhlāsh ini mengandung segala
kesempurnaan bagi Allah dan menafikan segala kekurangan. Inilah pokok Tauhid
menurut ilmiah dan aqidah. yang melepaskan orang yang berpegang teguh
seteguh-teguhnya kepada-Nya daripada kesesatan dalam mempersekutukan-Nya.
Itulah sebab mengapa Surat al-Ikhlāsh
dikatakan oleh Nabi saw Sepertiga Qur’an. Sebab al-Qur’an berisi berita
(khabar) dan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan-Nya (Insyā). Insya
salah satu tiga pokok yaitu: (1) Perintah, (2) Larangan, (3) Boleh atau
diizinkan. Khabar ada dua yaitu: (1) Khabar yang datang dari Allah sebagai
Khaliq - Pencipta dengan nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya - Asmaul-Husna dan hukum-hukum-Nya,
(2) Khabar dari makhluk-Nya, maka diikhlaskanlah oleh makhluk di dalam Surat
al-Ikhlāsh tentang nama-nama-Nya dan
sifat-sifat-Nya. Dengan itu jadilah isinya itu mengandung sepertiga (isi)
al-Qur’an. Dan dibersihkannya barangsiapa yang membacanya dengan Iman, daripada
menyekutukan Allah secara (pseudo) Ilmiah. Sebagaimana Surat Al-Kafirun pun
membersihkan dari syirik secara amali (perbuatan dan praktek hidup sehari-hari)
yang mungkin terasa (timbul) dari kehendak dan kesengajaan (yang tidak
disadarinya).
Selanjutnya Ibnul Qayyum menyambung lagi: “Menegakkan
akidah itu dengan ilmu. Persediaan ilmu hendaklah sebelum beramal. Sebab ilmu
itu adalah Imamnya. Ilmu adalah penunjuk jalan. Ilmu adalah hakimnya, yaitu
yang memberikan keputusan di mana tempatnya dan telah sampai dimana. Maka “Qul
HuwalLlõhu Ahad”
adalah puncak ilmu dari akidah. Itu sebabnya kenapa Nabi saw menyatakan
sepertiga al-Qur’an. Hadits-hadits yang menyatakan seperti itu boleh dikatakan
hadits-hadts yang mencapai mutawatir.
Sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh oleh Bukhari dari Aisya radhiyallahu anha (semoga
Allah meridhainya) bahwa Nabi saw pada satu waktu telah mengirim siryah (patroli)
ke suatu tempat. Pemimpin patrol itu tiap-tiap shalat yang menjahar menutupnya
dengan membaca “Qul HuwalLlõhu Ahad.” Setelah mereka
kembali pulang dari tugasnya itu. Kemudian mereka beritahukan perbuatan
pemimpin mereka itu kepada Nabi saw. Lalu Beliau saw berkata: Tanyakanlah
kepadanya apa sebab dia lakukan demikian. Lalu mereka pun bertanya kepadanya; ‘mengapa
ketika shalatmu selalu ditutup dengan membaca “Qul HuwalLlõhu Ahad.”
Lalu dia menjawab: “Itu adalah sifat Tuhan Yang bersifat Ar-Rahman, dan saya
senang membacanya.” Mendengar perkataan
itu bersabdalah Nabi saw: “Katakanlah kepadanya bahwa Allah pun senang
kepadanya.”
Bahkan
ada sebuah hadits yang diterima dari Ubay dan Anas bahwa Nabi saw pernah
bersabda: “Di azazkan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi atas Qul HuwalLlõhu Ahad.”
Betapa pun derajat hadits ini, namun maknanya memang tepat. Al-Imam az-Zamakhsyari
di dalam Tafsirnya memberi arti hadits ini: “Yaitu tidaklah semuanya yang itu (disebutkan
tentang Qul HuwalLlõhu Ahad.) dijadikan melainkan
menjadi bukti atas mentauhidkan Allah dan mengetahui sifat-sifat Allah yang
disebutkan dalam Surat al-Ikhlāsh ini” (begitu tinggi nilainya).
Diriwayatkan
oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah, berkata dia: Aku datang bersama Nabi saw,
tiba-tiba beliau mendengar seseorang membaca: “Qul HuwalLlõhu Ahad.”
Maka berkatalah Beliau saw: “Wajabat” – Wajiblah. Lalu aku bertanya: “Wajib apa
ya Rasul Allah” Beliau menjawab: “Wajib orang itu masuk surga.” Kata Tirmidzi Hadits
itu Hasan (bagus) dan shahih.
Demikianlah riwayat turunnya Surat
Al-Ikhlash yang begitu jelas dan tinggi nilainya. Begitu pula kedudukannya,
maknanya, fadilahnya. Dengan itu kiranya
wajib kita imani, pahami dengan sungguh-sungguh seperti yang dipaparkan dalam
tulisan ini. Kemudiannya ucapkan dan gunakan dalam membacanya dalam
shalat-shalat yang kita lakukan. RasululLah saw biasanya membuka hari barunya
dengan melakukan shalat fajar (qabliah subuh) dengan membaca kedua surat ini
(al-Kafirun dan al-Ikhlāsh) Pembukaan hari ini dengan bacaan tersebut memiliki
makna dan tujuan tertentu. Insya Allah sebagaimana yang dikatakan Rasul Allah
saw - dengan itu “Wajib orang itu masuk surga.” Wallõhu ‘alam
bish-shawab. □AFM
Bahan
bacaan:
- Prof. Dr. HAMKA, Tafsir Al-Azhar juz xxx, Penerbit PT Pustaka Panjimas, Jakarta 1984.
- Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 12, Gema Insani, Jakarta 2001
- Urgensi Mengenal Allah, Insight of Dinul Islam, Powered by AFM