Ilmu adalah lentera
kehidupan. Ilmu sebagai institusi pencarian kebenaran, dinamis, terus berkembang. Ilmu bersifat amaliah, yakni
berdwitunggal dengan amal.
Karakteristik ilmu
yang berparadigma Pancasila adalah: Bersifat teistik, obyektif, dan universal
(sila 1); Bersifat humanistik, naturalistik (sila 2): Metode keilmuan holistik
(sila 3); Kebenaran diperoleh melalui konstruksi sosial-religius, musyawarah-mufakat
(sila 4); Keadilan sosial berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila 5).
KATA PENGANTAR
D
|
alam sejarah kehidupan umat manusia
mulai abad ke-20, terutama dari negara-negara yang telah terbebas dari
penjajahan bangsa-bangsa Eropa, mulai menata hidup bangsanya yang ingin disebut
menjadi modern, seperti majunya negara-negara dari ex-penjajahnya yang sudah developed countries. Dengan itu
manusianya selalu diiming-imingi oleh ingin adanya perobahan dan untuk itu
berinovasi, yaitu ingin tampil beda dari kehidupan sebelumnya dengan berpegang
pada konteks realitas. Dalam hal ini, manusia ingin tampil lebih maju dan
modern sehingga tidak segan-segan dalam mengkritik sesuatu yang dianggap bisa
menghambatnya, tidak terkecuali agama.
Seperti halnya dalam sejarah kehidupan
bangsa Eropa yang secara terbuka mengkritik eksistensi agama di Eropa, karena
dianggap keberadaan mereka dibawah otoritas agama (agama di Eropa adalah
Kristen) dalam sejarahnya telah mengikat kebebasan dan kemajuannya, sehingga muncullah
sebuah wacana sekularisme, yaitu pemisahan antara urusan dunia (negara) dengan
agama. Disini mereka beranggapan bahwa agama tidak berhak mengintervensi dunia,
dengan kata lain agama adalah urusan pribadi dan tidak boleh dibawa dalam ranah
publik (negara). Negara-negara Eropa atau ex-Eropa seperti Australia dan
Amerika Serikat dasar hukum bernegaranya adalah sekulerisme.
Sekularisme merupakan sebuah ideologi
yang pada mulanya berkembang di dunia Barat dan menyebar hampir ke seluruh
penjuru Dunia tak terkecuali dunia Islam. Paham ini mempunyai tujuan yaitu
memisahkan antara “hak Tuhan” dengan “hak Manusia” atau memisahkan antara
urusan Manusia dengan urusan Tuhan. Demikian pandangan paradigma yang telah
terbangun di Barat yang ingin dibangun di negara-negara ex-jajahannya.
Uraian selanjutnya dapat diikuti
tulisan Adian Husaini, Peneliti Insists seperti berikut ini.
Pancasila Menolak Ilmu Sekuler
Oleh: Dr. Adian
Husaini
P
|
ada 27
Desember 2017 lalu, saya mendapat undangan dari Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta, untuk menjadi pembicara dalam sebuah Seminar Nasional tentang
Keislaman dan Kebangsaan. Pembicara lainnya yang diundang hadir adalah Prof.
Dr. Mahfud MD dan Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, guru besar Ilmu Hukum
Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, serta Danrem Yogyakarta.
Dalam
seminar itulah, saya pertama kali mengenal sosok Prof. Sudjito, yang dikenal
juga sebagai pakar tentang Pancasila. Prof. Sudjito memaparkan uraiannya
tentang Pancasila dengan judul: “Memposisikan Pancasila sebagai Paradigma
Ilmu”. Beliau tampil pada sesi pertama bersama wakil dari Korem Yogyakarta.
Sedangkan saya dijadwal tampil pada sesi berikutnya bersama Prof. Mahfud MD.
Tema
makalah Prof. Sudjito dengan judul: “Memposisikan Pancasila sebagai Paradigma
Ilmu” itu menarik. Karena itu, saya dengan tekun menyimaknya. Sejumlah poin
penting yang disampaikan Prof. Sudjito diantaranya adalah bahwa: (a). Ilmu
adalah lentera kehidupan, (b). Ilmu sebagai institusi pencarian kebenaran,
dinamis, terus berkembang, dan (c) Ilmu
bersifat amaliah, yakni berdwitunggal dengan amal.
Prof.
Sudjito menggariskan bahwa epistemologi keilmuan yang berparadigma Pancasila
adalah yang mengakui bahwa asal-usul dan hakikat ilmu adalah dari Tuhan,
berproses dalam kehidupan manusia, bermuara pada pertanggungjawaban kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Maka, karakteristik ilmu yang berparadigma Pancasila
adalah: (a) bersifat teistik, obyektif, dan universal (sila 1), (b) bersifat
humanistik, naturalistik (sila 2), (c) Metode keilmuan holistik (sila 3),
(d) Kebenaran diperoleh melalui konstruksi sosial-religius, musyawarah-mufakat
(sila 4), dan (e) Keadilan sosial berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila
5).
Lebih
jauh Prof. Sudjito mengingatkan, bahwa saat ini Pendidikan Ilmu di Perguruan
Tinggi masih menghadapi permasalahan dan tantangan antara lain: (a) Kurikulum
masih berkarakter liberalistik, individualistik, dan sekuler (b) adanya
pengaruh narkoba dan ideologi ekstrim di kampus yang perlu ditanggulangi (c)
pengaruh model-model pendidikan Barat yang berkarakter rasionalistik semata,
tetapi nihil moralitas kemanusiaan, dan (d) belum semua dosen
ber-Pancasila.
Terakhir,
menurut Prof. Sudjito, Perguruan Tinggi diharapkan menghasilkan lulusan yang
cinta kepada Pancasila, paham hukum sebagai order (tatanan) dan mampu
mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan umat. Dalam pandangannya, ilmuwan
professional adalah yang bermoral Pancasila, berwawasan kebangsaan, dan taqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Secara
umum, pandangan Prof. Sudjito tentang Pancasila itu menawarkan keserasian
antara agama dan Pancasila. Sosok ilmuwan yang taqwa sebagai cita ideal ilmuwan
Indonesia mensyaratkan penerapan ajaran agama. Setelah seminar, kami sempat
berbincang singkat, dan beliau menegaskan bahwa orang yang ber-Pancasila adalah
orang yang religius.
Saya
merasa ada kesepahaman dengan Prof. Sudjito dalam soal hubungan antara Islam
dengan Pancasila. Pernyataan beliau bahwa pengajaran ilmu di Perguruan Tinggi
masih berkarakter liberalistik, individualistik, dan sekuler, perlu kita garisbawahi.
Sebagai akademisi senior di sebuah universitas besar di Indonesia, pernyataan
itu menyiratkan keprihatinan yang mendalam. Apalagi, UUD 1945 menegaskan bahwa
pemerintah harus menyelenggarakan pendidikan nasional untuk meningkatkan
keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Ilmu-ilmu sekuler tidak akan membawa
mahasiswa menuju pada iman, taqwa, dan akhlak mulia.
BAHAYA ILMU SEKULER
C
|
endekiawan
Kristen Harvey Cox dalam buku terkenalnya, The Secular City, menjelaskan bahwa sekularisasi
adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika; pengalihan
perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical
tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this
one).
Buku
Harvey Cox diawali dengan bab “The
Biblical Source of Secularization”. Ia mengutip pendapat teolog Jerman
Friedrich Gogarten: “Secularization is
the legitimate consequence of the impact of biblical faith on history.”
Bahwa sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap
sejarah.
Dalam
bukunya, Christianity in World History,
Arend Theodor van Leeuwen, mencatat, bahwa penyebaran Kristen di Eropa membawa
pesan sekularisasi. Kata Leeuwen, “Christianization
and secularization are involved together in a dialectical relation.”
Maka, menurutnya, persentuhan antara kultur sekular Barat dengan kultur
tradisional religius di Timur Tengah dan Asia, adalah bermulanya babak
baru dalam sejarah sekularisasi. Sebab, kultur sekular adalah hadiah Kristen
kepada dunia. (Christianity’s gift to the
world). (Pendapat Leeuwen dikutip dari buku Mark Juergensmeyer, The New
Cold War? (London: University of California Press, 1993).
Salah
satu ilmuwan muslim terkemuka yang gigih menolak gagasan sekulerisasi adalah
Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Buku karya al-Attas, Islam and Secularism, yang terbit awal
1970-an, sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Al-Attas
menolak klaim Harvey Cox bahwa akar sekularisasi terdapat dalam kepercayaan
Bible. Bagi al-Attas, akar sekularisasi bukan terdapat dalam Bible, tetapi
terdapat dalam penafsiran orang Barat terhadap Bible.
Sekularisasi
bukanlah dihasilkan oleh Bible, namun ia dihasilkan oleh konflik lama antara
akal dan Bible di dalam pandangan hidup orang Barat. Kata al-Attas: “The claim that secularization has its roots
in biblical faith and that it is the fruit of the Gospel has no substance in
historical fact. Secularization has its roots not in biblical faith, but in the
interpretation of biblical faith by Western man…”
Dalam
pandangan al-Attas, worldview orang Barat telah menempatkan Tuhan menjadi
manusia dan manusia dijadikan Tuhan (deity
is humanized and man is deified). Manusia telah menempatkan dirinya sebagai
Tuhan yang merasa berhak mengatur diri dan seluruh alam sesuai kemauannya
sendiri. Manusia seperti itu sejatinya telah hilang adab kepada Tuhan.
Semua itu berawal dari ilmu yang salah. Ilmu yang sangat merusak kehidupan
manusia.
Peringatan
akan bahaya ilmu sekuler ini juga pernah disampaikan oleh pakar filsafat sains,
Seyyed Hossein Nasr. Menurutnya, kini makin banyak manusia yang sadar akan
bahaya penerapan sains Barat yang menyebabkan kehancuran lingkungan hidup dan
mengarah pada lumpuhnya tatanan alam ini. Kata Nasr: “To day more and more people are becoming aware that the applications of
modern science, a science witch until a few decades ago was completely Western
and which has now spread to other continents, have caused directly or
indirectly unprecedented environmental disasters, bringing about the real
possibility of the total collapse of the natural order.” (Seyyed Hossein Nasr,
The Need for a Sacred Science, (New York: State University of New York
Press, 1993).
Di
Indonesia, bahaya ilmu sekuler pun sudah disampaikan oleh banyak ilmuwan
muslim. Mohammad Natsir, misalnya, dalam pidatonya di Majelis Konstituante,
tahun 1957 sudah mengingatkan, bahwa manusia Indonesia hanya punya dua pilihan:
(1) memilih faham sekulerisme (la-dīniyah)
tanpa agama, atau (2) memilih faham agama (dīniyah).
Dan
inilah penjelasan Mohammad Natsir, pahlawan nasional yang juga pendiri Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), tentang sekulerisme:
“Sekulerisme
adalah suatu cara hidup yang mengandung paham tujuan dan sikap hanya di dalam
batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam kehidupan kaum sekuleris tidak
ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat,
Tuhan, dsb. Walaupun ada kalanya mereka mengakui akan adanya Tuhan, tapi dalam
penghidupan perseorangan sehari-hari umpamanya, seorang sekuleris tidak
menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah
laku dan tindakan sehari-hari, maupun hubungan jiwa dalam arti doa dan ibadah.
Seorang sekuleris tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber
kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai
moral itu ditimbulkan oleh masyarakat semata-mata. Ia memandang bahwa
nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah atau pun oleh bekas-bekas kehewanan
manusia semata-mata, dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam
penghidupan saat ini belaka...”
Menurut
Natsir, bagi ilmuwan sekuler, “Ilmu
pengetahuan sudah dijadikan tujuan tersendiri, science for the sake of
science.” Pandangan sekuler, kata Natsir, sangat
berbahaya, karena “menurunkan
sumber-sumber nilai hidup manusia dari taraf ke-Tuhanan kepada
taraf kemasyarakatan semata-mata.”
Natsir
memberi contoh. Misalnya, ajaran tidak boleh membunuh, kasih sayang
sesama manusia, semuanya itu menurut sekulerisme, sumbernya bukan wahyu Ilahi,
akan tetapi apa yang dinamakan: penghidupan masyarakat semata-mata. Jika
dulunya, karena nenek moyang kita menganggap bahwa hidup damai dan tolong
menolong akan menguntungkan semua pihak, maka timbullah larangan untuk membunuh
dan bermusuhan. Jadi, tujuannya adalah ‘perdamaian’.
Natsir
memandang, bahwa pandangan semacam itu telah menurunkan nulai-nilai adab dan
kepercayaan ke taraf perbuatan manusia dalam pergolakan masyarakat. Dengan
begitu, maka pandangan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merosot. Manusia
merasa dirinya lebih tinggi daripada nilai-nilai itu sendiri! Manusia
menganggap bahwa nilai-nilai itu bukan sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi,
tapi sebagai “alat semata-mata”, karena semua itu adalah ciptaan manusia
sendiri.”
Kritik
Mohammad Natsir terhadap sekulerisme itu sangat tajam. Karena itulah, Natsir
berjuang sepanjang hidup untuk melawan sekulerisme melalui berbagai bidang
kehidupan, khususnya bidang politik dan pendidikan. Untuk itu, Natsir tercatat
aktif dalam proses pendirian sejumlah universitas Islam di Indonesia.
Kini,
dengan adanya kritik Prof. Dr. Sudjito terhadap pengajaran ilmu-ilmu sekuler di
Perguruan Tinggi, semoga semakin banyak yang sadar akan bahaya ilmu-ilmu
sekuler tersebut. Tentu tidak salah jika kita berharap, semoga kampus UGM
menjadi salah satu pelopor dalam gerakan “de-sekulerisasi ilmu”, sebagai
pijakan menuju pembentukan ilmuwan-ilmuwan yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak
mulia (UUD 1945, pasal 31 (c).
Demikian
uraian yang dikemukakan dalam tulisan Adian Husaini yang seperti yang telah
diuraikan itu.
PENUTUP
S
|
ekularisme muncul disebabkan oleh pengungkungan
gereja yang menyekat pintu pemikiran dan penemuan sains. Pihak gereja Eropah
telah menghukum ahli sains seperti Copernicus, Gradano, Galileo dll yang
mengutarakan penemuan saintifik yang berlawanan dengan ajaran gereja.
Ilmu pengetahuan yang menopang majunya sebuah
peradaban malah dimusuhi. Ketika ada penemuan baru yang dianggap bertentangan
dengan isi Injil dianggap sebagai sebuah pelanggaran yang harus ditebus dengan
nyawa. Sebagaimana yang dialami Copernicus, Gradano yang menyatakan teori
heliosentrisnya yang notabene bertentangan dengan injil yang mengemukan teori
geosentris.
Munculnya sekularisme adalah disebabkan dari
bentuk kekecewaan atau mosi tidak percaya masyarakat Eropa kepada Gereja Kristen
pada abad ke-15. Gereja Kristen beberapa abad lamanya menenggelamkan dunia Barat
ke dalam periode yang kita kenal sebagai the
dark age. Padahal pada saat yang sama peradaban Islam saat itu sedang
berada di puncak kejayaannya. Dalam sejarah peradaban Islam antara Sains dan
Agama berjalan selaras. Tidak ada pertentangan.
Ketika perang salib berakhir dengan kekalahan di
pihak Eropa, walau mereka mengalami kerugian di satu sisi, tetapi, sebenarnya
mereka mendapatkan sesuatu yang berharga, yaitu inspirasi pengetahuan sains.
Karena justru setelah mereka “bergesekan” dengan umat Islam di perang salib,
mengenal kelebiah sains dan teknologi Islam.
Pada masa Eropa mengalami the dark ages. Hal tersebut ternyata menjadi kawah lahirnya renaissance setelah mereka menerjemahkan
buku-buku filsafat Yunani berbahasa Arab dan Karya-karya ilmuan Islam antara
lain, Al-Jazari (Insinyur Jenius dan
Bapak Robotik); Al-Khwarizmi (Bapak Aljabar dan Ilmu Komputer); Ilmu Khaldun
(Bapak Sosiologi, Ekonomi dan Sejarah); Ibnu Haitham (Penemu Ilmu Optik);
Al-Idisi (Pencipta Peta Dunia); Al-Zahrawi (Bapak Ahli Bedah); Al-Biruni (Ahli
Geodesi, Geograpi, Mineralogi dan Metode Sains).
Dapat disimpulkan sebagaimana Carli
Fiorina, CEO Hewlett Packard (1999-2005), memaparkan: “Para arsitek yang
merancang bangunan-bangunan yang mampu melawan gravitasi adalah mereka para
matematikawan yang menciptakan al-jabar dan al-goritma yang dengan itu komputer
dan enkripsi data dapat tercipta. Mereka para dokter yang memeriksa tubuh
manusia, dan menemukan obat baru untuk menyembuhkan penyakit. Mereka para
astronom yang melihat ke langit, memberi nama bintang-bintang, dan membuka
jalan bagi perjalanan dan eksplorasi antariksa” - mereka itu adalah para ilmuan dan penemu Muslim pada zaman kejayaan
Islam di abad tengah. Baca juga (klik --->) Islam
dan Peradaban Dunia dan (klik ---> Sejarah
Sekularisme. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Profile Adian Husaini
Dr. Adian Husaini, lahir
di Bojonegoro, Jawa Timur, 17 Desember 1965. Beliau adalah ketua Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII), sekretaris jenderal Komite Indonesia untuk
Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Komite Indonesia untuk Solidaritas
Palestina-Majelis Ulama Indonesia (KISP-MUI), Anggota Komisi Kerukunan Umat
Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan anggota pengurus Majlis Tabligh Muhammadiyah.
Ia memperoleh pendidikan Islamnya dari Madrasah
Diniyah Nurul Ilmi Bojonegoro (1971–1977), Pondok Pesantren Ar Rasyid Kendal
Bojonegoro (1981–1984), Pondok Pesantren Ulil Albab Bogor (1988–1989), dan
Lembaga Pendidikan Bahasa Arab, LIPIA Jakarta (1988).
Gelar sarjananya di bidang Kedokteran Hewan
diraih dari IPB, sedangkan gelar Master dalam bidang Hubungan Internasional
diperoleh dari Pascasarjana Program Hubungan Internasional Universitas Jayabaya
Jakarta, dengan tesis berjudul Pragmatisme Politik Luar Negeri Israel.
Dan meraih gelar doktor di Institute of Islamic Thought and
Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) dalam
bidang pemikiran dan peradaban Islam.
Salah satu aktivitas ilmiah dan organisasinya
adalah sebagai peneliti di Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
Jakarta, Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSIST),
dan Staf di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia
(PKTTI-UI) Jakarta. □□
Sumber:
http://www.dakta.com/news/14102/pancasila-menolak-ilmu-sekuler
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2016/01/sejarah-sekularisme.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2016/08/islam-dan-peradaban-dunia.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Adian_Husaini□□□