Pendahuluan
E
|
Entah sudah berapa kali, saya melihat post
di media sosial tentang negara mana yang paling Islami. Biasanya, post tersebut
diawali dengan dialog antara Syekh Muhammad Abduh dan filsuf Prancis tentang
masyarakat mana yang dapat dijadikan contoh masyarakat Muslim.
Satu abad kemudian, peneliti George
Washington University (selanjutnya disingkat GWU) dengan Islamicity index-nya
menobatkan New Zealand – yang notabene mayoritasnya adalah non-Muslim – menjadi
negara paling Islami. Untuk menambah ironi, Indonesia harus puas berada di
peringkat 140 beserta “negara Islam” – baik karena mayoritas penduduknya adalah
Muslim, konstitusinya berlandaskan Islam, atau sekadar mendeklarasikan dirinya
sebagai negara Islam – lainnya yang kebanyakan bertengger di peringkat 100-200.
Dikatakan pula, bahwa kebanyakan ayat
dan hadits menjelaskan Islam dengan menunjukkan indikasi-indikasinya, bukan
definisi seperti menjaga lisan, meninggalkan yang tidak bermanfaat, dan
seterusnya. Hal ini juga yang dipenuhi oleh negara-negara dengan
mayoritas Non-Muslim seperti Kanada dan Jerman. Post ini kemudian
ditutup dengan ajakan bagi Muslim untuk giat membaca, berperilaku hidup bersih,
dan sebagainya agar umat Islam tidak lagi terbelakang. [1]
Ketika selesai membaca post tersebut,
saya beranggapan bahwa sebenarnya post-nya bermaksud baik. Sebagai
Muslim, sudah seharusnya kita disiplin, hidup bersih, dan sebagainya. Jika negara
dengan mayoritas Non-Muslim saja bisa, mengapa kita tidak? Kira-kira begitulah
pesan yang saya tangkap.
Tolok Ukur Yang Digunakan
Namun
demikian, betapapun mulianya tulisan tersebut, tetap saja menyisakan pertanyaan
di sana-sini. Misalnya, benarkah kita kalah Islami dari New Zealand? Seperti
apa cara mengukur indeks keislaman negara versi GWU? Bagaimana seharusnya kita
bersikap pada hasil penelitan ini? Lewat tulisan inilah, Insya Allah
saya akan mengajak pembaca untuk merenungkan permasalahan-permasalahan
tersebut, dengan harapan bahwa kita dapat bersikap lebih adil setelahnya.
Sebelum mendalami pertanyaan mengenai
“negara Islami”, ada baiknya kita melihat hasil penelitian GWU tersebut. Pada
referensi [1], tidak dicantumkan jurnal yang melatarbelakangi ide pokok
tulisannya. Hanya dikatakan, penelitian islamicity index tersebut
dilakukan oleh beberapa peneliti dari GWU. Setelah melakukan pencarian, penulis
menemukan bahwa jurnal yang dimaksud di sini adalah How Islamic are Islamic
Countries – Bagaimana Islam itu
berlaku seperti Negara (yang menjalankan ajaran) Islam itu sendiri, yang ditulis oleh Scheherazade
S. Rehman dan Hossein Askari – keduanya adalah peneliti di GWU. [2]
Dalam jurnal tersebut, Rehman dan
Askari mencoba mengukur tingkat keislaman (islamicity index – I [2]
dari 208 negara di dunia. Pengukuran islamicity index tersebut kemudian
didapatkan dari penjumlahan indeks-indeks yang lain, yaitu: Economic
Islamicity Index [3], Legal and Governance Islamicity
Index, Human and Political Rights Islamicity Index, dan International
Relations Islamicity Index.
Singkat cerita, setelah dihitung,
muncullah 10 negara paling Islami versi penelitian Rehman dan Askari: 1) New
Zealand, 2) Luxembourg, 3) Irlandia, 4) Islandia, 5) Finlandia, 6) Denmark, 7) Kanada,
8) U.K., 9) Australia, dan 9) Belanda (sama dengan Australia). Hal ini berbeda
dengan referensi [1] yang menyatakan Kanada menduduki peringkat kelima. Namun
demikian, pada jurnal ini peringkat Indonesia memang berada pada posisi 140.
[4]
Hal pertama yang harus dicermati pada
penelitian ini adalah tentang metode penilaiannya. Dalam jurnal ini, penulisnya
beranggapan bahwa ajaran Islam dapat diekstrak menjadi empat poin, yaitu: walayahh,
karamah, meethaq, dan khilafa.
● Walayahh berbicara tentang
cinta kepada pencipta yang ‘dibalas’ dengan cinta kepada sesama ciptaan-Nya. ● Karamah
berbicara tentang respect dan dignity kepada sesama. ● Meethaq
berbicara tentang kesaksian seluruh manusia pada masa lalu bahwa mereka
mengakui Allah sebagai pencipta mereka. Terakhir, ● khilafa berbicara
tentang pemberdayaan manusia dalam rangka menyebarkan walayahh. [5]
Keempat ajaran inilah yang kemudian menjadi dasar perumusan empat indeks utama
dari islamicity index.
Kejangggalan Tolok Ukur
Yang Digunakan
Disinilah
letak kejanggalan tolok ukur yang digunakan seperti yang diuraikan diatas.
Kenapa empat pilar itu yang dipakai? Kenapa bukan rukun Islam? Padahal, dalam
Hadits Arba’in Nawawiyah no. 2, kita tahu cerita tentang Jibril yang menyamar
sebagai manusia lalu berbicara tentang Rasul tentang Iman, Islam, dan Ihsan.
Berikut salah satu potongan Haditsnya yang berbicara tentang definisi Islam:
Dari
Umar ra. Berkata: Ketika duduk bersama Rasulllah saw pada suatu hari, muncullah
seorang laki-laki berpakaian putih bersih, berambut hitam kelam, tidak tampak
padanya bekas-bekas bepergian jauh, dan tak seorangpun di antara kami
mengenalnya. Lalu ia duduk mendekat pada Nabi saw dengan menempelkan lututnya
pada lutut beliau kemudian ia meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua
paha beliau, ia berkata, “Wahai Muhammad, beritahu aku tentang Islam.” Beliau
bersabda, “Berislam
adalah kesaksian kamu bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali
Allah, kamu mendirikan shalat dan memberikan zakat, berpuasa Ramadhan dan haji
ke Baitullah bila kamu mampu melaksanakan perjalanan ke sana.” Orang itu
berkata “Engkau benar.” Kami heran kepadanya, ia bertanya lalu membenarkannya.
(HR. Muslim).
Pada Hadits Arba’in Nawawiyah no. 3,
juga kita dapat menemukan definisi yang serupa mengenai Islam:
Dari
Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaathab ra. berkata: Aku mendengar
Rasulullah saw. bersabda, “Islam itu didirikan di atas lima dasar, bersaksi
bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, dan Muhammad itu utusan
Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan berpuasa
Ramadhan.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Jadi, sebenarnya pada Hadits ini, dari mulut Rasulullah sendiri terucap definisi tentang Islam. Tentunya, jika ingin
mengukur tingkat keislaman (baik itu negara, orang, dll), harus mengacu pada
definisi Rasul. Akan tetapi, sayangnya Hadits Rasul ini tidak dijadikan sumber
perumusan islamicity index pada penelitian Rehman dan Askari ini.
Hal yang disebutkan diatas berdampak
fatal pada perumusan indeks kedepannya. Misalnya, dari definisi Islam versi
Rehman dan Askari, lahirlah indeks-indeks keislaman yang ‘hanya mencakup wilayah amaliyah’. Aktivitas ekonomi, pemerintahan,
HAM, dan hubungan internasional semuanya adalah aspek amaliyah.
Sayangnya, mereka lupa bahwa amal tidak
berguna tanpa keimanan. Al-Qur’an sendiri sudah memperingatkan bahwa amalan
orang-orang kafir laksana fatamorgana (sia-sia). [6] Dari definisi Islam yang
disampaikan Rasul pada Hadits di atas pun, syahadat menjadi poin pertama
yang disebutkan – yang mana tidak dinilai pada islamicity index versi
Rehman dan Askari. Belum lagi kalau aspek-aspek lainnya pada rukun Islam
(shalat, zakat, puasa, naik haji) diperhitungkan, kira-kira apakah New Zealand
masih bertahan menjadi negara paling Islami? Maka dari itu, wajar jika Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi berkomentar bahwa penilaian tersebut adalah penilaian yang
parsial (tidak utuh, hanya sebahagian saja). [7]
Islamicity index versi
Rehman dan Askari juga perlu dipertanyakan. Di beberapa poin, terdapat beberapa
kriteria penilaian yang sebenarnya agak aneh jika diterapkan untuk mengukur
keislaman suatu negara. Misalnya, pada human and political right islamicity
index, kenapa ada kriteria penilaian berapa persentase perempuan duduk di
parlemen? [8] Atau kenapa aktivitas ekonomi yang Islami harus diukur dari berapa
persen wanita yang berkontribusi di dalamnya? [9] Kenapa misalnya,
tidak dihitung dari apakah pengaplikasian hukum waris dua bagian untuk
laki-laki dan satu bagian perempuan (yang di zaman sebelum Islam datang waris
bagi perempuan tidak ada sama sekali) sudah berjalan di negara x.
Selain itu, pada bagian economy
islamicity index juga sayangnya tidak memasukkan beberapa parameter yang
benar-benar berasal dari ajaran Islam. Misalnya, kenapa tidak dihitung seberapa
banyak warga yang membayar zakat? Atau, seberapa banyak dana yang dikeluarkan
penduduk negara x untuk berinfaq dan sedekah? Padahal ajaran Islam ini sangat
berkaitan dengan aktivitas ekonomi, dan sudah sangat populer bahkan di kalangan
Non-Muslim sekalipun. Akan tetapi, kealpaan pada sisi ini berakibat penilaian
yang parsial. Namun demikian, sekali lagi, meskipun ada parameter
zakat/infaq/sedekah, tetap saja sia-sia jika tidak dilandasi keimanan.
Masih banyak lagi yang harus dikritisi
dari islamicity index ini. Kenapa tidak mengukur seberapa banyak
laki-laki dan perempuan berpakaian dengan menutup aurat, seberapa penuh shaff
shalat berjamaah di masjid, atau seberapa banyak warga negara tersebut yang
hafal Al-Qur’an, misalnya. Tentunya, jika ingin mendapatkan gambaran tentang
negara Islami lebih baik, parameter-parameter tersebut patut dipertimbangkan.
Dari sini, kita dapat mengambil
pelajaran bahwa kesalahan mendefinisikan Islam dapat berakibat fatal. Ketika
definisi Islam yang diucapkan langsung oleh Rasul tidak dipakai, maka jangan
heran jika “lompatan berpikir” seperti negara paling Islami adalah New Zealand
atau si x (yang non-Muslim) adalah pemimpin yang lebih Islami dari orang Islam (sendiri akan dan sudah) bermunculan (biasanya ketika Pilkada atau Pemilu datang).
Dalam hal ini, saya sekaligus
mengkritik referensi [1] yang mengatakan bahwa Islam kebanyakan dinilai dari ‘indikasinya’, bukan ‘definisinya’.
Meskipun memang, terdapat ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menggambarkan Islam dari
sisi “indikasi”, tetapi itu tidak berarti kita dengan serta-merta mengabaikan
definisi Islam yang telah diucapkan Rasulullah saw tersebut.
Paham tersebut diatas mirip sekali
dengan pemikiran Wilfred Cantwell Smith, orientalis terkemuka asal Kanada,
tentang Islam. Beliau menulis:
“Islam
adalah kata kerja, muncul sekitar sepertiga kali jumlah keumunculan kata kerja
asalnya ‘aslama’ (tunduk, berserah diri secara keseluruhan, memberikan diri
kepada komitmen total. Ia
merupakan kata kerja; nama sebuah bentuk tindakan, bukan sebuah institutsi;
sebuah keputusan pribadi, bukan sebuah sistem sosial.”[10]
Jadi, menurut Smith, Islam itu berarti
berserah diri (submission). Maka, siapa saja yang berserah diri kepada
Tuhan, dia itu Islam. Hal ini tentunya konyol. Sebab, meskipun aslama artinya
berserah diri, tidak serta-merta Islam berarti tunduk kepada sembarang Tuhan
dan dengan “cara berpasrah” yang sembarangan juga.
Analoginya, memang shalat itu
secara bahasa artinya do’a. [11] Namun ini tidak berarti sembarang do’a (tanpa
melihat bagaimana cara dia berdo’a dan kepada siapa dia berdo’a) disebut shalat.
Tetap saja, yang namanya shalat harus ada takbir, rukuk, sujud, salam, dan
seterusnya.
Dalam hal inilah, Smith sama sekali
tidak menyebutkan kriteria submission to God yang benar menurut Islam,
sebagaimana banyak disebutkan dalam ayat Al-Qur’an dam Al-Hadits Nabi yang
mewajibkan kaum Muslim mengikuti sunnah Rasulullah saw. [12] Barangkali, hal
inilah yang dimaksud oleh Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas ketika berbicara
tentang deislamization of language (deislamisasi bahasa). [13] Pemahaman
kita tentang Islam dirusak, sehingga tidak lagi mengetahui definisi yang benar.
Maka dari itu, kembali lagi, kita dapat melihat akrobat intelektual mengenai
definisi Islam – seperti yang kita bahas sekarang.
“Pekerjaan Rumah” Umat
Untuk Membenahi “Amaliyah”
Itulah sedikit pemikiran saya mengenai isu
“negara Islami” tersebut. Terakhir, meskipun saya menebar kritik di sana-sini,
saya tetap yakin bahwa sebenarnya tulisan tersebut bermaksud baik. Memang
benar, sekarang kondisi umat Islam tidak sedang di atas. Benar pula, bahwa banyak orang Islam yang tidak membuang
sampah pada tempatnya, menyela antrean, tidak hidup bersih, dan seterusnya -
dan karenanya kita harus berbenah diri. Dalam ini pulalah guru dari Syekh
Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani. Dalam buku
harian Al-Afghani mencatat sebagai berikut: “Hari ini, agama Islam seperti
kapal. Kaptennya Muhammad saw. Semua penumpang kapal suci ini adalah
kaum Muslimin. Kapal kebahagiaan ini terjebak dalam badai dan terancam
tenggelam. Orang-orang non-Muslim dan Pemikir Bebas dari setiap sisi telah
menusuk kapal ini”
Namun
demikian Al-Afghani tidak benci dengan membabibuta terhadap Barat, tapi sifat
kolonialisme penjajahan yang menindas penduduk setempat dan menjarah kekayaan
alam yang tidak disukainya. Ini adalah wajar sebagai rasa kemanusiaan yang
universal, siapa pun dia. Hal ini dapat dilihat dari adanya suatu cerita yang disampaikan tentang Afghani yang hijrah ke Perancis, dan setelah kembalinya ke
Mesir, Afghani pun ditanya oleh temannya, “Apa yang kau peroleh dari sana wahai
Afghani?” Dan kemudian dijawabnya, “Sesungguhnya aku banyak menemukan Islam disana,
namun sedikit Muslim”. [14] Maksud keterangan ini memang umat tertinggal
dari segi “amaliyah” seperti yang yang
telah disebutkan diatas.
Penutup
Penutup
Dari uraian diatas perlu kiranya ditarik garis benang merahnya agar pemahaman kita terhadap Islam tetap adil, mantap dan benar, sebagai berikut:
Semoga kita dapat menimbang segala sesuatu lebih adil, āmīn. Wallahu a’lam. Billahit-Taufiq wal-Hidayah. □
- Posisi atau Kelemahan yang ada pada umat tersebut tidak perlu dijadikan alasan untuk bersikap inferior. Toh, yang menjalankan Islam itu kan kita, bukan mereka (Barat). Tidak perlu sampai berkesimpulan bahwa mereka lebih Islami dari kita. Sebab, jika memang bermental inferior, maka tidak ada gunanya kita mendiskusikan tentang kebangkitan umat. Kalau dari diri sendiri saja sudah goyah, bagaimana dalam konteks yang lebih luas?
Semoga kita dapat menimbang segala sesuatu lebih adil, āmīn. Wallahu a’lam. Billahit-Taufiq wal-Hidayah. □
Daftar
Pustaka
[1] Misalnya, lihat:
[2] Lihat:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/15/11/29/nykxou313-selandia-baru-negara-paling-islami-di-dunia.
Jurnal How Islamic are Islamic Countries? karangan Scheherazade S.
Rehman dan Hossein Askari juga dapat diunduh di http://idr.iain-antasari.ac.id/177/1/how-islamic-islamic-countries.pdf.
[3] Untuk jurnal
mengenai Economic Islamicity Index, lihat:
[4] Scheherazade S. Rehman dan Hossein
Askari, How Islamic are Islamic Countries? Global Economy Journal, Issue
2, Article 2, 2010, hlm. 31.
[5] Ibid, hlm. 5-6.
[6] Lihat Q.S. An-Nuur (24): 39.
[7] Lihat komentar Dr. Hamid Fahmy
Zarkasyi mengenai penelitian tersebut di:
[8] Lihat Scheherazade S. Rehman
dan Hossein Askari, How Islamic are Islamic Countries?, hlm. 17.
[9] Ibid, hlm. 22.
[10] Adian Husaini, Wajah Peradaban
Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta: Gema
Insani, 2005, hlm. 359. Cetak tebal oleh penulis.
[11] Aam Amiruddin, Sudah Benarkah
Shalatku?, Bandung: Khazanah Intelektual, 2008, hlm. 86.
[12] Adian Husaini, Wajah
Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, hlm.
360.
[13] Untuk mendapatkan pembahasan yang
sederhana mengenai deislamisasi bahasa, bisa lihat di jurisarrozy:
[14] Lihat di afaisalmarzuki:
Sumber
jurisarrozy.wordpress.com;
afaisalmarzuki.blogspot.com □□□