M
|
Memahami
Makna Kebebasan - Agar Kebebasan Tidak Menjadi Kebablasan. Apakah itu
kebebasan? Sejauh mana kebebasan bisa diperoleh? Adakah batasan-batasan dalam
kebebasan? Jika iya, maka apa saja yang membatasi suatu kebebasan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut
barangkali menjadi isu sentral dalam memahami hakikat kebebasan. Istilah
‘kebebasan’ – meskipun seringkali tidak terdefinisi dengan baik – kerap kali
dijadikan argumen segelintir golongan untuk menanggapi isu-isu yang terbilang
sensitif, terutama yang ada kaitannya dengan agama. Istilah ini layaknya
kalimat sakti yang digunakan pengusungnya, ibarat ‘pedang’ yang senantiasa
‘menebas’ argumen kelompok-kelompok yang dianggap “anti kebebasan”.
Katakanlah isu perzinaan dan
homoseksual. Dengan dalih kebebasan, perbuatan ini dibela oleh segelintir
golongan. Mereka bilang, negara tidak perlu ikut campur dalam wilayah privat.
Kalau dilakukan suka sama suka, apa salahnya? Yang penting tidak merugikan orang lain.
Begitu juga dengan Salman Rushdie dan novel The Satanic Verses-nya.
Dengan alasan freedom of expression (kebebasan berekspresi), maka
penghinaan terhadap Al-Quran dan Nabi Muhammad shalallahi ‘alaihi wasallam ada yang membela. Hal yang sama juga
terjadi dengan kasus pindah agama (dalam artian murtad, seorang Muslim
keluar dari Islam), menurutnya ini kebebasan. Toh agama itu urusan pribadi, tidak perlu
diikutcampuri oleh orang lain (apalagi negara).
Bagi seorang Muslim, ini tentu
membingungkan. Seperti inikah wajah kebebasan sesungguhnya? Apakah paham
kebebasan kemudian bisa berdampak pada legalisasi zina dan homoseksual,
kebebasan menghina agama, atau tindakan murtad? Hati kecil seorang
Muslim pasti berontak hebat, karena kebebasan versi ini tentunya sangat asing
bagi pandangan alam (dunia) Islam (Islamic Worldviews).
Di tengah kebingungan yang melanda kaum
Muslimin, dapatkah kita menemukan makna kebebasan yang benar? Apa sebenarnya
makna kebebasan dalam Islam?
Tiga
Makna Kebebasan dalam Islam
Menurut
Dr. Syamsuddin Arif dalam tulisannya “Tiga Makna Kebebasan dalam Islam”,
seorang Muslim mengenal kebebasan dalam tiga makna. Tiga makna kebebasan dalam
Islam diuraikan oleh beliau sebagai berikut:
Makna
Pertama,
kebebasan identik dengan ‘fitrah’ – yaitu tabiat dan kodrat asal manusia
sebelum diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan disekelilingnya.
Seperti kata Nabi saw: ‘kullu mawludin yuladu ‘ala l-fitrah’. Setiap
orang terlahir sebagai makhluk dan hamba Allah yang suci dan bersih dari noda
kufur, syirik, dan sebagainya. Namun orang-orang disekelilingnya kemudian
mengubah statusnya tersebut menjadi ingkar dan angkuh kepada Allah. [1]
Maka orang yang bebas ialah orang yang
hidup selaras dengan fitrahnya, karena pada dasarnya ruh setiap manusia telah
bersaksi bahwa Allah itu Tuhannya. Sebaliknya, orang yang menyalahi fitrah
dirinya sebagai abdi Allah sesungguhnya tidak bebas, karena ia hidup dalam
penjara nafsu dan belenggu syaitan. [2]
Ahli tafsir abad keempat Hijriah,
ar-Raghib al-Ishfahani, dalam kitabnya menerangkan dua arti ‘bebas’ (hurr):
Pertama, bebas dari ikatan hukum; Kedua, bebas dari sifat-sifat buruk seperti
rakus harta sehingga diperbudak olehnya. Pengertian kedua inilah yang
disinyalir Nabi saw dalam sebuah hadis sahih: ‘Celakalah si hamba uang’ (ta’isa
‘abdu d-dinar’) (Lihat Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm. 224). [2]
Makna Kedua dari
kebebasan adalah daya kemampuan (istitha’ah) dan kehendak (masyi’ah)
atau keinginan (iradah) yang Allah berikan kepada kita untuk memilih
jalan hidup masing-masing. Apakah jalan yang lurus (as-shirath al-mustaqim)
ataukah jalan yang lekuk atau bengkok. Apakah jalan yang terjal mendaki ataukah
jalan yang mulus menurun. Apakah jalan para nabi dan orang-orang sholeh,
ataukah jalan syaitan dan orang-orang sesat. ‘Siapa yang mau beriman,
dipersilakan. Siapa yang mau ingkar, pun dipersilakan (fa-man sya’a
fal-yu’min wa man sya’a fal-yakfur), firman Allah dalam al-Quran (18:29). [2]
Kebebasan disini melambangkan kehendak,
kemauan, dan keinginan diri sendiri. Bebasnya manusia berarti terpulang
kepadanya mau senang di dunia ataukah di akhirat (lihat al-Quran 17:18-19 dan
42:20). Terserah padanya apakah mau tunduk atau durhaka kepada Allah. Apakah
mau menghamba kepada sang Khaliq atau mengabdi kepada makhluk. Sudah barang
tentu, kebebasan ini bukan tanpa konsekuensi dan pertanggungjawaban. [2]
Dan benarlah firman Allah bahwa tidak
ada paksaan dalam agama – ‘la ikraha fi d-din’ (2:256). Setiap manusia
dijamin kebebasannya untuk menyerah ataupun membangkang kepada Allah, berislam
ataupun kafir. Mereka yang berislam dengan sukarela (thaw’an) lebih
unggul dari mereka yang berislam karena terpaksa (karhan), apatah lagi
dibandingkan dengan mereka yang kafir dengan sukarela. [2]
Makna
Ketiga,
kebebasan dalam Islam berarti ‘memilih yang baik’ (ikhtiyar).
Sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Naquib al-Attas, sesuai dengan akar
katanya, ikhtiar menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya (Lihat: Prolegomena
to the Metaphysics of Islam, hlm. 33-4). Oleh
karena itu, orang yang memilih keburukan, kejahatan, dan kekafiran itu
sesungguhnya telah menyalahgunakan kebebasannya. Sebab, pilihannya bukan
sesuatu yang baik (khayr). Disini kita dapat mengerti mengapa dalam
dunia beradab manusia tidak dibiarkan bebas untuk membunuh manusia lain.
[3]
Jadi, itulah tiga makna kebebasan dalam
Islam, sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Syamsuddin Arif. ● Pertama,
bebas dalam artian mengikuti fitrahnya sebagai manusia. Kalau kita mengikuti
Allah, maka kita bebas dari ikatan-ikatan yang lain. ●
Kedua, kebebasan memilih mau beriman atau kafir
(tentunya disertai konsekuensi). ● Ketiga,
kebebasan memilih yang baik (ikhtiyar). Hal inilah yang akan kita
temukan bertentangan dengan kebebasan versi sekuler-liberal – sebagaimana yang
akan kita temukan pada bagian selanjutnya.
Benturan
Pandangan Alam (Clash of Worldviews)
Jika
ingin membahas kebebasan, maka harus juga melihat pandangan alam (worldview)
yang melatarbelakanginya. Ini penting, karena konsep kebebasan tidak bisa
diterima begitu saja sebagai konsep yang “universal”, tanpa menelaah ideologi
dibaliknya. Pemaknaan begitu saja (taken for granted) bisa menimbulkan
atau menyebabkan masalah, karena bisa jadi suatu konsep kebebasan bertentangan
dengan pandangan alam yang kita anut.
Misalnya, ambil contoh Universal
Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, DUHAM) yang
menurut penulis cukup kental dengan paham sekuler-liberal. Simaklah pasal 18
DUHAM di bawah ini:
Everyone
has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to
change his religion or belief, and freedom, either alone or in community
with others and in public or private, to manifest his religion or belief in
teaching, practice, worship and observance.
Bandingkan dengan pasal 10 pada
Deklarasi Kairo yang didasarkan pada pandangan alam Islam, sebagaimana yang
tertulis di bawah ini: (Bagi yang belum tahu, pada tahun 1990, negara-negara
Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi islam (OKI) menghasilkan
“Deklarasi Kairo” (The Cairo Declaration on Human Rights in islam),
sebagai “tandingan” dari DUHAM yang dikeluarkan di San Fransisco pada 24
Oktober 1948. [4] Menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, ketika DUHAM disusun, tidak
satupun pihak agamawan – apalagi Islam – yang dilibatkan). [5]
Islam is the religion of true unspoiled
nature. It is prohibited to exercise any form of pressure on man or to exploit
his poverty or ignorance in order to force him to change his religion to
another religion or to atheism.
Jadi, dalam kebebasan versi DUHAM,
pergantian agama itu suatu hal yang biasa-biasa saja, bahkan merupakan Hak
Asasi Manusia (HAM). Menurut Deklarasi Kairo, ini masalah besar. Soal
perpindahan agama dari Islam ke agama lain (murtad), Allah berfirman
dalam QS Al-Baqarah 2:217 sebagai berikut:
“…Barangsiapa
yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.”
[QS Al-Baqarah 2:217]
Inilah benturan pandangan alam (clash
of worldview). Pandangan alam mana yang kita pakai menentukan kebebasan
seperti apa yang kita maknai. Menurut Islam, perbuatan homoseksual dan zina
adalah dosa besar (lihat QS Al-Isra 17:32 dan Al-Araf 7:80-84). Akan tetapi,
menurut paham sekuler-liberal, perbuatan homoseksual ataupun zina tidak
masalah, asal suka sama suka, asal tidak merugikan orang lain (meskipun batas
‘merugikan orang lain’ juga tidak jelas. Misalnya, bisakah orangtua menuntut
anaknya yang pelaku homoseksual atau zina karena mencemarkan nama baik orangtua
dan keluarganya? Atau bisakah tetangga pelaku homoseksual atau zina menuntut
karena merasa tidak nyaman berada di sekitar mereka?).
Begitu juga dengan pindah agama dalam
artian murtad (keluar dari agama Islam). Menurut Islam, ini bukan
masalah main-main. Allah mengingatkan tentang konsekuensi murtad dalam QS
Al-Baqarah 2:217. Akan tetapi, menurut paham sekuler-liberal, ini hal
yang wajar, biasa-biasa saja. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa keluar dari Islam
bukanlah murtad, tetapi sekadar “menemukan kesadaran baru dalam
beragama”.
Masalah novel The Satanic Verses-nya
Salman Rushdie juga sama. Menurut versi sekuler-liberal, ini bagian dari freedom
of expression (kebebasan berekspresi). Menurut Islam, ini penghinaan kelas
kakap. Mengenai kasus Salman Rushdie, Fatwa Khomaini pada 14 Februari 1989
menyatakan: Salman Rushdie telah melecehkan Islam, Nabi Muhammad, dan Al-Quran.
Semua pihak yang terlibat dalam publikasinya yang sadar akan isi novel
tersebut, harus dihukum mati. Pada 26 Februari 1989, Rabithah Alam Islami dalam
sidangnya di Makkah, yang dipimpin oleh ulama terkemuka Arab Saudi, Abd Aziz
bin Baz, mengeluarkan pernyataan, bahwa Rushdie adalah orang murtad dan harus
diadili secara in absentia di satu negara Islam dengan hukum Islam. [6]
Dapat kita lihat, betapa pandangan alam
sekuler-liberal dan pandangan alam Islam bertentangan secara diametral
(bertolak belakang). Hal ini berangkat dari perbedaan konsep nilai yang di
anut. Dalam Islam, ada hal-hal yang tidak akan berubah hingga akhir zaman.
Contohnya, hukum perzinaan dan homoseksual. Sampai kapanpun, hukum keduanya
tetaplah haram. Hal ini berbeda dengan pandangan alam sekuler-liberal.
Berangkat dari salah satu pilar sekularisasi yaitu deconsentration of values (penghapusan
kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan) dan paham relativisme (merelatifkan
segala nilai agar selalu terbuka untuk perubahan), maka segala nilai selalu
terbuka untuk perubahan. Hanya satu yang tidak berubah (diantara mereka), yaitu
sikap anti-agama.
Penutup
Dari
paparan di atas, kita mengetahui tentang konsep Islam mengenai kebebasan. Kita
juga tahu, bahwa kebebasan sesuai konsep Islam sangat berbeda dengan kebebasan
versi sekuler-liberal. Bagi paham sekuler-liberal, homoseksual, zina, pindah
agama (murtad), dan pornografi serta pornoaksi dianggap biasa. Akan
tetapi, Islam memandang hal itu sebagai dosa.
Disinilah kita harus jeli dalam
berpikir, kebebasan versi mana yang kita harus yakini. Jangan sampai, karena
ketidaktahuan, kita ‘manut’ saja pada kebebasan yang ditawarkan kaum
sekuler-liberal. Padahal, jika dilihat dari sudut pandang Islam, itu bukan
kebebasan, melainkan kebablasan! Wallahu a’lam. Billahit Taufiq Wal-Hidayah. □
Daftar Pustaka
[1] Dr. Adian Husaini dkk, Islam versus
Kebebasan/Liberalisme (Menjawab Gugatan terhadap UU Penodaan Agama, UU No.
1/PNPS/1965), Penerbit Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2010. hlm 58.
[2] Dr. Adian Husaini dkk, Islam versus
Kebebasan/Liberalisme (Menjawab Gugatan terhadap UU Penodaan Agama, UU No.
1/PNPS/1965), Penerbit Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2010. hlm 59-60.
[3] Dr. Adian Husaini dkk, Islam versus
Kebebasan/Liberalisme (Menjawab Gugatan terhadap UU Penodaan Agama, UU No.
1/PNPS/1965), Penerbit Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2010. hlm 61.
[4] Dr. Adian Husaini, Mewujudkan
Indonesia Adil dan Beradab, Surabaya: Bina Qalam Indonesia, 2015. hlm 246.
[5] Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat:
Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam, Jakarta: INSISTS-MIUMI,
2012. hlm.193.
[6] Dr. Adian Husaini, Mewujudkan
Indonesia Adil dan Beradab, Surabaya: Bina Qalam Indonesia, 2015. hlm 253. □□
Sumber
jurisarrozy.wordpress.com □□□