Monday, November 20, 2017

Memahami Makna Kebebasan





M
Memahami Makna Kebebasan - Agar Kebebasan Tidak Menjadi Kebablasan. Apakah itu kebebasan? Sejauh mana kebebasan bisa diperoleh? Adakah batasan-batasan dalam kebebasan? Jika iya, maka apa saja yang membatasi suatu kebebasan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut barangkali menjadi isu sentral dalam memahami hakikat kebebasan. Istilah ‘kebebasan’ – meskipun seringkali tidak terdefinisi dengan baik – kerap kali dijadikan argumen segelintir golongan untuk menanggapi isu-isu yang terbilang sensitif, terutama yang ada kaitannya dengan agama. Istilah ini layaknya kalimat sakti yang digunakan pengusungnya, ibarat ‘pedang’ yang senantiasa ‘menebas’ argumen kelompok-kelompok yang dianggap “anti kebebasan”.

Katakanlah isu perzinaan dan homoseksual. Dengan dalih kebebasan, perbuatan ini dibela oleh segelintir golongan. Mereka bilang, negara tidak perlu ikut campur dalam wilayah privat. Kalau dilakukan suka sama suka, apa salahnya? Yang penting tidak merugikan orang lain. Begitu juga dengan Salman Rushdie dan novel The Satanic Verses-nya. Dengan alasan freedom of expression (kebebasan berekspresi), maka penghinaan terhadap Al-Quran dan Nabi Muhammad shalallahi ‘alaihi wasallam ada yang membela. Hal yang sama juga terjadi dengan kasus pindah agama (dalam artian murtad, seorang Muslim keluar dari Islam), menurutnya ini kebebasan. Toh agama itu urusan pribadi, tidak perlu diikutcampuri oleh orang lain (apalagi negara).

Bagi seorang Muslim, ini tentu membingungkan. Seperti inikah wajah kebebasan sesungguhnya? Apakah paham kebebasan kemudian bisa berdampak pada legalisasi zina dan homoseksual, kebebasan menghina agama, atau tindakan murtad? Hati kecil seorang Muslim pasti berontak hebat, karena kebebasan versi ini tentunya sangat asing bagi pandangan alam (dunia) Islam (Islamic Worldviews).

Di tengah kebingungan yang melanda kaum Muslimin, dapatkah kita menemukan makna kebebasan yang benar? Apa sebenarnya makna kebebasan dalam Islam?


Tiga Makna Kebebasan dalam Islam

Menurut Dr. Syamsuddin Arif dalam tulisannya “Tiga Makna Kebebasan dalam Islam”, seorang Muslim mengenal kebebasan dalam tiga makna. Tiga makna kebebasan dalam Islam diuraikan oleh beliau sebagai berikut:

Makna Pertama, kebebasan identik dengan ‘fitrah’ – yaitu tabiat dan kodrat asal manusia sebelum diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan disekelilingnya. Seperti kata Nabi saw: ‘kullu mawludin yuladu ‘ala l-fitrah’. Setiap orang terlahir sebagai makhluk dan hamba Allah yang suci dan bersih dari noda kufur, syirik, dan sebagainya. Namun orang-orang disekelilingnya kemudian mengubah statusnya tersebut menjadi ingkar dan angkuh kepada Allah. [1]

Maka orang yang bebas ialah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya, karena pada dasarnya ruh setiap manusia telah bersaksi bahwa Allah itu Tuhannya. Sebaliknya, orang yang menyalahi fitrah dirinya sebagai abdi Allah sesungguhnya tidak bebas, karena ia hidup dalam penjara nafsu dan belenggu syaitan. [2]

Ahli tafsir abad keempat Hijriah, ar-Raghib al-Ishfahani, dalam kitabnya menerangkan dua arti ‘bebas’ (hurr): Pertama, bebas dari ikatan hukum; Kedua, bebas dari sifat-sifat buruk seperti rakus harta sehingga diperbudak olehnya. Pengertian kedua inilah yang disinyalir Nabi saw dalam sebuah hadis sahih: ‘Celakalah si hamba uang’ (ta’isa ‘abdu d-dinar’) (Lihat Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm. 224). [2]

Makna Kedua dari kebebasan adalah daya kemampuan (istitha’ah) dan kehendak (masyi’ah) atau keinginan (iradah) yang Allah berikan kepada kita untuk memilih jalan hidup masing-masing. Apakah jalan yang lurus (as-shirath al-mustaqim) ataukah jalan yang lekuk atau bengkok. Apakah jalan yang terjal mendaki ataukah jalan yang mulus menurun. Apakah jalan para nabi dan orang-orang sholeh, ataukah jalan syaitan dan orang-orang sesat. ‘Siapa yang mau beriman, dipersilakan. Siapa yang mau ingkar, pun dipersilakan (fa-man sya’a fal-yu’min wa man sya’a fal-yakfur), firman Allah dalam al-Quran (18:29). [2]

Kebebasan disini melambangkan kehendak, kemauan, dan keinginan diri sendiri. Bebasnya manusia berarti terpulang kepadanya mau senang di dunia ataukah di akhirat (lihat al-Quran 17:18-19 dan 42:20). Terserah padanya apakah mau tunduk atau durhaka kepada Allah. Apakah mau menghamba kepada sang Khaliq atau mengabdi kepada makhluk. Sudah barang tentu, kebebasan ini bukan tanpa konsekuensi dan pertanggungjawaban. [2]

Dan benarlah firman Allah bahwa tidak ada paksaan dalam agama – ‘la ikraha fi d-din’ (2:256). Setiap manusia dijamin kebebasannya untuk menyerah ataupun membangkang kepada Allah, berislam ataupun kafir. Mereka yang berislam dengan sukarela (thaw’an) lebih unggul dari mereka yang berislam karena terpaksa (karhan), apatah lagi dibandingkan dengan mereka yang kafir dengan sukarela. [2]

Makna Ketiga, kebebasan dalam Islam berarti ‘memilih yang baik’ (ikhtiyar). Sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Naquib al-Attas, sesuai dengan akar katanya, ikhtiar menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya (Lihat: Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hlm. 33-4). Oleh karena itu, orang yang memilih keburukan, kejahatan, dan kekafiran itu sesungguhnya telah menyalahgunakan kebebasannya. Sebab, pilihannya bukan sesuatu yang baik (khayr). Disini kita dapat mengerti mengapa dalam dunia beradab manusia tidak dibiarkan bebas untuk membunuh manusia lain. [3]

Jadi, itulah tiga makna kebebasan dalam Islam, sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Syamsuddin Arif. Pertama, bebas dalam artian mengikuti fitrahnya sebagai manusia. Kalau kita mengikuti Allah, maka kita bebas dari ikatan-ikatan yang lain. Kedua, kebebasan memilih mau beriman atau kafir (tentunya disertai konsekuensi). Ketiga, kebebasan memilih yang baik (ikhtiyar). Hal inilah yang akan kita temukan bertentangan dengan kebebasan versi sekuler-liberal – sebagaimana yang akan kita temukan pada bagian selanjutnya.


Benturan Pandangan Alam (Clash of Worldviews)

Jika ingin membahas kebebasan, maka harus juga melihat pandangan alam (worldview) yang melatarbelakanginya. Ini penting, karena konsep kebebasan tidak bisa diterima begitu saja sebagai konsep yang “universal”, tanpa menelaah ideologi dibaliknya. Pemaknaan begitu saja (taken for granted) bisa menimbulkan atau menyebabkan masalah, karena bisa jadi suatu konsep kebebasan bertentangan dengan pandangan alam yang kita anut.

Misalnya, ambil contoh Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, DUHAM) yang menurut penulis cukup kental dengan paham sekuler-liberal. Simaklah pasal 18 DUHAM di bawah ini:

Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.

Bandingkan dengan pasal 10 pada Deklarasi Kairo yang didasarkan pada pandangan alam Islam, sebagaimana yang tertulis di bawah ini: (Bagi yang belum tahu, pada tahun 1990, negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi islam (OKI) menghasilkan “Deklarasi Kairo” (The Cairo Declaration on Human Rights in islam), sebagai “tandingan” dari DUHAM yang dikeluarkan di San Fransisco pada 24 Oktober 1948. [4] Menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, ketika DUHAM disusun, tidak satupun pihak agamawan – apalagi Islam – yang dilibatkan). [5]

Islam is the religion of true unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of pressure on man or to exploit his poverty or ignorance in order to force him to change his religion to another religion or to atheism.

Jadi, dalam kebebasan versi DUHAM, pergantian agama itu suatu hal yang biasa-biasa saja, bahkan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Deklarasi Kairo, ini masalah besar. Soal perpindahan agama dari Islam ke agama lain (murtad), Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah 2:217 sebagai berikut:

“…Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. [QS Al-Baqarah 2:217]

Inilah benturan pandangan alam (clash of worldview). Pandangan alam mana yang kita pakai menentukan kebebasan seperti apa yang kita maknai. Menurut Islam, perbuatan homoseksual dan zina adalah dosa besar (lihat QS Al-Isra 17:32 dan Al-Araf 7:80-84). Akan tetapi, menurut paham sekuler-liberal, perbuatan homoseksual ataupun zina tidak masalah, asal suka sama suka, asal tidak merugikan orang lain (meskipun batas ‘merugikan orang lain’ juga tidak jelas. Misalnya, bisakah orangtua menuntut anaknya yang pelaku homoseksual atau zina karena mencemarkan nama baik orangtua dan keluarganya? Atau bisakah tetangga pelaku homoseksual atau zina menuntut karena merasa tidak nyaman berada di sekitar mereka?).

Begitu juga dengan pindah agama dalam artian murtad (keluar dari agama Islam). Menurut Islam, ini bukan masalah main-main. Allah mengingatkan tentang konsekuensi murtad dalam QS Al-Baqarah 2:217. Akan tetapi,  menurut paham sekuler-liberal, ini hal yang wajar, biasa-biasa saja. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa keluar dari Islam bukanlah murtad, tetapi sekadar “menemukan kesadaran baru dalam beragama”.

Masalah novel The Satanic Verses-nya Salman Rushdie juga sama. Menurut versi sekuler-liberal, ini bagian dari freedom of expression (kebebasan berekspresi). Menurut Islam, ini penghinaan kelas kakap. Mengenai kasus Salman Rushdie, Fatwa Khomaini pada 14 Februari 1989 menyatakan: Salman Rushdie telah melecehkan Islam, Nabi Muhammad, dan Al-Quran. Semua pihak yang terlibat dalam publikasinya yang sadar akan isi novel tersebut, harus dihukum mati. Pada 26 Februari 1989, Rabithah Alam Islami dalam sidangnya di Makkah, yang dipimpin oleh ulama terkemuka Arab Saudi, Abd Aziz bin Baz, mengeluarkan pernyataan, bahwa Rushdie adalah orang murtad dan harus diadili secara in absentia di satu negara Islam dengan hukum Islam. [6]

Dapat kita lihat, betapa pandangan alam sekuler-liberal dan pandangan alam Islam bertentangan secara diametral (bertolak belakang). Hal ini berangkat dari perbedaan konsep nilai yang di anut. Dalam Islam, ada hal-hal yang tidak akan berubah hingga akhir zaman. Contohnya, hukum perzinaan dan homoseksual. Sampai kapanpun, hukum keduanya tetaplah haram. Hal ini berbeda dengan pandangan alam sekuler-liberal. Berangkat dari salah satu pilar sekularisasi yaitu deconsentration of values (penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan) dan paham relativisme (merelatifkan segala nilai agar selalu terbuka untuk perubahan), maka segala nilai selalu terbuka untuk perubahan. Hanya satu yang tidak berubah (diantara mereka), yaitu sikap anti-agama.


Penutup

Dari paparan di atas, kita mengetahui tentang konsep Islam mengenai kebebasan. Kita juga tahu, bahwa kebebasan sesuai konsep Islam sangat berbeda dengan kebebasan versi sekuler-liberal. Bagi paham sekuler-liberal, homoseksual, zina, pindah agama (murtad), dan pornografi serta pornoaksi dianggap biasa. Akan tetapi, Islam memandang hal itu sebagai dosa.

Disinilah kita harus jeli dalam berpikir, kebebasan versi mana yang kita harus yakini. Jangan sampai, karena ketidaktahuan, kita ‘manut’ saja pada kebebasan yang ditawarkan kaum sekuler-liberal. Padahal, jika dilihat dari sudut pandang Islam, itu bukan kebebasan, melainkan kebablasan! Wallahu a’lam. Billahit Taufiq Wal-Hidayah. □


Daftar Pustaka
[1] Dr. Adian Husaini dkk, Islam versus Kebebasan/Liberalisme (Menjawab Gugatan terhadap UU Penodaan Agama, UU No. 1/PNPS/1965), Penerbit Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2010. hlm 58.
[2] Dr. Adian Husaini dkk, Islam versus Kebebasan/Liberalisme (Menjawab Gugatan terhadap UU Penodaan Agama, UU No. 1/PNPS/1965), Penerbit Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2010. hlm 59-60.
[3] Dr. Adian Husaini dkk, Islam versus Kebebasan/Liberalisme (Menjawab Gugatan terhadap UU Penodaan Agama, UU No. 1/PNPS/1965), Penerbit Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2010. hlm 61.
[4] Dr. Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, Surabaya: Bina Qalam Indonesia, 2015. hlm 246.
[5] Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam, Jakarta: INSISTS-MIUMI, 2012. hlm.193.
[6] Dr. Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, Surabaya: Bina Qalam Indonesia, 2015. hlm 253. □□

Sumber
jurisarrozy.wordpress.com □□□

Blog Archive