Adab Dalam Berilmu:
“maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS
An-Nahl 16:43]
Kata Pengantar
Adab
atau beradab (tahu diri, dan kritis serta belajar kepada ahlinya) dalam memperoleh ilmu, informasi, pengetahuan sebagai rujukan
(pegangan) pangkal keselamatan umat dari kehancuran (perpecahan, galau, ragu,
diadudomba), karena keamatiran (kesoktahuan) atau tidak profesioinal (tidak ahlinya).
Dalam memperoleh ilmu ada beberapa cara: Belajar kepada ahli; Bertanya kepada ahlinya; Sebelum memulai suatu pekerjaan
perlu ilmunya dulu dikuasai; Sebelum membantah atau ketidak setujuan akan
sesuatu, perlu bertanya apa maksudnya atau kuasai dulu ilmunya. Sebagai rujukan
pernyataan diatas adalah:
“maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS
An-Nahl 16:43]
Berikut ini adalah uraiannya. □ AFM
Pendahuluan
B
|
Beberapa
waktu yang lalu, kita menyaksikan sebuah akun youtube yang memberikan
argumen-argumen bahwa bumi sebenarnya datar (flat earth theory).
Tentunya, ini mengagetkan. Sejak SD kita sudah diajarkan bahwa bumi itu
bulat. Tiba-tiba saja, ada akun (entah darimana asalnya) berkata bahwa
bumi itu datar. Jika akun tersebut benar, berarti selama ini kita sudah dibodohi.
Ini juga berarti bahwa sains sekarang adalah kebohongan (karena dalam sains,
bumi itu bulat adalah sebuah kepastian). Mulailah pro-kontra muncul. Dan
nyatanya, banyak juga yang pro terhadap gagasan bumi itu datar.
Senada (maupun tidak serupa) dengan
kasus di atas, ada juga kasus Surat Al-Maidah ayat 51. Yang menjadi sorotan
adalah tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 51 tersebut. Apakah memang benar umat Islam
dilarang memilih pemimpin non-Muslim? Apa makna awliya pada kutipan
surat Al-Maidah tersebut? Pro-kontra juga muncul. Bahkan setelah fatwa MUI
mengenai kasus ini dikeluarkan, pro-kontra tentang penafsiran Surat Al-Maidah
ayat 51 ini masih berlanjut (malahan semakin mengganas).
Dari dua contoh di atas, sebenarnya ada
satu kesamaan yang bisa diamati. Hal tersebut adalah penafian terhadap
otoritas orang yang lebih ahli di bidangnya. Pada kasus pertama, pihak pro flat earth menafikan orang-orang yang lebih
ahli pada bidang sains, terutama astronomi. Pada kasus kedua, pihak yang tidak setuju bahwa QS Al-Maidah: 51 menjadi ayat
yang secara eksplisit melarang memilih pemimpin non-muslim juga menafikan
otoritas ulama dalam menafsirkan ayat Al-Quran.
Mendudukkan Diri Pada
Tempatnya
Zaman
sekarang, informasi sudah sangat mudah diperoleh. Ini layaknya pisau bermata
dua. Terkadang menguntungkan, tetapi tidak jarang juga merugikan. Di tengah
arus informasi yang seperti air bah ini, berbagai informasi bisa-bisa saja kita
telan.
Akan tetapi, sedikit dari kita yang mau
mengecek sumber informasi tersebut, apakah benar atau tidak, apakah orang yang
menyebarkan fasiq (sehingga kita harus melakukan crosscheck).
Atau dapat dipercaya, dan juga apakah
yang menjadi sumber informasi itu ahli pada bidangnya atau tidak. Tidak jarang, meme [*] di internet lebih populer dan lebih dipercaya daripada
penjelasan terperinci dari masing-masing pakar yang memang sangat memahami
bidang ilmu spesialisasinya.
Permasalahan ini tidak lepas dari
hilangnya adab pada umat. Dalam wawancaranya bersama Hamza Yusuf, Prof. Syed
Muhammad Naquib Al-attas mengatakan bahwa permasalahan utama (central crisis)
yang dihadapi dunia Muslim sekarang adalah hilangnya adab (loss of adab).
Di lain kesempatan, beliau juga menjelaskan bahwa yang dimaksud sebagai loss
of adab adalah sebagai berikut:
“lost
of discipline – the discipline of body, mind, and soul; the discipline that
assures the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation
to one’s self, society, and community; the recognition and acknowledgement of
one’s proper place in relation to one’s physical, intellectual, and spiritual
capacities and potentials; the recognition and acknowledgement of the fact that
knowledge and being are ordered hierarchically.” (Syed Muhammad Naquib
Al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul
Aziz University, 1979, hlm. 1) [1]
Terjemahannya:
"Kehilangan
disiplin
(menempatkan diri dari) - disiplin jiwa, raga
dan pikiran; disiplin yang menjamin
pengakuan (keabsahan pengetahuan yang
benar) dan pengakuan akan (asal
yang dimiliki oleh ahlinya sebagai) tempat (bertanya
dan memperoleh ilmu atau pengetahuan) yang
tepat dalam kaitannya dengan diri, masyarakat, dan masyarakat seseorang;
pengakuan dan pengakuan atas tempat yang tepat (bertanya atau mengambil
data pengetahuan dari yang ahlinya) dalam
kaitannya (sesuai dari keahlian bidangnya masing-masing) dengan kemampuan, potensi, dan potensi fisik,
intelektual, dan spiritual seseorang; pengenalan dan pengakuan atas fakta bahwa (tingkatan-tingkatan
keahliannya atas) pengetahuan dan
keberadaan diperintahkan secara hierarkis. "(Syed Muhammad Naquib
Al-Attas, Sasaran dan
Tujuan Pendidikan Islam.
Problem Umat Dalam
Berpendapat
Inilah permasalahannya.
Terkadang kita tidak memahami kapasitas intelektual kita, sehingga seenaknya
saja tidak setuju dengan orang yang jelas-jelas ahli di bidangnya. Celakanya
lagi jika kita sampai menghina orang-orang yang memiliki otoritas tersebut.
Apalagi, argumen yang kita dapatkan
hanya berasal dari medsos, artikel, dan sejenisnya yang belum tentu juga
kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan. Mana yang lebih kuat, artikel atau posting
medsos atau penjelasan ilmiah para pakar?
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,”
[QS An-Nahl 16: 43]
Disinilah bedanya Islam dengan
liberalisme. Jika liberalisme menghendaki kita lepas dari segala otoritas
(walaupun tidak jelas juga batasannya, karena orang liberal pun biasanya
mengakui otoritas sains), maka tidak demikian dengan Islam.
Adab Dalam Ilmu
Islam
mengajarkan kita untuk menjadi orang yang beradab, orang yang mampu menempatkan
sesuatu pada tempatnya yang layak. Jika kita mempelajari ilmu adab, maka kita
akan menemukan banyak tuntunan praktis (practical guide) dalam berbagai
hal. Misalnya, adab dalam menuntut ilmu, adab bercermin, adab pergi ke Masjid,
dll.
Bagitu pentingnya adab dalam kehidupan
kita. Bahkan, generasi terdahulu pun sudah mengetahui pentingnya ada dalam
kehidupan. Simak kutipan hadits berikut:
“Muliakanlah
anak-anak kalian, dan perbaiki adab mereka.” [HR. Ibn Majah, no 3671] [2]
Simak juga perkatakan Hubaib ibn Syahid
ketika memberikan nasihat kepada putranya:
“Hai
anakku, bergaullah (ikuti dan temani terus) dengan para ahli fiqih dan ulama,
belajarlah dari mereka, dan ambil adab (pendidikan akhlak) dari mereka! Karena
hal itu lebih aku sukai daripada hanya sekadar memperbanyak hadits.” (Abd
al-Amir Syams ad-Din, Al-Madzha at-Tarbawiy ‘inda ibn Jama’ah, Beirut:
Dar Iqra’, 1984, hlm. 62) [3]
Adalah adab yang dapat membuat hidup
kita selamat. Orang awam pun bisa selamat ketika paham adab. Ketika tidak tahu
mengenai suatu perkara, tinggal tanya saja kepada orang yang lebih tahu. Jika
masalahnya tentang listrik, tanya ke ahli listrik, bukan ahli hukum. Jika
permasalahannya tafsir Al-Quran, tanya ke ulama, bukan ke politisi (yang tidak
punya basis keilmuan tafsir Al-Quran). Itu baru satu ‘kaidah’, belum lagi jika
kita mengecek apakah orang yang menyampaikannya fasiq atau tidak.
Inilah Islam sebagai agama yang
menyeluruh (syamil), lengkap (kamil), dan melengkapi (mutakammil).
Dengan menjadi manusia yang beradab, maka akan tercipta keadilan (justice).
Penutup
Medan dakwah dewasa ini
menghadapi tantangan yang semakin berat. Hal ini karena akhlak (adab) buruk
tumbuh dengan sangat pesat, terutama mereka yang menganut paham at-tarbiyah (pendidikan beragam) tanpa
bimbingan (tidak belajar kepada ahlinya).
Hal ini memunculkan fenomena berbahaya, seperti anak muda dia awam tapi menganggap dirinya tahu; orang-orang yang belum cukup ilmunya berani melangkahi para ahli pada bidangnya. Mereka tidak santun, tidak mau bertanya, dan tidak mau belajar atau berguru kepada yang ahlinya.
Kini, anak muda banyak menyelam ke dalam lumpur saling mencela, pertikaian pendapat yang tidak jelas. Hal ini karena mereka tidak sadar bahwa mereka mengira bahwa mereka sedang melakukan sesuatu dibenarkan agama.
Imam Ghazali mengkatogarikan orang
yang berilmu sebagai berikut: ● Tidak tahu bahwa dirinya tidak
tahu (kalau dia berbicara menganggap dirinya tahu). ● Tidak tahu bahwa dirinya
tahu (ilmunnya pasif). ● Tahu bahwa dirinya tidak tahu (menyadari bahwa dia perlu
belajar). ● Tahu bahwa dirinya tahu (ia akan berusaha menjadikan ilmunya bermanfaat
bagi orang lain).
Orang berilmu dimuliakan-Nya:
Allah
SWT berfirman, "... niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa
derajat." [QS Al-Mujādalah 58:11].
Karena tidak sama derajatnya antara orang beriman yang berilmu dengan yang tidak berilmu: Allah SWT juga berfirman, "Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui’?" [QS Az-Zumar 39:9]. Billahit Taufiq Wal-Hidayah □ AFM
Catatan
* Meme berasal dari bentuk pendek
mimeme (dari bahasa Yunani Kuno μίμημα
Pengucapan
Yunani: mīmēma, "imitasi/tiruan"; dari mimeisthai,
"mengimitasi"; dari mimos,
“mime”. Meme adalah ide, perilaku, atau
gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya. [4] Meme merupakan neologisme yang
diciptakan oleh Richard Dawkins. [5] Berikut
merupakan contoh meme: gagasan, ide,
teori, penerapan, kebiasaan, lagu, tarian dan suasana hati.
Meme dapat
replikasi dengan sendirinya (dalam bentuk peniruan) dan membentuk suatu budaya,
cara seperti ini mirip dengan penyebaran virus (tetapi dalam hal ini terjadi di
ranah budaya). Sebagai unit terkecil dari evolusi budaya, dalam beberapa sudut
pandang meme serupa dengan gen. Richard
Dawkins, dalam bukunya The Selfish Gene [5], ia menceritakan
bagaimana ia menggunakan istilah meme untuk menceritakan bagaimana
prinsip Darwinisme untuk menjelaskan penyebaran ide ataupun fenomena budaya.
Dawkins juga memberi contoh meme, yaitu nada, kaitan dari susunan kata,
kepercayaan, gaya berpakaian dan perkembangan teknologi.
Teori meme
menjelaskan bahwa meme berkembang
dengan cara seleksi (mirip dengan prinsip evolusi biologi yang dijelaskan oleh
penganut Darwinisme) melalui proses variasi, mutasi, kompetisi, dan warisan
budaya yang mana memengaruhi kesuksesan reproduksi di setiap individu. Dengan
demikian, meme menyebar berupa ide
dan bila tidak berhasil maka ia akan mati, sedangkan yang lain akan bertahan,
menyebar, dan (untuk tujuan yang lebih baik bahkan lebih buruk) akan bermutasi.
“Ilmuwan memetika mempunyai pendapat
bahwa meme yang mempunyai ketahanan
terbaik akan menyebar dengan efektif dan memengaruhi si objek (seorang
individu).” [6] □□
Catatan Kaki
[1] Dr. Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia
Adil dan Beradab, Surabaya: Bina Qalam Indonesia, 2015. hlm 101.
[2] Dr. Adian Husaini et. Al, Filsafat
Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013. hlm 194.
[3] Dr. Adian Husaini et. Al, Filsafat
Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013. hlm 191.
[4] “me.me”.
KBBI Daring. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 12
Mei 201
[5] Dawkins, Richard (1989).
"11. Memes: the new replicators". The Selfish Gene (edisi
kedua ed.). Oxford: Oxford University Press. p. 352. ISBN 0192177737. Dawkins menerangkan bahwa dalam edisi kedua ia membicarakan
meme khusus untuk memberikan contoh
nyata replikasi non-biologis dan prinsip-prinsip evolusi.
[6] Kelly,
Kevin (1994). Out of control: the new biology of machines, social systems
and the economic world. Boston: Addison-Wesley. p. 360. ISBN
0-201-48340-8
Bahan Penulisan
jurisarrozy.wordpress.com, www.republika.co.id, id.wikipedia.org dan
sumber lainnya. □□□