Sunday, November 19, 2017

Adab Berilmu Pangkal Selamat





Adab Dalam Berilmu:
“maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS An-Nahl 16:43]


Kata Pengantar

Adab atau beradab (tahu diri, dan kritis serta belajar kepada ahlinya) dalam memperoleh ilmu, informasi, pengetahuan sebagai rujukan (pegangan) pangkal keselamatan umat dari kehancuran (perpecahan, galau, ragu, diadudomba), karena keamatiran (kesoktahuan) atau tidak profesioinal (tidak ahlinya).

Dalam memperoleh ilmu ada beberapa cara: Belajar kepada ahli; Bertanya kepada ahlinya; Sebelum memulai suatu pekerjaan perlu ilmunya dulu dikuasai; Sebelum membantah atau ketidak setujuan akan sesuatu, perlu bertanya apa maksudnya atau kuasai dulu ilmunya. Sebagai rujukan pernyataan diatas adalah:

“maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS An-Nahl 16:43]

Berikut ini adalah uraiannya. □ AFM



Pendahuluan

B
Beberapa waktu yang lalu, kita menyaksikan sebuah akun youtube yang memberikan argumen-argumen bahwa bumi sebenarnya datar (flat earth theory). Tentunya, ini mengagetkan. Sejak SD kita sudah diajarkan bahwa bumi itu bulat.  Tiba-tiba saja, ada akun (entah darimana asalnya) berkata bahwa bumi itu datar. Jika akun tersebut benar, berarti selama ini kita sudah dibodohi. Ini juga berarti bahwa sains sekarang adalah kebohongan (karena dalam sains, bumi itu bulat adalah sebuah kepastian). Mulailah pro-kontra muncul. Dan nyatanya, banyak juga yang pro terhadap gagasan bumi itu datar.

Senada (maupun tidak serupa) dengan kasus di atas, ada juga kasus Surat Al-Maidah ayat 51. Yang menjadi sorotan adalah tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat  51 tersebut. Apakah memang benar umat Islam dilarang memilih pemimpin non-Muslim? Apa makna awliya pada kutipan surat Al-Maidah tersebut? Pro-kontra juga muncul. Bahkan setelah fatwa MUI mengenai kasus ini dikeluarkan, pro-kontra tentang penafsiran Surat Al-Maidah ayat 51 ini masih berlanjut (malahan semakin mengganas).

Dari dua contoh di atas, sebenarnya ada  satu kesamaan yang bisa diamati. Hal tersebut adalah penafian terhadap otoritas orang yang lebih ahli di bidangnya. Pada kasus pertama, pihak pro flat earth menafikan orang-orang yang lebih ahli pada bidang sains, terutama astronomi. Pada kasus kedua, pihak yang tidak setuju bahwa QS Al-Maidah: 51 menjadi ayat yang secara eksplisit melarang memilih pemimpin non-muslim juga menafikan otoritas ulama dalam menafsirkan ayat Al-Quran.


Mendudukkan Diri Pada Tempatnya

Zaman sekarang, informasi sudah sangat mudah diperoleh. Ini layaknya pisau bermata dua. Terkadang menguntungkan, tetapi tidak jarang juga merugikan. Di tengah arus informasi yang seperti air bah ini, berbagai informasi bisa-bisa saja kita telan.

Akan tetapi, sedikit dari kita yang mau mengecek sumber informasi tersebut, apakah benar atau tidak, apakah orang yang menyebarkan fasiq (sehingga kita harus melakukan crosscheck).

Atau dapat dipercaya, dan juga apakah yang menjadi sumber informasi itu ahli pada bidangnya atau tidak. Tidak jarang, meme [*] di internet lebih populer dan lebih dipercaya daripada penjelasan terperinci dari masing-masing pakar yang memang sangat memahami bidang ilmu spesialisasinya.

Permasalahan ini tidak lepas dari hilangnya adab pada umat. Dalam wawancaranya bersama Hamza Yusuf, Prof. Syed Muhammad Naquib Al-attas mengatakan bahwa permasalahan utama (central crisis) yang dihadapi dunia Muslim sekarang adalah hilangnya adab (loss of adab). Di lain kesempatan, beliau juga menjelaskan bahwa yang dimaksud sebagai loss of adab adalah sebagai berikut:

lost of discipline – the discipline of body, mind, and soul; the discipline that assures the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s self, society, and community; the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s physical, intellectual, and spiritual capacities and potentials; the recognition and acknowledgement of the fact that knowledge and being are ordered hierarchically.” (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979, hlm. 1) [1]

Terjemahannya:

"Kehilangan disiplin (menempatkan diri dari) - disiplin jiwa, raga dan pikiran; disiplin yang menjamin pengakuan (keabsahan pengetahuan yang benar) dan pengakuan akan (asal yang dimiliki oleh ahlinya sebagai) tempat (bertanya dan memperoleh ilmu atau pengetahuan) yang tepat dalam kaitannya dengan diri, masyarakat, dan masyarakat seseorang; pengakuan dan pengakuan atas tempat yang tepat (bertanya atau mengambil data pengetahuan dari yang ahlinya) dalam kaitannya (sesuai dari keahlian bidangnya masing-masing) dengan kemampuan, potensi, dan potensi fisik, intelektual, dan spiritual seseorang; pengenalan dan pengakuan atas fakta bahwa (tingkatan-tingkatan keahliannya atas) pengetahuan dan keberadaan diperintahkan secara hierarkis. "(Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Sasaran dan Tujuan Pendidikan Islam.


Problem Umat Dalam Berpendapat

Inilah permasalahannya. Terkadang kita tidak memahami kapasitas intelektual kita, sehingga seenaknya saja tidak setuju dengan orang yang jelas-jelas ahli di bidangnya. Celakanya lagi jika kita sampai menghina orang-orang yang memiliki otoritas tersebut.

Apalagi, argumen yang kita dapatkan hanya berasal dari medsos, artikel, dan sejenisnya yang belum tentu juga kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan. Mana yang lebih kuat, artikel atau posting medsos atau penjelasan ilmiah para pakar?

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” [QS An-Nahl 16: 43]

Disinilah bedanya Islam dengan liberalisme. Jika liberalisme menghendaki kita lepas dari segala otoritas (walaupun tidak jelas juga batasannya, karena orang liberal pun biasanya mengakui otoritas sains), maka tidak demikian dengan Islam.


Adab Dalam Ilmu

Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang yang beradab, orang yang mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Jika kita mempelajari ilmu adab, maka kita akan menemukan banyak tuntunan praktis (practical guide) dalam berbagai hal. Misalnya, adab dalam menuntut ilmu, adab bercermin, adab pergi ke Masjid, dll.

Bagitu pentingnya adab dalam kehidupan kita. Bahkan, generasi terdahulu pun sudah mengetahui pentingnya ada dalam kehidupan. Simak kutipan hadits berikut:

Muliakanlah anak-anak kalian, dan perbaiki adab mereka.” [HR. Ibn Majah, no 3671] [2]

Simak juga perkatakan Hubaib ibn Syahid ketika memberikan nasihat kepada putranya:

Hai anakku, bergaullah (ikuti dan temani terus) dengan para ahli fiqih dan ulama, belajarlah dari mereka, dan ambil adab (pendidikan akhlak) dari mereka! Karena hal itu lebih aku sukai daripada hanya sekadar memperbanyak hadits.” (Abd al-Amir Syams ad-Din, Al-Madzha at-Tarbawiy ‘inda ibn Jama’ah, Beirut: Dar Iqra’, 1984, hlm. 62) [3]

Adalah adab yang dapat membuat hidup kita selamat. Orang awam pun bisa selamat ketika paham adab. Ketika tidak tahu mengenai suatu perkara, tinggal tanya saja kepada orang yang lebih tahu. Jika masalahnya tentang listrik, tanya ke ahli listrik, bukan ahli hukum. Jika permasalahannya tafsir Al-Quran, tanya ke ulama, bukan ke politisi (yang tidak punya basis keilmuan tafsir Al-Quran). Itu baru satu ‘kaidah’, belum lagi jika kita mengecek apakah orang yang menyampaikannya fasiq atau tidak.

Inilah Islam sebagai agama yang menyeluruh (syamil), lengkap (kamil), dan melengkapi (mutakammil). Dengan menjadi manusia yang beradab, maka akan tercipta keadilan (justice).

Penutup
Medan dakwah dewasa ini menghadapi tantangan yang semakin berat. Hal ini karena akhlak (adab) buruk tumbuh dengan sangat pesat, terutama mereka yang menganut paham at-tarbiyah (pendidikan beragam) tanpa bimbingan (tidak belajar kepada ahlinya).

Hal ini memunculkan fenomena berbahaya, seperti anak muda dia awam tapi menganggap dirinya tahu; orang-orang yang belum cukup ilmunya berani melangkahi para ahli pada bidangnya. Mereka tidak santun, tidak mau bertanya, dan tidak mau belajar atau berguru kepada yang ahlinya.

Kini, anak muda banyak menyelam ke dalam lumpur saling mencela, pertikaian pendapat yang tidak jelas. Hal ini karena mereka tidak sadar bahwa mereka mengira bahwa mereka sedang melakukan sesuatu dibenarkan agama.

Imam Ghazali mengkatogarikan orang yang berilmu sebagai berikut: ● Tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu (kalau dia berbicara menganggap dirinya tahu). ● Tidak tahu bahwa dirinya tahu (ilmunnya pasif). ● Tahu bahwa dirinya tidak tahu (menyadari bahwa dia perlu  belajar). ● Tahu bahwa dirinya tahu (ia  akan berusaha menjadikan ilmunya bermanfaat bagi orang lain). 

Orang berilmu dimuliakan-Nya:

Allah SWT berfirman, "... niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." [QS Al-Mujādalah 58:11].

Karena tidak sama derajatnya antara orang beriman yang berilmu dengan yang tidak berilmu: Allah SWT juga berfirman, "Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui’?" [QS Az-Zumar 39:9].
Billahit Taufiq Wal-Hidayah AFM


Catatan
* Meme berasal dari bentuk pendek mimeme (dari bahasa Yunani Kuno μίμημα Pengucapan Yunani:  mīmēma, "imitasi/tiruan"; dari mimeisthai, "mengimitasi"; dari  mimos, “mime”.  Meme adalah ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya. [4] Meme merupakan neologisme yang diciptakan oleh Richard Dawkins. [5] Berikut merupakan contoh meme: gagasan, ide, teori, penerapan, kebiasaan, lagu, tarian dan suasana hati.

Meme dapat replikasi dengan sendirinya (dalam bentuk peniruan) dan membentuk suatu budaya, cara seperti ini mirip dengan penyebaran virus (tetapi dalam hal ini terjadi di ranah budaya). Sebagai unit terkecil dari evolusi budaya, dalam beberapa sudut pandang meme serupa dengan gen. Richard Dawkins, dalam bukunya  The Selfish Gene [5], ia menceritakan bagaimana ia menggunakan istilah meme untuk menceritakan bagaimana prinsip Darwinisme untuk menjelaskan penyebaran ide ataupun fenomena budaya. Dawkins juga memberi contoh meme, yaitu nada, kaitan dari susunan kata, kepercayaan, gaya berpakaian dan perkembangan teknologi.

Teori meme menjelaskan bahwa meme berkembang dengan cara seleksi (mirip dengan prinsip evolusi biologi yang dijelaskan oleh penganut Darwinisme) melalui proses variasi, mutasi, kompetisi, dan warisan budaya yang mana memengaruhi kesuksesan reproduksi di setiap individu. Dengan demikian, meme menyebar berupa ide dan bila tidak berhasil maka ia akan mati, sedangkan yang lain akan bertahan, menyebar, dan (untuk tujuan yang lebih baik bahkan lebih buruk) akan bermutasi. “Ilmuwan memetika mempunyai pendapat bahwa meme yang mempunyai ketahanan terbaik akan menyebar dengan efektif dan memengaruhi si objek (seorang individu).” [6] □□


Catatan Kaki
[1] Dr. Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, Surabaya: Bina Qalam Indonesia, 2015. hlm 101.
[2] Dr. Adian Husaini et. Al, Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013. hlm 194.
[3] Dr. Adian Husaini et. Al, Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013. hlm 191.
[4] me.me”. KBBI Daring. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 12 Mei 201
[5] Dawkins, Richard (1989). "11. Memes: the new replicators". The Selfish Gene (edisi kedua ed.). Oxford: Oxford University Press. p. 352. ISBN 0192177737. Dawkins menerangkan bahwa dalam edisi kedua ia membicarakan meme khusus untuk memberikan contoh nyata replikasi non-biologis dan prinsip-prinsip evolusi.
[6] Kelly, Kevin (1994). Out of control: the new biology of machines, social systems and the economic world. Boston: Addison-Wesley. p. 360. ISBN 0-201-48340-8


Bahan Penulisan
jurisarrozy.wordpress.com,  www.republika.co.id, id.wikipedia.org dan sumber lainnya. □□□

Blog Archive