Thursday, October 26, 2017

Allah Maha Menyaksikan






Allah Maha Menyaksikan atau Maha Melihat dengan itu Allah Maha Mengetahui, disebut pula sebagai Asmaul Husna Asy-Syahid (Maha Menyaksikan)



T
ulisan berikut akan membahas salah satu bab dari kitab “Al-Maqshadul Asna fi Syarhi Ma’ani Asmaaillah al-Husna” karya Al-Imam Al-Ghazali rahimahullah, singkatnya bermaksud membahas nama Allah Asy-Syahid – Allah Maha Menyaksikan. Yang bersumber dari ceramah Ust. Fathuddin Ja’far, MA. Serta ditambahkan seperlunya oleh Admin blog. Semoga bermanfaat. □ AFM




A
sy-Syahid maknanya kembali kepada makna Al-‘Alim (Maha Mengetahui), seperti dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang Allah: “Dia lah Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,” [QS Al-Hasyr 59:22].

Ghaib adalah sesuatu yang tersembunyi, sedangkan asy-Syahadah adalah sesuatu yang tampak dan dapat disaksikan. Jadi makna asy-Syahid adalah Dia Maha Mengetahui yang ghaib (tak nampak tapi ada) dan yang nampak (nyata). Seperti halnya jin dan angin, keduanya tidak nampak dan tidak dapat dilihat oleh manusia tapi Allah mengetahui sesuatu yang tidak nampak oleh manusia.

Sesuatu yang dapat dilihat oleh manusia baru sebagian kecil dari makhluk yang ada, masih ada sebagian besar makhluk Allah yang tidak bisa dilihat. Seperti halnya dengan pengetahuan isi alam semesta yang manusia ketahui adalah kurang dari 1 (satu) persen dari keseluruhan alam semesta yang diselidiki dan diyakini manusia ada tapi hakekatnya tidak diketahui yaitu, 73 persen dalam bentuk ‘energi gelap, sedang sisanya dalam bentuk ‘materi gelap’.

Bahkan apa yang ada di dalam dirinya sendiri ia tidak dapat melihatnya seperti jantung, ginjal, hati dan lainnya, karena terbungkus oleh kulit dan daging yang menutupi seluruh tubuh manusia. Kita tahu dari gambar-gambar dari ilmu tubuh manusia, sementara dokter yang mengoperasi pasiennya tahu.

Tapi yang sama sekali kita tidak dapat melihat adalah ruh kita sendiri dan ruh manusia lainnya serta hal-hal yang gaib lainnya seperti malaikat, syaithan dan seterusnya. Karena itu ketika Luqmān mengajarkan tentang muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah kepada anaknya sangat luar biasa mengungkapkannya seperti yang dinukilkan dalam firman-Nya dalam Kitab Suci Al-Qur’an yang artinya:

(Luqmān berkata): “Hai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui (Teliti),” [QS Luqmān 31:16).

Demikian Luqmān menerangkan kepada anaknya tentang hal-hal yang bersifat ghaib. Untuk itu, seorang yang beramal shaleh tidak lah perlu riya lagi, karena semua yang dilakukannya Allah telah mengetahuinya. Jadi, semua nama-nama Allah sebenarnya adalah perbuatan-Nya dan memperkuat keimanan (karena kebenaran-Nya) seorang muslim dalam setiap lini dan aspek kehidupan.

Jika Allah Maha Menyaksikan, apakah seorang hamba masih berani berbuat maksiat sementara Allah menyaksikan perbuatan seorang hamba yang tersembunyi dan nampak?

Jauh sebelum teknologi sekarang yang ada kameranya dimana-mana (tentunya ditempat yang diperlukan untuk diawasi) untuk pengawasan dan pengendalian suatu kawasan, apatah lagi Allah asy-Syahid (Maha Mengetahui, karena Dia yang menciptakannya) sebagai ar-Rabb. Ibnul Atsir berkata, “Kata ar-Rabb secara bahasa diartikan pemilik, penguasa, pengatur, pembina, pengurus dan pemberi nikmat. Artinya, termasuk pula mencipta, mengendalikan dan mengawasi alam semesta dan segala isinya.

Orang yang berani korupsi, maka keimanannya dengan nama Allah asy-Syahid perlu dipertanyakan. Ia masih berani korupsi dengan sembunyi-sembunyi, padahal Allah mengetahui perbuatannya. Orang korupsi itu seperti orang yang sedang mengemudikan mobil sambil menggunakan telepon genggamnya, padahal terlarang menggunakannya dalam peraturan lalu lintas. Setiap hari ia berbuat seperti itu, tapi suatu hari polisi melihatnya dan ia pun diminta meminggirkan ketepi jalan dan diberi tiket (“tilang”). Itu menunjukkan bahwa kepada polisi boleh saja ia bermain-main, tapi kepada Allah ia tidak akan dapat bermain-main karena Ia Maha Menyaksikan – Asy-Syahid.

Hidup bersama Allah itu enak jika seseorang bisa menghadirkan-Nya dalam kehidupannya. Bukan menghadirkan Dzat-nya, tapi menghadirkan hikmah dari makna nama-nama dan sifat-sifat Allah. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Bagaimana ia merasa takut kekurangan rizki sementara Allah Maha Pemberi Rizki, takut tidak sembuh sementara Allah yang Maha Menyembuhkan, takut dosa tidak diampuni sementara Allah Maha Pengampun? Bila masih ada seseorang yang stres dalam menjalani kehidupan ini berarti ia belum mengenal Allah. Allah berfirman dalam Kitab Suci Al-Qur’an yang artinya:

Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” [ QS Az-Zumar 39:53].

Selama seseorang itu belum dijeput ajal, maka masih ada peluang Allah mengampuni dosa-dosanya.

Nama Allah Asy-Syahid membuat hidup seseorang tenang, karena ketika seorang hamba sedang sakit maka pasti Allah melihatnya sehingga cukuplah ia meminta kesembuhan kepada-Nya dan melakukan sunatullah-Nya seperti minum obat atau pergi ke dokter.

Ketika seseorang punya anak, dan anaknya sudah punya anak serta cucunya sudah punya anak pula, maka seseorang itu tidak perlu khawatir dan memikirkan bagaimana rizki keturunannya karena Allah Maha Pemberi Rizki melalui usaha (ikhtiar yakni sunatullah-Nya) sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya:

Dan tidak ada suatu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semua rizkinya di jamin Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfūzh),” [QS Hūd 11:6].

Allah telah menjamin akan memberi rizki makhluk yang telah diciptakan, baik mukmin atau kafir atau pun makhluk lainnya. Bila Allah stop rizki makhluknya berarti masa hidupnya telah habis, karena ajal tiba. Rizki akan Allah berikan selama makhluk-Nya masih hidup.

Kesaksian Allah atas hamba-Nya adalah terhadap apa yang dilakukan oleh seorang hamba, baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Bila Allah mengetahui segala sesuatu secara mutlak maka Dia berhak disebut dengan Al-‘Alim, bila disandarkan pada pengetahuan sesuatu yang ghaib atau sesuatu yang tidak tampak maka Ia adalah Al-Khabir. Bila disandarkan pada pengetahuan perkara-perkara yang tampak maka Dia adalah asy-Syahid.

Asy-Syahid juga bisa bermakna kesaksian Allah di hari kiamat atas semua hamba-Nya. Pembahasan seputar nama Allah asy-Syahid ini sangat mirip dengan nama Allah Al-‘Alim dan al-Khabir, karenanya tidak perlu diulang lagi pembahasannya. Nama Allah asy-Syahid, al-‘Alim dan al-Khabir saling terkait tapi tidak sama.

Hikmah mengetahui makna nama-nama Allah, seorang hamba harus semakin dekat dengan Allah Ta’ala. Jika pemahaman terhadap makna nama-nama Allah dihayati dan dinternalisasikan dalam kehidupan maka hidup seorang hamba akan merasa tenang dan aman. Ia tidak akan pernah merasa khawatir terhadap rizkinya, kesehatannya dan lainnya.

Jauh dekatnya seorang hamba kepada Allah tergantung dengan ikhtiarnya (usaha), kecuali orang-orang yang dipilih oleh Allah dari kalangan para nabi. Karenanya seorang hamba harus proaktif mendekatkan diri kepada Allah melalui pemahaman terhadap nama-nama Allah. Seperti Allah adalah Al-‘Alim, tapi seorang hamba tidak akan mendapatkan ilmu tanpa ia mencarinya. Untuk itu seorang muslim diwajibkan menuntut ilmu sebagai hadits menyebutkan yang artinya:

Mencari ilmu itu kewajiban atas setiap muslim,” [HR Bukhari dan Muslim]

Ilmu yang didapat oleh seorang hamba sesuai dengan yang dicarinya. Bila ia menginginkan keimanan maka ilmu yang dicari harus lah ilmu yang berkaitan dengan keimanan. Begitu juga ilmu tentang dunia, bila ia menginginkannya maka dia harus mencari ilmu tentang dunia. Seorang hamba harus berupaya mencari apa yang diinginkannya dengan disertai do’a kepada Allah.

Hanya saja dalam masalah rizki beda dengan masalah ilmu. Allah telah menciptakan makhluk maka Allah pasti akan memberi rizkinya. Meski makhluk itu tidak berdo’a meminta rizki pasti Allah akan memberinya walaupun kadarnya sesuai yang Allah berikan. Seperti ketika seseorang berkunjung ke tetangganya, lalu ia dijamu dan diberi makan oleh tetangganya. Itu menunjukkan rizki akan diberikan meski tidak diminta.

Urusan rizki adalah urusan yang biasa, tapi urusan ilmu adalah urusan yang luar biasa atau besar. Ilmu menentukan pilihan. Bila seorang memilih surga maka di akan mempelajari urusan agama. Bila ia cinta Allah maka ia akan mempelajari nama-nama Allah. Bila ia cinta Rasul maka ia harus mempelajari sunnah-sunnahnya. Adapun urusan rizki, terkadang orang tidak bekerja ia pun mendapatkan rizki lebih banyak dari orang yang bekerja. Seperti halnya orang yang mendapat warisan. Lazimnya mendapat rezki (sunatullahnya) disertai ikhtiar (berusaha, bekerja).

Dalam hal ilmu, meski orang tuanya berilmu tapi belum tentu anaknya berilmu karena ia tidak bisa diwariskan. Itulah beda antara harta dan ilmu, harta akan ditinggal sedangkan ilmu akan dibawa oleh pemiliknya. Rasulullah saw bersabda yang artinya:

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu (pengetahuan) dengan mencabutnya dari hamba-Nya, akan tetapi Ia akan mencabut ilmu tersebut dengan cara mencabut (nyawa) para ulama,” [HR. Bukhari dan Muslim]

Jadi Allah bukan mencabut ilmu dari jiwa seseorang, tapi Allah mencabut ilmu dengan mematikan pemiliknya sehingga ilmunya ikut pergi dengannya.

Ada kisah seorang ulama di Madinah, ia memiliki perpustakaan yang besar di rumahnya. Ketika seseorang datang ke rumahnya, ia heran kemana buku-buku yang biasa mengisi perpustakaannya. Seorang itu bertanya, “Wahai syaikh, kemana buku-bukunya, apakah dijual?” Syaikh itu menjawab, “Tidak, saya wakafkan ke salah satu universitas di Yaman.” Seorang itu bertanya, “Kenapa?” Syaikh itu terdiam lama dan menjawab dengan sedih, “Anak saya tidak ada yang cenderung jadi ulama, yang satu jadi seorang Manager disuatu perusahaan di Saudi Arabia dan anak saya yang lainnya jadi itu dan itu. Dari pada tidak jelas manfaatnya, maka saya wakafkan buku-buku itu supaya mendapatkan pahala dari orang yang membacanya.”

Kisah di atas menunjukkan bahwa ilmu tidak bisa diwariskan. Untuk itu, harusnya perbandingan perhatian seorang hamba terhadap mencari ilmu dan harta 9 berbanding 1. Jangan dibalik, 9 mencari harta dan 1 mencari ilmu. Inilah perlunya pemahaman terhadap makna Allah asy-Syahid sehingga hidup seorang hamba tidak akan merasa khawatir karena Allah Maha Menyaksikan-nya. Tidak pernah luput kesaksian Allah sehingga tidak perlu takut terhadap keamanannya, rizkinya dan lainnya. Tidak perlu takut kepada tindakan kriminal seseorang karena Allah Maha Menyaksikan dan Menjaganya. Semua itu berjalan sesuai dengan takdir dan ajalnya, meski orang jahat  datang dan menyerangnya belum tentu korban yang diserang meninggal - karena belum ajalnya. Bisa jadi justru orang jahatnya yang meninggal. Tapi sebaliknya, bila sudah ajalnya tiba, maka seseorang tidak bisa lari kemana pun. Kematian itu hanya satu, tapi sebab-sebabnya banyak.

Ketakutan terhadap sesama makhluk akan menjadi-jadi dalam diri seseorang bila ia jauh dari Allah. Bila ia dekat kepada-Nya, maka ia tidak akan pernah takut dan khawatir. Bila ia membutuhkan sesuatu ia dapat meminta dengan berdo’a kepada Allah – disamping sunatullahnya dikerjakan (ikhtiar, usaha), karena Allah sudah menjamin akan mengabulkan do’a seorang hamba yang meminta kepada-Nya. Ketika seseorang berpergian hendaknya ia berdo’a kepada Allah supaya dijaga dan diberi keamanan. Tidak ada yang dapat memberi perlindungan dan keamanan kecuali Allah, karenanya harus selalu minta kepada-Nya.

Bahkan ketika seorang hamba hendak tidur, hendaknya ia berdo’a supaya Allah menjaganya. Bisa jadi ketika ia tertidur, Allah tidak mengembalikan nyawanya. Bila Allah telah mentaqdirkan ajal seseorang tiba, maka nyawanya tidak akan kembali. Karenanya seorang hamba yang bisa bangun tidur kembali disunnahkan untuk membaca do’a sebagai ungkapan syukur telah dihidupkan lagi setelah mati sementara.

Ketika sebelum tidur seorang muslim disunnahkan membaca do’a karena ia akan mati sementara (tidur): “Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan mati.” Setelah bangun dari tidur, ia juga disunnahkan untuk bersyukur dengan berdo’a: “Segala puji bagi Allah yang menghidupkan aku kembali setelah mematikan aku dan kepada Allah akan bangkit .

Demikianlah Allah itu Maha Menyaksikan segala fenomena alam dan tingkah laku perbuatan manusia dan membalasinya sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Lahā mā kasabat wa ‘alayhā māktasabat. Artinya: “Dia (manusia) mendapat (pahala) kebaikan dari kebajikan yang dikerjakannya. Dan dia (manusia) mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya,” [QS Al-Baqarah 2:286] □□



Sumber:
https://mtf-online.com/asmaul-husna-asy-syahid-maha-menyaksikan/
https://muslim.or.id/3868-ar-rabb-yang-maha-mengatur-dan-menguasai-alam-semesta.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/10/penciptaan-alam-semesta-dalam-enam-masa.html □□□

Sunday, August 20, 2017

Tujuh Amalan Utama di Awal DzulHijjah





A
lhamdulillah, bulan DzulHijjah telah menghampiri kita. Bulan mulia dengan berbagai amalan mulia terdapat di dalamnya. Lantas apa saja amalan utama yang bisa kita amalkan di awal-awal bulan DzulHijjah? Semoga tulisan sederhana berikut ini bisa memotivasi kita untuk banyak beramal di awal bulan DzulHijjah yang beberapa hari ini akan dialami, insya Allah.


Keutamaan Sepuluh Hari Pertama DzulHijjah

   Adapun keutamaan beramal di sepuluh hari pertama Dzulhijah diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut yang artinya:

“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.“ [1]

   Dalil lain yang menunjukkan keutamaan 10 hari pertama Dzulhijah adalah firman Allah Ta’ala yang artinya:

“Dan demi malam yang sepuluh.” [QS Al-Fajr :2].

   Di sini Allah menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah. [2] Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama bulan Muharram. [3] Malam (lail) kadang juga digunakan untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan sepuluh hari Dzulhijah. [4] Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan bahwa tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas pakar tafsir dari para salaf dan selain mereka, juga menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas. [5]

   Lantas manakah yang lebih utama, apakah 10 hari pertama Dzulhijah ataukah 10 malam terakhir bulan Ramadhan?

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zādul Ma’ad memberikan penjelasan yang bagus tentang masalah ini. Beliau rahimahullah berkata, “Sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama dari bulan Dzulhijjah. Dan sepuluh hari pertama Dzulhijah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan. Dari penjelasan keutamaan seperti ini, hilanglah kerancuan yang ada. Jelaslah bahwa sepuluh hari terakhir Ramadhan lebih utama ditinjau dari malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama Dzulhijah lebih utama ditinjau dari hari (siangnya) karena di dalamnya terdapat hari nahr (qurban), hari ‘Arofah dan terdapat hari tarwiyah (8 Dzulhijjah).” [6]

Sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000 hari, sedangkan hari Arofah sama dengan 10.000 hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat fadho’il yang lemah (dho’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan hadits shohih seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas. [7] Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.” [8]



TUJUH AMALAN UTAMA DI AWAL DZULHIJJAH


Ada tujuh amalan yang kami akan jelaskan dengan singkat berikut ini:

Pertama: Puasa

   Disunnahkan untuk memperbanyak puasa dari tanggal 1 hingga 9 DzulHijjah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk beramal sholeh ketika itu dan puasa adalah sebaik-baiknya amalan sholeh.

Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan yang artinya:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal DzulHijjah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya [9], …” [10]

Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal DzulHijjah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. [11]


Kedua: Takbir dan Dzikir

Yang termasuk amalan sholeh juga adalah bertakbir, bertahlil, bertasbih, bertahmid, beristighfar, dan memperbanyak do’a. Disunnahkan untuk mengangkat (mengeraskan) suara ketika bertakbir di pasar, jalan-jalan, masjid dan tempat-tempat lainnya.
Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan yang artinya:

Ibnu ‘Abbas berkata: “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10  hari pertama DzulHijjah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama DzulHijjah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah. [12]

Catatan:

   Perlu diketahui bahwa takbir itu ada dua macam, yaitu takbir muthlaq (tanpa dikaitkan dengan waktu tertentu) dan takbir muqoyyad (dikaitkan dengan waktu tertentu).

Takbir yang dimaksudkan dalam penjelasan di atas adalah sifatnya muthlaq, artinya tidak dikaitkan pada waktu dan tempat tertentu. Jadi boleh dilakukan di pasar, masjid, dan saat berjalan. Takbir tersebut dilakukan dengan mengeraskan suara khusus bagi laki-laki.

Sedangkan ada juga takbir yang sifatnya muqoyyad, artinya dikaitkan dengan waktu tertentu yaitu dilakukan setelah shalat wajib berjama’ah. [13].

Takbir muqoyyad bagi orang yang tidak berhaji dilakukan mulai dari shalat Shubuh pada hari ‘Arofah (9 DzulHijjah) hingga waktu ‘Ashar pada hari tasyriq yang terakhir. Adapun bagi orang yang berhaji dimulai dari shalat Zhuhur hari Nahr (10 Dzulhijah) hingga hari tasyriq ( 11,12,13 DzulHijjah) yang terakhir.

   Cara bertakbir adalah dengan ucapan: Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Lā ilaha illallah, Wallāhu Akbar, Allāhu Akbar, Walillāhil Hamd.


Ketiga: Menunaikan Haji dan Umroh

   Yang paling afdhol ditunaikan di sepuluh hari pertama DzulHijjah adalah menunaikan haji ke Baitullah. Silahkan baca tentang keutamaan amalan: “Enam AmalanBerpahala Haji” dan “Amalan 10 Hari PertamaBulan DzulHijjah


Keempat: Memperbanyak Amalan Sholeh

   Sebagaimana keutamaan hadits Ibnu ‘Abbas yang kami sebutkan di awal tulisan, dari situ menunjukkan dianjurkannya memperbanyak amalan sunnah seperti shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan beramar ma’ruf nahi mungkar.


Kelima: Berqurban

   Di hari Nahr (10 DzulHijjah) dan hari tasyriq disunnahkan untuk berqurban sebagaimana ini adalah ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Silahkan baca tentang keutamaan qurban: Keutamaan dan Hikmah Ibadah Qurban


Keenam: Bertaubat

   Termasuk yang ditekankan pula di awal DzulHijjah adalah bertaubat dari berbagai dosa dan maksiat serta meninggalkan tindak zholim terhadap sesama. Silahkan baca tentang taubat: Melebur Dosa Dengan Taubat Yang Tulus


Ketujuh: Beramal Segala Macam Amal Baik

   Intinya, keutamaan sepuluh hari awal DzulHijjah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al-Qur’an, dan amalan sholih lainnya. [14]

   Sudah seharusnya setiap muslim menyibukkan diri di hari tersebut (sepuluh hari pertama DzulHijjah) dengan melakukan ketaatan pada Allah, dengan melakukan amalan wajib, dan menjauhi larangan Allah. [15]

   Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihāt. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

   Demikianlah uraian tajuk Tujuh Amalan Utama di Awal Bulan DzulHijjah yang beberapa hari lagi menemui kita, suatu kesempatan yang sangat berharga bagi kita. Mari kita amalkan bersama, semoga Allah memudahkannya, āmīn Allāhumma āmīn. □ AFM



Cacatan Kaki 

[1] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[2] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H, hal. 923.
[3] Zādul Masīr, Ibnul Jauziy, Al Maktab Al Islami, cetakan ketiga, 1404, 9/103-104.
[4] Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan tahun 1424 H, hal. 159.
[5] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H, hal. 469.
[6] Zādul Ma’ad, Ibnul Qayyim, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, 1407, 1/35.
[7] Lathoif Al Ma’arif, 469.
[8] Latho-if Al Ma’arif, hal. 458.
[9] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.
[10] HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[11] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459.
[12] Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”.
[13] Syaikh Hammad bin ‘Abdillah bin Muhammad Al Hammad, guru kami dalam Majelis di Masjid Kabir KSU, dalam Khutbah Jum’at (28/11/1431 H) mengatakan bahwa takbir muqoyyad setelah shalat diucapkan setelah membaca istighfar sebanyak tiga kali seusai shalat. Namun kami belum menemukan dasar (dalil) dari hal ini. Dengan catatan, takbir ini bukan dilakukan secara jama’i (berjama’ah) sebagaimana kelakukan sebagian orang. Wallahu a’lam.
[14] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, Dar Al Imam Ahmad, hal. 116, 119-121.
[15] Point-point yang ada kami kembangkan dari risalah mungil “Ashru Dzilhijjah” yang dikumpulkan oleh Abu ‘Abdil ‘Aziz Muhammad bin ‘Ibrahim Al Muqoyyad. □□

Sumber:
Muhammad Abduh Tuasikal, www.rumaysho.com □□□

Blog Archive