Monday, November 20, 2017

Memahami Makna Kebebasan





M
Memahami Makna Kebebasan - Agar Kebebasan Tidak Menjadi Kebablasan. Apakah itu kebebasan? Sejauh mana kebebasan bisa diperoleh? Adakah batasan-batasan dalam kebebasan? Jika iya, maka apa saja yang membatasi suatu kebebasan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut barangkali menjadi isu sentral dalam memahami hakikat kebebasan. Istilah ‘kebebasan’ – meskipun seringkali tidak terdefinisi dengan baik – kerap kali dijadikan argumen segelintir golongan untuk menanggapi isu-isu yang terbilang sensitif, terutama yang ada kaitannya dengan agama. Istilah ini layaknya kalimat sakti yang digunakan pengusungnya, ibarat ‘pedang’ yang senantiasa ‘menebas’ argumen kelompok-kelompok yang dianggap “anti kebebasan”.

Katakanlah isu perzinaan dan homoseksual. Dengan dalih kebebasan, perbuatan ini dibela oleh segelintir golongan. Mereka bilang, negara tidak perlu ikut campur dalam wilayah privat. Kalau dilakukan suka sama suka, apa salahnya? Yang penting tidak merugikan orang lain. Begitu juga dengan Salman Rushdie dan novel The Satanic Verses-nya. Dengan alasan freedom of expression (kebebasan berekspresi), maka penghinaan terhadap Al-Quran dan Nabi Muhammad shalallahi ‘alaihi wasallam ada yang membela. Hal yang sama juga terjadi dengan kasus pindah agama (dalam artian murtad, seorang Muslim keluar dari Islam), menurutnya ini kebebasan. Toh agama itu urusan pribadi, tidak perlu diikutcampuri oleh orang lain (apalagi negara).

Bagi seorang Muslim, ini tentu membingungkan. Seperti inikah wajah kebebasan sesungguhnya? Apakah paham kebebasan kemudian bisa berdampak pada legalisasi zina dan homoseksual, kebebasan menghina agama, atau tindakan murtad? Hati kecil seorang Muslim pasti berontak hebat, karena kebebasan versi ini tentunya sangat asing bagi pandangan alam (dunia) Islam (Islamic Worldviews).

Di tengah kebingungan yang melanda kaum Muslimin, dapatkah kita menemukan makna kebebasan yang benar? Apa sebenarnya makna kebebasan dalam Islam?


Tiga Makna Kebebasan dalam Islam

Menurut Dr. Syamsuddin Arif dalam tulisannya “Tiga Makna Kebebasan dalam Islam”, seorang Muslim mengenal kebebasan dalam tiga makna. Tiga makna kebebasan dalam Islam diuraikan oleh beliau sebagai berikut:

Makna Pertama, kebebasan identik dengan ‘fitrah’ – yaitu tabiat dan kodrat asal manusia sebelum diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan disekelilingnya. Seperti kata Nabi saw: ‘kullu mawludin yuladu ‘ala l-fitrah’. Setiap orang terlahir sebagai makhluk dan hamba Allah yang suci dan bersih dari noda kufur, syirik, dan sebagainya. Namun orang-orang disekelilingnya kemudian mengubah statusnya tersebut menjadi ingkar dan angkuh kepada Allah. [1]

Maka orang yang bebas ialah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya, karena pada dasarnya ruh setiap manusia telah bersaksi bahwa Allah itu Tuhannya. Sebaliknya, orang yang menyalahi fitrah dirinya sebagai abdi Allah sesungguhnya tidak bebas, karena ia hidup dalam penjara nafsu dan belenggu syaitan. [2]

Ahli tafsir abad keempat Hijriah, ar-Raghib al-Ishfahani, dalam kitabnya menerangkan dua arti ‘bebas’ (hurr): Pertama, bebas dari ikatan hukum; Kedua, bebas dari sifat-sifat buruk seperti rakus harta sehingga diperbudak olehnya. Pengertian kedua inilah yang disinyalir Nabi saw dalam sebuah hadis sahih: ‘Celakalah si hamba uang’ (ta’isa ‘abdu d-dinar’) (Lihat Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm. 224). [2]

Makna Kedua dari kebebasan adalah daya kemampuan (istitha’ah) dan kehendak (masyi’ah) atau keinginan (iradah) yang Allah berikan kepada kita untuk memilih jalan hidup masing-masing. Apakah jalan yang lurus (as-shirath al-mustaqim) ataukah jalan yang lekuk atau bengkok. Apakah jalan yang terjal mendaki ataukah jalan yang mulus menurun. Apakah jalan para nabi dan orang-orang sholeh, ataukah jalan syaitan dan orang-orang sesat. ‘Siapa yang mau beriman, dipersilakan. Siapa yang mau ingkar, pun dipersilakan (fa-man sya’a fal-yu’min wa man sya’a fal-yakfur), firman Allah dalam al-Quran (18:29). [2]

Kebebasan disini melambangkan kehendak, kemauan, dan keinginan diri sendiri. Bebasnya manusia berarti terpulang kepadanya mau senang di dunia ataukah di akhirat (lihat al-Quran 17:18-19 dan 42:20). Terserah padanya apakah mau tunduk atau durhaka kepada Allah. Apakah mau menghamba kepada sang Khaliq atau mengabdi kepada makhluk. Sudah barang tentu, kebebasan ini bukan tanpa konsekuensi dan pertanggungjawaban. [2]

Dan benarlah firman Allah bahwa tidak ada paksaan dalam agama – ‘la ikraha fi d-din’ (2:256). Setiap manusia dijamin kebebasannya untuk menyerah ataupun membangkang kepada Allah, berislam ataupun kafir. Mereka yang berislam dengan sukarela (thaw’an) lebih unggul dari mereka yang berislam karena terpaksa (karhan), apatah lagi dibandingkan dengan mereka yang kafir dengan sukarela. [2]

Makna Ketiga, kebebasan dalam Islam berarti ‘memilih yang baik’ (ikhtiyar). Sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Naquib al-Attas, sesuai dengan akar katanya, ikhtiar menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya (Lihat: Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hlm. 33-4). Oleh karena itu, orang yang memilih keburukan, kejahatan, dan kekafiran itu sesungguhnya telah menyalahgunakan kebebasannya. Sebab, pilihannya bukan sesuatu yang baik (khayr). Disini kita dapat mengerti mengapa dalam dunia beradab manusia tidak dibiarkan bebas untuk membunuh manusia lain. [3]

Jadi, itulah tiga makna kebebasan dalam Islam, sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Syamsuddin Arif. Pertama, bebas dalam artian mengikuti fitrahnya sebagai manusia. Kalau kita mengikuti Allah, maka kita bebas dari ikatan-ikatan yang lain. Kedua, kebebasan memilih mau beriman atau kafir (tentunya disertai konsekuensi). Ketiga, kebebasan memilih yang baik (ikhtiyar). Hal inilah yang akan kita temukan bertentangan dengan kebebasan versi sekuler-liberal – sebagaimana yang akan kita temukan pada bagian selanjutnya.


Benturan Pandangan Alam (Clash of Worldviews)

Jika ingin membahas kebebasan, maka harus juga melihat pandangan alam (worldview) yang melatarbelakanginya. Ini penting, karena konsep kebebasan tidak bisa diterima begitu saja sebagai konsep yang “universal”, tanpa menelaah ideologi dibaliknya. Pemaknaan begitu saja (taken for granted) bisa menimbulkan atau menyebabkan masalah, karena bisa jadi suatu konsep kebebasan bertentangan dengan pandangan alam yang kita anut.

Misalnya, ambil contoh Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, DUHAM) yang menurut penulis cukup kental dengan paham sekuler-liberal. Simaklah pasal 18 DUHAM di bawah ini:

Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.

Bandingkan dengan pasal 10 pada Deklarasi Kairo yang didasarkan pada pandangan alam Islam, sebagaimana yang tertulis di bawah ini: (Bagi yang belum tahu, pada tahun 1990, negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi islam (OKI) menghasilkan “Deklarasi Kairo” (The Cairo Declaration on Human Rights in islam), sebagai “tandingan” dari DUHAM yang dikeluarkan di San Fransisco pada 24 Oktober 1948. [4] Menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, ketika DUHAM disusun, tidak satupun pihak agamawan – apalagi Islam – yang dilibatkan). [5]

Islam is the religion of true unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of pressure on man or to exploit his poverty or ignorance in order to force him to change his religion to another religion or to atheism.

Jadi, dalam kebebasan versi DUHAM, pergantian agama itu suatu hal yang biasa-biasa saja, bahkan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Deklarasi Kairo, ini masalah besar. Soal perpindahan agama dari Islam ke agama lain (murtad), Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah 2:217 sebagai berikut:

“…Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. [QS Al-Baqarah 2:217]

Inilah benturan pandangan alam (clash of worldview). Pandangan alam mana yang kita pakai menentukan kebebasan seperti apa yang kita maknai. Menurut Islam, perbuatan homoseksual dan zina adalah dosa besar (lihat QS Al-Isra 17:32 dan Al-Araf 7:80-84). Akan tetapi, menurut paham sekuler-liberal, perbuatan homoseksual ataupun zina tidak masalah, asal suka sama suka, asal tidak merugikan orang lain (meskipun batas ‘merugikan orang lain’ juga tidak jelas. Misalnya, bisakah orangtua menuntut anaknya yang pelaku homoseksual atau zina karena mencemarkan nama baik orangtua dan keluarganya? Atau bisakah tetangga pelaku homoseksual atau zina menuntut karena merasa tidak nyaman berada di sekitar mereka?).

Begitu juga dengan pindah agama dalam artian murtad (keluar dari agama Islam). Menurut Islam, ini bukan masalah main-main. Allah mengingatkan tentang konsekuensi murtad dalam QS Al-Baqarah 2:217. Akan tetapi,  menurut paham sekuler-liberal, ini hal yang wajar, biasa-biasa saja. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa keluar dari Islam bukanlah murtad, tetapi sekadar “menemukan kesadaran baru dalam beragama”.

Masalah novel The Satanic Verses-nya Salman Rushdie juga sama. Menurut versi sekuler-liberal, ini bagian dari freedom of expression (kebebasan berekspresi). Menurut Islam, ini penghinaan kelas kakap. Mengenai kasus Salman Rushdie, Fatwa Khomaini pada 14 Februari 1989 menyatakan: Salman Rushdie telah melecehkan Islam, Nabi Muhammad, dan Al-Quran. Semua pihak yang terlibat dalam publikasinya yang sadar akan isi novel tersebut, harus dihukum mati. Pada 26 Februari 1989, Rabithah Alam Islami dalam sidangnya di Makkah, yang dipimpin oleh ulama terkemuka Arab Saudi, Abd Aziz bin Baz, mengeluarkan pernyataan, bahwa Rushdie adalah orang murtad dan harus diadili secara in absentia di satu negara Islam dengan hukum Islam. [6]

Dapat kita lihat, betapa pandangan alam sekuler-liberal dan pandangan alam Islam bertentangan secara diametral (bertolak belakang). Hal ini berangkat dari perbedaan konsep nilai yang di anut. Dalam Islam, ada hal-hal yang tidak akan berubah hingga akhir zaman. Contohnya, hukum perzinaan dan homoseksual. Sampai kapanpun, hukum keduanya tetaplah haram. Hal ini berbeda dengan pandangan alam sekuler-liberal. Berangkat dari salah satu pilar sekularisasi yaitu deconsentration of values (penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan) dan paham relativisme (merelatifkan segala nilai agar selalu terbuka untuk perubahan), maka segala nilai selalu terbuka untuk perubahan. Hanya satu yang tidak berubah (diantara mereka), yaitu sikap anti-agama.


Penutup

Dari paparan di atas, kita mengetahui tentang konsep Islam mengenai kebebasan. Kita juga tahu, bahwa kebebasan sesuai konsep Islam sangat berbeda dengan kebebasan versi sekuler-liberal. Bagi paham sekuler-liberal, homoseksual, zina, pindah agama (murtad), dan pornografi serta pornoaksi dianggap biasa. Akan tetapi, Islam memandang hal itu sebagai dosa.

Disinilah kita harus jeli dalam berpikir, kebebasan versi mana yang kita harus yakini. Jangan sampai, karena ketidaktahuan, kita ‘manut’ saja pada kebebasan yang ditawarkan kaum sekuler-liberal. Padahal, jika dilihat dari sudut pandang Islam, itu bukan kebebasan, melainkan kebablasan! Wallahu a’lam. Billahit Taufiq Wal-Hidayah. □


Daftar Pustaka
[1] Dr. Adian Husaini dkk, Islam versus Kebebasan/Liberalisme (Menjawab Gugatan terhadap UU Penodaan Agama, UU No. 1/PNPS/1965), Penerbit Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2010. hlm 58.
[2] Dr. Adian Husaini dkk, Islam versus Kebebasan/Liberalisme (Menjawab Gugatan terhadap UU Penodaan Agama, UU No. 1/PNPS/1965), Penerbit Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2010. hlm 59-60.
[3] Dr. Adian Husaini dkk, Islam versus Kebebasan/Liberalisme (Menjawab Gugatan terhadap UU Penodaan Agama, UU No. 1/PNPS/1965), Penerbit Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2010. hlm 61.
[4] Dr. Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, Surabaya: Bina Qalam Indonesia, 2015. hlm 246.
[5] Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam, Jakarta: INSISTS-MIUMI, 2012. hlm.193.
[6] Dr. Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, Surabaya: Bina Qalam Indonesia, 2015. hlm 253. □□

Sumber
jurisarrozy.wordpress.com □□□

Ukuran Islami Atau Tidaknya Suatu Negara





Pendahuluan

E
Entah sudah berapa kali, saya melihat post di media sosial tentang negara mana yang paling Islami. Biasanya, post tersebut diawali dengan dialog antara Syekh Muhammad Abduh dan filsuf Prancis tentang masyarakat mana yang dapat dijadikan contoh masyarakat Muslim.

Satu abad kemudian, peneliti George Washington University (selanjutnya disingkat GWU) dengan Islamicity index-nya menobatkan New Zealand – yang notabene mayoritasnya adalah non-Muslim – menjadi negara paling Islami. Untuk menambah ironi, Indonesia harus puas berada di peringkat 140 beserta “negara Islam” – baik karena mayoritas penduduknya adalah Muslim, konstitusinya berlandaskan Islam, atau sekadar mendeklarasikan dirinya sebagai negara Islam – lainnya yang kebanyakan bertengger di peringkat 100-200.

Dikatakan pula, bahwa kebanyakan ayat dan hadits menjelaskan Islam dengan menunjukkan indikasi-indikasinya, bukan definisi seperti menjaga lisan, meninggalkan yang tidak bermanfaat, dan seterusnya. Hal ini  juga yang dipenuhi oleh negara-negara dengan mayoritas Non-Muslim seperti Kanada dan Jerman. Post ini kemudian ditutup dengan ajakan bagi Muslim untuk giat membaca, berperilaku hidup bersih, dan sebagainya agar umat Islam tidak lagi terbelakang. [1]

Ketika selesai membaca post tersebut, saya beranggapan bahwa sebenarnya post-nya bermaksud baik. Sebagai Muslim, sudah seharusnya kita disiplin, hidup bersih, dan sebagainya. Jika negara dengan mayoritas Non-Muslim saja bisa, mengapa kita tidak? Kira-kira begitulah pesan yang saya tangkap.


Tolok Ukur Yang Digunakan

Namun demikian, betapapun mulianya tulisan tersebut, tetap saja menyisakan pertanyaan di sana-sini. Misalnya, benarkah kita kalah Islami dari New Zealand? Seperti apa cara mengukur indeks keislaman negara versi GWU? Bagaimana seharusnya kita bersikap pada hasil penelitan ini? Lewat tulisan inilah, Insya Allah saya akan mengajak pembaca untuk merenungkan permasalahan-permasalahan tersebut, dengan harapan bahwa kita dapat bersikap lebih adil setelahnya.

Sebelum mendalami pertanyaan mengenai “negara Islami”, ada baiknya kita melihat hasil penelitian GWU tersebut. Pada referensi [1], tidak dicantumkan jurnal yang melatarbelakangi ide pokok tulisannya. Hanya dikatakan, penelitian islamicity index tersebut dilakukan oleh beberapa peneliti dari GWU. Setelah melakukan pencarian, penulis menemukan bahwa jurnal yang dimaksud di sini adalah How Islamic are Islamic Countries – Bagaimana Islam itu berlaku seperti Negara (yang menjalankan ajaran) Islam itu sendiri, yang ditulis oleh Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari – keduanya adalah peneliti di GWU. [2]

Dalam jurnal tersebut, Rehman dan Askari mencoba mengukur tingkat keislaman (islamicity index – I [2] dari 208 negara di dunia. Pengukuran islamicity index tersebut kemudian didapatkan dari penjumlahan indeks-indeks yang lain, yaitu: Economic Islamicity Index  [3], Legal and Governance Islamicity Index, Human and Political Rights Islamicity Index, dan International Relations Islamicity Index.

Singkat cerita, setelah dihitung, muncullah 10 negara paling Islami versi penelitian Rehman dan Askari: 1) New Zealand, 2) Luxembourg, 3) Irlandia, 4) Islandia, 5) Finlandia, 6) Denmark, 7) Kanada, 8) U.K., 9) Australia, dan 9) Belanda (sama dengan Australia). Hal ini berbeda dengan referensi [1] yang menyatakan Kanada menduduki peringkat kelima. Namun demikian, pada jurnal ini peringkat Indonesia memang berada pada posisi 140. [4]

Hal pertama yang harus dicermati pada penelitian ini adalah tentang metode penilaiannya. Dalam jurnal ini, penulisnya beranggapan bahwa ajaran Islam dapat diekstrak menjadi empat poin, yaitu: walayahh, karamah, meethaq, dan khilafa.

Walayahh berbicara tentang cinta kepada pencipta yang ‘dibalas’ dengan cinta kepada sesama ciptaan-Nya. ● Karamah berbicara tentang respect dan dignity kepada sesama. ● Meethaq berbicara tentang kesaksian seluruh manusia pada masa lalu bahwa mereka mengakui Allah sebagai pencipta mereka. Terakhir, ● khilafa berbicara tentang pemberdayaan manusia dalam rangka menyebarkan walayahh. [5] Keempat ajaran inilah yang kemudian menjadi dasar perumusan empat indeks utama dari islamicity index.


Kejangggalan Tolok Ukur Yang Digunakan

Disinilah letak kejanggalan tolok ukur yang digunakan seperti yang diuraikan diatas. Kenapa empat pilar itu yang dipakai? Kenapa bukan rukun Islam? Padahal, dalam Hadits Arba’in Nawawiyah no. 2, kita tahu cerita tentang Jibril yang menyamar sebagai manusia lalu berbicara tentang Rasul tentang Iman, Islam, dan Ihsan. Berikut salah satu potongan Haditsnya yang berbicara tentang definisi Islam:

Dari Umar ra. Berkata: Ketika duduk bersama Rasulllah saw pada suatu hari, muncullah seorang laki-laki berpakaian putih bersih, berambut hitam kelam, tidak tampak padanya bekas-bekas bepergian jauh, dan tak seorangpun di antara kami mengenalnya. Lalu ia duduk mendekat pada Nabi saw dengan menempelkan lututnya pada lutut beliau kemudian ia meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha beliau, ia berkata, “Wahai Muhammad, beritahu aku tentang Islam.” Beliau bersabda, “Berislam adalah kesaksian kamu bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah, kamu mendirikan shalat dan memberikan zakat, berpuasa Ramadhan dan haji ke Baitullah bila kamu mampu melaksanakan perjalanan ke sana.” Orang itu berkata “Engkau benar.” Kami heran kepadanya, ia bertanya lalu membenarkannya. (HR. Muslim).

Pada Hadits Arba’in Nawawiyah no. 3, juga kita dapat menemukan definisi yang serupa mengenai Islam:

Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaathab ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Islam itu didirikan di atas lima dasar, bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, dan Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Jadi, sebenarnya pada Hadits ini, dari mulut Rasulullah sendiri terucap definisi tentang Islam. Tentunya, jika ingin mengukur tingkat keislaman (baik itu negara, orang, dll), harus mengacu pada definisi Rasul. Akan tetapi, sayangnya Hadits Rasul ini tidak dijadikan sumber perumusan islamicity index pada penelitian Rehman dan Askari ini.

Hal yang disebutkan diatas berdampak fatal pada perumusan indeks kedepannya. Misalnya, dari definisi Islam versi Rehman dan Askari, lahirlah indeks-indeks keislaman yang ‘hanya mencakup wilayah amaliyah. Aktivitas ekonomi, pemerintahan, HAM, dan hubungan internasional semuanya adalah aspek amaliyah.

Sayangnya, mereka lupa bahwa amal tidak berguna tanpa keimanan. Al-Qur’an sendiri sudah memperingatkan bahwa amalan orang-orang kafir laksana fatamorgana (sia-sia). [6] Dari definisi Islam yang disampaikan Rasul pada Hadits di atas pun, syahadat menjadi poin pertama yang disebutkan – yang mana tidak dinilai pada islamicity index versi Rehman dan Askari. Belum lagi kalau aspek-aspek lainnya pada rukun Islam (shalat, zakat, puasa, naik haji) diperhitungkan, kira-kira apakah New Zealand masih bertahan menjadi negara paling Islami? Maka dari itu, wajar jika Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi berkomentar bahwa penilaian tersebut adalah penilaian yang parsial (tidak utuh, hanya sebahagian saja). [7]

Islamicity index versi Rehman dan Askari juga perlu dipertanyakan. Di beberapa poin, terdapat beberapa kriteria penilaian yang sebenarnya agak aneh jika diterapkan untuk mengukur keislaman suatu negara. Misalnya, pada human and political right islamicity index, kenapa ada kriteria penilaian berapa persentase perempuan duduk di parlemen? [8] Atau kenapa aktivitas ekonomi yang Islami harus diukur dari berapa persen wanita yang berkontribusi di dalamnya? [9] Kenapa misalnya, tidak dihitung dari apakah pengaplikasian hukum waris dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian perempuan (yang di zaman sebelum Islam datang waris bagi perempuan tidak ada sama sekali) sudah berjalan di negara x.

Selain itu, pada bagian economy islamicity index juga sayangnya tidak memasukkan beberapa parameter yang benar-benar berasal dari ajaran Islam. Misalnya, kenapa tidak dihitung seberapa banyak warga yang membayar zakat? Atau, seberapa banyak dana yang dikeluarkan penduduk negara x untuk berinfaq dan sedekah? Padahal ajaran Islam ini sangat berkaitan dengan aktivitas ekonomi, dan sudah sangat populer bahkan di kalangan Non-Muslim sekalipun. Akan tetapi, kealpaan pada sisi ini berakibat penilaian yang parsial. Namun demikian, sekali lagi, meskipun ada parameter zakat/infaq/sedekah, tetap saja sia-sia jika tidak dilandasi keimanan.

Masih banyak lagi yang harus dikritisi dari islamicity index ini. Kenapa tidak mengukur seberapa banyak laki-laki dan perempuan berpakaian dengan menutup aurat, seberapa penuh shaff shalat berjamaah di masjid, atau seberapa banyak warga negara tersebut yang hafal Al-Qur’an, misalnya. Tentunya, jika ingin mendapatkan gambaran tentang negara Islami lebih baik, parameter-parameter tersebut patut dipertimbangkan.

Dari sini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa kesalahan mendefinisikan Islam dapat berakibat fatal. Ketika definisi Islam yang diucapkan langsung oleh Rasul tidak dipakai, maka jangan heran jika “lompatan berpikir” seperti negara paling Islami adalah New Zealand atau si x (yang non-Muslim) adalah pemimpin yang lebih Islami dari orang Islam (sendiri akan dan sudah) bermunculan (biasanya ketika Pilkada atau Pemilu datang).

Dalam hal ini, saya sekaligus mengkritik referensi [1] yang mengatakan bahwa Islam kebanyakan dinilai dari ‘indikasinya’, bukan ‘definisinya’. Meskipun memang, terdapat ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menggambarkan Islam dari sisi “indikasi”, tetapi itu tidak berarti kita dengan serta-merta mengabaikan definisi Islam yang telah diucapkan Rasulullah saw tersebut.

Paham tersebut diatas mirip sekali dengan pemikiran Wilfred Cantwell Smith, orientalis terkemuka asal Kanada, tentang Islam. Beliau menulis:

Islam adalah kata kerja, muncul sekitar sepertiga kali jumlah keumunculan kata kerja asalnya ‘aslama’ (tunduk, berserah diri secara keseluruhan, memberikan diri kepada komitmen total. Ia merupakan kata kerja; nama sebuah bentuk tindakan, bukan sebuah institutsi; sebuah keputusan pribadi, bukan sebuah sistem sosial.”[10]

Jadi, menurut Smith, Islam itu berarti berserah diri (submission). Maka, siapa saja yang berserah diri kepada Tuhan, dia itu Islam. Hal ini tentunya konyol. Sebab, meskipun aslama artinya berserah diri, tidak serta-merta Islam berarti tunduk kepada sembarang Tuhan dan dengan “cara berpasrah” yang sembarangan juga.

Analoginya, memang shalat itu secara bahasa artinya do’a. [11] Namun ini tidak berarti sembarang do’a (tanpa melihat bagaimana cara dia berdo’a dan kepada siapa dia berdo’a) disebut shalat. Tetap saja, yang namanya shalat harus ada takbir, rukuk, sujud, salam, dan seterusnya.

Dalam hal inilah, Smith sama sekali tidak menyebutkan kriteria submission to God yang benar menurut Islam, sebagaimana banyak disebutkan dalam ayat Al-Qur’an dam Al-Hadits Nabi yang mewajibkan kaum Muslim mengikuti sunnah Rasulullah saw. [12] Barangkali, hal inilah yang dimaksud oleh Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas ketika berbicara tentang deislamization of language (deislamisasi bahasa). [13] Pemahaman kita tentang Islam dirusak, sehingga tidak lagi mengetahui definisi yang benar. Maka dari itu, kembali lagi, kita dapat melihat akrobat intelektual mengenai definisi Islam – seperti yang kita bahas sekarang.


“Pekerjaan Rumah” Umat Untuk Membenahi “Amaliyah”

Itulah sedikit pemikiran saya mengenai isu “negara Islami” tersebut. Terakhir, meskipun saya menebar kritik di sana-sini, saya tetap yakin bahwa sebenarnya tulisan tersebut bermaksud baik. Memang benar, sekarang kondisi umat Islam tidak sedang di atas. Benar pula, bahwa banyak orang Islam yang tidak membuang sampah pada tempatnya, menyela antrean, tidak hidup bersih, dan seterusnya - dan karenanya kita harus berbenah diri. Dalam ini pulalah guru dari Syekh Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani. Dalam buku harian Al-Afghani mencatat sebagai berikut: “Hari ini, agama Islam seperti kapal. Kaptennya Muhammad saw. Semua penumpang kapal suci ini adalah kaum Muslimin. Kapal kebahagiaan ini terjebak dalam badai dan terancam tenggelam. Orang-orang non-Muslim dan Pemikir Bebas dari setiap sisi telah menusuk kapal ini”

Namun demikian Al-Afghani tidak benci dengan membabibuta terhadap Barat, tapi sifat kolonialisme penjajahan yang menindas penduduk setempat dan menjarah kekayaan alam yang tidak disukainya. Ini adalah wajar sebagai rasa kemanusiaan yang universal, siapa pun dia. Hal ini dapat dilihat dari adanya suatu  cerita yang disampaikan tentang Afghani yang hijrah ke Perancis, dan setelah kembalinya ke Mesir, Afghani pun ditanya oleh temannya, “Apa yang kau peroleh dari sana wahai Afghani?” Dan kemudian dijawabnya, “Sesungguhnya aku banyak menemukan Islam disana, namun sedikit Muslim”. [14] Maksud keterangan ini memang umat tertinggal dari segi “amaliyah” seperti yang yang telah disebutkan diatas.


Penutup

Dari uraian diatas perlu kiranya ditarik garis benang merahnya agar pemahaman kita terhadap Islam tetap adil, mantap dan benar, sebagai berikut:

  • Posisi atau Kelemahan yang ada pada umat tersebut tidak perlu dijadikan alasan untuk bersikap inferior. Toh, yang menjalankan Islam itu kan kita, bukan mereka (Barat). Tidak perlu sampai berkesimpulan bahwa mereka lebih Islami dari kita. Sebab, jika memang bermental inferior, maka tidak ada gunanya kita mendiskusikan tentang kebangkitan umat. Kalau dari diri sendiri saja sudah goyah, bagaimana dalam konteks yang lebih luas?

Semoga kita dapat menimbang segala sesuatu lebih adil, āmīn. Wallahu a’lam. Billahit-Taufiq wal-Hidayah.



Daftar Pustaka
[1] Misalnya, lihat:
[2] Lihat:
[3] Untuk jurnal mengenai Economic Islamicity Index, lihat:
[4] Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari, How Islamic are Islamic Countries? Global Economy Journal, Issue 2, Article 2, 2010, hlm. 31.
[5] Ibid, hlm. 5-6.
[6] Lihat Q.S. An-Nuur (24): 39.
[7] Lihat komentar Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi mengenai penelitian tersebut di:
[8] Lihat Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari, How Islamic are Islamic Countries?, hlm. 17.
[9] Ibid, hlm. 22.
[10] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta: Gema Insani, 2005, hlm. 359. Cetak tebal oleh penulis.
[11] Aam Amiruddin, Sudah Benarkah Shalatku?, Bandung: Khazanah Intelektual, 2008, hlm. 86.
[12] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, hlm. 360.
[13] Untuk mendapatkan pembahasan yang sederhana mengenai deislamisasi bahasa, bisa lihat di jurisarrozy:
[14] Lihat di afaisalmarzuki:


Sumber
jurisarrozy.wordpress.com; afaisalmarzuki.blogspot.com □□□

Blog Archive