Monday, November 3, 2014

World Views of Islam (I)

oleh  A. Faisal Marzuki





Mukaddimah:


Y
ang dimaksudkan dengan “World View of Islam” disini adalah bagaimana “cara pandang dunia dalam Ajaran Islam”. Selama ini pada umumnya kita telah banyak mempelajari ajaran Islam dalam sisi beribadah ‘habblum minAllah’ yaitu hubungan manusia dengan Tuhan Pencipta manusia dan alam-alam selain manusia. Buku-buku telah banyak diterbitkan dan di baca. Penyampaian-penyampaian dakwah semacam ini marak di Majelis Ta’lim, Pengajian Mingguan, dan Pengajian Bulanan dan sebagainya. Bahkan detail sekali, baik ditinjau secara Fikih maupun Tasawwuf. Ini tidak salah, melainkan sungguh benar. Pengetahuan ini baik sekali kita rengkuh sekuat-kuatnya jangan sampai lepas, dan amalkan dengan sesungguh-sungguhnya dan sebaik-baiknya, lahir dan bathin. Dengan itu akan didapat kemudahan mencapai akhirat karena tahu ilmunya dan diamalkan serta akan berdampak positif bagi-dan-di-dunia.

       Selanjutnya sepengetahuan penulis tidak banyak yang mentadabburi dan mengajarkan ajaran Islam ditinjau dari sisi ‘habblum minannas’, hubungan manusia sesamanya (+alam), secara ‘konseptual’ yaitu lebih dalam dan membumi serta applicable. Applicable yang dimaksudkan disini adalah ‘dapat dilaksanakan’ dalam tinjauan hidup di dunia bersama dengan masyarakat-masyarakat (yang belum) Non Muslim tanpa meninggalkankan aqidah (tauhid) Islam itu sendiri. Penulis yakin sangat bahwa ajaran Islam itu adalah ajaran hidup dalam suatu ‘sistim kehidupan’ betapapun kompleksnya hidup itu. Karena ajaran Islam datangnya bukan dari makhluk (yang diciptakan), tapi datang dari Khaliq (yang menciptakan). Ajaran serta paradigma bagaimana sistim kehidupan di dunia itu sendiri ada dalam ajaran Islam sebagai firman-Nya dalam surat ke 28 al-Qashash ayat 77 “●Dan carilah negeri Akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu. ●Tapi janganlah kamu lupakan bagianmu (hidupmu semasih) di Dunia.  Selanjutnya penulis buku “The 100: A Ranking of the Most Influencial Persons in History”, Michael H. Hart mengatakan: “…Muhammad was ‘supremely successful’ in both ● the ‘religious’ and ●‘seculer’ realm”. Yang artinya disini adalah Muhammad Rasul Allah saw telah sangat berhasil baik dalam membawa (dan membumikan) kedua ajaran Islam yang bersumber dari Allah Khaliq pencipta manusia dan alam-alam lainnya, yaitu ajaran ●‘habblum minAllah’ (religious), dan ajaran Islam yang berkenaan dengan ● ‘habblum minannas’ (seculer, artinya dunia, bukan secularism). Dengan itu telah testified (‘uji coba’ yang berhasil). Kemudian 82 hari sebelum kembalinya Rasul saw ‘kepangkuan Kekasih-nya, Allah Azza wa Jalla’ turunlah ayat yang memberikan sertifikasi validitas pemberlakuan “Ad-Dinul Islam” sebagai ‘agama’ bagi seluruh ummat ras manusia (humankind) dan terakhir yang berlaku sepanjang zaman. Isi dari sertifikat Ad-Dinul Islam dari Allah Tuhan Raja di Raja Alam Raya di Raya Semesta itu berbunyi: “Pada hari ini telah Aku (Allah) sempurnakan agamamu (bernama Islam) untukmu (wahai ummat manusia), telah Aku (Allah) cukupkan nikmat-Ku (pemberian sangat berharga bagi kedamaian dan kesejahteraan kehidupan manusia dari Allah) bagimu (wahai ummat manusia), Dan Aku (Allah) ridhai (syahkan) Islam sebagai ‘dīn’(agama way of life) mu (wahai ummat manusia).” Surat ke-5 al-Mā’idah ayat 3.

       Kemampuan pengetahuan makhluk dalam ‘dealing’ dengan sistim kehidupan yang kompleks itu ada, tapi sifatnya relatif dan subjektif. Karena apa? Sifat fikiran dan keinginan manusia baik dari tinjauan ‘ego’ diri dalam diri sendiri atau ‘ego’ kolektif dari kelompoknya sendiri cenderung membela ‘diri’ atau ‘kelompok’ kepentingannya sendiri. Diri dalam pengertian kelompok yang lebih luas lagi adalah dalam bentuk negara atau bangsa. Dalam keadaan sifat semacam itu terutama dalam kaitan kemauan ‘interest’ ego kelompok manusia cenderung subjektif, yaitu membela kepentingannya. Maka dalam hal ini akan terjadi dalam menghadapi interest-nya itu suatu sikap “tiba pada diri di kembangkan, tiba pada orang lain dikempiskan”. Inilah yang dimaksudkan bahwa sistim hidup yang diciptakan manusia itu relatif. Contoh konkrit adalah di abad ke-21 ini Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang didirikan dipertengahan abad ke-20 ini bisakah menyelesaikan (masalah) keamanan dan kedamaian dunia abad ke-21? Ternyata tidak begitu tuntas, keamanan dan kedamaian dunia masih -ditinjau secara merata- mimpi belaka, perang di sana-sini masih merajalela. Ternyatapun cara menyelesaikannya tidak semuanya melalui jalur PBB. Juga tidak dengan cara-cara damai, melainkan dengan tangan besi ‘Ular Naga’ super power. Sementara itu ‘Cacing-cacing’ yang merasa dirugikan (menurutnya) menggeliat dan memberontak dengan cara-cara kekerasan pula, yang kini menjadi bulan-bulanan gempuran ‘Ular Naga’ super power. Cacing-cacing vs Ular Naga ini menelan korban jiwa satu sama lainnya plus korban jutaan manusia yang tak berdosa seperti anak-anak, orang tua dan warga sipil lainnya. Dan masalahnya sampai sekarang masih menggantung, yang masing-masing merasa menang, kedua-duanya juga masih eksis dan juga tidak tunduk satu sama lainnya (mati cacing yang satu, tumbuh cacing yang lain).

     Demikianlah akibatnya jika ajaran muamalah yang disusun oleh manusia itu akan selalu relatif dan tidak lepas dari kepentingan (‘interest’) kelompok manusia itu sendiri, walaupu dia pandai dan banyak tahu (katanya) selalu saja tidak akan bisa adil dan tidak akan memuaskan manusia. Karena cara berfikir manusia tidak lepas dari ‘hawa nafsu’nya sendiri atau kelompoknya. Selain Khalik sebagai Architect (of universe plus humankind) yang menurunkan ajaran “Islam” bagi kepentingan manusia itu sendiri dengan sifat-Nya yang selalu Rahman lagi Rahim. “Islam” yang dimaksudkan disini adalah berserah diri kepada (ajaran) Tuhan dan mengamalkannya. Agar manusia damai dan sejahtera hidup di dunia. Bagi yang beriman penuh (kaffah, beribadat, taqwa) kepada-Nya disamping dunia didapatnya juga mendapat kedamaian dan kesejahteraan di akhirat dalam Surga Adnan. Wallahu 'alam Bish-Shawab. ©AFM


 

Blog Archive