PENDAHULUAN
eringkali
kita mendengar dan membaca bahwa Islam adalah dīn (agama) Rahmatan Lil ’Ālamīn. Islam
adalah agama perdamaian, yang sangat toleran, penuh dengan kelembutan serta
kasih sayang dan tidak mungkin menebarkan kekerasan, terorisme, kebencian dan
lain sebagainya yang memang demikian adanya – tercatat pula dalam catatan tinta
emas sejarah Islam, baik dalam mengajarkan maupun dalam mempraktekkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Lain halnya kini dicap sebagai teroris. Terutama dalam memasuki awal
mellinnium ke-3 (2001) cenderung dijadikan alat politik oleh dunia, dan kini
lokal atau nasional pun menggunakannya sebagai alat untuk menjatuhkan marwah dīn (ajaran dan agama)
Islam yang sebenarnya seperti yang dibawa Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Sebenarnya, apa makna rahmatan
lil ’ālamīn yang sesungguhnya? Apa pengertian dan maksud dari kalimat tersebut?
Agar kita tidak salah memahami dari
kalimat tersebut, mari kita lihat beberapa tafsir dari ayat yang menjadi sumber
kalimat tersebut, yaitu Al-Quran surat Al-Anbiya ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا
رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
wa
mā arsalnāka illā rahmatan lil ’ālamīn
“Kami
tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh
manusia” [QS Al-Anbiyā’ 21:107]
Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam diutus dengan membawa dīn
(agama dan ajaran) Islam, maka Islam adalah rahmatan lil ’ālamīn, Islam
adalah rahmat bagi seluruh alam termasuk manusia.
PENGERTIAN RAHMATAN
LIL ‘ĀLAMĪN
erikut adalah arti rahmatan lil
’ālamīn jika ditinjau dari segi bahasa (Arab), rahmat artinya kelembutan yang
berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisānul Arab, Ibnul Mandzur).
Dalam konteks penggunaan istilah ini Ar-Raghib al-Ashfahani menguraikan
bahwa ar-rahmah kadang berkonotasi al-riqqah
(kelembutan) atau berkonotasi al-ihsān (kebajikan); [1] atau al-khayr (kebaikan) dan an-ni’mah (kenikmatan). Karena itu kata
ini termasuk ke dalam lafal yang berserikat di dalamnya lebih dari satu makna (lafzh musytarak) [2] Pemaknaannya
ditentukan oleh indikasi lainnya [3]
Dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Dengan
demikian rahmatan lil ’ālamīn secara bahasa adalah kasih sayang bagi
seluruh alam. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad shallallāhu
‘alaihi wa sallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
PENJELASAN RAHMATAN RAHMATAN ‘ĀLAMĪN
Ibnu Katsir
Makna rahmatan
lil ’ālamīn menurut Ibnu Katsir, berikut adalah kutipan isi tafsir Ibnu
Katsir, surat Al-Anbiyā’ ayat 107. Pada ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada kita bahwa Dia telah
menciptakan Muhammad shalallahu ‘alaihi
wa salam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ’ālamīn),
artinya, Dia mengirimnya sebagai rahmat untuk semua orang. Barangsiapa menerima
rahmat ini dan berterima kasih atas berkah ini, dia akan bahagia di dunia dan
akhirat. Namun, barangsiapa menolak dan mengingkarinya, dunia dan akhirat akan
lepas darinya, seperti yang Allah subhanahu
wa ta’ala firmankan dalam Kitab Suci-Nya yang artinya:
“Tidakkah
kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah (perintah-perintah
dan ajaran-ajaran Allah) dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah
kebinasaan? Yaitu neraka jahannam; mereka masuk kedalamnya; dan itulah
seburuk-buruk tempat kediaman.” [QS Ibrāhīm 14:28-29]
Dan Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Katakanlah:
“Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan
orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur’an
itu suatu kegelapan bagi mereka (tidak memberi petunjuk bagi mereka). Mereka
itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh.” [QS Fushshilat 41:44]
Muslim
meriwayatkan dalam Shahih-nya: Ibnu Abi‚ Umar telah menceritakan ke kami,
Marwan Al-Fayari menceritakan ke kami, dari Yazid bin Kisan, dari Ibnu Abi
Hazim bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, bahwa telah dikatakan,
“Wahai Rasulullah, berdoalah menentang kaum Musyrikin.”
Beliau berkata yang artinya:
“Saya
tidak dikirim sebagai kutukan, melainkan sebagai rahmat.” [Hadits ini
diriwayatkan oleh Muslim.]
Imam
Ahmad meriwayatkan bahwa ‘Amr bin Abi Qurrah Al-Kindi berkata: “Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu ada di Al Mada’in dan
dia menyebutkan sesuatu, bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda. Hudzaifah datang ke Salman radhiyallahu ‘anhu dan Salman berkata:
‘Ya, Hudzaifah, Rasulullah shalallahu
‘Alaihi wa sallam kadang-kadang marah dan berbicara dalam kondisi demikian,
dan kadang-kadang senang dan berbicara dalam kondisi demikian. Saya tahu bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam telah
menyapa kami dan berkata yang artinya:
“Sebagian
umatku telah aku cerca atau aku maki ketika aku marah – karena aku adalah salah
seorang dari keturunan Adam, dan aku bisa menjadi marah seperti dirimu. Tetapi
Allah subhanahu wa ta’ala telah
mengirimku sebagai rahmat untuk seluruh alam,
sehingga aku akan membuat itu (marahku) sebagai berkah buatnya di hari
kebangkitan.”
Kisah ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dari
Ahmad bin Yunus, dari Ya’idah. Mungkin ditanyakan: Apa bentuk rahmat yang
diperoleh bagi mereka yang kafir terhadap Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam? Jawabannya adalah apa yang
diriwayatkan oleh Abu Ja’far, dari Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu mengenai ayat ini:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا
رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
wa
mā arsalnāka illā rahmatan lil ’ālamīn
“Kami
tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh
manusia” [QS Al-Anbiyā’ 21:107]
Dia berkata, “Barangsiapa beriman kepada Allah
dan Hari Akhir, rahmat akan ditetapkan atasnya di dunia ini dan akhirat.
Barangsiapa tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, akan dilindungi dari apa
yang telah menimpa bangsa-bangsa terdahulu (kemusnahan), seperti gempa bumi dan
hujan batu.”
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Makna rahmatan
lil ’ālamīn menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, berikut ini adalah kutipan
isi tafsir Ibnu Qayyim surat Al-Anbiyā’ ayat 107 “Pendapat yang lebih benar
dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat disini bersifat umum. Dalam
masalah ini, terdapat dua penafsiran:
Pertama:
Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang
yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus.
Orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang
mereka dapatkan adalah disegerakannya pembunuhan dan maut bagi mereka, itu
lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah kepedihan adzab
kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka. Sehingga,
dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam
kekafiran.
Sedangkan orang kafir yang terikat perjanjian dengan Beliau, manfaat
bagi mereka adalah dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan dan perjanjian.
Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang memerangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang
munafik, yang menampakkan iman secara zhahir saja, mereka mendapat manfaat
berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun
diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum
yang lain.
Dan
pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah Ta’ala tidak memberikan adzab
yang menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia
mendapat manfaat dari diutusnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kedua:
Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima
rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang
kafir menolaknya. Sehingga bagi orang kafir, Islam tetap dikatakan rahmat bagi
mereka, namun mereka enggan menerima. Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah
obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan fulan tidak meminumnya, obat tersebut
tetaplah dikatakan obat”
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani
Makna rahmatan
lil ’ālamīn menurut Muhammad bin Ali Asy-Syaukani dalam tafsir Fathul
Qadir dapat kita temukan bahwa tafsir surat Al-Anbiyā’ ayat 107 tersebut
sebagai berikut: “Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai
Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi
seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi
pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai
Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan
membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat”
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari
Makna rahmatan
lil ’ālamīn menurut Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam tafsir Ath-Thabari
dapat kita temukan bahwa tafsir surat Al-Anbiyā’ ayat 107 tersebut sebagai
berikut: “Para ahli tafsir berbeda pendapat atau penjelasan tentang makna ayat
ini, tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh
manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja?
Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang
dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya
dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu
dalam menafsirkan ayat ini ayng artinya:
“Siapa
saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di
dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang
menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa
gelombang besar”
Dalam riwayat yang lain yang artinya:
“Rahmat
yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada
Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi
mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu”
Pendapat
ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman
saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini yang
artinya:
“Dengan
diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat
rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai
rahmat bagi seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah
orang-orang yang beriman kepada Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya”
Pendapat yang benar dari dua pendapat ini adalah
pendapat yang pertama, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas. Yaitu Allah mengutus
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, baik mu’min maupun kafir.
Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka
terhadap ajaran Allah. Sedangkan rahmat bagi orang kafir, berupa tidak
disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat terdahulu yang mengingkari ajaran
Allah” (diterjemahkan secara ringkas).
Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi
Makna rahmatan
lil ’ālamīn menurut Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi dalam Tafsir Al
Qurthubi: “Said bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, beliau berkata yang
artinya: “Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang beriman dan
membenarkan ajaran beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman
kepada beliau, diselamatkan dari bencana yang menimpa umat terdahulu berupa
ditenggelamkan ke dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air.”
Ibnu Zaid berkata yang artinya: “Yang dimaksud
‘seluruh manusia’ dalam ayat ini adalah hanya orang-orang yang beriman”
Ash-Shabuni
Makna rahmatan
lil ’ālamīn menurut Ash-Shabuni dalam Shafwatut Tafasir: “Maksud ayat
ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat
bagi seluruh makhluk”. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang artinya:
“Sesungguhnya
aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)” [HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal
Al Kabir 369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al
Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al Jami’, 2345]
Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur
atas nikmat ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan lil mu’minīn’, namun mengatakan
‘rahmatan lil ‘ālamīn’ karena
Allah Ta’ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya
pemimpin para Nabi, Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar.
Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi
sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan
pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau
memberikan hidayah kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan.
Inilah
yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir
mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka (diberi
kesempatan untuk menjadi atau mendapat hidayah sebagai muslim/mu’min). Selain
itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau
dibenamkan ke bumi, atau ditenggelamkan dengan air.” (seperti yang berlaku pada
umat-umat terdahulu)
KESIMPULAN
akna Rahmatan Lil ’Ālamīn berdasarkan dari beberapa
tafsir para ulama ahli tafsir yang terpercaya terhadap surat Al-Anbiyā’ ayat
107 tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa makna Islam Dīn (Agama, the way of life) Rahmatan Lil
’Ālamīn adalah sebagai berikut:
- Di
utusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang Allah kepada
seluruh manusia.
- Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam
Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya.
- Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan hukum-hukum syariat Islam yang dibawa oleh beliau adalah rahmat bagi alam
semesta. Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Bentuk
rahmat bagi orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang
membenarkan beliau serta taat kepada beliau dan apa yang dibawa oleh beliau,
adalah rahmat yang sempurna berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat.
- Orang
kafir yang memerangi/memusuhi Islam juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu dengan diwajibkannya perang melawan mereka. Karena kehidupan mereka
didunia lebih lama hanya akan menambah kepedihan siksa neraka di akhirat kelak.
- Orang
kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin juga mendapat rahmat dengan
diutusnya Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Yaitu dengan dilarangnya membunuh dan merampas harta
mereka.
- Secara
umum, orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa
dihindari dari adzab sebagaimana yang menimpa umat-umat terdahulu yang
menentang Allah. Sehingga setelah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak akan ada kaum kafir yang
diazab dengan cara ditenggelamkan seluruhnya atau dibenamkan ke dalam bumi
seluruhnya atau diubah menjadi binatang seluruhnya.
- Orang
munafik yang mengaku beriman secara lisan namun ingkar dalam hati juga mendapat
rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta,
keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum
muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Namun di akhirat
kelak Allah akan menempatkan mereka di dasar neraka Jahannam.
PEMAHAMAN YANG SALAH TERHADAP MAKNA ISLAM AGAMA RAHMATAN LIL ‘ĀLAMĪN
Tidak
sedikit orang yang salah menafsirkan dan memahami Al-Qur’an surat Al-Anbiyā’
ayat 107 tersebut, apalagi orang-orang yang tidak memahami ilmu tafsir, tidak
mengerti bahasa Arab bahkan yang tidak bisa membaca Al-Qur’an, pada umumnya
tidak memahami dengan benar apa sebenarnya makna Islam rahmatan lil ’ālamīn
tersebut. Beberapa kesalahan pemahaman tersebut diantaranya adalah:
-
Rahmatan Lil ’Ālamīn Berarti
Tidak Boleh Membenci, Memusuhi Apalagi Memerangi
Sebagian
orang sering menggunakan alasan bahwa islam itu rahmatan lil ’ālamīn,
rahmat bagi seluruh alam sehingga tidak boleh membenci, memusuhi apalagi
memerangi siapapun termasuk tidak boleh memusuhi dan memerangi orang-orang
kafir yang memusuhi dan memerangi Islam itu sendiri. Bahkan dengan alasan agama
Islam adalah agama rahmatan lil ’ālamīn sebagian orang melakukan seruan
yang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak boleh membenci
apalagi memusuhi mereka. Padahal sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam
tafsir beliau di atas, bahwa ada orang kafir yang wajib diperangi, ada pula
yang tidak boleh diperangi (dilukai).
Allah Ta’ala menjadikan Islam sebagai rahmat
bagi seluruh manusia, namun bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah dengan
berkasih sayang kepada mereka dalam bentuk beribadah menurut keyakinan mereka, melainkan
dalam bentuk habblum minan nās –
pergaulan sosial kemasyarakatan.
Telah
dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan
tidak ditimpa musibah besar yang menimpa umat terdahulu (dan kita dilarang
memusuhi atau memerangi mereka selama mereka tidak memusuhi atau memerangi
kita). Itulah bentuk kasih sayang Allah terhadap orang kafir, berdasarkan
penjelasan sahabat Ibnu Abbas radhiallahu’anhu.
Dalam ayat lain Allah Ta’ala telah berfirman
yang artinya:
“Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka.” [QS Al-Mujādalah 58:22]
Bahkan
konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dilarang beribadah
atau meniru cara beribadah atas segala bentuk penyembahan kepada selain Allah,
menolak dan memusuhi bentuk-bentuk penentangan terhadap ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta
membenci orang-orang yang melakukannya. Sebagaimana firman Allah (diantaranya)
dalam surat Al-Mumtahanah ayat 4 dan Al-Hujurāt ayat 7:
“Sungguh,
telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang
yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Kami berlepas diri
dari kalian dan dari sembahan kalian yang selain Allah. Kami ingkar kepada
kalian dan telah tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian
selamanya, sampai kalian beriman kepada Allah saja.” [QS Al-Mumtahanah 60:4]
“Akan tetapi,
Allah telah membuat cinta kepada kalian iman dan telah menghiasinya di kalbu
kalian, dan telah membuat hati kalian benci terhadap kekufuran, kefasikan, dan
maksiat.” [QS Al-Hujurāt 49:7)
-
Rahmatan Lil ’Ālamīn Berarti Tidak Boleh Memberi Peringatan,
Menghalangi dan Mengganggu Kesenangan Orang Lain ???
Sebagian
kaum muslimin membiarkan orang-orang meninggalkan shalat, membiarkan pelacuran
merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum bahkan
membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan enggan menasehati mereka karena
khawatir para pelaku maksiat merasa terhalangi dan terganggu kesenangannya,
tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian berkata: “Islam kan rahmatan
lil ’ālamīn, penuh kasih sayang”.
Padahal
bukanlah demikian tafsir surat Al Anbiyā’ ayat 107 ini. Islam sebagai rahmat
Allah bukanlah bermakna berbelas kasihan kepada pelaku kemungkaran dan
membiarkan mereka dalam kemungkarannya.
Sebagaimana dijelaskan Ath-Thabari dalam
tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk
dengan sebab diutusnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman
dan amal mereka terhadap ajaran Allah”.
Kita
yang merasa cinta dan sayang kepada saudara kita yang melakukan maksiat,
sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat yang dilakukannya dan
mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan. Sepatutnya pengingkaran terhadap
maksiat mendahulukan sikap lembut dan penuh kasih sayang, bukan mendahulukan
sikap kasar dan keras, kecuali jika kelembutan dan kasih sayang sudah tidak
mempan lagi.
Pernyataan ‘biarkanlah kami dengan pemahaman
kami, jangan mengusik kami’ hanya berlaku kepada orang kafir. Sebagaimana
dinyatakan dalam surat Al-Kāfirūn yang artinya:
Katakanlah,
“Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan
kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa
yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku, agamaku.” [QS Al-Kāfirūn 109:
1-6]
Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh
demikian. Bahkan wajib menasehati bila saudaranya terjerumus dalam kesalahan.
Yang dinasehati pun sepatutnya lapang menerima nasehat. Bukankah orang-orang
beriman itu saling menasehati dalam kebaikan? Sebagaimana pesan yang
disampaikan firman Allah Ta ‘ala dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Demi
masa. Sungguha manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling
menasehati untuk kesabaran.” [QS Al ‘Ashr 103:1-3]
Menasehati
orang yang berbuat menyimpang dalam agama adalah bentuk kasih sayang kepada
orang tersebut. Bahkan orang yang mengetahui saudaranya terjerumus ke dalam
penyimpangan beragama namun mendiamkan, ia mendapat dosa. Sebagaimana sabda
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang artinya:
“Jika
engkau mengetahui adanya sebuah kesalahan (dalam agama) terjadi dimuka bumi,
orang yang melihat langsung lalu mengingkarinya, ia sama seperti orang yang
tidak melihat langsung (tidak dosa). Orang yang tidak melihat langsung namun
ridha terhadap kesalahan tersebut, ia sama seperti orang yang melihat langsung
(mendapat dosa)” [HR. Abu Daud no.4345, dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan
Abi Daud]
Dengan
demikian surat Al-Anbiyā’ ayat 107 tersebut tidak akan mungkin bertentangan
dengan surat Saba’ ayat 28 yang artinya:
“Wahai
Muhammad, sesungguhnya Kami tidak mengutusmu kecuali untuk seluruh umat
manusia, sebagai pembawa berita gembira (bagi orang beriman) dan pemberi
peringatan (bagi orang durhaka/kafir). Namun sebagian besar manusia tidak
mengetahui kebenaran dirimu dan misi kerasulanmu yang universal”. [QS. Saba’ 34:28]
Ya, itulah rahmatan lil ’ālamīn: Kabar
gembira bagi orang beriman dan peringatan bagi orang fasik, munafik, durhaka
dan orang kafir.
-
Rahmatan Lil ’Ālamīn Berarti Toleransi Tak Terbatas ???
Dengan
menggunakan ayat ini, sebagian orang menyepelekan dan enggan mendakwahkan
aqidah yang benar, merasa tidak perlu menyampaikan apa yang dibawa oleh
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena berasumsi atau menganggap bahwa semua agama itu sama.
Karena mereka menganggap mendakwahkan aqidah Islam
hanya akan memecah-belah bangsa, menggangu toleransi kehidupan beragama dan
menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah
rahmatan lil ‘ālamīn.
Justru
dakwah tauhid, seruan untuk beraqidah yang benar adalah bentuk rahmat dari
Allah Ta’ala. Karena dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
rahmat Allah, maka bagaimana mungkin menjadi sebab perpecahan umat manusia?
Justru kesyirikanlah yang sebenarnya menjadi sebab perpecahan umat. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala yang artinya:
“…dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang
memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [QS Ar-Rūm 30:31-32]
PENUTUP
ahmatan lil ‘ālamīn, tidak berarti menafikan
ajakan kepada kebenaran, peringatan dari kebatilan, dan pengingkaran terhadap
kemungkaran. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman dalam Kitab Cuci Al-Qur’an yang artinya:
“Dan
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia
sebagai pembawa berita gembira (bagi orang yang beriman) dan sebagai pemberi
peringatan (bagi orang durhaka/kafir), tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui.” [QS Saba’ 34:28]
Rahmatan lil ‘ālamīn tidak berarti bebas
tanpa batas, toleran tanpa batas dan aturan, damai tanpa dalil, dan sejenisnya.
Rahmatan lil ‘ālamīn itu terkadang dengan memberi peringatan keras
bahkan terkadang dengan perang. Itulah sebabnya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmatan
lil ’ālamīn beberapa kali melakukan peperangan.
Itulah
makna rahmatan lil ‘ālamīn yang sebenarnya, mengandung dua sisi yang tak
bisa ditinggalkan salah satu dari keduanya: kelembutan dan ketegasan.
Masing-masing diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisinya yang tepat. Tidak
serampangan dan asal-asalan. Sudah barang tentu, yang dikedepankan adalah kasih
sayang dan kelemahlembutan.
Seperti itulah gambaran dari rahmatan lil
‘ālamīn yang sebenarnya yang terpancar dari kehidupan yang menyejarah dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sang
teladan terbaik bagi umat manusia.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan
rahmat-Nya kepada kita semua, yang dengan sebab rahmat-Nya tersebut kita
dikumpulkan di dalam Jannah-Nya.
Demikianlah
paparan dari makna dan tujuan dari tema Rahmatan Lil ‘Ālamīn ini, semoga
bermanfaat bagi kehidupan dalam berbangsa dan berantar bangsa dalam semangat “wa mā arsalnāka illā rahmatan
lil ’ālamīn” - “Kami tidak mengutus engkau, Wahai
Muhammad (dan juga umat Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam”.
Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Ar-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî
Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz, (I/253-254)
[2] Abdul Halim Muhammad Qunabis, Mu’jam al-Alfâzh al-Musytarakah fî al-Lughah
al-‘Arabiyyah, Beirut: Maktabah Lubnân,1986, (hlm. 55)
[3] Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, dkk, Mu’jam Lughatil Fuqahâ’, Beirut:
Dâr an-Nafâ’is, Cet.II, 1988, (I/430) □□
Sumber:
http://bacasitus.com/agama/makna-rahmatan-lilalamin-menurut-berbagai-tafsir.html
http://www.indahnyaislam.my/2017/11/makna-rahmatan-lil-alamin-menurut-tafsiran-para-ulama/□□□