P
|
engertian kata nasional
berasal dari kata “nation” yang berarti “bangsa”. Adapun pengertian bangsa
meliputi: 1. Sebagai kata benda: Kelompok masyarakat yang bersamaan asal
keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri, seperti
bangsa India; bangsa Indonesia; bangsa Mesir. 2. Kedudukan
(keturunan) mulia (luhur): bahasa menunjukkan bangsa; 3. Arti dalam antropologi: Kumpulan manusia yang biasanya
terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan menempati
wilayah tertentu di muka bumi; 4. Arti dalam ordo (rangking, kelas,
urutan atau pola): rusak bangsa oleh laku, peribahasa biarpun orang
berbangsa tinggi, kalau berkelakuan buruk, keturunannya yang tinggi itu tidak
akan dihargai orang, tidak ada nilai. 5.
Arti dalam kelompok bangsa: bangsa Barat - seorang atau sekelompok besar rakyat
yang mendiami sebagian benua Eropa dan benua Amerika Utara serta benua
Australia.
Beberapa makna kata
bangsa diatas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari
kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat. Pengertian ini berkaitan
dengan arti kata suku yang sama diartikan sebagai golongan orang-orang
(keluarga) yang seturunan; golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang
besar. Beberapa suku atau ras dapat menjadi pembentuk sebuah bangsa dengan
syarat ada kehendak untuk bersatu yang diwujudkan dalam pembentukan
pemerintahan yang ditaati bersama.
Kata bangsa mempunyai
dua pengertian: Pertama, pengertian antropologis-sosiologis. Kedua, pengertian
politis. Menurut pengertian pertama, yaitu antropologis-sosiologis: Bangsa adalah suatu masyarakat yang
merupakan persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat
tersebut merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat.
Pengertian ini memungkinkan adanya beberapa bangsa dalam sebuah negara
dan—sebaliknya—satu bangsa tersebar pada lebih dari satu negara. Kasus pertama
terjadi pada negara yang memiliki beragam suku bangsa, seperti Amerika Serikat
yang menaungi beragam bangsa yang berbeda. Begitu pula Indonesia yang terdiri
dari beragam suku-suku daerah seperti Betawi, Jawa, Sunda, Aceh, Minangkabau,
Batak, Bugis, Menado dst. Kasus kedua adalah sebagaimana yang terjadi pada
bangsa Korea yang terpecah menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara,
menurut pengertian kedua, yaitu dalam pengertian politis: Bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk
kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke
dalam. Bangsa (nation) dalam
pengertian politis inilah yang kemudian menjadi pokok pembahasan nasionalisme.
Istilah nasionalisme
yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian: Paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan
negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara
potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan
identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.
Dengan demikian,
nasionalisme berarti menyatakan keunggulan suatu afinitas (sifat energy)
kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah. Istilah
nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “lahir di”. Dari sinilah lahir istilah Jus Soli [1] (bahasa Latin: ‘right of the soil’) - dimana dia lahir
disitulah kewarganegaraan yang disandangnya, artinya kewargenagaraannya
berdasarkan di mana dia lahir. Hal inilah yang dipakai oleh Amerika Serikat.
Berlainan Indonesia yang menganut Jus
Sanguinis [2] (bahasa Latin: ‘right of blood’) - yaitu kebalikan dari Jus Soli yaitu berdasarkan darah keturunan, artinya
kewarganegaraannya berdasarkan tali ikatan darah dari salah satu atau kedua orang
tuanya. Kadangkala tumpang tindih dengan
istilah yang berasal dari bahasa Yunani, “etnik”
- suku bangsa. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk
menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik.
Disamping definisi
bahasa dari pengertian nation atau bangsa diatas terdapat beberapa rumusan
lain mengenai nasionalisme, di antaranya:
1. Pendapat
Huszer dan Stevenson: Nasionalisme
adalah yang menentukan bangsa mempunyai rasa cinta secara alami kepada tanah
airnya.
2. Pendapat
L. Stoddard: Nasionalisme adalah
suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan, yang dianut oleh sejumlah besar
individu sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah rasa
kebersamaan segolongan sebagai suatu bangsa.
3. Pendapat
Hans Kohn: Nasionalisme menyatakan
bahwa negara kebangsaan adalah cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari
organisasi politik, dan bahwa bangsa adalah sumber dari semua tenaga kebudayaan
kreatif dan kesejahteraan ekonomi.
Beberapa definisi
diatas memberi kesimpulan bahwa: Nasionalisme
adalah kecintaan alamiah terhadap tanah air, kesadaran yang mendorong untuk
membentuk kedaulatan dan kesepakatan untuk membentuk negara berdasar kebangsaan
yang disepakati dan dijadikan sebagai pijakan pertama dan tujuan dalam
menjalani kegiatan kebudayaan dan ekonomi.
Kesadaran yang
mendorong sekelompok manusia untuk menyatu dan bertindak sesuai dengan kesatuan
budaya (nasionalisme) oleh Ernest
Gellner dinilai bukanlah kebangkitan kesadaran diri suatu bangsa namun ia
adalah pembikinan bangsa-bangsa yang sebenarnya tidak ada (Gellner [3]
dalam Anderson, 2002:9).
Dengan gaya berpikir
antropologis, Anderson [4] (2002:8—11) menawarkan pandangan yang
lebih positif tentang nasionalisme, ia menyatakan: Bahwa bangsa atau nation
adalah komunitas politis yang dibayangkan (imagined)
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.
Lebih jauh dia memaparkan bahwa bangsa disebut komunitas karena ia sendiri
selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk-mendalam dan
melebar-mendatar, sekalipun demikian
ketidakadilan dan penghisapan hampir selalu ada dalam setiap bangsa. Bangsa
disebut sebagai komunitas terbayang (imagined
community) karena para anggota bangsa terkecil tidak mengenal sebagian
besar anggota lain, bahkan mungkin tidak pernah mendengar tentang mereka. Ia
dibayangkan sebagai sesuatu yang terbatas karena bangsa-bangsa yang paling
besar sekalipun memiliki garis-garis batas yang pasti dan jelas meski terkadang
bersifat elastis. Di luar garis batas itu adalah bangsa lain yang berbeda dengan
mereka.
Sejarah
Paham Nasionalisme
Dalam sejarah, konsep
kesadaran nasionalisme dari manusia bermula dari benua Eropa, sekitar abad
pertengahan. Kesadaran berbangsa—dalam pengertian nation-state—dipicu oleh
gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman
(Dault, 2005:4). Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma
menerjemahkan Perjanjian Baru kedalam bahasa Jerman dengan menggunakan gaya
bahasa yang memukau dan kemudian merangsang rasa kebangsaan Jerman. Terjemahan
Injil membuka luas penafsiran pribadi yang sebelumnya merupakan hak eksklusif
bagi mereka yang menguasai bahasa Latin, seperti para pastor, uskup, dan
kardinal. Implikasi yang sedikit demi sedikit muncul adalah kesadaran tentang
bangsa dan kebangsaan yang memiliki identitas sendiri. Bahasa Jerman yang
digunakan Luther untuk menerjemahkan Injil mengurangi dan secara bertahap
menghilangkan pengaruh bahasa Latin yang saat itu merupakan bahasa ilmiah dari
kesadaran masyarakat Jerman. Mesin cetak yang ditemukan oleh Johann Gothenberg
turut mempercepat penyebaran kesadaran bangsa dan kebangsaan. Hal ini penting
dicatat mengingat pada sekitar tahun yang sama (1518—1521) Majapahit mengalami
kehancuran yang disebabkan oleh pemberontakan daerah-daerah dan kemerosotan
internal kerajaan. Majapahit pada masanya merupakan kerajaan besar yang
menguasai sebagian besar wilayah yang saat itu disebut Nusantara. Namun
kebesaran ini tidak memunculkan kesadaran berbangsa, dalam arti modern. Hal itu
disebabkan tidak adanya alat percetakan yang mengakselerasi penyadaran massal
seperti yang terjadi di Jerman.
Namun demikian,
nasionalisme Eropa yang pada kelahirannya menghasilkan “deklarasi hak-hak manusia” berubah menjadi kebijakan yang
didasarkan atas “kekuatan dan self interest” dan bukan atas dasar
kemanusiaan (Rasyidi dalam Yatim, 2001:63). Dalam perkembangannya “nasionalisme Eropa” berpindah haluan
menjadi “persaingan fanatisme nasional
antar bangsa-bangsa Eropa” yang “melahirkan Perang Dunia I dan Perang Dunia II dengan korban 100 juta manusia, serta
penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum memiliki identitas
kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin”.
Fakta ini merujuk
pada dua hal: (1) Ledakan ekonomi Eropa pada masa itu yang berakibat pada
melimpahnya hasil produksi - akibat produksi massa (revolusi industri, dan
ditemukannya tenaga mesin uap) dan (2) Pandangan pemikir Italia, Nicolo
Machiaveli, yang menganjurkan “seorang
penguasa untuk melakukan apapun demi menjaga eksistensi kekuasaannya”. Dia menulis:
“Bila
ini merupakan masalah yang mutlak mengenai kesejahteraan bangsa kita, maka
janganlah kita menghiraukan keadilan atau ketidakadilan, kerahiman dan
ketidakrahiman, pujian atau penghinaan, akan tetapi dengan menyisihkan semuanya
menggunakan siasat apa saja yang menyelamatkan dan memelihara hidup negara kita
itu” (Kohn dalam Yatim, 2001:65).
Nasionalisme yang
pada awalnya mementingkan hak-hak asasi manusia pada tahap selanjutnya
menganggap kekuasaan kolektif yang terwujud dalam negara lebih penting daripada
kemerdekaan individual. Pandangan yang menjadikan negara sebagai pusat
merupakan pandangan beberapa beberapa pemikir Eropa saat itu, diantaranya
Hegel. Dia berpendapat bahwa kepentingan negara didahulukan dalam hubungan
negara-masyarakat, karena ia merupakan kepentingan obyektif sementara
kepentingan masing-masing individu adalah kepentingan subyektif. Negara adalah
ideal (geist) yang diobyektifikasi,
dan karenanya, individu hanya dapat menjadi sesuatu yang obyektif melalui
keanggotaannya dalam negara.
Lebih jauh dia
menyatakan bahwa negara memegang monopoli untuk menentukan apa yang benar dan
salah mengenai hakikat negara, menentukan apa yang moral dan yang bukan moral,
serta apa yang baik dan apa yang destruktif (Simandjuntak, 2003:166). Hal ini
melahirkan kecenderungan nasionalisme yang terlalu mementingkan tanah air - “patriotisme
yang mengarah pada chauvinism, [5]
yang mendorong masyarakat Eropa melakukan ekspansi-ekspansi ke wilayah dunia
lain”. Absolutisme Negara dihadapan
rakyat memungkinkan adanya pemimpin totaliter, yang merupakan bentuk ideal
negara yang dicitakan Hegel, sebuah monarki (ibid, 2003:224). Totaliterianisme [6] yang
dianjurkan oleh filsafat negara Hegel dapat menggiring sebuah pemerintahan
menjadi pemerintahan yang fasis.
Fasisme adalah
doktrin yang mengajarkan kepatuhan mutlak terhadap perintah dalam semua aspek
kehidupan nasional. Dalam sejarahnya, fasisme terkait erat dengan rasisme yang
mengunggulkan sebagian ras (suku) atas sebagian yang lain. Menurut Hugh Purcell
(2000:11) nasionalisme dan rasisme merupakan gambaran paling
terkenal dari fasisme [7]
pada tahun 1930-an. Rasisme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme. Keduanya
berbeda pada penekanan. “Rasisme
menekankan superioritas suku”. Pada “nasionalisme
menekankan keunggulan bangsa (komunitas terbayang yang lebih besar dari suku)”.
Manusia nasionalis adalah seseorang dengan kebanggaan terhadap bangsanya yang
kadang diungkapkan dengan cara berlebihan. Nasionalisme dan rasisme memiliki
keserupaan dalam hal pengunggulan dan kebanggaan terhadap sesuatu yang secara
alamiah melekat pada setiap manusia. Yang pertama kebanggaan terhadap
bangsa—sistem pemerintahan, suku, dan budaya. Yang kedua kebanggaan terhadap
suku.
Paham
Nasionalisme di Indonesia
Di Indonesia, nasionalisme melahirkan Pancasila
sebagai ideologi negara. Perumusan Pancasila sebagai ideologi negara terjadi
dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Di
dalam badan inilah Soekarno mencetuskan ide yang merupakan perkembangan dari
pemikirannya tentang persatuan tiga aliran besar: Nasionalisme, Islam, dan
Marxis. Pemahamannya tentang tiga hal ini berbeda dengan pemahaman orang lain
yang mengandaikan ketiganya tidak dapat disatukan. Dalam sebuah artikel yang
ditulisnya dia menyatakan, “Saya tetap nasionalis, tetap Islam, tetap
Marxis, sintese dari tiga hal inilah memenuhi saya punya dada. Satu sintese
yang menurut anggapan saya sendiri adalah sintese yang geweldig” (Soekarno
dalam Yatim, 2001:155). Dalam artikel itu, dia juga menjelaskan bahwa Islam
telah menebalkan rasa dan haluan nasionalisme. Cita-cita Islam untuk mewujudkan
persaudaraan umat manusia dinilai Soekarno tidak bertentangan dengan konsep
nasionalismenya. Dan sesuai dengan konsep Islam, dia menolak bentuk
nasionalisme yang sempit dan mengarah pada chauvinisme.
Dia menambahkan, Islam juga tidak bertentangan dengan Marxisme, karena Marxisme
hanya satu metode untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi, sejarah, dan
sosial.
Soekarno menghendaki
agar dalam negara Indonesia agama dan negara dipisahkan. Pemisahan itu tidak
berarti menghilangkan kemungkinan untuk memberlakukan hukum-hukum Islam dalam
negara, karena bila anggota parlemen sebagian besar orang-orang yang berjiwa
Islam, mereka dapat mengusulkan dan memasukkan peraturan agama dalam
undang-undang negara. Itulah cita ideal negara Islam menurut Soekarno (ibid,
2001:156). Dengan dasar pemikiran itulah, Soekarno mengusulkan lima asas untuk
negara Indonesia merdeka. Kelima asas itu adalah: (1) Kebangsaan Indonesia, (2)
Internasionalisme atau peri kemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4)
Kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan.
Usulan ini
menimbulkan perbedaan pendapat antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam
dan mendorong pembentukan sub panitia yang terdiri dari empat orang wakil
nasionalis sekuler dan empat orang wakil nasionalis Islam serta Soekarno
sebagai ketua sekaligus penengah. Pertemuan sub panitia ini menghasilkan
rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Usulan Soekarno menjadi
inti dari Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan: urutan kelima sila dan
penambahan anak kalimat pada sila ketuhanan. Tambahan anak kalimat yang
kemudian diperdebatkan itu adalah “Dengan kewajiban melaksanakan Syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada saat itu, Soekarno dan Agus Salim berusaha
mengakhiri diskusi tentang Piagam Jakarta dalam bentuk yang telah disepakati
bersama.
Namun setelah Jepang
mengalami kekalahan dan BPUPKI ditingkatkan stasusnya menjadi Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), beberapa anggota BPUPKI—khususnya dari kalangan
Islam—yang aktif dan bersuara lantang tidak muncul dalam PPKI. Kondisi tersebut
memberi kesempatan kepada para nasionalis sekuler untuk merubah Piagam Jakarta
yang merupakan hasil keputusan BPUPKI. Usaha yang dilakukan untuk meyakinkan
pihak nasionalis Islam bahwa hanya konstitusi sekuler yang bisa diterima
mayoritas rakyat berhasil. Akhirnya anak kalimat yang tercantum dalam Piagam
Jakarta diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang kemudian menjadi bentuk
akhir Pancasila—dasar bagi nasionalisme Indonesia yang sekuler religius.
Pancasila [8] adalah
landasan filosofis resmi negara Indonesia. Pancasila terdiri dari dua kata
bahasa Jawa Kuno (berasal dari bahasa Sansekerta): “Panca”
yang berarti lima, dan “sila” artinya prinsip. Ini terdiri dari lima prinsip dianggap
tak terpisahkan dan saling terkait: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa); 2. Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan Yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan;
5. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Pandangan
Ajaran Islam Dalam Negara Nasional
Bahwa Negara Nasional
dalam Pandangan ajaran Islam biasanya dikaitkan dengan suku, bangsa, warna
kulit dan bahasa dan jenis kelamin. Kenyataan sosial antropologis dari ras
homo-adamis ini seperti tersebut diakui oleh Al-Qur’an sebagai firman Allah
Pencipta Alama Semesta Yang Rahman (Pengasih) lagi Rahim (yang penyayang)
sebagai bagian dari ketentuan-Nya. Berbeda dengan pandangan manusia seperti
yang diuraikan diatas telah terjadi dalam perjalanan sejarah manusia adanya
faham nasionalis sempit. Nasionalisme yang dibangun manusia, terdiri dari salah
satu atau dari beberapa indikator dari: suku, bangsa, warna kulit, bahasa dan
jenis kelamin telah menindas nation (bangsa) yang diluar kelompok negaranya. Merasa
bangsanya lebih kuat karena adanya kekuatan ekonomi, keuangan, militer,
teknologi, ilmuan, dan persatuan yang kuat diantara warganya serta sistim
pemerintahan. Dengan itu, adanya paham rasis
menekankan superioritas suku, agama, ras, warna kulit bangsanya. Dengan itu
didudukilah wilayah tanah lain di akuisisi (pengambilalihan biasanya dengan
kekerasan militer) pada abda 15 sampai dengan 20. Abad itu dinamakan abad penjajahan,
kolonialisme, dan imperialisme. Padahal grand
design dari-Nya tidak begitu. Sebagaimana yang diingatkan-Nya sbb:
Wahai manusia! Sungguh, Kami (Allah) telah menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami (Allah)
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (ta’aruf). [QS Al-Hujurāt 49:13]
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah
penciptaan langit dan bumi (dan diantara keduanya), perbedaan bahasamu dan
warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang mengetahui (untuk saling kenal - ta’aruf, saling
memahami - tafahum, - kerja sama - ta’awun). [QS Ar-Arūm 30:22]
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan (perampasan hak dan milik
orang lain). [QS Al-Mā’idah 5:2]
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan (tidak melakukannya seperti yang tersebut diats), maka mereka akan
mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya. [QS At-Tīn 95:6]
Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
agar mereka beribadah (ibadah menyembah-Nya dan memahami konsep-Nya dan mengikuti
perintah-Nya) kepada-Ku (Allah). [QS Adz-Dzāriyāt 53:56]
Perintahnya memakmurkan bumi sebagaimana firman-Nya: ”Dia
(Allah) telah menciptakanmu dari bumi dan menjadikan kamu (umat manusia)
pemakmurnya”. [QS Hūd 11:61]
Jadi adanya negara nasional (terdiri dari suku, ras,
warna kulit dan keyakinan beragama diantara penduduknya) dan hubungan antar
negara nasional yang terdiri dari bangsa-bangsa nasional (internasional) adalah
berlandaskan ta’aruf (saling
mengenal); tafahum (saling
memahami); ta’awun (kerja sama); itsar (saling membela kebenaran dan perdamaian -
tidak bertengkar atau perang). Dengan demikian ketegangan yang berakhir
kepada perang bersenjata sesama warga dalam negara - nasional, dan sesama
bangsa-bangsa - internasional dapat dihindari, sehingga tercapai kedamaian, keamanan
dan kesejahteraan hidup bagi setiap warga negara - nasional dan antar warga negara - warga negara nasional - internasional seperti yang diharapkan
pada millennium ke-3 ini.
Namun diawal memasuki millennium ke-3 ini masih saja banyak
para politisi negara maju masih berpandangan
- paradigma yang incorrect - yang
dibangun manusia abad tengah Eropa. Sudah sepantasnya paradigama incorrect itu diganti dengan paradigma yang telah
digariskan oleh Allah Yang Maha Kuasa sebagai Pencipta Alam Semesta dengan grand design kemanusian-Nya seperti tersebut
diatas.
Kalau juga tidak dimengerti ayat-ayat tersebut diatas oleh penduduk Bumi
ini, maka perang yang akan datang - kalau tidak dapat dihindari - sangat
berbahaya sekali. Karena, tidak lagi menggunakan senjata konvensional, tapi senjata
kimia, kuman, nuklir yang daya rusaknya luar-luar-luar biasa dahsyatnya. Kiamat
buatan manusia ini, menjadikan seluruh umat manusia di Bumi binasa - doomsday. Wallahu ’Alam Bish Shawab. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Jus Soli, meaning
'right of the soil', is the right of anyone born in the territory of a state to
nationality or citizenship. As an unconditional basis for citizenship, it is
the predominant rule in the Americas, but is rare elsewhere.
[2] Jus
Sanguinis, meaning ‘right of blood’, is a principle
of nationality law by which citizenship is not determined by place of birth but
by having one or both parents who are citizens of the state.
[3] Ernest
André Gellner was a British-Czech
philosopher and social anthropologist described by The Daily Telegraph, when he
died, as one of the world's most vigorous intellectuals, and by The Independent
as a "one-man crusade for critical rationalism". [Wikipedia]
[4] Benedict Richard O'Gorman Anderson
(August 26, 1936 – December 13, 2015) was the Aaron L. Binenkorb Professor
Emeritus of International Studies, Government & Asian Studies at Cornell
University, and is best known for his 1983 book Imagined Communities, which explored the origins of nationalism.
[Wikipedia]
[5] Chauvinisme
nasionalisme adalah suatu pandangan seseorang yang percaya kepada negaranya
bahkan rela berkorban demi pandangannya tersebut. Namun, chauvinisme dalam
konteks politik atau negara pun bisa bisa membuat membuat seseorang untuk
menyerang siapa saja yang mendukung partai yang berbeda atau memiliki pandangan
yang berbeda. [pengertian menurut para ahli]
[6] Totaliterianisme
(Inggris: Totalitariasm), sistim sosio-politik yang ditandai campur tangan
secara lalim oleh negara yang bersifat otoriter dan birokratis dalam kehidupan
masyarakat dan individu-individu. Dengan kata lain, sistim ini meletakkan
martabat tertinggi pada negara yang menguasai segala golongan masyarakat dalam
artian bidang politik, ekonomi, ilmu, agama dan sebagainya.
[7] Fasisme, adalah gerakan radikal ideologi
nasionalis otoriter politik. Fasis berusaha untuk mengatur bangsa menurut
perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi.
[8]
Pancasila (pronounced - pantʃa’sila) is the official philosophical
foundation of the Indonesian state. Pancasila consists of two Old Javanese
words (originally from Sanskrit): "pañca" meaning five, and
"sīla" meaning principles. It comprises five principles held
to be inseparable and interrelated: 1. Belief in the one and anly God (in
Indonesian, Ketuhanan Yang Maha Esa); 2. Just and civilised humanity (in
Indonesian, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab); 3. The unity of
Indonesia (in Indonesian, Persatuan Indonesia); 4. Democracy guided by
the inner wisdom in the unanimity arising out of deliberations amongst
representatives (in Indonesian, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan, Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan); 5. Social justice for
all of the people of Indonesia (in Indonesian, Keadilan Sosial bagi seluruh
Rakyat Indonesia).
Rujukan buku:
1. Ali,
Lukman. Dkk. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
2. Anderson,
Benedict. 1991. Imagined Community: Komunitas-Komunitas Terbayang. Terjemahan
oleh Omi Intan Naomi. 2002. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
3. Boisard,
Marcel A. 1979. Humanisme Dalam Islam. Terjemahan oleh M. Rasjidi. 1980.
Jakarta: Bulan Bintang.
4. Burhan,
A.S. dan Muhammad, Agus (Eds.). 2001. Demokratisasi dan Demiliterisasi: Wacana
dan Pergulatan di Pesantren. Jakarta: P3M.
5. Dault,
Adhyaksa. 2005. Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks
Nasional. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
6. Kuntowijoyo.
1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.
7. Maududi,
Abul A’la. Tanpa Tahun. Islam Kaffah: Menjadikan Islam Sebagai Jalan Hidup.
Terjemahan oleh Muhammad Humaidi. 2004. Jogjakarta: Cahaya Hikmah.
8. Purcell,
Hugh. Tanpa Tahun. Fasisme. Terjemahan oleh Faisol Reza dkk. 2000. Jogjakarta:
Insist Press.
9. Riff,
Michael A. (ed). 1982. Kamus Ideologi Politik Modern. Terjemahan oleh M.
Miftahuddin dan Hartian Silawati. 1995. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
10. Simandjuntak,
Marsillam. 2003. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayatnya
Dalam Persiapan UUD 1945. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
11. Yatim,
Badri. 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme. Bandung: Nuansa.
Sumber:
serbasejarah, Wikipedia, Al-Qur’an, blog
afaisalmarzuki. □□□