Saturday, January 16, 2016

Sejarah dan Perkembangan Negara-Negara Nasional





P
engertian kata nasional berasal dari kata “nation” yang berarti “bangsa”. Adapun pengertian bangsa meliputi: 1. Sebagai kata benda:  Kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri, seperti bangsa India; bangsa Indonesia; bangsa Mesir. 2. Kedudukan (keturunan) mulia (luhur): bahasa menunjukkan bangsa; 3. Arti dalam antropologi: Kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan menempati wilayah tertentu di muka bumi; 4. Arti dalam ordo (rangking, kelas, urutan atau pola): rusak bangsa oleh laku, peribahasa biarpun orang berbangsa tinggi, kalau berkelakuan buruk, keturunannya yang tinggi itu tidak akan dihargai orang, tidak ada nilai. 5. Arti dalam kelompok bangsa: bangsa Barat - seorang atau sekelompok besar rakyat yang mendiami sebagian benua Eropa dan benua Amerika Utara serta benua Australia.
Beberapa makna kata bangsa diatas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat. Pengertian ini berkaitan dengan arti kata suku yang sama diartikan sebagai golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan; golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar. Beberapa suku atau ras dapat menjadi pembentuk sebuah bangsa dengan syarat ada kehendak untuk bersatu yang diwujudkan dalam pembentukan pemerintahan yang ditaati bersama.
Kata bangsa mempunyai dua pengertian: Pertama, pengertian antropologis-sosiologis. Kedua, pengertian politis. Menurut pengertian pertama, yaitu antropologis-sosiologis: Bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat tersebut merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat. Pengertian ini memungkinkan adanya beberapa bangsa dalam sebuah negara dan—sebaliknya—satu bangsa tersebar pada lebih dari satu negara. Kasus pertama terjadi pada negara yang memiliki beragam suku bangsa, seperti Amerika Serikat yang menaungi beragam bangsa yang berbeda. Begitu pula Indonesia yang terdiri dari beragam suku-suku daerah seperti Betawi, Jawa, Sunda, Aceh, Minangkabau, Batak, Bugis, Menado dst. Kasus kedua adalah sebagaimana yang terjadi pada bangsa Korea yang terpecah menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara, menurut pengertian kedua, yaitu dalam pengertian politis: Bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa (nation) dalam pengertian politis inilah yang kemudian menjadi pokok pembahasan nasionalisme.
Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian: Paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.
Dengan demikian, nasionalisme berarti menyatakan keunggulan suatu afinitas (sifat energy) kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah. Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “lahir di”. Dari sinilah lahir istilah Jus Soli [1] (bahasa Latin: ‘right of the soil’) - dimana dia lahir disitulah kewarganegaraan yang disandangnya, artinya kewargenagaraannya berdasarkan di mana dia lahir. Hal inilah yang dipakai oleh Amerika Serikat. Berlainan Indonesia yang menganut Jus Sanguinis [2] (bahasa Latin: ‘right of blood’) - yaitu kebalikan dari Jus Soli yaitu berdasarkan darah keturunan, artinya kewarganegaraannya berdasarkan tali ikatan darah dari salah satu atau kedua orang tuanya.  Kadangkala tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, “etnik” - suku bangsa. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik.
Disamping definisi bahasa dari pengertian nation atau bangsa diatas terdapat beberapa rumusan lain mengenai nasionalisme, di antaranya:
1. Pendapat Huszer dan Stevenson: Nasionalisme adalah yang menentukan bangsa mempunyai rasa cinta secara alami kepada tanah airnya.
2. Pendapat L. Stoddard: Nasionalisme adalah suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan, yang dianut oleh sejumlah besar individu sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah rasa kebersamaan segolongan sebagai suatu bangsa.
3. Pendapat Hans Kohn: Nasionalisme menyatakan bahwa negara kebangsaan adalah cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik, dan bahwa bangsa adalah sumber dari semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.
Beberapa definisi diatas memberi kesimpulan bahwa: Nasionalisme adalah kecintaan alamiah terhadap tanah air, kesadaran yang mendorong untuk membentuk kedaulatan dan kesepakatan untuk membentuk negara berdasar kebangsaan yang disepakati dan dijadikan sebagai pijakan pertama dan tujuan dalam menjalani kegiatan kebudayaan dan ekonomi.
Kesadaran yang mendorong sekelompok manusia untuk menyatu dan bertindak sesuai dengan kesatuan budaya (nasionalisme) oleh Ernest Gellner dinilai bukanlah kebangkitan kesadaran diri suatu bangsa namun ia adalah pembikinan bangsa-bangsa yang sebenarnya tidak ada (Gellner [3] dalam Anderson, 2002:9).
Dengan gaya berpikir antropologis, Anderson [4] (2002:8—11) menawarkan pandangan yang lebih positif tentang nasionalisme, ia menyatakan: Bahwa bangsa atau nation adalah komunitas politis yang dibayangkan (imagined) sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Lebih jauh dia memaparkan bahwa bangsa disebut komunitas karena ia sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk-mendalam dan melebar-mendatar, sekalipun demikian ketidakadilan dan penghisapan hampir selalu ada dalam setiap bangsa. Bangsa disebut sebagai komunitas terbayang (imagined community) karena para anggota bangsa terkecil tidak mengenal sebagian besar anggota lain, bahkan mungkin tidak pernah mendengar tentang mereka. Ia dibayangkan sebagai sesuatu yang terbatas karena bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun memiliki garis-garis batas yang pasti dan jelas meski terkadang bersifat elastis. Di luar garis batas itu adalah bangsa lain yang berbeda dengan mereka.

Sejarah Paham Nasionalisme

Dalam sejarah, konsep kesadaran nasionalisme dari manusia bermula dari benua Eropa, sekitar abad pertengahan. Kesadaran berbangsa—dalam pengertian nation-state—dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman (Dault, 2005:4). Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma menerjemahkan Perjanjian Baru kedalam bahasa Jerman dengan menggunakan gaya bahasa yang memukau dan kemudian merangsang rasa kebangsaan Jerman. Terjemahan Injil membuka luas penafsiran pribadi yang sebelumnya merupakan hak eksklusif bagi mereka yang menguasai bahasa Latin, seperti para pastor, uskup, dan kardinal. Implikasi yang sedikit demi sedikit muncul adalah kesadaran tentang bangsa dan kebangsaan yang memiliki identitas sendiri. Bahasa Jerman yang digunakan Luther untuk menerjemahkan Injil mengurangi dan secara bertahap menghilangkan pengaruh bahasa Latin yang saat itu merupakan bahasa ilmiah dari kesadaran masyarakat Jerman. Mesin cetak yang ditemukan oleh Johann Gothenberg turut mempercepat penyebaran kesadaran bangsa dan kebangsaan. Hal ini penting dicatat mengingat pada sekitar tahun yang sama (1518—1521) Majapahit mengalami kehancuran yang disebabkan oleh pemberontakan daerah-daerah dan kemerosotan internal kerajaan. Majapahit pada masanya merupakan kerajaan besar yang menguasai sebagian besar wilayah yang saat itu disebut Nusantara. Namun kebesaran ini tidak memunculkan kesadaran berbangsa, dalam arti modern. Hal itu disebabkan tidak adanya alat percetakan yang mengakselerasi penyadaran massal seperti yang terjadi di Jerman.
Namun demikian, nasionalisme Eropa yang pada kelahirannya menghasilkan “deklarasi hak-hak manusia” berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas “kekuatan dan self interest” dan bukan atas dasar kemanusiaan (Rasyidi dalam Yatim, 2001:63). Dalam perkembangannya “nasionalisme Eropa” berpindah haluan menjadi “persaingan fanatisme nasional antar bangsa-bangsa Eropa” yang “melahirkan Perang Dunia I dan Perang Dunia II dengan korban 100 juta manusia, serta penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin”.
Fakta ini merujuk pada dua hal: (1) Ledakan ekonomi Eropa pada masa itu yang berakibat pada melimpahnya hasil produksi - akibat produksi massa (revolusi industri, dan ditemukannya tenaga mesin uap) dan (2) Pandangan pemikir Italia, Nicolo Machiaveli, yang menganjurkan “seorang penguasa untuk melakukan apapun demi menjaga eksistensi kekuasaannya. Dia menulis:

“Bila ini merupakan masalah yang mutlak mengenai kesejahteraan bangsa kita, maka janganlah kita menghiraukan keadilan atau ketidakadilan, kerahiman dan ketidakrahiman, pujian atau penghinaan, akan tetapi dengan menyisihkan semuanya menggunakan siasat apa saja yang menyelamatkan dan memelihara hidup negara kita itu” (Kohn dalam Yatim, 2001:65).

Nasionalisme yang pada awalnya mementingkan hak-hak asasi manusia pada tahap selanjutnya menganggap kekuasaan kolektif yang terwujud dalam negara lebih penting daripada kemerdekaan individual. Pandangan yang menjadikan negara sebagai pusat merupakan pandangan beberapa beberapa pemikir Eropa saat itu, diantaranya Hegel. Dia berpendapat bahwa kepentingan negara didahulukan dalam hubungan negara-masyarakat, karena ia merupakan kepentingan obyektif sementara kepentingan masing-masing individu adalah kepentingan subyektif. Negara adalah ideal (geist) yang diobyektifikasi, dan karenanya, individu hanya dapat menjadi sesuatu yang obyektif melalui keanggotaannya dalam negara.
Lebih jauh dia menyatakan bahwa negara memegang monopoli untuk menentukan apa yang benar dan salah mengenai hakikat negara, menentukan apa yang moral dan yang bukan moral, serta apa yang baik dan apa yang destruktif (Simandjuntak, 2003:166). Hal ini melahirkan kecenderungan nasionalisme yang terlalu mementingkan tanah air - “patriotisme yang mengarah pada chauvinism, [5] yang mendorong masyarakat Eropa melakukan ekspansi-ekspansi ke wilayah dunia lain”. Absolutisme Negara dihadapan rakyat memungkinkan adanya pemimpin totaliter, yang merupakan bentuk ideal negara yang dicitakan Hegel, sebuah monarki (ibid, 2003:224). Totaliterianisme [6] yang dianjurkan oleh filsafat negara Hegel dapat menggiring sebuah pemerintahan menjadi pemerintahan yang fasis.
Fasisme adalah doktrin yang mengajarkan kepatuhan mutlak terhadap perintah dalam semua aspek kehidupan nasional. Dalam sejarahnya, fasisme terkait erat dengan rasisme yang mengunggulkan sebagian ras (suku) atas sebagian yang lain. Menurut Hugh Purcell (2000:11) nasionalisme dan rasisme merupakan gambaran paling terkenal dari fasisme [7] pada tahun 1930-an. Rasisme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme. Keduanya berbeda pada penekanan. “Rasisme menekankan superioritas suku”. Pada “nasionalisme menekankan keunggulan bangsa (komunitas terbayang yang lebih besar dari suku)”. Manusia nasionalis adalah seseorang dengan kebanggaan terhadap bangsanya yang kadang diungkapkan dengan cara berlebihan. Nasionalisme dan rasisme memiliki keserupaan dalam hal pengunggulan dan kebanggaan terhadap sesuatu yang secara alamiah melekat pada setiap manusia. Yang pertama kebanggaan terhadap bangsa—sistem pemerintahan, suku, dan budaya. Yang kedua kebanggaan terhadap suku.

Paham Nasionalisme di Indonesia

Di Indonesia, nasionalisme melahirkan Pancasila sebagai ideologi negara. Perumusan Pancasila sebagai ideologi negara terjadi dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Di dalam badan inilah Soekarno mencetuskan ide yang merupakan perkembangan dari pemikirannya tentang persatuan tiga aliran besar: Nasionalisme, Islam, dan Marxis. Pemahamannya tentang tiga hal ini berbeda dengan pemahaman orang lain yang mengandaikan ketiganya tidak dapat disatukan. Dalam sebuah artikel yang ditulisnya dia menyatakan, “Saya tetap nasionalis, tetap Islam, tetap Marxis, sintese dari tiga hal inilah memenuhi saya punya dada. Satu sintese yang menurut anggapan saya sendiri adalah sintese yang geweldig” (Soekarno dalam Yatim, 2001:155). Dalam artikel itu, dia juga menjelaskan bahwa Islam telah menebalkan rasa dan haluan nasionalisme. Cita-cita Islam untuk mewujudkan persaudaraan umat manusia dinilai Soekarno tidak bertentangan dengan konsep nasionalismenya. Dan sesuai dengan konsep Islam, dia menolak bentuk nasionalisme yang sempit dan mengarah pada chauvinisme. Dia menambahkan, Islam juga tidak bertentangan dengan Marxisme, karena Marxisme hanya satu metode untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi, sejarah, dan sosial.
Soekarno menghendaki agar dalam negara Indonesia agama dan negara dipisahkan. Pemisahan itu tidak berarti menghilangkan kemungkinan untuk memberlakukan hukum-hukum Islam dalam negara, karena bila anggota parlemen sebagian besar orang-orang yang berjiwa Islam, mereka dapat mengusulkan dan memasukkan peraturan agama dalam undang-undang negara. Itulah cita ideal negara Islam menurut Soekarno (ibid, 2001:156). Dengan dasar pemikiran itulah, Soekarno mengusulkan lima asas untuk negara Indonesia merdeka. Kelima asas itu adalah: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau peri kemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan.
Usulan ini menimbulkan perbedaan pendapat antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam dan mendorong pembentukan sub panitia yang terdiri dari empat orang wakil nasionalis sekuler dan empat orang wakil nasionalis Islam serta Soekarno sebagai ketua sekaligus penengah. Pertemuan sub panitia ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Usulan Soekarno menjadi inti dari Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan: urutan kelima sila dan penambahan anak kalimat pada sila ketuhanan. Tambahan anak kalimat yang kemudian diperdebatkan itu adalah “Dengan kewajiban melaksanakan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada saat itu, Soekarno dan Agus Salim berusaha mengakhiri diskusi tentang Piagam Jakarta dalam bentuk yang telah disepakati bersama.
Namun setelah Jepang mengalami kekalahan dan BPUPKI ditingkatkan stasusnya menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), beberapa anggota BPUPKI—khususnya dari kalangan Islam—yang aktif dan bersuara lantang tidak muncul dalam PPKI. Kondisi tersebut memberi kesempatan kepada para nasionalis sekuler untuk merubah Piagam Jakarta yang merupakan hasil keputusan BPUPKI. Usaha yang dilakukan untuk meyakinkan pihak nasionalis Islam bahwa hanya konstitusi sekuler yang bisa diterima mayoritas rakyat berhasil. Akhirnya anak kalimat yang tercantum dalam Piagam Jakarta diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang kemudian menjadi bentuk akhir Pancasila—dasar bagi nasionalisme Indonesia yang sekuler religius.
               Pancasila [8] adalah landasan filosofis resmi negara Indonesia. Pancasila terdiri dari dua kata bahasa Jawa Kuno (berasal dari bahasa Sansekerta): Panca yang berarti lima, dan sila artinya prinsip. Ini terdiri dari lima prinsip dianggap tak terpisahkan dan saling terkait: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa); 2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan; 5. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Pandangan Ajaran Islam Dalam Negara Nasional

Bahwa Negara Nasional dalam Pandangan ajaran Islam biasanya dikaitkan dengan suku, bangsa, warna kulit dan bahasa dan jenis kelamin. Kenyataan sosial antropologis dari ras homo-adamis ini seperti tersebut diakui oleh Al-Qur’an sebagai firman Allah Pencipta Alama Semesta Yang Rahman (Pengasih) lagi Rahim (yang penyayang) sebagai bagian dari ketentuan-Nya. Berbeda dengan pandangan manusia seperti yang diuraikan diatas telah terjadi dalam perjalanan sejarah manusia adanya faham nasionalis sempit. Nasionalisme yang dibangun manusia, terdiri dari salah satu atau dari beberapa indikator dari: suku, bangsa, warna kulit, bahasa dan jenis kelamin telah menindas nation (bangsa) yang diluar kelompok negaranya. Merasa bangsanya lebih kuat karena adanya kekuatan ekonomi, keuangan, militer, teknologi, ilmuan, dan persatuan yang kuat diantara warganya serta sistim pemerintahan. Dengan itu, adanya paham rasis menekankan superioritas suku, agama, ras, warna kulit bangsanya. Dengan itu didudukilah wilayah tanah lain di akuisisi (pengambilalihan biasanya dengan kekerasan militer) pada abda 15 sampai dengan 20. Abad itu dinamakan abad penjajahan, kolonialisme, dan imperialisme. Padahal grand design dari-Nya tidak begitu. Sebagaimana yang diingatkan-Nya sbb:

Wahai manusia! Sungguh, Kami (Allah) telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami (Allah) jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (ta’aruf). [QS Al-Hujurāt 49:13]

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi (dan diantara keduanya), perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (untuk saling kenal - ta’aruf, saling memahami - tafahum, - kerja sama - ta’awun). [QS Ar-Arūm 30:22]

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)  kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan (perampasan hak dan milik orang lain). [QS Al-Mā’idah 5:2]

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan (tidak melakukannya seperti yang tersebut diats), maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya. [QS At-Tīn 95:6]

Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah (ibadah menyembah-Nya dan memahami konsep-Nya dan mengikuti perintah-Nya) kepada-Ku (Allah). [QS Adz-Dzāriyāt 53:56]

Perintahnya memakmurkan bumi sebagaimana firman-Nya: ”Dia (Allah) telah menciptakanmu dari bumi dan menjadikan kamu (umat manusia) pemakmurnya”. [QS Hūd 11:61]

Jadi adanya negara nasional (terdiri dari suku, ras, warna kulit dan keyakinan beragama diantara penduduknya) dan hubungan antar negara nasional yang terdiri dari bangsa-bangsa nasional (internasional) adalah berlandaskan ta’aruf (saling mengenal); tafahum (saling memahami); ta’awun (kerja sama)itsar (saling membela kebenaran dan perdamaian - tidak bertengkar atau perang). Dengan demikian ketegangan yang berakhir kepada perang bersenjata sesama warga dalam negara - nasional, dan sesama bangsa-bangsa - internasional dapat dihindari, sehingga tercapai kedamaian, keamanan dan kesejahteraan hidup bagi setiap warga negara - nasional dan antar warga negara - warga negara nasional - internasional seperti yang diharapkan pada millennium ke-3 ini.
Namun diawal memasuki millennium ke-3 ini masih saja banyak para politisi  negara maju masih berpandangan - paradigma yang incorrect - yang dibangun manusia abad tengah Eropa. Sudah sepantasnya paradigama incorrect itu diganti dengan paradigma yang telah digariskan oleh Allah Yang Maha Kuasa sebagai Pencipta Alam Semesta dengan grand design kemanusian-Nya seperti tersebut diatas.
Kalau juga tidak dimengerti  ayat-ayat tersebut diatas oleh penduduk Bumi ini, maka perang yang akan datang - kalau tidak dapat dihindari - sangat berbahaya sekali. Karena, tidak lagi menggunakan senjata konvensional, tapi senjata kimia, kuman, nuklir yang daya rusaknya luar-luar-luar biasa dahsyatnya. Kiamat buatan manusia ini, menjadikan seluruh umat manusia di Bumi binasa - doomsday. Wallahu ’Alam Bish Shawab. AFM

Baca juga dalam blog ini dengan tajuk   Senjata Nuklir dan Daya Rusaknya I
 

Catatan Kaki:
[1] Jus Soli, meaning 'right of the soil', is the right of anyone born in the territory of a state to nationality or citizenship. As an unconditional basis for citizenship, it is the predominant rule in the Americas, but is rare elsewhere.
[2] Jus Sanguinis, meaning ‘right of blood’, is a principle of nationality law by which citizenship is not determined by place of birth but by having one or both parents who are citizens of the state.
[3] Ernest André Gellner was a British-Czech philosopher and social anthropologist described by The Daily Telegraph, when he died, as one of the world's most vigorous intellectuals, and by The Independent as a "one-man crusade for critical rationalism". [Wikipedia]
[4] Benedict Richard O'Gorman Anderson (August 26, 1936 – December 13, 2015) was the Aaron L. Binenkorb Professor Emeritus of International Studies, Government & Asian Studies at Cornell University, and is best known for his 1983 book Imagined Communities, which explored the origins of nationalism. [Wikipedia]
[5] Chauvinisme nasionalisme adalah suatu pandangan seseorang yang percaya kepada negaranya bahkan rela berkorban demi pandangannya tersebut. Namun, chauvinisme dalam konteks politik atau negara pun bisa bisa membuat membuat seseorang untuk menyerang siapa saja yang mendukung partai yang berbeda atau memiliki pandangan yang berbeda. [pengertian menurut para ahli]
[6] Totaliterianisme (Inggris: Totalitariasm), sistim sosio-politik yang ditandai campur tangan secara lalim oleh negara yang bersifat otoriter dan birokratis dalam kehidupan masyarakat dan individu-individu. Dengan kata lain, sistim ini meletakkan martabat tertinggi pada negara yang menguasai segala golongan masyarakat dalam artian bidang politik, ekonomi, ilmu, agama dan sebagainya.
[7] Fasisme, adalah gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Fasis berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi.
[8] Pancasila (pronounced - pantʃa’sila) is the official philosophical foundation of the Indonesian state. Pancasila consists of two Old Javanese words (originally from Sanskrit): "pañca" meaning five, and "sīla" meaning principles. It comprises five principles held to be inseparable and interrelated: 1. Belief in the one and anly God (in Indonesian, Ketuhanan Yang Maha Esa); 2. Just and civilised humanity (in Indonesian, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab); 3. The unity of Indonesia (in Indonesian, Persatuan Indonesia); 4. Democracy guided by the inner wisdom in the unanimity arising out of deliberations amongst representatives (in Indonesian, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan); 5. Social justice for all of the people of Indonesia (in Indonesian, Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia).


Rujukan buku:
1.      Ali, Lukman. Dkk. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
2.     Anderson, Benedict. 1991. Imagined Community: Komunitas-Komunitas Terbayang. Terjemahan oleh Omi Intan Naomi. 2002. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
3.     Boisard, Marcel A. 1979. Humanisme Dalam Islam. Terjemahan oleh M. Rasjidi. 1980. Jakarta: Bulan Bintang.
4.     Burhan, A.S. dan Muhammad, Agus (Eds.). 2001. Demokratisasi dan Demiliterisasi: Wacana dan Pergulatan di Pesantren. Jakarta: P3M.
5.     Dault, Adhyaksa. 2005. Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
6.     Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.
7.     Maududi, Abul A’la. Tanpa Tahun. Islam Kaffah: Menjadikan Islam Sebagai Jalan Hidup. Terjemahan oleh Muhammad Humaidi. 2004. Jogjakarta: Cahaya Hikmah.
8.     Purcell, Hugh. Tanpa Tahun. Fasisme. Terjemahan oleh Faisol Reza dkk. 2000. Jogjakarta: Insist Press.
9.     Riff, Michael A. (ed). 1982. Kamus Ideologi Politik Modern. Terjemahan oleh M. Miftahuddin dan Hartian Silawati. 1995. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
10. Simandjuntak, Marsillam. 2003. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayatnya Dalam Persiapan UUD 1945. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
11.   Yatim, Badri. 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme. Bandung: Nuansa.


Sumber:
serbasejarah, Wikipedia, Al-Qur’an, blog afaisalmarzuki. □□□

Blog Archive