Tuesday, October 13, 2020

Makna Shalat

 


 

KATA PENGANTAR

Sungguh bagi Kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan, Rabb) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan) “Makanlah dari rizki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya!’ Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr” - (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman, makmur) sedang Tuhanmu adalah Tuhan yang maha pengampun. [QS Saba’34:15].

Mengingat begitu pentingnya kedudukan shalat ini, Nabi saw mengingatkan kita walau pun diketika sakratul maut datang menjemput beliau ialah “Shalatlah dan berbuat baik” akhir wasiat Nabi saw kepada umatnya.

Kebiasaan-kebiasaan “baik” yang “membangun” dibentuk dalam ibadah shalat yang bersungguh-sungguh, atau sebenar-benarnya shalat yang dilakukan adalah membentuk karakter “agent of change” - agen perubahan dari fahsyā  dan mungkar menjadi baik, dan “agent of development” - agen pembangunan (ma’ruf) dengan jalan membangun peradaban.

Nilai atau karakter shalat ini sejalan dengan peran manusia sebagai “pemakmur” kehidupan di bumi. Jadi korelasi antara Shalat dan Membangun Peradaban tergambarkan sangat signifikan sekali.

Selanjutnya mari ikuti pembahasan yang mencerdaskan kehidupan keberagamaan (Dīn Al-Islām - baca: dīnul Islām) kita di millennium ke-3 ini seperti yang akan diuraikan dibawah ini yang tetap berpedoman kepada metode salafus shaleh - para sahabat Nabi, Tabi’in, Tabi’ut dan Tabi’in. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah

 

 

MAKNA SHALAT

DALAM MEMBANGUN PERADABAN

Oleh: A. Faisal Marzuki

 

PENDAHULUAN

S

ecara etimologi - cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna - shalat berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti ibadah. Sedangkan, menurut istilah, shalat bermakna serangkaian kegiatan ibadah khusus atau tertentu yang dimulai dengan takbirratul ihram dan diakhiri dengan salam.

Shalat dalam bahasa Arab ditulis: ٱلصَّلَاة (ash-shalāh), ٱلصَّلَوَات (ash-shalawāt). Sering ditulis dalam huruf Latin: salat, solat, sholat. Dulu kala penulis sendiri dan Buya Hamka dalam bukunya, Tafsir Al-Azhar, menyebutnya sembahyang. Kata-kata tersebut merujuk kepada shalat atau ash-shalāh, yaitu cara beribadah bagi pemeluk agama Islam kepada-Nya.

Menurut syariat Islam, praktik shalat harus sesuai dengan segala petunjuk tata cara yang dilakukan Nabi Muhammad sebagai figur pengejawantah perintah Allah. [1][2][3][4]

Umat muslim diperintahkan untuk mendirikan shalat. Shalat yang sebenar-benarnya shalat akan dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana disebutkan dalam Firman-Nya dalam Surah Al-‘Ankabūt yang artinya sebagai berikut:

"...Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar (Innash sholatā tanhā ‘anil fahsyī-i wal-munkar). Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). (Ingat bahwa) Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-‘Ankabūt 29:45)

Keji artinya dalam KBBI adalah sangat rendah (kotor, tidak sopan, tidak jujur, hina, buruk, menipu dan sebagainya); contoh: dalam arti kata hina: “menipu kawan adalah perbuatan yang keji”. Mungkar artinya dalam KBBI adalah durhaka, ingkar (melanggar perintah Tuhan); contoh: “semua perbuatan yang mungkar harus dijauhi”. Dengan pengertian seperti itu, artinya ialah mengerjakan shalat yang sebenar-benar shalat menjadikan pelaku shalat jauh dari perbuatan keji yang sangat kotor, tidak sopan, tidak jujur, hina, buruk, menipu dst, dst-nya. Serta perbuatan mungkar yang durhaka, ingkar seperti melanggar perintah, aturan, petunjuk, ajaran dari Allah Rabb Al-‘Ālamīn - Allah Pencipta, Pengatur, Pengendali serta Pemelihara  Alam Semesta dengan segala isinya termasuk Manusia yang hidup di muka bumi.

 

MAKNA SHALAT

Saat ini, sebagian umat muslim kurang menyadari bahwa kandungan makna yang sesungguhnya dari ibadah shalat yang dilakukan pelaku shalat adalah untuk kepentingan dan kemanfaatannya baik bagi dirinya sendiri masing-masing maupun dalam berjamaah (bersosial kemasyarakatan) dalam konsep manusia sebagai ‘khalifah-khalifah di bumi’ yang memakmurkan kehidupan di bumi sebagaimana Firman-Nya menyebut dalam Surah Fāthir ayat 39 yang artinya:

Dialah (Allah-lah) yang menkadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi. [QS Fāthir 35:39]

Yaitu membangun pribadi-pribadi sebagai insan yang utuh dan handal selaku pemakmur kehidupan di bumi yang berdasarkan azaz hidup ‘baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafūr’.

Azaz ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr’ diambil dari firman Allah Subhānahu wa Ta’ālā ketika menyebut Negeri Saba’ yang pada waktu itu indah dan subur alamnya, dengan penduduk yang selalu bersyukur atas nikmat yang mereka terima. Yang dengan itu negerinya makmur dan rakyatnya sejahtera, sebagaimana Firman Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan yang artinya:

Sungguh bagi Kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan, Rabb) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan) “Makanlah dari rizki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya!’ Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr” - (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman, makmur) sedang Tuhanmu adalah Tuhan yang maha pengampun. [QS Saba’34:15].

Dalam memakmurkan bumi Allah Pencipta Manusia berfirman dalam Surah An-Nahl yang mengajarkan dan memerintahkan kepada manusia yang artinya:

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu): ● Berlaku adil dan ● Berbuat kebajikan, ● Memberi bantuan kepada kerabat (yang memerlukan), Dia melarang (melakukan): ● Perbuatan keji, ● Kemungkaran, dan ● Permusuhan. Dia memberi: ● Pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. [QS Surat An-Nahl 16:90]

 

BALDATUN THAYYIBATUN MENURUT PARA AHLI TAFSIR

Imam Ibnu Katsīr rahimahullah, ketika menafsirkan ayat ini, ia mengatakan: “Saba’ adalah (sebutan) raja-raja Negeri Yaman dan penduduknya. Termasuk diantara mereka ialah raja-raja Tababi’ah dan Ratu Bilqis - isteri Nabi Sulaimān. Dulu, mereka berada dalam kenikmatan dan kebahagiaan (yang meliputi) negerinya, kehidupannya, kelapangan rizkinya, tanaman-tanamannya, dan buah-buahannya. Allah mengutus kepada mereka beberapa Rasul, yang menyeru mereka agar memakan rizki yang diberikan-Nya, dan agar bersyukur kepada-Nya dengan mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Keadaan mereka (yang baik) itu terus berlangsung hingga (waktu) yang dikehendaki Allah, lalu mereka berpaling dari apa yang diserukan kepada mereka, sehingga mereka dihukum dengan datangnya banjir bandang dan terpencar-pencarnya mereka (penduduknya) di banyak negeri”. [Tafsir Ibnu Katsīr, 6/504].

Muqātil rahimahullah, ketika menafsirkan firman Allah Subhānahu wa Ta’ālā wa rabbun ghafur, ia mengatakan: “Maknanya, Rabb kalian adalah Rabb yang Maha Mengampuni dosa-dosa, jika kalian mensyukuri rizki pemberian-Nya”. [Tafsir Muqātil, 3/529]. At-Thabari rahimahullah mengatakan, “Rabb kalian adalah Rabb Yang Maha Pengampun, jika kalian mentaati-Nya”. [Tafsir Thabari, 19/248]. Ibnu Katsīr rahimahullah mengatakan: “Yakni (Rabb kalian) adalah Rabb Yang Maha Pengampun, jika kalian terus-menerus dalam mentauhidkan-Nya”. [Tafsir Ibnu Katsīr, 6/507].

 

KESIMPULAN

Nukilan-nukilan di atas menunjukkan bahwa Negeri Saba’ merupakan negeri yang alamnya baik dan penduduknya shalih, sehingga mereka menerima kenikmatan sangat luar biasa.

Celakanya - karena akhirnya perilaku mereka itu berubah dan luntur - maka turunlah azab atas mereka yang menghapuskan kenikmatan-kenikmatan yang sebelumnya mereka terima.

Ini merupakan pelajaran sangat berharga bagi umat manusia setelahnya, dan merupakan petunjuk nyata dari firman Allah Subhanahu wa Tā’alā dalam Surah 14, Ibrāhīm ayat ke-7 yang artinya sebagai berikut:

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu kalian, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat. [QS Ibrāhīm 14:7].

Sebaliknya, dari nukilan Surah Saba’ ayat 15 diatas kita juga dapat pula mengambil kesimpulan positif yaitu, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr adalah sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam (SDA) dan kebaikan perilaku penduduknya (SDM). Secara lebih luas, ialah sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat.

Kalau zaman sekarang dapat pula diambil tafsir kontemporer dari Surah Saba’ ayat 15, yaitu disebelah kanannya ada dua kebun. Satu kebun sebelah kanan dalam bentuk perkebunan dan pertanian, perikanan. Dan satu kebunnya sebelah kirinya berbentuk industri pertambangan dan industri-industri lainnya seperti, pabrik, kerajinan, pengolahan makanan (hardware), industri jasa (software) seperti perdagangan, konsultan, travel, perbankan syariah, sewa rumah atau apartemen, program dan jasa komputer dst-nya. Semuanya berkembang berkat penguasaan sains dan teknologi sebagai keberhasilan manusia dalam menafsirkan ayat-ayat kauniyah yang terdapat di alam semesta lingkungan hidup manusia. Kesemuanya itu memerlukan dan menyerap tenaga kerja, terutama pada awal millennial ke-3 penduduk dunia telah berjumlah 7,5 miliar manusia yang memerlukan lapangan pekerjaan. Dengan usaha-usaha tersebut manusia tidak ada yang menganggur, bahkan menjadi hidup sejahtera baik di dunia (karena tersedianya lapangan pekerjaan) maupun di akhirat kelak (karena bersyukur, melakukan shalat 5 waktu serta sunah-sunah lainnya, taat dalam menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya serta mentauhidkan-Nya).

Mengapa Allah ‘Azza wa Jalla menyebut Negeri Saba’ sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr? Karena dalam bahasa ayat Al-Qur’an dalam bahasa Arab artinya “(Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman, makmur) sedang Tuhanmu adalah Tuhan yang maha pengampun”.

Meski istilah singkat kalimatnya namun maknanya padat, dan dapat mewakili semua kebaikan yang dulunya ada pada Negeri Saba’ tersebut, karena “negeri yang baik” yaitu mencakup seluruh kebaikan sumber daya alamnya (SDA). Dan “Rabb Yang Maha Pengampun” - dari kekhilafan yang tidak disadarinya atau tidak sengaja dan sengaja karena terpedaya, serta - setelah sadar - memperbaiki dirinya serta banyak belajar untuk meningkatkan kemampuan dirinya dalam mengelola hidup yang baik di bumi, bersyukur, beribadah, dan berkualitas akhlak yang baik - yang mencakup seluruh kebaikan perilaku penduduknya sebagai sumber daya manusia (SDM) yang handal dalam menjalankan kehidupan di bumi sebagai ladang akhirat. Dengan itu mendatangkan kemakmuran dan ampunan (ridha) dari Allah Rabb Al-‘Ālamīn - Allah Pencipta, Pengatur, Pengendali serta Pemelihara  Alam Semesta dengan segala isinya termasuk Manusia yang hidup di muka bumi.

Pada Surah Saba’ ayat 15 diatas menggambarkan pula suatu keadaan negeri yang menjadi dambaan dan impian seluruh manusia yang mengerti esensi Shalat yang digambarkan dari kalimat ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr (“Negerimu adalah negeri yang baik - nyaman, makmur - sedang Tuhanmu adalah Tuhan yang maha penganpun.”) dan ‘innash sholatā tanhā ‘anil fahsyī-i wal-munkar (Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar). Kalimat-kalimat itu menggambarkan ciri-ciri dari suatu negeri-negeri yang selaras antara kebaikan alam (SDA) dan kebaikan perilaku penduduknya (SDM) sebagai amar ma’ruf - agent of development, dan nahi mungkar - agent of change [5]. Yaitu orang yang telah mengerti makna ibadah shalat yang sebenarnya, niscaya sikap maupun cara berpikirnya sejalan dengan pedoman Al-Qur’an maupun Al-Hadits.

 

PENUTUP

Dengan demikian, betapa pentingnya arti dan makna shalat bagi seorang hamba kepada Allah Suhāna wa Ta’ālā. Shalat dikatakan sesuatu yang paling agung atau besar, karena shalat atau prayer tidak hanya ada dalam pikiran saja, melainkan melibatkan tiga komponen kesadaran manusia sekaligus yaitu: Pertama, gerakan tubuh; Kedua, ucapan lisan; Ketiga, penjiwaan di dalam hati, yang semuanya ditujukan kepada-Nya dan mempunyai efek yang mendatangkan kebaikan dan membangun bagi pribadi pelaku shalat.

Perintah untuk melaksanakan shalat diturunkan ketika Nabi Muhammad Shalallāhu ‘Alaihi Wasalam Isra’ Mi’raj. Shalat menjadi sarana yang paling penting dilaksanakan untuk menjaga hubungan dengan Allah Rabb Alam Semesta (hablum minAllāh) serta mengadukan semua persoalan dirinya dan hubungannya dengan sesama manusia alam lingkungannya kepada Allah Suhāna wa Ta’ālā (hablum minannās).

Shalat secara tidak langsung melatih diri menjadi disiplin, bersih, sabar, jujur, adil dalam berikhtiar (berusaha, bekerja) dalam menjalani kehidupan di dunia, serta menjalin hubungan positif dan membangun sesama muslim dan manusia lainnya sehingga memperkokoh rasa persaudaraan dalam berhubungan (team work) dalam membangun peradaban. Sabar dan shalat menjadi cara yang paling bijaksana dan paling benar bagi seorang muslim menyikapi masalah dan cobaan hidup yang menimpanya dalam membangun hubungan positif dan team work sehingga kegelisahan itu tidak menjadi stress atau tekanan jiwa dan perasaan yang berkepanjangan, melainkan sabar dan istiqomah dan yakin kepada-Nya.

Untuk itu dalam melaksanakan shalat haruslah mengikuti syarat dan rukun dalam ibadah shalat. Adapun yang termasuk syarat-syarat ibadah shalat yang harus dipenuhi yaitu: a) Beragama Islam. b) Sudah baligh dan berakal. c) Suci dari hadast. d) Suci seluruh anggota badan, pakaian dan tempat. e) Menutup aurat, laki-laki auratnya antara pusat dan lutut, sedangkan wanita seluruh anggota badannya kecuali muka dan dua belah telapak tangan. f) Masuk waktu yang telah ditentukan untuk masing-masing shalat. g) Menghadap kiblat. h) Mengetahui mana yang rukun dan mana yang sunnah.

Sedangkan yang termasuk rukun shalat adalah setiap perkataan dan perbuatan (gerakan-gerakan dalam shalat) yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi, [6] sebagai berikut:

1. Berdiri bagi yang mampu. [7]; 2. Niat dalam hati. 3. Takbiratul ihram. [8]; 4. Membaca surat Al-Fatihah pada tiap rakaat. [9]; 5. Ruku’ dan tuma’ninah. [10] [11]; 6. I’tidal setelah rukuk dan tuma’ninah. [11][12]; 7. Sujud dua kali dengan tumakninah. [11][13]; 8. Duduk antara dua sujud dengan tuma’ninah. [11][14]; 9. Duduk tasyahud akhir; 11. Membaca tasyahud akhir. [15]; 12. Membaca salawat nabi pada tasyahud akhir. [16]; 13. Membaca salam yang pertama menghadap sebelah kanan dan membaca salam yang kedua menghadap kiri dalam posisi duduk terakhir. [17]; 14. Tertib melakukan rukun secara berurutan. [18]

Mengingat begitu pentingnya kedudukan shalat ini, Nabi Shalallāhu ‘Alaihi Wasalam mengingatkan kita walau pun diketika sakratul maut datang menjemput beliau ialah “Shalat dan berbuat baiklah”  akhir wasiat Nabi Shalallāhu ‘Alaihi Wasalam kepada umatnya - dengan shalat yang sebenar-benarnya shalat akan menumbuhkan perbuatan dan kebiasaan baik yang membangun.

Kebiasaan-kebiasaan “baik” yang “membangun” terbentuk dalam ibadah shalat yang bersungguh-sunguh shalat akan membentuk karakter “agent of change” - agen perubahan dari fahsyā dan mungkar menjadi baik, dan “agent of development” - agen pembangunan (ma’ruf - dengan jalan membangun peradaban) sebagaimana Firman-Nya dalam Surah Āli ‘Imrān yang artinya sebagai berikut:

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf (agent of development), dan mencegah dari yang mungkar (agent of change), dan beriman kepada Allah. (QS Āli ‘Imrān 3:110).

Dan sebagaimana Firman-Nya dalam Surah At-Taubah yang artinya sebagai berikut:

Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, (lagi) Maha Bijaksana. (QS At-Taubah 9:71)

Nilai atau karakter shalat ini sejalan dengan peran manusia di bumi adalah sebagai “pemakmur” di bumi sebagaimana Firman-Nya menyebutkan dalam Surah Hūd ayat 61 yang artinya:

. . . Dia telah menciptakanmu dari Bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, . . . [QS Hūd 11:61]

Jadi korelasi antara Shalat dengan Membangun Peradaban (Pemakmur Bumi) tergambarkan sangat signifikan sekali seperti yang telah dipaparkan diatas.

Semoga tulisan yang mencerdaskan dalam blog ini bermanfaat hendaknya bagi kita semua, āmīn Allāhumma āmīn. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. □ AFM

 

 

CATATAN KAKI:

[1] Rasulullah bersabda: “Shalatlah kalian sesuai dengan apa yang kalian lihat aku mempraktikkannya”. Hadits riwayat Imam Bukhari no. 628, 7246 dan Imam Muslim no. 1533.

[2] Muhammad bersabda: "Perjanjian yang memisahkan kita dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka berarti dia telah kafir." Hadits riwayat Imam Ahmad dan Tirmidzi.

[3] Muhammad bersabda: "Barangsiapa yang menjaga shalat maka ia menjadi cahaya, bukti dan keselamatan baginya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang tidak menjaganya maka ia tidak mendapatkan cahaya, bukti dan keselamatan dan pada hari kiamat ia akan bersama Qorun, Fir’an, Haman dan Ubay bin Khalaf." Hadis shahih riwayat Imam Ahmad, At-Tahabrani dan Ibnu Hibban.

[4] Risalah Bimbingan Shalat. Semarang: Aneka Ilmu. 2006. hlm. 25-26. ISBN 937-736-143-8 Periksa nilai: checksum |isbn= (bantuan).

[5] Dalam bahasa Arab, amar ma’ruf dan nahi mungkar berarti mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari berbuat kemungkaran. Spirit dari istilah ini adalah mengajak kepada diri sendiri dan juga orang lain untuk melakukan hal-hal yang dipandang baik oleh agama. Sejalan dengan itu, mencegah diri sendiri dan orang lain untuk tidak melakukan hal-hal yang dipandang buruk oleh agama. Dalam bahasa kontemporernya ‘agent of development’ untuk ‘amar ma’ruf’ dan ‘agent of change’ untuk ‘nahi mungkar’.

Agama Islam sendiri menjadikan amar ma’ruf dan nahi mungkar sebagai kewajiban dasar yang harus dijalankan oleh setiap muslim sesuai dengan kadar kesanggupan masing-masing. Hal itu sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang artinya:

“Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan (tindakan atau kekuasaan)nya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Barang siapa yang tidak mampu melaksanakannya, maka hendaklah ia mengubahnya dengan hatinya. Dan yang terakhir itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)

Dalam ayat-ayat Al-Qur’an, perintah amar ma’ruf selalu disandingkan dengan perintah nahi mungkar. Ini berarti bahwa mengajak kepada kebaikan (agent of development) dan mencegah dari kemungkaran (agent of change), keduanya harus berjalan beriringan. Allah SWT bahkan menjadikan amar ma’ruf dan nahi mungkar sebagai ciri dari umat terbaik yang disebutkan Firman Allah SWT dalam al-Qur’an  yang artinya sebagai berikut:

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf (agent of development), dan mencegah dari yang mungkar (agent of change), dan beriman kepada Allah. (QS Āli ‘Imrān 3:110).

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS Āli ‘Imrān 3:104).

Maka setelah mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang orang yang berbuat jahat  dan Kami timpakan kepada orang-orang yang dzalim siksaan yang keras disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS Al-A’rāf 7:165)

Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, (lagi) Maha Bijaksana. (QS At-Taubah 9:71)

[6] https://rumaysho.com/1723-rukun-rukun-shalat-1.htmal

[7] “Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping.” HR Bukhari no. 1117, dari ‘Imron bin Hushain.

[8] “Pembuka shalat adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam.” HR Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al-Irwa’ no. 301.

[9] “Tidak ada shalat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca Al-Fatihah.” HR Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394, dari ‘Ubadah bin Ash Shomit.

[10] “Kemudian ruku’lah dan thuma’ninahlah ketika ruku’.” HR Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397.

[11] “Shalat tidaklah sempurna sampai salah seorang di antara kalian menyempurnakan wudhu, … kemudian bertakbir, lalu melakukan ruku’ dengan meletakkan telapak tangan di lutut sampai persendian yang ada dalam keadaan thuma’ninah dan tenang.” HR Ad-Darimi no. 1329. Syaikh Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.

[12] “Kemudian tegakkanlah badan (i’tidal) dan thuma’ninalah.”

[13] “Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud.”

[14] “Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan thuma’ninalah ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika sujud.”

[15] “Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah “at tahiyatu lillah …”.” HR Bukhari no. 831 dan Muslim no. 402, dari Ibnu Mas’ud.

[16] “Jika salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka mulailah dengan menyanjung dan memuji Allah, lalu bershalawatlah kepada Nabi , lalu berdo’a setelah itu semau kalian.” Riwayat ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Fadh-lu Shalat ‘alan Nabi, hal. 86, Al-Maktabah Al-Islamiy, Beirut, cetakan ketiga 1977.

[17] “Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam.” HR Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al-Irwa’ no. 301.

[18] Pembahasan rukun shalat ini banyak disarikan dari penjelasan Syaikh Abu Malik dalam kitab Shahih Fiqh Sunnah terbitan Al-Maktabah At-Taufiqiyah. □□

 

REFERENSI

https://almanhaj.or.id/4276-baldatun-thayyibatun-wa-rabbun-ghafur.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Salat

http://digilib.uin-suka.ac.id/6857/1/BAB%20I%20dab%20BAB%20IV.pdf

(Draf Buku) Shalat Membangun Peradaban, A. Faisal Marzuki dalam blog https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2017/04/sungguh-shalat-membangun-peradaban.html 

Terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an ke bahasa Indonesia diambil dari ALFATIH - Al-Qur’an Tafsir Per Kata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir. □□□

Blog Archive