KATA PENGANTAR
Dalam sejarahnya, pemaknaan khalīfah biasanya dihubungkan manusia
pertama yaitu Adam ‘Alayhis Salām
seperti yang disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 30.
Perkembang selanjutnya kata khalifah
ini berlaku pula bagi sahabat, dan generasi berikutnya tabi’in, tabi’ut
tabi’in, dst selaku pemimpin negara (daulah)
islamiyyah.
Bagaimana pula dengan ‘kata
khalifah-khalifah’ seperti disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-An’ām ayat 165,
[4] apakah ini tertuju hanya sebagai pelaku pemimpin negara (daulah) saja, atau yang lain seperti orang
biasa? Hal inilah yang akan dibahas berikut ini.
MAKNA KHALIFAH
Oleh: A. Faisal Marzuki
Visegerent, a person
appointed by another especially by ruler to exercise the latter’s power and
authority.
Khalifah, adalah orang yang mendapat tugas yang diberikan oleh-Nya,
untuk melaksanakan kekuasaan (power)
dan wewenang (authority) dari-Nya. Dalam
melakukan tugasnya mesti sesuai dengan petunjuk, aturan, perintahkan dan
larangan-Nya.
M
|
anusia adalah sebagai species makhluk unggulan dari Sang
Pencipta Alam Raya di Raya (universe)
sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya: “Kami
lebihkan mereka (manusia) dari kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan dengan
kelebihan yang sempurna” [QS Al-Isrā’ 17:70]. Yaitu sebagai manusia yang
berkualitas khalifah. Manusia khalifah ini diserahi tugas untuk
mengelola kehidupannya di bumi baik secara individual maupun komunal dalam
lingkungan alam sekitarnya. Untuk apa? Untuk saling membenci? Untuk saling
menguasai? Untuk saling perang memerangi sesamanya? Tidak! Kalau iya, namanya
manusia hawa-nafsu (ego diri atau kelompok).
Bukan seperti itu sifat manusia. Dalam
fitrah ciptaan yang sebenarnya, yaitu manusia perlu belajar arti berkomunal -
bermasyarakat, bernegara dan berantar negara. Langkah pertama wajib untuk saling
kenal - ta’aruf. [1] Dengan itu akan
dapat saling memaklumi, dilanjutkan dengan adanya kerja sama. Dan tidak
bertengkar sesama anggota masyarakat dalam lingkungan hidupnya berada. [2]
Tidak ada manusia yang super, masing-masing ada kelebihan dan kekurangan dalam sesuatu,
seperti pengetahuannya, kemampuan, keahlian, keadaan ekonomi, dst.
Hal seperti yang disebutkan diatas itu
mesti dipahami betul. Selanjutnya saling mengisi. Yang lebih mengisi yang
kurang, yang kurang terpenuhi karena diperoleh dari yang lebih. Begitu pula
sebaliknya, yang lebih itu pasti pula ada yang kurang dalam bentuk yang lain. Ini
artinya dalam hidup bermasyarat masing-masing perlu saling mengisi, perlu tolong
menolong [3]
Dalam hidup bermasyarakat (komuniti,
negara, antar negara) usaha seperti yang disebutkan itu akan mendapatkan hidupnya
aman, damai, bukan hanya untuk diri sendiri dalam suatu lingkungan hidup itu,
tapi untuk semua sesama anggota masyarakat. Lebih besar lagi adalah antar
masyarakat, negara dan antar negara. Dengan itu, bukan saja hidup dalam
lingkungan lokal saja, tapi lingkungan negara dan antar negara (global,
internasional) hidupnya menjadi harmonis, [3] selamat dan sejahtera keadaannya
di bumi selaku khalifah-khalifah [4] pemakmur hidup di bumi. [5]
APA DAN SIAPA MANUSIA KHALIFAH ITU?
Untuk menjawab pertanyaa tersebut, mari
kita merujuk kepada rumusan kata khalīfah
yang diberikan oleh Sang Pencipta manusia dan alam semesta ini sebagaimana
firman-Nya dalam Kitab Suci Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah sebagai berikut:
“Wa idz qōla Robbuka lil-malāikati innī
jā-‘ilun fil ardhi khalīfah” Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat: “Aku (Allah
Subhāna wa Ta’ālā) hendak menjadikan khalīfah
di bumi. (QS al-Baqarah 2:30).
Kata khalīfah ini sering diartikan saja dalam bahasa Indonesia
sebagaimana juga dalam bahasa aslinya yaitu khalifah. Kalau dibiarkan begitu
saja maknanya kurang ‘menggigit’. Sementara Abdullah Yusuf Ali mencoba untuk
menukik agak dalam untuk mencari isi makna yang sebenarnya yang terkandung
didalamnya, sebagaimana yang diuraikan dalam bukunya ‘The Qur’an, Text,
Translation and Commentary’ [6] menyebutkan khalifah dalam bahasa Inggris
sebagai visegerent. Kata visegerent ini adalah bentuk kata benda
yang artinya, a person appointed by
another especially by ruler. Yaitu seseorang yang mendapat tugas yang
biasanya diberikan oleh seorang penguasa (yang kekuasaannya lebih tinggi
daripada yang mendapat tugas). Untuk apa? to
exercise the latter’s power and authority.
Artinya adalah manusia diciptakan
sebagai khalifah yang diberi tugas untuk melaksanakan kekuasaan (power) dan wewenang (authority) dari-Nya. Manusia khalifah
tersebut sebagai deputy
atau wakil-Nya selaku mandataris-Nya (menerima mandat) untuk mengelola
kehidupan manusia di bumi. Kata latter
bentuk kata sifat yang artinya it
represent the original. [6] Yaitu melakukannya sesuai dengan apa-apa yang
di beri petunjuk oleh-Nya atau aturan-Nya atau perintahkan dan larangan-Nya.
Dari keterangan Abdullah Yusuf Ali
tersebut, dapat ditangkap maknanya disini adalah, kalaupun dia manusia berkuasa
dan mempunyai wewenang itu dalam melakukan tugasnya, mesti dan sepantasnya
sesuai dengan isi perintah dan ketentuan-ketentuan dari pemberi mandat.
Sebagaimana seorang Jendral memerintah Prajuritnya, yaitu ada disiplin dan aturan
yang mesti dipatuhinya. Begitu pula seorang Menejer terhadap Boss-nya. Jadi
kalau pemegang amanah sewenang-wenang dalam menjalankan power dan authority yang
ada padanya itu tidak sesuai dengan pemberi mandat, disebut menyalah gunakan
kekuasaan.
Dengan menyalah gunakan kekuasaan (power abuse) itu maka dapat dibayangkan
akibatnya adalah akan terjadi worst
(malapetaka) dan chaos (kekacauan)
bagi manusia atau manusia-manusia yang ada dalam masyarakat itu sendiri, karena
sudah ada ‘blue print’ yang telah dibuat-Nya
itu untuk kemashlahatan - kegunaan; kebaikan; manfaat; kepentingan
bagi manusia itu sendiri. Dimana sesungguhnya khalifah mesti bekerja sesuai
dengan gambar yang terdapat dalam ‘blue
print’ itu, berikut petunjuk yang ada didalamnya seperti aturan, perintah
dan larangan-Nya.
Pemberian amanah yang disertai
pemberian kuasa (power) melaksanakan wewenang
(authority), maka disitu timbul
tanggung jawab (responsibility) dalam
melaksanakan tugas kewajibannya. Arti dari tanggung jawab itu adalah mesti ada
nilai ‘moral-akhlak-integritas’ (kejujuran dan ketaatan) yang harus dimiliki
khalifah dalam melaksanakan tugas kewajibannya yang dipikulnya. Tanggung jawab
khalifah dalam bekerja berlandaskan ‘moral-akhlak-integritas’ sebagai ‘tiang’
terlaksana dengan baik amanah yang dilaksanakan oleh khalifah. Rasulullah Shalallāhi
‘Alaihi Wasallam bersabda, “Innama
buitstu li-utamimma makarimal akhlak.” Artinya: “Sesungguhnya aku (Muhammad
Shalallāhi ‘Alaihi Wasallam) diutus,
untuk menyempurnakan akhlak” - moral, integritas manusia. (HR Al-Bukhari). Dipertegas
lagi oleh firman-Nya bahwa misi Rasulullah Shalallāhi
‘Alaihi Wasallam adalah: "Dan Kami (Allah) tidak mengutus
engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam."
(QS Al-Anbiya’ 21:107).
Secara leksikal (lexical) dalam sejarah Islam, khalifah biasanya dihubungkan dengan manusia
pertama yaitu Adam ‘Alayhis Salām
seperti yang disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 30 [7] dengan ciri-ciri sebagai
pemimpin (leadership) yang berilmu-pengetahuan
(QS Al-Baqarah 2:31-33). [8] Ilmu-pengetahuan (science, knowledge) yang dipelajari
atau diperolehnya dan kemudian dimilikinya itu mengangkatnya menjadi khalifah yang
mempunyai daya kepemimpin (leadership)
dan pengetahuan inilah yang dihormati para malaikat. (QS Al-Baqarah 2:34). [9] Dengan
bekal ilmu itulah dia akan mampu menjalankan tugasnya dan mengendalikan diri
dari penyalahgunaan kekuasaan (power
abuse) dan wewenangnya (authority).
Untuk selanjutnya kata khalifah ini
berlaku pula bagi sahabat, dan
generasi berikutnya tabi’in, tabi’ut tabi’in, dst selaku pemimpin (khalīfah) negara (daulah) islamiyyah.
MAKNA KHALIFAH BERIKUTNYA
Dan Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi” [QS
Al-An’am 6:165].
Makna leksikal dari kata khalifah-khalifah
berikut adalah mencakup juga manusia pada umumnya. Yaitu kita, sebagai pribadi-pribadi
ini sebagai khalifah-khalifah [4] dalam artian mesti mampu ‘Memimpin Dirinya
Sendiri’ dan ikut berpartisipasi ‘Mengelola Bumi Sebagai Pemakmurnya’.
[5]
‘Pemimpin Dirinya
Sendiri’, yaitu kemampuan memenej (mengendalikan) dirinya sendiri dari
hawa-nafsunya.
Ada tiga kelompok nafsu yang disebutkan oleh
Allah Subhāna wa Ta’ālā dalam Al-Qur'an.
Pertama, Nafsu Ammarah, (QS Yūsuf 12:53).
[10] Nafsu Ammarah ini sifatnya negatif sekali. Hati-hatilah dalam Nafsu Ammarah
ini, karena seringkali tidak terkendali karena emosi mengalahkan akal pikiran
dan ketentuan (syariat) Allah. Kedua,
Nafsu Lawwamah, (QS Al-Qiyāmah 75:2). [11] Nafsu Lawwamah ini adalah nafsu yang
bisa dikendalikan oleh manusia, karena adanya pengetahuan dan menjalankan
syariat (Ajaran Islam) yang telah dipahami oleh orang mu'min. Ketiga, Nafsu Mutmainnah, (QS al-Fajr 89:27-30).
[12] Orang yang memiliki Nafsu Mutmainnah ini diundang oleh malaikat bahwa ia
punya ketenangan dari Allah Subhāna
wa Ta’ālā dan tergolong dalam orang-orang saleh. Tiga tingkatan nafsu itu,
terangkum dalam Surah Fāthir 35:32. [13]
Gambaran masing-masing tingkatan nafsu pada
manusia menurut Al-Qur’an tersebut diatas adalah sebagai berikut, Nafsu Ammarah, melakukan tindakan
pencurian, kekerasan fisik pada orang lain, berzinah, menipu, berbohong, memfitnah,
membunuh, tidak adil, korupsi dan lain sebagainya. Nafsu
Lawwamah, menuruti rasa marah namun kemudian merasa bersalah dan
menyesal, melakukan perbuatan penipuan kemudian menyadari kesalahan tersebut
namun di kemudian hari dilakukan kembali. Nafsu Lawwamah ini adalah fase labil (tidak menentu)
di mana seseorang berusaha menahan nafsunya karena menyadari hal tersebut salah
namun akalnya masih cenderung dikalahkan oleh hasrat ammarahnya. Nafsu Mutmainnah, adalah mereka yang
senantiasa bersabar meski diperlakukan buruk namun tidak membalas dengan
keburukan, mereka yang apabila marah memilih diam, menjauh dan sebagainya,
mereka ini yang mampu menaklukkan hawa nafsunya (nafsu ammarah) sehingga perbuatannya cenderung
berupa amal kebaikan.
‘Mengelola Bumi Sebagai
Pemakmurnya’, yaitu mengelola kehidupan di bumi
Khalifah-khalifah bermakna ‘Para
Mandataris’ yang diserahi tugas oleh Tuhan Sekalian Alam dalam mengelola
kehidupan di bumi bersama manusia-manusia lainnya agar manusia dan alam lestari
dan sejahtera (Khalifah sebagai pemakmur bumi). Tentunya para Mandataris ini
selaku ‘mandatory' wajib melaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari
Pemberi Mandat (yakni Allah Subhāna
wa Ta’ālā). Allah
Subhāna
wa Ta’ālā serahkan langit dan bumi ini untuk manusia manfaatkan.
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi
untuk kamu (olah, gunakan, manfaatkan untuk keperluan hidupnya) [QS Al-Baqarah
2:29]
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan
untuk (kepentingan) mu apa yang ada di langit dan apa yang di bumi”. [QS
Luqmān 31:20]
Manusia dapat mempelajari tabiat alam yang selalu tepat dan konstan berulang. Seperti matahari yang selalu terbit dan terbenam pada waktunya. Demikian pula Bumi berputar pada sumbunya serta mengelilingi matahari (sesuai dengan garis edarnya). Dengan tabiat alam seperti itu manusia dapat mempelajarinya, mengukurnya dan merumuskannya.
Sebagai salah satu contoh manfaat alam
bagi manusia yaitu hubungan interaksi matahari dan bumi dan pengaruhnya bagi
manusia, yaitu menghasilkan waktu terang (siang, untuk 'bekerja'), waktu gelap
(malam, untuk 'istirahat'). Dengan itu bilangan waktu 24 jam sehari dapat
dirumuskan. Peredaran bumi (dari titik awal ke titiknya kembalinya) dalam
mengelilingi matahari dapat dihitung. Satu edaran lamanya 1 tahun. Jumlah hari
dalam setahun sama yaitu 365 (+1/4) hari. Peredaran bulan terhadap bumi yang
dengan itu manusia bisa membuat kalendar (almanak) berdasarkan Tanggalan Syamsiyah - Gregorian (matahari, solar system, Masehi) dan
Tanggalan Qomariyah - Hijriyah (bulan, lunar system).
Pada negeri-negeri yang terletak di dan
dekat garis katulistiwa ada 2 musim, yaitu musim panas dan musim hujan. Pada negeri-negeri
yang terletak di sub tropic ada 4 musim, yaitu musim panas (summer),
musim rontok (fall, autum,
gugur), musim dingin (winter, snow, salju), dan musim bunga
(spring).
Peristiwa 'alam musim' itu selalu
berurutan dan selalu berulang kembali dengan 'pasti'. Demikianlah kekuasaan
Allah mempergilirkannya. Dan dengan kebiasaan alam seperti itu maka dapat pula
manusia menghitung-tentukan bila mulai bercocok tanam, bila memetik (mengetam)
buah (hasilnya) dst, dst. Dengan itu engkau dapat merasakan adanya manfaat dari
alam yang sangat banyak untuk kepentinganmu sendiri, wahai manusia!
Kenapa khalifah-khalifah mampu melaksanakan tugasnya?
Allah beri hati, mata dan telinga bagi manusia. “Dan
sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia.
Mereka memiliki HATI, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka
memiliki MATA (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (petunjuk-petunjuk atau
tanda-tanda dari kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai TELINGA (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (petunjuk-petunjuk dari ayat-ayat Allah).
Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lengah.” [QS Al-A’rāf 7:179].
Hal tersebut diatas sebagai pengingatan jangan sampai seperti itu, melainkan mesti melakukannya sebagai berikut:
Hal tersebut diatas sebagai pengingatan jangan sampai seperti itu, melainkan mesti melakukannya sebagai berikut:
“Dia yang mengadakan
pendengaran, penglihatan dan hati untuk kamu (agar dapat dipergunakan dengan
sebaik-baiknya)”. [QS Al-Mu’minun 23:78].
Telinga sebagai alat bantu untuk
mendengar berita mana yang benar, mana yang tidak. Mendengar berita mana yang
baik, mana yang tidak; Mata sebagai alat bantu untuk melihat mana yang baik,
mana yang tidak. Melihat mana kejadian yang sebenarnya, mana yang dibuat-buat yang seolah-olah benar.
Telinga sebagai alat bantu untuk mendengar berita mana yang baik, mana yang
tidak. Mana berita yang benar dan mana yang berita bohong yang dibuat
seolah-olah benar. Indra dan kesadaran bathin (akalbudi) inilah yang mesti
dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk menyaring dan memilah-milah
peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang ada disekitar kita.
Allah lebihkan manusia
dari kebanyakan makhluk yang diciptakan-Nya. “Kami lebihkan mereka (manusia) dari kebanyakan makhluk
yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” [QS AL-Isrā’ 17:70].
Karena itu manusia diberi kemampuan
untuk menghadapi dan menangani apa yang menjadi persoalan dalam hidupnya di
dunia. Manusia diberi pula kemampuan untuk mengolah keperluan hidupnya yang
berguna selama hidup di dunia. Begitulah kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya,
Allah telah menyediakan alam bagi keberlangsungan hidup manusia agar dapat
hidup layak sebagai manusia khalifah-khalifah di bumi. Diberi pula akalsehat
dan akalbatin (hatinurani) yang digunakan untuk memilih yang terbaik dari yang
tersedia itu agar hidup adil dan makmur di dunia dan mendapat Surga Adnan kelak
melalui beribadah kepada-Nya.
Allah berikan akal dan al-hikmah bagi manusia. “Allah menganugrahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang
Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang
dianugerahi al-hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.
Dan hanya orang-orang yang BERAKAL-lah yang dapat mengambil pelajaran (dari
firman-Nya)” [QS Al-Baqarah 2:269]
Secara umum, makna kata ‘aqal dalam konteks potensi yang
dianugerahkan Allah kepada manusia adalah potensi yang mendorong lahirnya budi pekerti luhur atau menghalangi
seseorang melakukan keburukan. Makna ini, menurut pakar Mesir kenamaan, Abbas
Mahmud al-Aqqad, sejalan dengan kata mind
dalam bahasa-bahasa Indo-Germania yang juga mengandung arti “keterhindaran dan
kehati-hatian” serta digunakan untuk mengingatkan seseorang agar berhati-hati.
Memang (sebagaimana mestinya), akal harus berfungsi mendorong ke arah kebaikan dan menghalangi atau mengingatkan
seseorang menyangkut dampak keburukan agar berhati-hati sehingga tidak
terjerumus dalam bahaya atau sesuatu yang tidak diinginkan.
Dalam al-Qur’an al-Karim tidak ditemukan kata ‘aqala yang menunjuk potensi
manusiawi itu. Yang ditemukan adalah kata kerjanya dalam bentuk ya’qilun dan ta’qilun. Masing-masing muncul
dalam al-Qur'an sebanyak 22 dan 24 kali. Di samping itu, ada juga kata na’qilu dan qi’luha serta ‘aqaluhu yang masing-masing disebut
sekali dalam al-Qur'an.
Terulangnya kata "akal" dan aneka bentuknya dalam jumlah yang sedemikian banyak mengisyaratkan pentingnya peranan akal. Bahkan kedudukan itu diperkuat oleh ketetapan al-Qur’an tentang pencabutan atau pembatasan wewenang mengelola dan membelanjakan harta - walau milik seseorang, bagi yang tidak memiliki akal (pengetahuan), (QS An-Nisā’ 4:5). [14] Bahkan pengabaian akal, berpotensi mengantar seseorang tersiksa di dalam neraka, (QS Al-Mulk 67:11). [15]
Melalui akal, lahir kemampuan menjangkau
pemahaman sesuatu yang pada gilirannya mengantar pada dorongan berakhlak luhur.
Ini dapat dinamai al-‘aql al-wazi’,
yakni ‘akal pendorong’.
Akal juga digunakan untuk memperhatikan dan menganalisis sesuatu guna mengetahui rahasia-rahasia yang terpendam untuk memperoleh kesimpulan ilmiah dan hikmah yang dapat ditarik dari analisis tersebut. Kerja akal di sini membuahkan ilmu pengetahuan sekaligus perolehan hikmah yang mengantar pemiliknya mengetahui dan mengamalkan apa yang diketahuinya. Ini dinamai al’aql al-mudrik, yakni ‘akal penjangkau (pengetahuan)’.
Banyak ayat al-Qur’an membicarakan ketiga fungsi di atas. Ambillah misalnya Surah Al-Baqarah yang artinya menyatakan: "Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang turunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi sesudah setelah mati (kering)-Nya, dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan t tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal (mengerti)." (QS Al-Baqarah 2:164)
Ayat di atas merupakan salah satu dari puluhan ayat yang mengajak untuk menggunakan akal untuk memperhatikan fenomena alam dalam rangka meraih pengetahuan.
Firman-Nya dalam Surah Yūsuf: "Dan Kami tidak mengutus sebelummu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Tidakkah mereka berpergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul). Dan sungguh, negeri akhirat itu lebih baik bagi orang yang bertakwa. Tidakkah kamu berakal (mengerti)?" (QS Yūsuf 12:109)
Ayat di atas merupakan salah satu ayat memerintahkan menggunakan akal dengan tujuan mendorong meraih pengetahuan dan hikmah guna menghindari hal-hal buruk di atas.
Ada juga ayat-ayat yang berbicara tentang Ulu al-Albab atau ar-Rasikhun fi al-Ilm. Dua istilah itu merujuk orang-orang yang demikian mantap pengetahuan dan pengamalan ilmi dan hikmah yang diraihnya. Mereka itu dinamai orang-orang yang memiliki rusyd.
Perhatikanlah firman Allah dalam Surah Al-Hujurāt yang artinya: Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti (kemauan) kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapat kesususahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah ar-rasyidin (orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus). (QS Al-Hujurāt 49:7)
Dengan uraian di atas kiranya dapat disimpulkan
bahwa akal yang dimaksud oleh al-Qur’an adalah akal yang mengantar manusia
meraih pengetahuan dan hikmah serta mengantarnya menuju akhlak luhur serta
pemeliharaan kesucian nurani.
PENUTUP
Pemberian ketahanan iman, ilmu (sains,
pengetahuan, teknologi), akhlak-moral-integritas yang dimiliki memberi kemampuan yang
handal bagi khalifah dalam mengelola kehidupan di bumi sebagai pemakmur bumi
ini perlu diteruskan dan dipelihara oleh para kaum beriman, bahkan ditingkat lagi di Bulan Ramadhan yang mulia
ini.
Salah satu manfaat dari Bulan Ramadhan
adalah sebagai sarana untuk men-tune up
kembali 'mesin iman' dan ‘power &
authority’ ini agar ‘fit’ sebagai
khalifah-khalifah di muka bumi sesuai dengan perintah Pemberi Mandat (Allah ‘Azza
wa Jalla) yaitu, beriman dan melakukan kebajikan (āmanū wa ‘amilush shōlihāti). [16]
Lebih tegasnya, sebagai agen
pembangunan di bumi (agent of
development, amar ma’ruf). [17] Serta selaku agen perubahan di bumi (agent of change, nahi munkar). [18] Kalau
keduanya tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik, maka sungguh Allah ‘Azza wa Jalla memberikan kehormatan (honour) yaitu "sebagai ummat yang
terbaik untuk kepentingan (hidup) manusia." [19] Inilah kemurahan dan
kerahiman Allah kepada umat manusia agar mengerti akan adanya bulan Ramadhan
sebagai rangkaian schedule maintenance
program agar ‘mesin iman’ [20]
dapat bekerja baik seperti dalam keadaan baru kembali.
Demikianlah lebih kurangnya uraian dari tema ‘Makna
Khalifah’ seperti yang dipaparkan di atas. Semoga tulisan ini bermanfaat
hendaknya. Billāhit Taufiq
wal-Hidāyah. Germantown, MD, 23
Sha’bān 1441 H / 16 April 2020 M. □ AFM
Catatan kaki:
[1] Wahai Manusia! Sungguh, Kami
telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (lita'ārafū)
satu sama lainnya. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
[QS Al-Hujurāt 49:13]
[2] Seperti yang telah diketahui, asal penciptaan manusia
bermula dari pasangan laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa), seterusnya
berkembang menjadi masyarakat, negara, antar negara dalam semangat ta’aruf [1]. Yaitu Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar - tiga T dan satu I (3T1I). Maknanya
adalah (T) Ta’aruf, yakni saling
mengenal; (T) Tafahum, yakni saling
memaklumi latar belakang hidup, keadaan ekonomi, keyakinan dan pandangan hidup,
bakat dan kemampuan serta keahlian yang berbeda; Namun dapat melakukan (T) Ta’awun, yakni kerja sama dalam masalah
hubungan sesama manusia; (I) Itsar,
yakni tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi. Dalam arti menunjukkan bahwa manusia harus hidup dalam
satu ummah yang tidak boleh saling bertikai,
saling bermusuhan, saling menjatuhkan, melainkan bermusyawarahlah untuk menghadapi
persoalan-persoalan yang ada.
[3] Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan taqwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan. (QS Al-Mā’idah 5:2)
Dan berbuat baiklah (kepada semua orang
dan lingkungan hidup), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. [QS
Al-Qashash 28:77].
[4] Dan Dia-lah yang menjadikan kamu
khalifah-khalifah di bumi” (QS Al-An’ām 6:165).
[5] Dia (Allah) telah menciptakanmu dari bumi dan menjadikan
kamu (umat manusia) pemakmurnya. [QS Hūd 11:61]
[6] Yusuf Ali, The Qur’an, Text,
Translation and Comentary, Published by Tahrike Tarsile Qur’an Inc. P.O. Box
1115 Corona-Elmhurst Station, Elmhurst, New York 11373-1115. hal. 24.
[7] “Wa idz qōla Robbuka lil-malāikati innī jā-‘ilun fil ardhi khalīfah”
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Aku (Allah Subhāna wa Ta’ālā) hendak menjadikan khalīfah di bumi. (QS al-Baqarah 2:30).
[8] (31). Dan Dia ajarkan kepada Adam
nama-nama (benda dan fungsinya) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para
malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua benda ini, jika kamu
yang benar!” (32). Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui
selain apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha
Mengetahui, Mahabijaksana.” (33). Dia (Allah) berfirman, “Wahai Adam!
Beritahukanlah nama-nama itu!” Setelah dia (Adam) menyebutkan nama-namanya. (QS Al-Baqarah 2:31-33).
[9] Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun
sujud (tanda hormat atau menghargai kebolehannya dari ilmu yang ada padanya,
seperti yang diajarkan-Nya) kecuali iblis.
(QS Al-Baqarah 2:34).
[10] Dan aku tidak (menyatakan) diriku
bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada
kejahatan (bissu’), kecuali (nafsu
baik) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. (QS Yūsuf 12:53).
[11] dan aku bersumpah demi jiwa yang
selalu menyesali (dirinya sendiri). (QS Al-Qiyāmah 75:2).
[12] Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya; Dan masuklah ke dalam
golongan hamba-hamba-Ku; dan masuklah ke dalam Surga-Ku. (QS
al-Fajr 89:27-30).
[13] Kemudian Kitab itu Kami wariskan
kepada orang-orang yang Kami di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka
ada yang mendzalimi diri sendiri (nafsu ammarah), ada yang pertengahan (nafsu lawwamah), dan ada (pula) yang
lebih dahulu berbiat kebaikan (nafsu mutmainnah) dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang besar. (QS Fāthir 35:32).
[14] Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang
belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian
(dari hasil harta itu) dan ucapkan kepada mereka perkataan yang baik. (QS An-Nisā’
4:5).
[15] Maka mereka mengakui dosanya. Tetapi
jauhlah (dari rahmat Allah) bagi penghuni neraka yang menyala-ngala itu. (QS
Al-Mulk 67:11).
[16] āmanū wa ‘amilush shōlihāti (beriman dan melakukan kebajikan
- perbuatan baik). ( At-Tīn 95:6).
[17] Ta’murūna bil ma’rūfi (menyuruh berbuat yang makruf, agent of development). (Penggal pertama
dari QS Āli ‘Imrān 3:110)
[18] wa tanhawna ‘anil munkari (dan mencegah dari berbuat yang mungkar, agent of change). (Penggal pertengahan
dari QS Āli ‘Imrān 3:110)
[19] Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnāsi (Kamu ‘umat Islam’ adalah
umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia); Ta’murūna bil ma’rūfi (menyuruh berbuat yang makruf, agent of development); wa tanhawna ‘anil munkari (dan mencegah
dari berbuat yang mungkar, agent of
change); Wa tu’ minūna bilLāhi
(serta beriman kepada Allah). (QS Āli ‘Imrān 3:110)
[20] Wa tu’ minūna bilLāhi (serta beriman kepada Allah). (Penggal
terakhir dari QS Āli ‘Imrān 3:110) □□
Referensi:
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/06/gambaran-makna-khalifah.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2014/06/tatanan-masyarakat-dalam-al-quran-vii.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2016/04/pengertian-nilai-hidup-bermasyarakat.html
https://www.nu.or.id/post/read/107333/tiga-level-nafsu-dan-tiga-kelompok-orang-dalam-al-quran
https://bangkitmedia.com/tiga-jenis-nafsu-manusia-dalam-al-quran/
https://brainly.co.id/tugas/6532187#readmore
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2019/02/interaksi-sosial.html
https://tirto.id/arti-penting-menggunakan-akal-menurut-alquran-cpUn
Arti
atau terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an diambil dari ALFATIH, Al-Qur’an Tafsir
perkata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir. □□□