Thursday, April 16, 2020

Makna Khalifah




KATA PENGANTAR

Dalam sejarahnya, pemaknaan khalīfah biasanya dihubungkan manusia pertama yaitu Adam ‘Alayhis Salām seperti yang disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 30.

Perkembang selanjutnya kata khalifah ini berlaku pula bagi sahabat, dan generasi berikutnya tabi’in, tabi’ut tabi’in, dst selaku pemimpin negara (daulah) islamiyyah.

Bagaimana pula dengan ‘kata khalifah-khalifah’ seperti disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-An’ām ayat 165, [4] apakah ini tertuju hanya sebagai pelaku pemimpin negara (daulah) saja, atau yang lain seperti orang biasa? Hal inilah yang akan dibahas berikut ini.



MAKNA KHALIFAH
Oleh: A. Faisal Marzuki


Visegerent, a person appointed by another especially by ruler to exercise the latter’s power and authority.


Khalifah, adalah orang yang mendapat tugas yang diberikan oleh-Nya, untuk melaksanakan kekuasaan (power) dan wewenang (authority) dari-Nya. Dalam melakukan tugasnya mesti sesuai dengan petunjuk, aturan, perintahkan dan larangan-Nya.


M
anusia adalah sebagai species makhluk unggulan dari Sang Pencipta Alam Raya di Raya (universe) sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya: “Kami lebihkan mereka (manusia) dari kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” [QS Al-Isrā’ 17:70]. Yaitu sebagai manusia yang berkualitas khalifah. Manusia khalifah ini diserahi tugas untuk mengelola kehidupannya di bumi baik secara individual maupun komunal dalam lingkungan alam sekitarnya. Untuk apa? Untuk saling membenci? Untuk saling menguasai? Untuk saling perang memerangi sesamanya? Tidak! Kalau iya, namanya manusia hawa-nafsu (ego diri atau kelompok).

Bukan seperti itu sifat manusia. Dalam fitrah ciptaan yang sebenarnya, yaitu manusia perlu belajar arti berkomunal - bermasyarakat, bernegara dan berantar negara. Langkah pertama wajib untuk saling kenal - ta’aruf. [1] Dengan itu akan dapat saling memaklumi, dilanjutkan dengan adanya kerja sama. Dan tidak bertengkar sesama anggota masyarakat dalam lingkungan hidupnya berada. [2] Tidak ada manusia yang super, masing-masing ada kelebihan dan kekurangan dalam sesuatu, seperti pengetahuannya, kemampuan, keahlian, keadaan ekonomi, dst.

Hal seperti yang disebutkan diatas itu mesti dipahami betul. Selanjutnya saling mengisi. Yang lebih mengisi yang kurang, yang kurang terpenuhi karena diperoleh dari yang lebih. Begitu pula sebaliknya, yang lebih itu pasti pula ada yang kurang dalam bentuk yang lain. Ini artinya dalam hidup bermasyarat masing-masing perlu saling mengisi, perlu tolong menolong [3]

Dalam hidup bermasyarakat (komuniti, negara, antar negara) usaha seperti yang disebutkan itu akan mendapatkan hidupnya aman, damai, bukan hanya untuk diri sendiri dalam suatu lingkungan hidup itu, tapi untuk semua sesama anggota masyarakat. Lebih besar lagi adalah antar masyarakat, negara dan antar negara. Dengan itu, bukan saja hidup dalam lingkungan lokal saja, tapi lingkungan negara dan antar negara (global, internasional) hidupnya menjadi harmonis, [3] selamat dan sejahtera keadaannya di bumi selaku khalifah-khalifah [4] pemakmur hidup di bumi. [5]


APA DAN SIAPA MANUSIA KHALIFAH ITU?

Untuk menjawab pertanyaa tersebut, mari kita merujuk kepada rumusan kata khalīfah yang diberikan oleh Sang Pencipta manusia dan alam semesta ini sebagaimana firman-Nya dalam Kitab Suci Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah sebagai berikut:

Wa idz qōla Robbuka lil-malāikati innī jā-‘ilun fil ardhi khalīfah Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Aku (Allah Subhāna wa Ta’ālā) hendak menjadikan khalīfah di bumi. (QS al-Baqarah 2:30).

Kata khalīfah ini sering diartikan saja dalam bahasa Indonesia sebagaimana juga dalam bahasa aslinya yaitu khalifah. Kalau dibiarkan begitu saja maknanya kurang ‘menggigit’. Sementara Abdullah Yusuf Ali mencoba untuk menukik agak dalam untuk mencari isi makna yang sebenarnya yang terkandung didalamnya, sebagaimana yang diuraikan dalam bukunya ‘The Qur’an, Text, Translation and Commentary’ [6] menyebutkan khalifah dalam bahasa Inggris sebagai visegerent. Kata visegerent ini adalah bentuk kata benda yang artinya, a person appointed by another especially by ruler. Yaitu seseorang yang mendapat tugas yang biasanya diberikan oleh seorang penguasa (yang kekuasaannya lebih tinggi daripada yang mendapat tugas). Untuk apa? to exercise the latter’s power and authority.  

Artinya adalah manusia diciptakan sebagai khalifah yang diberi tugas untuk melaksanakan kekuasaan (power) dan wewenang (authority) dari-Nya. Manusia khalifah tersebut sebagai deputy atau wakil-Nya selaku mandataris-Nya (menerima mandat) untuk mengelola kehidupan manusia di bumi. Kata latter bentuk kata sifat yang artinya it represent the original. [6] Yaitu melakukannya sesuai dengan apa-apa yang di beri petunjuk oleh-Nya atau aturan-Nya atau perintahkan dan larangan-Nya.

Dari keterangan Abdullah Yusuf Ali tersebut, dapat ditangkap maknanya disini adalah, kalaupun dia manusia berkuasa dan mempunyai wewenang itu dalam melakukan tugasnya, mesti dan sepantasnya sesuai dengan isi perintah dan ketentuan-ketentuan dari pemberi mandat. Sebagaimana seorang Jendral memerintah Prajuritnya, yaitu ada disiplin dan aturan yang mesti dipatuhinya. Begitu pula seorang Menejer terhadap Boss-nya. Jadi kalau pemegang amanah sewenang-wenang dalam menjalankan power dan authority yang ada padanya itu tidak sesuai dengan pemberi mandat, disebut menyalah gunakan kekuasaan.

Dengan menyalah gunakan kekuasaan (power abuse) itu maka dapat dibayangkan akibatnya adalah akan terjadi worst (malapetaka) dan chaos (kekacauan) bagi manusia atau manusia-manusia yang ada dalam masyarakat itu sendiri, karena sudah ada ‘blue print’ yang telah dibuat-Nya itu untuk kemashlahatan - kegunaan; kebaikan; manfaat; kepentingan bagi manusia itu sendiri. Dimana sesungguhnya khalifah mesti bekerja sesuai dengan gambar yang terdapat dalam ‘blue print’ itu, berikut petunjuk yang ada didalamnya seperti aturan, perintah dan larangan-Nya.

Pemberian amanah yang disertai pemberian kuasa (power) melaksanakan wewenang (authority), maka disitu timbul tanggung jawab (responsibility) dalam melaksanakan tugas kewajibannya. Arti dari tanggung jawab itu adalah mesti ada nilai ‘moral-akhlak-integritas’ (kejujuran dan ketaatan) yang harus dimiliki khalifah dalam melaksanakan tugas kewajibannya yang dipikulnya. Tanggung jawab khalifah dalam bekerja berlandaskan ‘moral-akhlak-integritas’ sebagai ‘tiang’ terlaksana dengan baik amanah yang dilaksanakan oleh khalifah. Rasulullah Shalallāhi ‘Alaihi Wasallam bersabda, Innama buitstu li-utamimma makarimal akhlak.” Artinya: “Sesungguhnya aku (Muhammad Shalallāhi ‘Alaihi Wasallam) diutus, untuk menyempurnakan akhlak” - moral, integritas manusia. (HR Al-Bukhari). Dipertegas lagi oleh firman-Nya bahwa misi Rasulullah Shalallāhi ‘Alaihi Wasallam adalah: "Dan Kami (Allah) tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam." (QS Al-Anbiya’ 21:107).

Secara leksikal (lexical) dalam sejarah Islam, khalifah biasanya dihubungkan dengan manusia pertama yaitu Adam ‘Alayhis Salām seperti yang disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 30 [7] dengan ciri-ciri sebagai pemimpin (leadership) yang berilmu-pengetahuan (QS Al-Baqarah 2:31-33). [8] Ilmu-pengetahuan (science, knowledge) yang dipelajari atau diperolehnya dan kemudian dimilikinya itu mengangkatnya menjadi khalifah yang mempunyai daya kepemimpin (leadership) dan pengetahuan inilah yang dihormati para malaikat. (QS Al-Baqarah 2:34). [9] Dengan bekal ilmu itulah dia akan mampu menjalankan tugasnya dan mengendalikan diri dari penyalahgunaan kekuasaan (power abuse) dan wewenangnya (authority).

Untuk selanjutnya kata khalifah ini berlaku pula bagi sahabat, dan generasi berikutnya tabi’in, tabi’ut tabi’in, dst selaku pemimpin (khalīfah) negara (daulah) islamiyyah.


MAKNA KHALIFAH BERIKUTNYA

Dan Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi” [QS Al-An’am 6:165].

Makna leksikal dari kata khalifah-khalifah berikut adalah mencakup juga manusia pada umumnya. Yaitu kita, sebagai pribadi-pribadi ini sebagai khalifah-khalifah [4] dalam artian mesti mampu ‘Memimpin Dirinya Sendiri’ dan ikut berpartisipasi ‘Mengelola Bumi  Sebagai Pemakmurnya’. [5]


‘Pemimpin Dirinya Sendiri’, yaitu kemampuan memenej (mengendalikan) dirinya sendiri dari hawa-nafsunya.

Ada tiga kelompok nafsu yang disebutkan oleh Allah Subhāna wa Ta’ālā dalam Al-Qur'an. Pertama, Nafsu Ammarah, (QS Yūsuf 12:53). [10] Nafsu Ammarah ini sifatnya negatif sekali. Hati-hatilah dalam Nafsu Ammarah ini, karena seringkali tidak terkendali karena emosi mengalahkan akal pikiran dan ketentuan (syariat) Allah. Kedua, Nafsu Lawwamah, (QS Al-Qiyāmah 75:2). [11] Nafsu Lawwamah ini adalah nafsu yang bisa dikendalikan oleh manusia, karena adanya pengetahuan dan menjalankan syariat (Ajaran Islam) yang telah dipahami oleh orang mu'min. Ketiga, Nafsu Mutmainnah, (QS al-Fajr 89:27-30). [12] Orang yang memiliki Nafsu Mutmainnah ini diundang oleh malaikat bahwa ia punya ketenangan dari Allah Subhāna wa Ta’ālā dan tergolong dalam orang-orang saleh. Tiga tingkatan nafsu itu, terangkum dalam Surah Fāthir 35:32. [13]

Gambaran masing-masing tingkatan nafsu pada manusia menurut Al-Qur’an tersebut diatas adalah sebagai berikut, Nafsu Ammarah, melakukan tindakan pencurian, kekerasan fisik pada orang lain, berzinah, menipu, berbohong, memfitnah, membunuh, tidak adil, korupsi dan lain sebagainya. Nafsu Lawwamah, menuruti rasa marah namun kemudian merasa bersalah dan menyesal, melakukan perbuatan penipuan kemudian menyadari kesalahan tersebut namun di kemudian hari dilakukan kembali. Nafsu Lawwamah ini adalah fase labil (tidak menentu) di mana seseorang berusaha menahan nafsunya karena menyadari hal tersebut salah namun akalnya masih cenderung dikalahkan oleh hasrat ammarahnya. Nafsu Mutmainnah, adalah mereka yang senantiasa bersabar meski diperlakukan buruk namun tidak membalas dengan keburukan, mereka yang apabila marah memilih diam, menjauh dan sebagainya, mereka ini yang mampu menaklukkan hawa nafsunya (nafsu ammarah) sehingga perbuatannya cenderung berupa amal kebaikan.


‘Mengelola Bumi Sebagai Pemakmurnya’, yaitu mengelola kehidupan di bumi

Khalifah-khalifah bermakna ‘Para Mandataris’ yang diserahi tugas oleh Tuhan Sekalian Alam dalam mengelola kehidupan di bumi bersama manusia-manusia lainnya agar manusia dan alam lestari dan sejahtera (Khalifah sebagai pemakmur bumi). Tentunya para Mandataris ini selaku ‘mandatory' wajib melaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari Pemberi Mandat (yakni Allah Subhāna wa Ta’ālā). Allah Subhāna wa Ta’ālā serahkan langit dan bumi ini untuk manusia manfaatkan.

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu (olah, gunakan, manfaatkan untuk keperluan hidupnya) [QS Al-Baqarah 2:29]

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang ada di langit dan apa yang di bumi”. [QS Luqmān 31:20]

Manusia  dapat mempelajari tabiat alam yang selalu tepat dan konstan berulang. Seperti matahari yang selalu terbit dan terbenam pada waktunya. Demikian pula Bumi berputar pada sumbunya serta mengelilingi matahari (sesuai dengan garis edarnya). Dengan tabiat alam seperti itu manusia dapat mempelajarinya, mengukurnya dan merumuskannya.

Sebagai salah satu contoh manfaat alam bagi manusia yaitu hubungan interaksi matahari dan bumi dan pengaruhnya bagi manusia, yaitu menghasilkan waktu terang (siang, untuk 'bekerja'), waktu gelap (malam, untuk 'istirahat'). Dengan itu bilangan waktu 24 jam sehari dapat dirumuskan. Peredaran bumi (dari titik awal ke titiknya kembalinya) dalam mengelilingi matahari dapat dihitung. Satu edaran lamanya 1 tahun. Jumlah hari dalam setahun sama yaitu 365 (+1/4) hari. Peredaran bulan terhadap bumi yang dengan itu manusia bisa membuat kalendar (almanak) berdasarkan Tanggalan Syamsiyah - Gregorian (matahari, solar system, Masehi) dan Tanggalan Qomariyah - Hijriyah (bulan, lunar system).

Pada negeri-negeri yang terletak di dan dekat garis katulistiwa ada 2 musim, yaitu musim panas dan musim hujan. Pada negeri-negeri yang terletak di sub tropic ada 4 musim, yaitu musim panas (summer), musim rontok (fall, autum, gugur), musim dingin (winter, snow, salju), dan musim bunga (spring).

Peristiwa 'alam musim' itu selalu berurutan dan selalu berulang kembali dengan 'pasti'. Demikianlah kekuasaan Allah mempergilirkannya. Dan dengan kebiasaan alam seperti itu maka dapat pula manusia menghitung-tentukan bila mulai bercocok tanam, bila memetik (mengetam) buah (hasilnya) dst, dst. Dengan itu engkau dapat merasakan adanya manfaat dari alam yang sangat banyak untuk kepentinganmu sendiri, wahai manusia!


Kenapa khalifah-khalifah mampu melaksanakan tugasnya?

Allah beri hati, mata dan telinga bagi manusia. “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki HATI, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka memiliki MATA (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (petunjuk-petunjuk atau tanda-tanda dari kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai TELINGA  (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (petunjuk-petunjuk dari ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” [QS Al-A’rāf 7:179].

Hal tersebut diatas sebagai pengingatan jangan sampai seperti itu, melainkan mesti melakukannya sebagai berikut:

“Dia yang mengadakan pendengaran, penglihatan dan hati untuk kamu (agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya)”. [QS Al-Mu’minun 23:78].

Telinga sebagai alat bantu untuk mendengar berita mana yang benar, mana yang tidak. Mendengar berita mana yang baik, mana yang tidak; Mata sebagai alat bantu untuk melihat mana yang baik, mana yang tidak. Melihat mana kejadian yang sebenarnya, mana  yang dibuat-buat yang seolah-olah benar. Telinga sebagai alat bantu untuk mendengar berita mana yang baik, mana yang tidak. Mana berita yang benar dan mana yang berita bohong yang dibuat seolah-olah benar. Indra dan kesadaran bathin (akalbudi) inilah yang mesti dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk menyaring dan memilah-milah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang ada disekitar kita.

Allah lebihkan manusia dari kebanyakan makhluk yang diciptakan-Nya. “Kami lebihkan mereka (manusia) dari kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” [QS AL-Isrā’ 17:70].

Karena itu manusia diberi kemampuan untuk menghadapi dan menangani apa yang menjadi persoalan dalam hidupnya di dunia. Manusia diberi pula kemampuan untuk mengolah keperluan hidupnya yang berguna selama hidup di dunia. Begitulah kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya, Allah telah menyediakan alam bagi keberlangsungan hidup manusia agar dapat hidup layak sebagai manusia khalifah-khalifah di bumi. Diberi pula akalsehat dan akalbatin (hatinurani) yang digunakan untuk memilih yang terbaik dari yang tersedia itu agar hidup adil dan makmur di dunia dan mendapat Surga Adnan kelak melalui beribadah kepada-Nya.

Allah berikan akal dan al-hikmah bagi manusia. “Allah menganugrahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang BERAKAL-lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman-Nya)” [QS Al-Baqarah 2:269]

Secara umum, makna kata ‘aqal dalam konteks potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia adalah potensi yang mendorong  lahirnya budi pekerti luhur atau menghalangi seseorang melakukan keburukan. Makna ini, menurut pakar Mesir kenamaan, Abbas Mahmud al-Aqqad, sejalan dengan kata mind dalam bahasa-bahasa Indo-Germania yang juga mengandung arti “keterhindaran dan kehati-hatian” serta digunakan untuk mengingatkan seseorang agar berhati-hati. Memang (sebagaimana mestinya), akal harus berfungsi mendorong ke arah kebaikan dan menghalangi atau mengingatkan seseorang menyangkut dampak keburukan agar berhati-hati sehingga tidak terjerumus dalam bahaya atau sesuatu yang tidak diinginkan.

Dalam al-Qur’an al-Karim tidak ditemukan kata ‘aqala yang menunjuk potensi manusiawi itu. Yang ditemukan adalah kata kerjanya dalam bentuk ya’qilun dan ta’qilun. Masing-masing muncul dalam al-Qur'an sebanyak 22 dan 24 kali. Di samping itu, ada juga kata na’qilu dan qi’luha serta ‘aqaluhu yang masing-masing disebut sekali dalam al-Qur'an.

Terulangnya kata "akal" dan aneka bentuknya dalam jumlah yang sedemikian banyak mengisyaratkan pentingnya peranan akal. Bahkan kedudukan itu diperkuat oleh ketetapan al-Qur’an tentang pencabutan atau pembatasan wewenang mengelola dan membelanjakan harta - walau milik seseorang, bagi yang tidak memiliki akal (pengetahuan), (QS An-Nisā’ 4:5). [14] Bahkan pengabaian akal, berpotensi mengantar seseorang tersiksa di dalam neraka, (QS Al-Mulk 67:11). [15]

Melalui akal, lahir kemampuan menjangkau pemahaman sesuatu yang pada gilirannya mengantar pada dorongan berakhlak luhur. Ini dapat dinamai al-‘aql al-wazi’, yakni ‘akal pendorong’.

Akal juga digunakan untuk memperhatikan dan menganalisis sesuatu guna mengetahui rahasia-rahasia yang terpendam untuk memperoleh kesimpulan ilmiah dan hikmah yang dapat ditarik dari analisis tersebut. Kerja akal di sini membuahkan ilmu pengetahuan sekaligus perolehan hikmah yang mengantar pemiliknya mengetahui dan mengamalkan apa yang diketahuinya. Ini dinamai al’aql al-mudrik, yakni ‘akal penjangkau (pengetahuan)’.

Banyak ayat al-Qur’an membicarakan ketiga fungsi di atas. Ambillah misalnya Surah Al-Baqarah yang artinya menyatakan: "Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang turunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi sesudah setelah mati (kering)-Nya, dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan t tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal (mengerti)." (QS Al-Baqarah 2:164)

Ayat di atas merupakan salah satu dari puluhan ayat yang mengajak untuk menggunakan akal untuk memperhatikan fenomena alam dalam rangka meraih pengetahuan.

Firman-Nya dalam Surah Yūsuf: "Dan Kami tidak mengutus sebelummu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Tidakkah mereka berpergian di  bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul). Dan sungguh, negeri akhirat itu lebih baik bagi orang yang bertakwa. Tidakkah kamu berakal (mengerti)?" (QS Yūsuf 12:109)

Ayat di atas merupakan salah satu ayat memerintahkan menggunakan akal dengan tujuan mendorong meraih pengetahuan dan hikmah guna menghindari hal-hal buruk di atas.

Ada juga ayat-ayat yang berbicara tentang Ulu al-Albab atau ar-Rasikhun fi al-Ilm. Dua istilah itu merujuk orang-orang yang demikian mantap pengetahuan dan pengamalan ilmi dan hikmah yang diraihnya. Mereka itu dinamai orang-orang yang memiliki rusyd.

Perhatikanlah firman Allah dalam Surah Al-Hujurāt yang artinya: Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti (kemauan) kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapat kesususahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah ar-rasyidin (orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus). (QS Al-Hujurāt 49:7)

Dengan uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa akal yang dimaksud oleh al-Qur’an adalah akal yang mengantar manusia meraih pengetahuan dan hikmah serta mengantarnya menuju akhlak luhur serta pemeliharaan kesucian nurani.


PENUTUP

Pemberian ketahanan iman, ilmu (sains, pengetahuan, teknologi), akhlak-moral-integritas yang dimiliki memberi kemampuan yang handal bagi khalifah dalam mengelola kehidupan di bumi sebagai pemakmur bumi ini perlu diteruskan dan dipelihara oleh para kaum beriman, bahkan  ditingkat lagi di Bulan Ramadhan yang mulia ini.

Salah satu manfaat dari Bulan Ramadhan adalah sebagai sarana untuk men-tune up kembali 'mesin iman' dan ‘power & authority’ ini agar ‘fit’ sebagai khalifah-khalifah di muka bumi sesuai dengan perintah Pemberi Mandat (Allah ‘Azza wa Jalla) yaitu, beriman dan melakukan kebajikan (āmanū wa ‘amilush shōlihāti). [16]

Lebih tegasnya, sebagai agen pembangunan di bumi (agent of development, amar ma’ruf). [17] Serta selaku agen perubahan di bumi (agent of change, nahi munkar). [18] Kalau keduanya tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik, maka sungguh Allah ‘Azza wa Jalla memberikan kehormatan (honour) yaitu "sebagai ummat yang terbaik untuk kepentingan (hidup) manusia." [19] Inilah kemurahan dan kerahiman Allah kepada umat manusia agar mengerti akan adanya bulan Ramadhan sebagai rangkaian schedule maintenance program agar ‘mesin iman’ [20] dapat bekerja baik seperti dalam keadaan baru kembali.

Demikianlah lebih kurangnya uraian dari tema ‘Makna Khalifah’ seperti yang dipaparkan di atas. Semoga tulisan ini bermanfaat hendaknya. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. Germantown, MD, 23 Sha’bān 1441 H / 16 April 2020 M. □ AFM



Catatan kaki:
[1] Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (lita'ārafū) satu sama lainnya. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. [QS Al-Hujurāt 49:13]
[2] Seperti yang telah diketahui, asal penciptaan manusia bermula dari pasangan laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa), seterusnya berkembang menjadi masyarakat, negara, antar negara dalam semangat ta’aruf [1]. Yaitu Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar - tiga T dan satu I (3T1I). Maknanya adalah (T) Ta’aruf, yakni saling mengenal; (T) Tafahum, yakni saling memaklumi latar belakang hidup, keadaan ekonomi, keyakinan dan pandangan hidup, bakat dan kemampuan serta keahlian yang berbeda; Namun dapat melakukan (T) Ta’awun, yakni kerja sama dalam masalah hubungan sesama manusia; (I) Itsar, yakni tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi. Dalam arti menunjukkan bahwa manusia harus hidup dalam satu ummah yang tidak boleh saling bertikai, saling bermusuhan, saling menjatuhkan, melainkan bermusyawarahlah untuk menghadapi persoalan-persoalan yang ada.
[3] Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. (QS Al-Mā’idah 5:2)
Dan berbuat baiklah (kepada semua orang dan lingkungan hidup), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. [QS Al-Qashash 28:77].
[4] Dan Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi” (QS Al-An’ām 6:165).
[5] Dia (Allah) telah menciptakanmu dari bumi dan menjadikan kamu (umat manusia) pemakmurnya. [QS Hūd 11:61]
[6] Yusuf Ali, The Qur’an, Text, Translation and Comentary, Published by Tahrike Tarsile Qur’an Inc. P.O. Box 1115 Corona-Elmhurst Station, Elmhurst, New York 11373-1115. hal. 24.
[7] “Wa idz qōla Robbuka lil-malāikati innī jā-‘ilun fil ardhi khalīfah” Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Aku (Allah Subhāna wa Ta’ālā) hendak menjadikan khalīfah di bumi. (QS al-Baqarah 2:30).
[8] (31). Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda dan fungsinya) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua benda ini, jika kamu yang benar!” (32). Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (33). Dia (Allah) berfirman, “Wahai Adam! Beritahukanlah nama-nama itu!” Setelah dia (Adam) menyebutkan nama-namanya.  (QS Al-Baqarah 2:31-33).
[9] Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud (tanda hormat atau menghargai kebolehannya dari ilmu yang ada padanya, seperti yang diajarkan-Nya) kecuali iblis.  (QS Al-Baqarah 2:34).
[10] Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan (bissu’), kecuali (nafsu baik) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. (QS Yūsuf 12:53).
[11] dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri). (QS Al-Qiyāmah 75:2).
[12] Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya; Dan masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku; dan masuklah ke dalam Surga-Ku. (QS al-Fajr 89:27-30).
[13] Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang mendzalimi diri sendiri (nafsu ammarah), ada yang pertengahan (nafsu lawwamah), dan ada (pula) yang lebih dahulu berbiat kebaikan (nafsu mutmainnah) dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar. (QS Fāthir 35:32).
[14] Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkan kepada mereka perkataan yang baik. (QS An-Nisā’ 4:5).
[15] Maka mereka mengakui dosanya. Tetapi jauhlah (dari rahmat Allah) bagi penghuni neraka yang menyala-ngala itu. (QS Al-Mulk 67:11).
[16] āmanū wa ‘amilush shōlihāti (beriman dan melakukan kebajikan - perbuatan baik). ( At-Tīn 95:6).
[17] Ta’murūna bil ma’rūfi (menyuruh berbuat yang makruf, agent of development). (Penggal pertama dari QS Āli ‘Imrān 3:110)
[18] wa tanhawna ‘anil munkari (dan mencegah dari berbuat yang mungkar, agent of change). (Penggal pertengahan dari QS Āli ‘Imrān 3:110)
[19] Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnāsi (Kamu ‘umat Islam’ adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia); Ta’murūna bil ma’rūfi (menyuruh berbuat yang makruf, agent of development); wa tanhawna ‘anil munkari (dan mencegah dari berbuat yang mungkar, agent of change); Wa tu’ minūna bilLāhi (serta beriman kepada Allah). (QS Āli ‘Imrān 3:110)
[20] Wa tu’ minūna bilLāhi (serta beriman kepada Allah). (Penggal terakhir dari QS Āli ‘Imrān 3:110)  □□



Referensi:
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/06/gambaran-makna-khalifah.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2014/06/tatanan-masyarakat-dalam-al-quran-vii.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2016/04/pengertian-nilai-hidup-bermasyarakat.html
https://www.nu.or.id/post/read/107333/tiga-level-nafsu-dan-tiga-kelompok-orang-dalam-al-quran
https://bangkitmedia.com/tiga-jenis-nafsu-manusia-dalam-al-quran/
https://brainly.co.id/tugas/6532187#readmore
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2019/02/interaksi-sosial.html
https://tirto.id/arti-penting-menggunakan-akal-menurut-alquran-cpUn
Arti atau terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an diambil dari ALFATIH, Al-Qur’an Tafsir perkata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir. □□□

Blog Archive