ISRA’ - MI’RAJ (2)
Oleh: A. Faisal Marzuki
Hikmah Isra’ Mi’raj
P
|
erintah shalat dalam perjalanan Isra’ dan Mi’raj
Nabi Muhammad saw, kemudian menjadi ibadah wajib bagi setiap umat Islam
dan memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan ibadah-ibadah wajib lainnya.
Sehingga, dalam konteks spiritual-imaniah maupun perspektif rasional-ilmiah,
Isra’ - Mi’raj merupakan kajian yang tak kunjung kering inspirasi dan hikmahnya
bagi kehidupan umat beragama (Islam).
Bersandar pada alasan inilah, Imam Al-Qusyairi
yang lahir pada tahun 376 Hijriyah, melalui buku yang berjudul asli ‘Kitab
al-Mi’raj’, berupaya memberikan peta yang cukup komprehensif seputar kisah dan
hikmah dari perjalanan agung Isra’ - Mi’raj Nabi Muhammad saw, beserta
telaahnya. Dengan menggunakan sumber primer, berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist-Hadits
shahih, Imam Al-Qusyairi dengan cukup gamblang menuturkan peristiwa fenomenal
yang dialami Nabi saw itu dengan
runtut.
Selain itu, buku ini juga mencoba mengajak
pembaca untuk menyimak dengan begitu detail dan mendalam kisah sakral
Rasulullah saw, serta rahasia di balik peristiwa luar biasa ini,
termasuk mengenai mengapa Mi’raj di malam hari? Mengapa harus menembus langit?
Apakah Allah swt berada di atas? Mu’jizatkah Mi’raj itu hingga
tak bisa dialami orang lain? Ataukah ia semacam wisata ruhani Rasulullah saw
yang patut kita teladani?
Bagaimana dengan Mi’raj para Nabi yang lain dan
para wali? Bagaimana dengan Mi’raj kita sebagai Muslim? Serta apa hikmahnya
bagi kehidupan kita? Semua dibahas secara gamblang dalam buku itu.
Dalam pengertiannya, Isra’ - Mi’raj merupakan
perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul saw.
Sehingga peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah yang akan menjadi titik
balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah saw. John Renerd dalam buku “In
the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,” seperti
pernah dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Isra’ - Mi’raj adalah satu dari
tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah saw, selain
perjalanan Hijrah (dari Makkah ke Yatrib kemudian disebut Madinah) dan Haji
Wada. Isra’ - Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam
menempuh kesempurnaan dunia spiritual.
Jika perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah
pada tahun 662 menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan
Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Makkah, maka
Isra’ - Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju Sang Pencipta (Al-Khalik). Isra’ - Mi’raj adalah
perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan
kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah perjalanan
meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.
Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap
pengamal tasawuf. Sedangkan menurut Dr Jalaluddin Rakhmat, salah satu momen
penting dari peristiwa Isra’ - Mi’raj yakni ketika Rasulullah saw
“berjumpa” dengan Allah swt. Ketika
itu, dengan penuh hormat Rasulullah saw berkata, “attahiyatul
mubārakātush shalawatuth thayyibatulillāh” - “Segala penghormatan, kemuliaan,
dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah swt pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullāhi
wabarakātuh”.
Mendengar percakapan ini, para malaikat serentak
mengumandangkan dua kalimah syahadat. Maka, dari ungkapan bersejarah inilah
kemudian bacaan ini diabadikan sebagai bagian dari bacaan shalat.
Selain itu, Seyyed Hossein Nasr dalam buku
‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang
dialami Rasulullah saw saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari
shalat yang di jalankan umat Islam sehari-hari. Dalam artian bahwa shalat
adalah Mi’raj-nya orang-orang beriman. Sehingga jika kita tarik benang
merahnya, ada beberapa urutan dalam perjalanan Rasulullah saw ini.
Pertama,
adanya penderitaan dalam perjuangan yang disikapi dengan kesabaran yang dalam. Kedua, kesabaran yang berbuah balasan dari
Allah berupa perjalanan Isra’ - Mi’raj dan perintah shalat. Ketiga, shalat menjadi senjata bagi
Rasulullah saw dan kaum Muslimin untuk bangkit dan merebut kemenangan.
Ketiga hal diatas telah terangkum dengan sangat
indah dalam salah satu ayat Al-Qur’an, yang berbunyi yang artinya: (45) Dan mohonlah (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.
Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (45) (yaitu)
mereka yang yakin, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan
kembali kepada-Nya. (QS Al-Baqarah 2:45,46)
Mengacu pada berbagai aspek diatas, buku setebal
178 halaman ini setidaknya sangat menarik, karena selain memberikan bingkai
yang cukup lengkap tentang peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi saw, tetapi juga
memuat Mi’raj-nya beberapa Nabi yang lain serta beberapa wali. Kemudian
kelebihan lain dalam buku ini adalah dipaparkan juga mengenai kisah Mi’raj-nya
Abu Yazid al-Bisthami. Mi’raj bagi ulama kenamaan ini merupakan rujukan bagi
kondisi, kedudukan, dan perjalanan ruhaninya menuju Allah swt.
Ia menggambarkan rambu-rambu jalan menuju Allah swt, kejujuran dan ketulusan niat
menempuh perjalanan spiritual, serta keharusan melepaskan diri dari segala
sesuatu selain Allah swt. Maka,
sampai pada satu kesimpulan, bahwa jika perjalanan Hijrah menjadi permulaan
dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan
kaum Muslimin atas kota suci Makkah, maka Isra - Mi’raj menjadi “puncak”
perjalanan seorang hamba menuju kesempurnaan ruhani.
Isra’ - Mi’raj juga
merupakan suatu peristiwa besar yang sekarang oleh sains dan teknologi diakui,
karena ternyata memang demikianlah yang bisa terjadi bahwa Rasulullah saw
benar-benar bergerak dari Makkah ke Palestina, dan kemudian diteruskan ke
Sidratul Muntaha hanya dalam waktu tidak sampai satu malam. Sudut pandang
ilmiahnya bahwa ini adalah peristiwa fenomenal dan kontroversial. Fenomena
sejarah bahwa peristiwa ini belum pernah terjadi dan diyakini takkan pernah
terjadi lagi.
Peristiwa Sangat Fenomenal Dari Segi Sejarah
Peristiwa Isra' - Mi'raj
sangat fenomenal dari segi sejarah, karena
sebelumnya tak pernah terjadi pada manusia. Sebelum Nabi Muhammad saw memang pernah terjadi pada benda.
Benda tersebut bisa berpindah tempat dari satu tempat ke tempat yang jauh dalam
tempo sepersekian detik saja. Itulah peristiwa berpindahnya singgasana Ratu
Balqis dari Kerajaan Saba ke Kerajaan Nabi Sulaiman as. Waktu itu Nabi Sulaiman as
bertanya kepada para stafnya yang ketika itu memang sengaja dikumpulkan
olehnya. Nabi Sulaiman as mengatakan
kepada para stafnya untuk melakukan suatu kejutan terhadap Ratu Balqis yang
ketika itu sedang menuju ke kerajaan Nabi Sulaiman as. Ternyata Nabi Sulaiman as
ingin memindahkan singgasana Ratu Balqis ke kerajaannya. Nabi Sulaiman as bertanya kepada para stafnya siapa
yang bisa melakukan hal tersebut.
Yang mengajukan diri
pertama kali adalah Jin Ifrit. Ditanya oleh Nabi Sulaiman as berapa lama ia bisa memindahkannya. Dijawab oleh Jin Ifrit bahwa
ia bisa melakukannya sebelum Nabi Sulaiman as
berdiri dari tempat duduknya dijamin singgasana itu sudah sampai di hadapannya.
Tentunya hal ini sangat cepat, tapi ternyata Nabi Sulaiman as belum puas akan hal tersebut.
Kemudian Nabi Sulaiman as bertanya lagi kepada para stafnya
siapa yang bisa lebih cepat melakukan hal tersebut. Yang mengajukan diri
kemudian ternyata adalah seorang manusia, yaitu manusia yang menguasai ilmu
dari Al-Kitab. Orang itu kemudian ditanya oleh Nabi Sulaiman as berapa lama ia bisa melakukannya.
Dijawab oleh orang itu bahwa ia bisa melakukannya sebelum Nabi Sulaiman as berkedip lagi. Ternyata memang benar
adanya, sebelum Nabi Sulaiman as berkedip,
singgasana Ratu Balqis sudah berada di hadapannya. Satu kedipan mata berarti
waktunya kurang dari satu detik. Berkaitan dengan Isra’ - Mi’raj, ternyata
perjalanan Nabi Muhammad saw tersebut
terjadi dalam waktu tidak sampai satu kedipan mata pun.
Peristiwa Sangat Fenomenal Dari Segi Sains.
Untuk menjelaskan Isra’ -
Mi’raj, ternyata kita harus menggali ilmu-ilmu mutakhir. Kalau ilmu-ilmu lama
mungkin tak cukup untuk menjelaskan peristiwa Isra’ - Mi’raj. Sehingga di zaman
itu orang memersepsikan bahwa Nabi Muhammad saw melakukan perjalanan
Isra’ - Mi’raj dengan mengendarai Buraq. Buraq itu kemudian ada yang
menggambarkan bentuknya seperti kuda yang bersayap, ada juga yang menggambarkan
bahwa kepala Buraq itu menyerupai manusia, bahkan ada juga yang menggambarkan
kepala Buraq itu berupa wanita cantik. Pemikiran seperti ini tentunya khas abad
pertengahan, karena perjalanan tercepat ketika itu adalah dengan mengendarai
kuda. Tapi kuda pun tak bisa secepat itu. Karena itu digambarkanlah kuda itu
bersayap.
Dengan pendekatan secara
saintifik dapatlah dijelaskan bahwa sebenarnya perpindahan Rasulullah saw
dari satu tempat ke tempat lain pada peristiwa Isra’ - Mi’raj itu terjadi
secara cahaya. Peristiwa Isra’ Mi’raj ini tentunya kontroversial hampir 1500
tahun di kalangan agamawan maupun para saintis karena memang sulit
menjelaskannya. Selalu ada yang tidak percaya, ragu-ragu, dan ada juga yang
meyakininya sejak masa hidupnya Rasulullah saw hingga kini. Yang
ragu-ragu sampai sekarang tentunya masih ada, bahkan di kalangan umat Islam
sendiri. Ketika ditanya apakah perjalanan Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Al-Quds di Palestina itu dengan badannya atau
bukan. Ada yang mengatakan bahwa itu hanya penglihatan saja. Ada juga yang
mengatakan bahwa itu hanya ruh saja. Ada yang mengatakan itu hanya mimpi. Dan
ada yang mengatakan bahwa peristiwa itu memang dialami Nabi Muhammad saw dengan
badannya.
Yang meyakini bahwa
peristiwa Isra’ - Mi’raj itu dialami Nabi Muhammad saw dengan badannya
adalah mengacu kepada Abu Bakar Shiddiq ra.
Ketika itu Abu Bakar ditanya apakah dia meyakini peristiwa tersebut. Lalu
ditanyakan oleh Abu Bakar ra kepada
yang bertanya itu siapa yang menceritakan hal tersebut. Dijawab oleh yang
bertanya kepada Abu Bakar ra itu
bahwa yang menceritakan hal tersebut adalah Nabi Muhammad saw. Dikatakan
oleh Abu Bakar, bahwa kalau Nabi Muhammad saw yang menceritakannya, maka
ia meyakininya, karena Nabi Muhammad saw tak pernah berdusta.
Cara Abu Bakar ra memersepsi mengenai Isra’ - Mi’raj
ini oleh sebagian kalangan dinyatakan bahwa beragama itu tak perlu berpikir.
Padahal jika dicermati bahwa sebenarnya ketika itu Abu Bakar ra berpikir dahulu, karena ia menanyakan
bahwa siapakah yang menceritakan hal tersebut. Kalau memang Nabi Muhammad saw
yang menceritakannya, maka ia meyakini kebenaran yang diceritakan oleh Nabi
Muhammad saw itu. Tapi kalau yang menceritakannya bukan Nabi Muhammad saw
tentunya Abu Bakar ra takkan langsung
meyakini kebenaran cerita tersebut. Jadi dalam beragama memang kita harus
berpikir, janganlah ikut-ikutan saja. Perintahnya sangat jelas di dalam Al-Qur’an
yang artinya: Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu
yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani,
semua itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isrā’ 17:
36)
Logika Keputusasaan Isra'- Mi'raj
Selama ini dalam menceritakan Isra’ - Mi’raj
kalau kita sudah buntu, maka kita katakanlah bahwa kalau Allah swt menghendaki, maka semuanya bisa saja
terjadi. Kita takkan mendapatkan pelajaran apa-apa dengan cara berpikir seperti
ini. Padahal peristiwa apapun yang diturunkan oleh Allah swt, maka di dalamnya selalu ada pelajaran untuk kita. Allah swt berfirmanyang artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian
malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal
(Ulil Albab). (QS Āli ’Imrān 3:190)
Kita diperintahkan untuk
menjadi Ulil Albab, yaitu orang yang menggunakan akalnya memahami segala
peristiwa, sehingga ada pelajaran dari setiap peristiwa tersebut.
Skenario Isra' - Mi'raj dan Tafsir Fisik
Perjalanan Isra’ -
Mi’raj itu terdiri dari dua etape. Satu etape mendatar (horizontal),
sedangkan satunya lagi adalah etape vertikal ke langit ketujuh. Etape
mendatarnya diceritakan di dalam surah Al-Isrā’ ayat pertama yang artinya: Maha Suci (Allah), yang telah memerjalankan hamba-Nya (Muhammad)
pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar, Maha Melihat.
(QS al-Isrā’ 17:1)
Dalam tinjauan Agus Mustofa (2006:11),
setidak-tidaknya ada delapan kata kunci yang menjadi catatan penting dan
menuntut pemahaman kita menembus batas-batas langit untuk menafsir perjalanan
kontroversial ini. Baiklah, jika kita mencoba untuk menguraikan makna kata-kata
tersebut, maka akan menjadi seperti ini:
Pertama, ayat ini dimulai dengan kata subhānalladzī. Kata subhānallāh diajarkan kepada
kita untuk diucapkan pada saat kita menemui peristiwa yang menakjubkan, yang
memesona, yang hebat, yang luar biasa. Artinya, dengan memulai cerita
itu menggunakan kata subhānalladzī sebenarnya Allah menginformasikan bahwa cerita yang akan
diceritakan tersebut bukanlah cerita yang biasa, melainkan cerita tersebut
adalah cerita yang luar biasa dan menakjubkan.
Kedua, yaitu kata asrā. Penggunaan kata asrā memiliki beberapa makna. Yang pertama
bahwa itu adalah perjalanan berpindah tempat.
Jadi penggunaan kata ini mengcounter pemahaman ataupun kesimpulan yang
menyatakan bahwa pada perjalanan tersebut Rasulullah saw tidak berpindah
tempat. Yang kedua maknanya bahwa pada perjalanan itu Rasulullah saw diperjalankan, bukanlah berjalan sendiri, dan
bukan juga atas kehendak sendiri, karena peristiwa ini terlalu dahsyat untuk
bisa dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw.
Ketiga, yaitu kata ’abdihi
yang artinya adalah hamba Allah. Hamba
terhadap majikan adalah seorang yang tak berani membantah, taat, seluruh
hidupnya diabdikan untuk majikannya, untuk Tuhannya. Yang bisa mengalami
perjalanan hebat ini bukanlah manusia yang kualitasnya sembarangan, melainkan
manusia yang kualitasnya sudah mencapai tingkatan hamba Allah, yaitu manusia
seperti Nabi Muhammad saw. Karena itulah, kita mungkin tidak bisa
menerima ketika Nabi Muhammad saw digambarkan mendapat perintah shalat
50 waktu, kemudian beliau menawar perintah tersebut kepada Allah swt. Anjuran tawar-menawar itu datangnya
dari Nabi Musa as yang menurut
pengalaman dengan umatnya yang begitu keras dan alot serta suka membantah. Jadi
kalau diterima, di kemudian hari menjadi masalah. Digambarkan bahwa
tawar-menawar itu terjadi hingga sembilan kali Nabi Muhammad saw bolak-balik
menemui Allah swt, yang akhirnya
perintah shalat fardu yang diterima Nabi Muhammad saw menjadi lima waktu
sehari semalam. Boleh jadi Rasullullah saw tidak masalah, tapi kan juga
untuk umat, apalagi umat masa mendatang, seperti sekarang ini. Tentang hal ini
Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana, dan telah pula memperkenankan permohonan
Rasul saw.
Keempat, yaitu kata laylan
yang artinya adalah perjalanan malam di waktu malam.
Hal ini menunjukkan sebagai penegasan bahwa perjalanan malam itu tidak
sepanjang malam, melainkan cuma sebagian kecil dari malam. Sehingga
diriwayatkan di beberapa Hadits, bahwa ketika Rasulullah saw berangkat
dari rumah meninggalkan pembaringan, kemudian menuju ke Masjidil Haram, dan
kemudian terjadi peristiwa Isra’ - Mi’raj tersebut. Ketika Rasulullah saw
kembali lagi ke rumahnya, ternyata pembaringannya masih hangat. Hal ini
menunjukkan bahwa ketika itu beliau tidak lama meninggalkan rumahnya. Di Hadits
yang lain juga diceritakan, bahwa ketika Rasulullah saw meninggalkan
rumahnya, beliau menyenggol tempat minumnya kemudian tumpah, dan ternyata
ketika Rasulullah kembali lagi ke rumahnya, air dari tempat minum yang
disenggolnya itu masih menetes. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya Isra’ - Mi’raj
yang dialami Rasulullah saw itu
berlangsung dalam waktu yang sebentar dan cepat.
Bayangkanlah, perjalanan
semalam saja masih sulit diterima, apalagi perjalanan yang hanya sekejap yang
itu mungkin hanya beberapa menit, atau mungkin hanya beberapa detik.
Kelima, minal
masjidil harāmi ilal masjidil aqshā - dari Masjidil Haram (di Makkah) ke Masjidil Aqsa (di Baitul Maqdis).
Mengapa perjalanan Rasulullah saw
ini dari masjid ke masjid? Mengapa pula tidak dari rumahnya atau dari
Gua Hira ke tujuan lain yang bukan masjid - dari tempat yang bukan masjid ke
tempat lain yang bukan masjid juga?
Patut diketahui, bahwa masjid adalah tempat yang
menyimpan energi positif sangat besar. Dengan kamera aura yang bisa memfoto dan
memvideokan sesuatu, jika ada orang yang sedang berzikir ataupun membaca Al-Qur’an,
ternyata orang tersebut memancarkan cahaya yang terang benderang. Berbeda
halnya dengan orang yang sedang marah, depresi, ataupun stress, maka orang
tersebut akan memancarkan cahaya berwarna merah. Warna aura ini bertingkat,
yaitu dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, sampai warna putih.
Setiap kita memancarkan energi. Akan terpancar energi dari setiap aktivitas
yang kita lakukan, dan energi itu menancap di tempat kita berada ketika itu.
Energi itu membekas, sehingga seluruh aktifitas kita akan terekam. Allah
berfirman yang artinya: Tidak ada suatu kata yang ucapkannya
melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).
(QS Qāf 50:18)
Raqib dan Atid kemudian
dijadikan sebagai nama malaikat yang mencatat amal kebaikan dan keburukan.
Rekaman tersebut di ruang tiga dimensi, dan suatu ketika akan diputar lagi.
Allah swt berfirman yang artinya: Sungguh, kamu dahulu lalai tentang (peristiwa) ini, maka
Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari
ini sangat tajam. (QS Qāf 50:22)
Di pengadilan akhirat itu, manusia akan bisa
melihat seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia.
Masjid mengandung energi
positif sangat besar, terutama masjid yang sering digunakan sebagai tempat
beribadah. Semakin sering, semakin banyak, dan semakin khusyu’, maka energinya
akan semakin besar. Rasulullah saw berangkat dari masjid menuju ke
masjid. Terminal keberangkatannya di masjid.
Keenam, bāraknā
hawlahū - yang telah Kami berkahi
sekelilingnya. Allah memberkati sepanjang perjalanan itu, hal ini karena
perjalanan itu memang membahayakan. Dengan keberkahan Allah kondisi Nabi saw
tetap membaik.
Ketujuh, linuriyahū
min āyātinā - agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Dalam perjalanan
Isra’ - Mi’raj ketika itu Rasulullah saw
ditunjukkan berbagai peristiwa. Mengapakah bisa seperti itu, sedangkan itu
adalah waktu yang sangat singkat. Itulah yang disebut sebagai relativitas
waktu, yaitu ada perbedaan waktu antara orang yang berkecepatan tinggi dengan
orang yang berkecepatan rendah. Kita mengetahui, bahwa antara orang yang tidur
dengan orang yang sadar (terjaga) itu waktunya berbeda. Misalnya, ada yang
tiba-tiba terlelap tidur yang itu hanya sebentar (mungkin hanya beberapa
detik), lalu yang tertidur itu dibangunkan. Yang tertidur itu pun terbangun,
lalu ia bercerita baru saja ia bermimpi. Ceritanya itu begitu panjang,
seakan-akan mimpinya itu sangat lama, padahal ia hanya tertidur beberapa detik
saja. Begitupun dengan Rasulullah saw, meskipun perjalanan yang
dialaminya itu hanya berlangsung sepersekian detik, tetapi beliau ditampakkan
berbagai macam peristiwa oleh Allah swt.
Hal ini karena yang memberjalankan Rasulullah saw adalah Allah swt yang tak lain adalah ‘Zat’ Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat serta Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Kemahamendengaran dan Kemahamelihatan Allah itu ditularkan kepada Nabi Muhammad
saw (karena Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu yang dikehendaki-Nya), sehingga kemampuan Rasulullah
saw untuk melihat dan mendengar menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Kedelapan, kata kunci yang terakhir
(kedelapan) adalah innahū huwas samī’ul
bashīr - sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Ini adalah proses penegasan informasi kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat
ini, seakan-akan Allah ingin memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang
telah Dia (Allah) ceritakan dalam ayat ini adalah benar adanya. Kenapa? Karena
berita ini datang dari Allah swt,
Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat serta Maha Kuasa atas segala
sesuatu. Maka tak perlu ada keraguan tentang kisah fenomenal ini (Mustofa,
2006:41).
Selanjutnya mengenai Mi’raj diceritakan dalam
Al-Qur’an Al-Karim pada Surah An-Najm yang artinya: (14)
(yaitu) di Sidratil Muntahā, [1] (15)
di dekatnya ada surga tempat tinggal, (16) (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntahā diliputi oleh sesuatu
yang meliputinya, (17) Penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang
dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (18) Sungguh, dia telah melihat
sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (QS
An-Najm 53:14-18)
Di dekat Sidratul Muntaha, Rasulullah saw
menyaksikan Surga. Tentunya tidak sembarangan orang yang bisa menyaksikan
Surga, karena sudut pandangnya harus tertinggi di alam semesta ini. Dari dunia
tidak kelihatan, kalaupun kelihatan hanya sebagian. Jadi, kalau kita merasakan
kebahagiaan, maka hal itu mungkin kita telah mendapatkan kebahagiaan Surga,
namun hanya sedikit sekali perbandingannya, mungkin bagaikan setetes air
dibandingkan dengan samudera, itu pun setetes airnya dibagi lagi tak berhingga.
Sebaliknya kalau kita menderita, maka itu adalah penderitaan neraka, namun
skalanya tak berhingga.
Lantas ke manakah Rasulullah saw melanglang buana? Menyeberangi
langit ataukah beliau langsung masuk ke Sidratul Muntaha yang ilmu pengetahuan
sains tidak tahu persis di mana letaknya.
Betapa besarnya langit
angkasa semesta. Apakah langit? Langit adalah seluruh ruangan alam semesta ini.
Matahari dikelilingi oleh planet-planet, bumi tempat kita tinggal adalah
termasuk salah satu planet yang mengitari matahari. Matahari yang tadinya
kelihatan besar, semakin jauh kita lihat maka semakin kecil. Ketika matahari
yang kita terlihat itu semakin kecil, maka biasanya kita tidak lagi menyebutnya
matahari, melainkan kita menyebutnya bintang.
Matahari itu ternyata demikian banyaknya, seluruh bintang-bintang itu sebenarnya adalah matahari. Diperkirakan jumlahnya trilyunan. Matahari-matahari (bintang-bintang) itu bergerombol membentuk galaksi. Galaksi adalah gerombolan matahari (bintang), di tengahnya ada matahari yang lebih besar, dan di sekitarnya ada sekitar 100 milyar matahari (bintang).
Bintang-bintang itu bergerombol mengitari pusatnya membentuk suatu galaksi. Galaksi tempat bumi dan matahari kita berada adalah galaksi Bimasakti. Di sebelah galaksi Bimasakti ada galaksi Andromeda yang isinya diperkirakan juga 100 milyar matahari. Galaksi-galaksi itu diperkirakan trilyunan jumlahnya. Para ahli astronomi bahkan sampai kehabisan nama untuk menyebut galaksi karena saking banyaknya.
Galaksi-galaksi itu
ternyata bergerombol-gerombol lagi membentuk gerombolan yang lebih besar yang
dinamakan sebagai supercluster. Isinya diperkirakan 100 milyar galaksi. Apakah
supercluster adalah benda terbesar dan terjauh di alam semesta, hingga kini
belum ada yang mengetahuinya.
Jarak bumi ke matahari
adalah 150 juta kilometer. Kalau dilewati cahaya maka dibutuhkan waktu 8 menit.
Jadi, kalau kita melihat matahari terbit yang sinarnya sampai ke mata kita,
maka cahaya yang sampai ke mata kita itu sebetulnya bukanlah matahari sekarang,
melainkan matahari 8 menit yang lalu. Cahaya matahari itu berjalan selama 8
menit barulah sampai ke mata kita. Sementara bintang kembar (Alpha Century)
jaraknya dari bumi adalah 4 tahun perjalanan cahaya. Kalau kita melihat bintang
kembar pada malam hari, maka sebetulnya itu bukanlah cahaya bintang kembar saat
itu, melainkan bintang 4 tahun yang lalu. Di belakangnya lagi ada bintang yang
berjarak 10 tahun perjalanan cahaya. Bayangkanlah kalau kita mau menuju bintang
berjarak 10 tahun cahaya menggunakan pesawat tercepat yang dimiliki manusia,
misalnya menggunakan pesawat ulang alik yang kecepatannya 20 ribu kilometer per
jam. Apakah yang kemudian terjadi? Ternyata dibutuhkan waktu 500 tahun untuk
sampai ke bintang tersebut.
Ternyata bumi kita ini
bukanlah benda besar di alam semesta, melainkan benda yang sangat kecil. Di
belakang bintang berjarak 10 tahun cahaya ada bintang berjarak 100 tahun
cahaya, di belakangnya lagi ada yang berjarak 1000 tahun cahaya, yang berjarak
1 juta tahun cahaya, dan juga yang berjarak 1 milyar tahun cahaya. Yang terjauh
diketahui oleh ilmuwan Jepang yaitu yang berjarak 10 milyar tahun cahaya. Jadi,
bumi kita ini hanyalah sebutir debu di padang pasir alam semesta raya.
Jadi, manusia adalah
debunya bumi, bumi debunya tata surya, tata surya debunya galaksi Bimasakti,
galaksi Bimasakti debunya supercluster, supercluster debunya langit pertama,
karena langit itu ada tujuh (sab’a
samawāti). Ilmu astronomi hanya mengetahui langit itu satu, tapi Al-Qur’an
mengatakan langit itu ada tujuh, karena menurut Al-Qur’an bahwa langit yang
kita kenal itu yang banyak bintang-bintangnya barulah langit dunia (langit
pertama). Allah swt berfirman yang
artinya: Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia
(yang terdekat) dengan hiasan bintang-bintang, [QS Ash-Shāffāt 37:6]
Sudah sedemikian
besarnya langit pertama, ternyata langit pertama adalah debunya langit kedua,
karena langit kedua itu besarnya tak berhingga kali dibandingkan langit
pertama. Langit ketiga besarnya tak berhingga kali dibandingkan langit kedua.
Begitu seterusnya setiap naik ke langit selanjutnya selalu tak berhingga kali
besarnya dibandingkan langit sebelumnya, hingga langit ketujuh tak berhingga
kali dibandingkan langit keenam, serta tak berhingga pangkat tujuh dibandingkan
langit pertama.
Jadi, langit pertama
adalah debunya langit kedua, langit kedua debunya langit ketiga, seterusnya
hingga langit ketujuh, dan seluruh langit yang tujuh beserta seluruh isinya
hanyalah debu atau lebih kecil lagi di dalam kebesaran Allah. Beginilah cara Al-Qur’an menggiring pemahaman kita
tentang makna Allahu Akbar. Semestinya - menurut Al-Qur’an, bahwa belajar
mengenal Allah swt itu adalah dari
seluruh ciptaan-Nya. Dengan begitu kita akan mengetahui betapa Maha Besarnya
Dia, betapa Maha Menyayangi, Maha Teliti, Maha Berkuasa, Maha Berkehendak, tak
cukup hanya dari lafaznya, karena kita takkan mendapatkan rasa yang
sesungguhnya.
Bayangkanlah betapa Rasulullah saw
melakukan perjalanan menuju langit ketujuh. Sebetulnya Rasulullah saw
berjalan ke langit ketujuh itu apakah melintasi ruang angkasa atau tidak?
Kalaupun badan Rasulullah saw diubah
menjadi cahaya, maka dari bumi menuju bintang Alpha Century yang berjarak 4
tahun cahaya, maka Rasulullah saw membutuhkan waktu 4 tahun untuk sampai
ke bintang Alpha Century, untuk menempuh yang berjarak 10 tahun cahaya
dibutuhkan waktu 10 tahun, untuk menempuh yang berjarak 10 milyar tahun cahaya
dibutuhkan 10 milyar tahun. Sepertinya
Rasulullah saw tidak melewati
ruang angkasa, melainkan ada ruangan langsung yang tidak ke sana (tidak ke
ruang angkasa) tetapi memahami semua itu. Di manakah itu?
Ternyata langit kedua terhadap langit pertama
tidak bertumpuk seperti kue lapis (dalam konteks Mi’raj-nya Rasulullah saw).
Sering kita berpendapat dari cerita-cerita klasik bahwa Nabi Muhammad saw
dan malaikat Jibril as menuju ke
langit ketujuh dengan cara naik menggunakan tangga, kemudian bertemu langit
yang digambarkan seperti langit-langit, kemudian di situ ada pintunya dan ada
penjaganya. Lalu Malaikat Jibril as dan
Nabi Muhammad saw ditanya mau ke mana oleh si penjaga langit. Dijawab
oleh Malaikat Jibril as dan Nabi
Muhammad saw bahwa akan bertemu dengan Allah swt. Kalau begitu, berarti Allah swt itu jauh sekali. Padahal di dalam Al-Qur’an digambarkan bahwa
Allah swt itu dekat, dan Nabi
Muhammad saw mengetahui itu. Allah swt
berfirman yang artinya: Dan sungguh, Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. (QS Qāf 50:16)
Bahkan dinyatakan juga
di dalam Al-Qur’an yang artinya: Dan milik Allah
timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh,
Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah 2:115)
Timur dan Barat milik
Allah. Ke manapun kita menghadap, maka kita berhadapan dengan Allah swt, karena Allah swt sedang meliputi kita. Dan Rasulullah saw tahu persis
akan hal itu. Jadi untuk bertemu Allah swt
tak perlu ke Sidratul Muntaha. Dan memang Rasulullah saw ke Sidratul
Muntaha bukanlah untuk menemui Allah swt,
karena Allah swt sudah meliputi
Rasulullah saw, juga meliputi kita semua di manapun kita berada. Bersambung
ke (klik --->) Hikmah Isra’ Mi’raj 3. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Sidratil Muntahā yaitu tempat yang paling atas pada langit yang
ke-7, yang telah dikunjungi Nabi saw
ketika Mi’raj. □□