Tuesday, May 14, 2019

Balasan Sesuai Amal





BALASAN SESUAI AMAL
DALAM BERMASYARAKAT
Oleh: A. Faisal Marzuki


“lahā mā kasabat wa 'alaihā maktasabat.” Artinya: Dia (manusia) mandapat (pahala, kebahagian hidup) dari kebajikan yang dikerjakan - sebagai agents of development, dan sebagai agents of change, dan dia (manusia) mendapat (dosa, kesengsaraan hidup) dari (kejahatan, kerusakan) yang diperbuatnya. [QS Al-Baqarah 2:286]

“wa idzā qīlalahum lā tufsidū fil ardhi qōlū innamā nahnu mushlihūn. alā innahum humul mufsidūn walā killā yas’urūn”. Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka “jangan berbuat kerusakan di bumi!” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari. [QS Al-Baqarah 2:11-12]



PENDAHULUAN

K
osa kata ‘amal’ ini berasal dari bahasa Arab yang sudah menjadi bahasa Indonesia. Ditulis dalam ejaan Arabnya عَمَلَ. Arti kata amal ini adalah mengamalkan, berbuat, bekerja. Dipertegas lagi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) artinya perbuatan, perbuatan mana bisa baik atau buruk.


Amal Atau Perbuatan Yang Baik

Ia dihormati orang, karena amal yang diberikan  dirasakan baik atau bermanfaat bagi penerima - bukan karena kedudukan atau kekayaannya, tapi siapa saja yang melakukan amal (perbuatan) baik. Amal atau perbuatan baiknya itu mendatangkan pahala - menurut ajaran agama Islam, karena bermanfaat untuk sesama manusia. Contoh: berbuat amal kepada fakir miskin (orang yang kekurangan atau tidak mampu yang memerlukan bantuan) dengan memberikan santunan infak atau sedekah.

Amalan atau perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk berbuat kebaikan terhadap masyarakat atau sesama manusia dihargai, karena kepeduliannya bermanfaat.


Amal atau Perbuatan Yang Buruk

Ia tidak dihormati orang karena amalnya yang dirasakan buruk (merugikan, tidak bermanfaat) yang diberikan oleh pelaku amal terhadap penerima amal - bukan karena kedudukan atau kekayaannya, tapi siapa saja yang perbuatannya dirasakan buruk oleh penerimanya. Buruk disini artinya tidak memberi manfaat sama sekali atau merugikannya. Amal atau perbuatan buruknya itu mendatangkan dosa - menurut ajaran agama Islam. Contoh: berbuat amalan buruk kepada fakir miskin dengan tidak memberikan infak atau sedekah padahal dia mampu untuk itu. Amalan atau perbuatan seperti itu merugikan masyarakat atau sesama manusia yang mesti saling tolong menolong.


Seumpama Pelukis

Boleh kita umpamakan manusia itu sebagai ‘pelukis’. Pekerjaan pelukis merupakan refleksi dari dirinya sendiri yang dituangkan diatas kertas atau kanvas dengan menggunakan pensil atau kuas dan pewarana. Pelukis  melukis sesuai dengan apa yang ia mau lukis. Ia berkuasa untuk melukis apa yang ia maui baik bentuk maupun warnanya. Tapi dan umumnya, baik atau tidaknya si pelukis tergantung dari rasa orang yang melihatnya. Jadi amalan yang dilakukan pelukis dirasakan oleh orang lain. Baik atau tidaknya atau indah atau tidaknya oleh orang lain yang menilainya.


AMAL PERBUATAN DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM

T
injauan tersebut diatas adalah berdasarkan tinjauan akal sehat, karena manusia dalam hidup dan menjalankan hidup diberi akal dan hati. Akal untuk menimbang dengan kecerdasan, hati untuk merasa dengan kesadaran. ‘Akal’ yang baik sering di sebut ‘akal sehat’ atau ‘akal plus hati’ (akal hati). Potensi ‘akal’ [1] seperti itu telah ‘built-in’ ada dalam diri setiap makhluk manusia.  Tergantung manusianya, menggunakan atau tidak.

Jangan lupa! Bahwa baik buruknya tergantung dari orang yang merasakannya. Acap kali (jika tidak terdidik dengan moral integritas atau akhlaqul karimah) cenderung subjektif. Tidak semua berlaku umum. Terutama dalam penilaian oleh manusia yang berakal sehat. Kalau alam kauniyyah atau alam semesta perilakunya, tetap, berulang. Salah satu contoh alam kauniyyah adalah matahari. Matahari terbit dan terbenam - siang dan malam. Berulang tetap berlaku seperti itu. Kalau tidak terlihat terbit, karena di halangi awan tebal yang sebenarnya sudah terbit. Dengan itu dapat diukur dan terukur. Selanjutnya dapat dirumuskan hukumnya, hukumnya objektif. Dapat diramalkan dengan pasti. Dengan itu melahirkan sains dan tekonologi.

Lain halnya dengan manusia sering objektifitasnya relatif, disebabkan ada kepentingan (interest) diri atau kelompok dan hawanafsu. Objektifitasnya menjadi bias. Biasanya untuk membenarkan kemauan atau perilakunya dimanipulasi dulu, sehingga kesimpulannya yang benar itu sebenarnya tidak benar. Disini ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan yang dengan itu rasa keadilan tidak tercerminkan.

Kejadian ini bisa terjadi karena orang itu tidak jujur dan rasa adilnya tidak ada. Tiga (3) ditambah dua (2) sama dengan lima (5), perbuatannya adil (tepat, cocok, dan shahih). Data yang masuk setelah dihitung dari 2 warna ada terkumpul yang berjunlah lima (5) itu. Tapi, merahnya ada dua (2) ditulis tiga (3), sedang yang putihnya ada tiga (3) ditulis 2, ini namanya tidak jujur. Disebut juga curang. Untuk itulah perlu adanya penegakkan keadilan dan kejujuran. Namun (ada yang berperilaku) tidak perduli. Budaya seperti itu disebut budaya jahiliyah. Dengan budaya jahiliyah, peradaban tidak akan pernah ada.

Jadi suatu masyarakat atau bangsa itu tidak akan berkembang menjadi maju, karena pada gilirannya yang kalah atau yang dirugikan itu pada suatu waktu akan merebut kembali. Begitu seterusnya gonta ganti, rebut merebut, masyarakat (bangsa) itu menjadi lemah. Kemelut terus terjadi, dengan itu kapankah majunya masyarakat atau bangsa itu? Bisa-bisa kedaulatan kita diganggu, karena ada intervesi dari luar. Jadilah kita dijajah kembali sebagai bentuk penjajahan gaya baru. Berdaulat (boneka) yang tidak berdaulat. Mautah kita seperti itu?

Sejak adanya manusia di bumi terjadi cobaan hidup.  Dimulai generasi pertama dan seterusnya sampai kini, selalu terjadi ujian kepada manusia.  Yaitu apakah manusia itu benar-benar manusia yang sebenarnya atau tidak? Padahal Allah Pencipta alam semesta dan manusia Yang Mahatahu kelebihan dan kekurangan manusia (blue print manusia ada ditangan-Nya) telah memberikan petunjuk untuk menghindarinya, yaitu bahwa jangan terperangkap dengan kesalahan dan sesungguhnya manusia mesti berlaku adil dan beramal baik. [2] [3] Manusia yang sebenar-benarnya adalah ditentukan oleh perilakunya yang berakhlak baik. [4] Diperingatkan bahwa semestinya kehidupan manusia sejak lahir sampai matinya berlaku dan beramal baik dan bersikap ta’aruf sesama manusia. [5]

Yaitu beribadah [6] kepada Allah Pencipta Alam Semesta, habblum minAllāh. Sebagai khalifah-khalifah untuk membangun peradaban manusia yang memakmurkan kehidupan di bumi. [7][8] Karena manusia tidak hidup sendiri, melainkan ada manusia lain dan lingkungan hidupnya, habblum min-Nās. Maka potensi bermasyarakat dan alam lingkungan ini diperlukan budaya interaksi positif pula yaitu saling ta’ruf (respek), [5] berkoordinasi dalam membangun dan memakmurkan hidupnya [7] sebagai tantangan hidupnya. Membangun dan memakmurkan tidak terjadi dengan sendirinya, tapi mesti dikerjakan manusia sendiri, dan pasti terjadi, asal mau. Itulah sunatullah, mengerjakan dengan niat karena Allah bernilai ibadah pula. Potensi itu eksis, sejak dari dulu.

Dalam ukuran bangsa yang bukan nomaden (pengembara), yaitu bangsa yang selalu berpindah-pindah yang dengan itu tidak perlu membangun kota-kota tempat tinggal. Setelah itu, pengganti dari bangsa-bangsa yang berpindah-pindah menjadi menetap disuatu tempat. Dengan itu mereka perlu membangun kota dengan bangunan rumah-rumah. Pada kota tersebut ada tempat tinggal, ada pasar, ada pekerja yang bekerja, ada yang bertani, ada pembeli dan penjual, ada yang memproduksi keperluan hidup, ada jalan umum. Dengan itu diperlukan kehidupan yang tertib, terjaga keamanan, ada pemimpin dan pengurus kota dst, maka perlu ada keteraturan yang diatur dalam aturan hidup dalam kota.

Dengan ada perkembangan kota-kota seperti itu, dalam catatan sejarah disebut kemunculan peradaban. Peradaban awal yang muncul pertama kali itu ada di Mesopotamia Hulu (3500 SM), diikuti dengan peradaban Mesir di sepanjang sungai Nil (3300 SM) dan peradaban Harappa di lembah sungai Indus (pada masa kini merupakan wilayah Pakistan; 3300 SM). Sekarang Peradaban yang maju ada di Barat, Eropa dan eks Eropa (abad modern), Sebelumnya di Timur, Islam (abad tengah).


PENUTUP

H
idup di zaman modern ini beda dengan sebelumnya. Dulu sistim pemeritahan adalah kerajaan. Dalam sistim kerajaan tidak ada demokrasi. Yaitu pimpinan bangsa itu ditentukkan oleh raja dan keturunannya. Setelah rajanya meninggal, diteruskan oleh anak keturunannya, demikian seterusnya. Raja tidak perlu dipilih lagi, karena merupakan hak keturunannya.

Namun di zaman modern ini tidak. Karena pimpinan negara ditentukan oleh hasil pemilihan rakyat. Pemimpin bekerja untuk (kesejahteraan) rakyat.  Maka rakyatlah yang menentukan pilihannya. Pemimpin bangsa ini disebut Presiden atau Perdana Menteri. Kedudukan pemimpin bangsa ini berbatas waktu. Setelah masa temponya boleh dipilih lagi, umumnya selama 2 kali jabatan, kalau itu tract record-nya baik.

Negara ketiga, dulunya negara koloni (jajahan) Eropa belum terbiasa dengan sistim demokrasi. Karena menjalankan demokrasi itu memerlukan tract record calon pemimin tercatat dan dapat dilihat kepemimpinannya dan moral integritasnya. Dan inti dari demokrasi adalah berjalan dengan jujur, tidak ada kecurangan. Kalau tidak terpilih ya secara jujur legowo atau satria. Demokrasi yang baik adalah demokrasi yang calonnya pada dasarnya berlandaskan moral integritas yang baik yaitu jujur dan bertanggung jawab serta satria dan tentunya juga mempunyai program, visi dan misi bagi kemakmuran rakyatnya serta menjaga teritorial tanah airnya dari bangsa asing yang mencoba menguasainya. Kemudian para penegak hukum seperti polisi, ahli hukum, badan pemilihan, pengawasan pemilihan dan para politisinya juga mesti mempunyai moral integritas yang baik pula. Karena ‘Balasan (Hasil) Amal, Sesuai dengan Amal (para pelakunya)’. ‘Baik Pelakunya, Baik Pula Hasilnya’. Semoga yang tidak baik jangan terjadi, karena konsekuensinya sangat berat [9][10] bagi rakyat NKRI ini. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. □ AFM



Catatan Kaki:
[1] Segala puji bagi Allāh ‘Azza wa Jalla, yang telah built-in’ (menganugerahkan) ‘hati’  kepada umat manusia, yang dengan ‘hati’ itu mereka menjadi berakal (akal bekerja), mampu berfikir, merenung, dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Allāh ‘Azza wa Jalla berfirman: وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ Artinya: Dialah yang menjadikan kalian memiliki pendengaran, penglihatan, dan hati, supaya kalian bersyukur [QS An-Nahl 16:78]
Ibnu Katsīr rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Allāh ‘Azza wa Jalla memberikan mereka telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan hati -yakni akal yang tempatnya di hati - untuk membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan. Dan Allāh ‘Azza wa Jalla memberikan umat manusia kenikmatan-kenikmatan ini, agar dengannya mereka dapat beribadah kepada Rabb-nya.”
Perlu diketahui bahwa sebagian Ulama membagi akal menjadi dua jenis yaitu akal insting dan akal tambahan. Akal insting adalah kemampuan dasar manusia untuk berfikir dan memahami sesuatu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan akal tambahan adalah kemampuan berfikir dan memahami, yang dibentuk oleh pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika dua akal ini berkumpul pada seorang hamba, maka itu merupakan anugerah besar yang diberikan oleh Allāh kepada hamba yang dikehendaki-Nya, urusan hidupnya akan menjadi baik, dan pasukan kebahagiaan akan mendatanginya dari segala arah. [Miftâhu Dâris Sa’ādah, 1/117]
Tentunya adanya pembedaan dua jenis akal di atas, tidak berarti adanya pemisah antara akal insting dengan akal tambahan. Karena akal tambahan pada dasarnya adalah akal insting yang telah berkembang seiring bertambahnya ilmu dan pengalaman yang diperoleh seseorang. Bisa dikatakan, bahwa akal tambahan melazimkan adanya akal insting. Sebaliknya, sangat jarang adanya akal insting yang tidak berkembang seiring berjalannya waktu, wallahu a’lam.
[2] innal lāha ya’-muru bil-’adli wal ihsāni. Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (memerintahkan kamu): ● Berlaku adil (adli) dan ● Berbuat ihsan (kebajikan). [QS An-Nahl 16:90]
[3] “alladzī khalaqolmauta walhayāta liyab-luwakum ayyukum ahsanu amala”. Artinya Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. [QS Al-Mulk 67:2]
[4] “innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq”. Artinya: Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik).” [HR Al-Bukhari].
Pada sebagian riwayat: لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ Artinya: “Untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Salah satu tujuan dari penciptaan jin dan manusia adalah hanya untuk menyembah Allah (“Wama Kholaqtu- lJinna walInsa Illa liya’budun”) dan tujuan diturunkannya Al-Qur’an dan Rasulullah saw adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. (“Innama bu’itstu liutammima makarimal Akhlaq”) Ajaran Islam sangat menjunjung tinggi urgensi akhlaqul karimah dalam rotasi kehidupan dunia, implikasinya adalah amar ma’ruf dan nahi munkar. Sesungguhnya akhlak bertalian dengan adab, etika, sopan santun, rasa hormat, ketaatan. Akhlak adalah harta yang sangat berharga dalam pertalian norma - norma kehidupan manusia. Maknanya adalah bahwa “Menebarkan rahmat dan memperbaiki akhlak itulah misi utama Nabi Muhammad saw, membangun kesalehan sosial yang dengan itu artinya membangun peradaban.
[5] Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu TA’ARUF (saling kenal mengenal, artinya kemauan orang yang siap hidup bersama dengan orang atau bangsa lain dalam ‘perbedaan’). [QS Al-Hujurāt 49:13].
Prinsip TA’ARUF ini meliputi: Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf yakni saling mengenal; (T) Tafahum yakni saling memaklumi latar belakang hidup, keyakinan dan pandangan hidup; namun dapat melakukan (T) Ta’awun yakni kerja sama dalam masalah hubungan sesama manusia; (I) Itsar yakni tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi.
[6] Allāh Ta’ālā berfirman: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ Artinya: Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Nya. (bertaqwa hanya kepada-Nya, mengikuti petunjuk-Nya, perintah-Nya, menyembah-Nya)”. (QS Adz-Dzāriyāt 51:56).
[7] Dia menciptakan kamu dari bumi [5] dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya. [QS Hūd 11:61]
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu (olah, gunakan, manfaatkan) [QS Al-Baqarah 2:29]
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang ada di langit dan apa yang di bumi”. [QS Luqmān 31:20]
[8]wahuwal ladzī ja’alakum khalā-ifal ardhi. Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah (para mandataris-Nya) di bumi [QS Al-An’ām 6:165]
[9] “lahā mā kasabat wa 'alaihā maktasabat.” Artinya: Dia (manusia) mandapat (pahala, kebahagian hidup) dari kebajikan yang dikerjakan - sebagai agents of development, dan sebagai agents of change, dan dia (manusia) mendapat (dosa, kesengsaraan hidup) dari (kejahatan, kerusakan) yang diperbuatnya. [QS Al-Baqarah 2:286]
[10] “wa idzā qīlalahum lā tufsidū fil ardhi qōlū innamā nahnu mushlihūn. alā innahum humul mufsidūn walā killā yas’urūn”. Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka “jangan berbuat kerusakan di bumi!” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari. [QS Al-Baqarah 2:11-12] □□

Blog Archive