BALASAN SESUAI AMAL
DALAM BERMASYARAKAT
Oleh: A. Faisal Marzuki
“lahā mā kasabat
wa 'alaihā maktasabat.” Artinya: Dia (manusia) mandapat (pahala, kebahagian hidup) dari
kebajikan yang dikerjakan - sebagai agents
of development, dan sebagai agents of
change, dan dia (manusia) mendapat (dosa, kesengsaraan
hidup) dari (kejahatan, kerusakan) yang diperbuatnya. [QS Al-Baqarah
2:286]
“wa idzā qīlalahum lā
tufsidū fil ardhi qōlū innamā nahnu mushlihūn.
alā innahum humul mufsidūn walā killā yas’urūn”.
Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka “jangan
berbuat kerusakan di bumi!” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami justru
orang-orang yang melakukan perbaikan.” Ingatlah,
sesungguhnya merekalah yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.
[QS Al-Baqarah 2:11-12]
PENDAHULUAN
K
|
osa kata ‘amal’ ini
berasal dari bahasa Arab yang sudah menjadi
bahasa Indonesia. Ditulis dalam ejaan Arabnya عَمَلَ. Arti kata amal ini adalah mengamalkan,
berbuat, bekerja. Dipertegas lagi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) artinya
perbuatan, perbuatan mana bisa baik atau buruk.
Amal Atau Perbuatan Yang Baik
Ia dihormati
orang, karena amal yang diberikan dirasakan
baik atau bermanfaat bagi penerima - bukan karena kedudukan atau kekayaannya,
tapi siapa saja yang melakukan amal (perbuatan) baik. Amal atau perbuatan
baiknya itu mendatangkan pahala - menurut ajaran agama Islam, karena bermanfaat
untuk sesama manusia. Contoh: berbuat amal kepada fakir miskin (orang yang
kekurangan atau tidak mampu yang memerlukan bantuan) dengan memberikan santunan
infak atau sedekah.
Amalan atau perbuatan yang dilakukan
dengan tujuan untuk berbuat kebaikan terhadap masyarakat atau sesama manusia
dihargai, karena kepeduliannya bermanfaat.
Amal atau Perbuatan Yang Buruk
Ia tidak dihormati
orang karena amalnya yang dirasakan buruk (merugikan, tidak bermanfaat) yang
diberikan oleh pelaku amal terhadap penerima amal - bukan karena kedudukan atau
kekayaannya, tapi siapa saja yang perbuatannya dirasakan buruk oleh penerimanya.
Buruk disini artinya tidak memberi manfaat sama sekali atau merugikannya. Amal
atau perbuatan
buruknya itu mendatangkan dosa - menurut ajaran agama Islam. Contoh: berbuat
amalan buruk kepada fakir miskin dengan tidak memberikan infak atau sedekah
padahal dia mampu untuk itu. Amalan atau perbuatan seperti itu merugikan masyarakat
atau sesama manusia yang mesti saling tolong menolong.
Seumpama Pelukis
Boleh kita umpamakan manusia itu
sebagai ‘pelukis’. Pekerjaan pelukis merupakan refleksi dari dirinya sendiri
yang dituangkan diatas kertas atau kanvas dengan menggunakan pensil atau kuas
dan pewarana. Pelukis melukis sesuai
dengan apa yang ia mau lukis. Ia berkuasa untuk melukis apa yang ia maui baik
bentuk maupun warnanya. Tapi dan umumnya, baik atau tidaknya si pelukis
tergantung dari rasa orang yang melihatnya. Jadi amalan yang dilakukan pelukis
dirasakan oleh orang lain. Baik atau tidaknya atau indah atau tidaknya oleh orang
lain yang menilainya.
AMAL PERBUATAN DALAM TINJAUAN AJARAN ISLAM
T
|
injauan tersebut diatas adalah
berdasarkan tinjauan akal sehat, karena manusia dalam hidup dan menjalankan
hidup diberi akal dan hati. Akal untuk menimbang dengan kecerdasan, hati untuk
merasa dengan kesadaran. ‘Akal’ yang baik sering di sebut ‘akal sehat’ atau ‘akal
plus hati’ (akal hati). Potensi ‘akal’ [1] seperti itu telah ‘built-in’ ada dalam diri setiap makhluk
manusia. Tergantung manusianya,
menggunakan atau tidak.
Jangan lupa! Bahwa baik buruknya
tergantung dari orang yang merasakannya. Acap kali (jika tidak terdidik dengan
moral integritas atau akhlaqul karimah)
cenderung subjektif. Tidak semua berlaku umum. Terutama dalam penilaian oleh manusia
yang berakal sehat. Kalau alam kauniyyah atau alam semesta perilakunya, tetap,
berulang. Salah satu contoh alam kauniyyah adalah matahari. Matahari terbit dan
terbenam - siang dan malam. Berulang tetap berlaku seperti itu. Kalau tidak
terlihat terbit, karena di halangi awan tebal yang sebenarnya sudah terbit. Dengan
itu dapat diukur dan terukur. Selanjutnya dapat dirumuskan hukumnya, hukumnya
objektif. Dapat diramalkan dengan pasti. Dengan itu melahirkan sains dan
tekonologi.
Lain halnya dengan manusia sering
objektifitasnya relatif, disebabkan ada kepentingan (interest) diri atau kelompok dan hawanafsu. Objektifitasnya menjadi
bias. Biasanya untuk membenarkan kemauan atau perilakunya dimanipulasi dulu,
sehingga kesimpulannya yang benar itu sebenarnya tidak benar. Disini ada yang
diuntungkan dan ada yang dirugikan yang dengan itu rasa keadilan tidak
tercerminkan.
Kejadian ini bisa terjadi karena orang
itu tidak jujur dan rasa adilnya tidak ada. Tiga (3) ditambah dua (2) sama
dengan lima (5), perbuatannya adil (tepat, cocok, dan shahih). Data yang masuk
setelah dihitung dari 2 warna ada terkumpul yang berjunlah lima (5) itu. Tapi, merahnya ada dua (2)
ditulis tiga (3), sedang yang putihnya ada tiga (3) ditulis 2, ini namanya
tidak jujur. Disebut juga curang. Untuk itulah perlu adanya penegakkan keadilan
dan kejujuran. Namun (ada yang berperilaku) tidak perduli. Budaya seperti itu
disebut budaya jahiliyah. Dengan budaya jahiliyah, peradaban tidak akan pernah
ada.
Jadi suatu masyarakat atau bangsa itu
tidak akan berkembang menjadi maju, karena pada gilirannya yang kalah atau yang
dirugikan itu pada suatu waktu akan merebut kembali. Begitu seterusnya gonta
ganti, rebut merebut, masyarakat (bangsa) itu menjadi lemah. Kemelut terus
terjadi, dengan itu kapankah majunya masyarakat atau bangsa itu? Bisa-bisa
kedaulatan kita diganggu, karena ada intervesi dari luar. Jadilah kita dijajah
kembali sebagai bentuk penjajahan gaya baru. Berdaulat (boneka) yang tidak
berdaulat. Mautah kita seperti itu?
Sejak adanya manusia di bumi terjadi
cobaan hidup. Dimulai generasi pertama
dan seterusnya sampai kini, selalu terjadi ujian kepada manusia. Yaitu apakah manusia itu benar-benar manusia
yang sebenarnya atau tidak? Padahal Allah Pencipta alam semesta dan manusia
Yang Mahatahu kelebihan dan kekurangan manusia (blue print manusia ada ditangan-Nya) telah memberikan petunjuk
untuk menghindarinya, yaitu bahwa jangan terperangkap dengan kesalahan dan
sesungguhnya manusia mesti berlaku adil dan beramal baik. [2] [3] Manusia yang
sebenar-benarnya adalah ditentukan oleh perilakunya yang berakhlak baik. [4]
Diperingatkan bahwa semestinya kehidupan manusia sejak lahir sampai matinya berlaku
dan beramal baik dan bersikap ta’aruf sesama manusia. [5]
Yaitu beribadah [6] kepada Allah
Pencipta Alam Semesta, habblum minAllāh.
Sebagai khalifah-khalifah untuk membangun peradaban manusia yang memakmurkan
kehidupan di bumi. [7][8] Karena manusia tidak hidup sendiri, melainkan ada
manusia lain dan lingkungan hidupnya, habblum
min-Nās. Maka potensi bermasyarakat dan alam lingkungan ini diperlukan
budaya interaksi positif pula yaitu saling ta’ruf (respek), [5] berkoordinasi
dalam membangun dan memakmurkan hidupnya [7] sebagai tantangan hidupnya.
Membangun dan memakmurkan tidak terjadi dengan sendirinya, tapi mesti dikerjakan
manusia sendiri, dan pasti terjadi, asal mau. Itulah sunatullah, mengerjakan dengan niat karena Allah bernilai ibadah
pula. Potensi itu eksis, sejak dari dulu.
Dalam ukuran bangsa yang bukan nomaden (pengembara), yaitu bangsa yang
selalu berpindah-pindah yang dengan itu tidak perlu membangun kota-kota tempat
tinggal. Setelah itu, pengganti dari bangsa-bangsa yang berpindah-pindah
menjadi menetap disuatu tempat. Dengan itu mereka perlu membangun kota dengan
bangunan rumah-rumah. Pada kota tersebut ada tempat tinggal, ada pasar, ada pekerja
yang bekerja, ada yang bertani, ada pembeli dan penjual, ada yang memproduksi
keperluan hidup, ada jalan umum. Dengan itu diperlukan kehidupan yang tertib,
terjaga keamanan, ada pemimpin dan pengurus kota dst, maka perlu ada keteraturan
yang diatur dalam aturan hidup dalam kota.
Dengan ada perkembangan
kota-kota seperti itu, dalam catatan sejarah disebut kemunculan peradaban. Peradaban awal yang muncul pertama
kali itu ada di Mesopotamia Hulu (3500 SM), diikuti dengan peradaban Mesir di sepanjang sungai
Nil (3300 SM) dan peradaban
Harappa di lembah sungai Indus (pada masa kini merupakan wilayah Pakistan; 3300
SM). Sekarang Peradaban yang maju ada di Barat, Eropa dan eks Eropa (abad
modern), Sebelumnya di Timur, Islam (abad tengah).
PENUTUP
H
|
idup di zaman modern ini beda
dengan sebelumnya. Dulu sistim pemeritahan adalah kerajaan. Dalam sistim
kerajaan tidak ada demokrasi. Yaitu pimpinan bangsa itu ditentukkan oleh raja
dan keturunannya. Setelah rajanya meninggal, diteruskan oleh anak keturunannya,
demikian seterusnya. Raja tidak perlu dipilih lagi, karena merupakan hak
keturunannya.
Namun di zaman modern ini
tidak. Karena pimpinan negara ditentukan oleh hasil pemilihan rakyat. Pemimpin
bekerja untuk (kesejahteraan) rakyat. Maka
rakyatlah yang menentukan pilihannya. Pemimpin bangsa ini disebut Presiden atau
Perdana Menteri. Kedudukan pemimpin bangsa ini berbatas waktu. Setelah masa
temponya boleh dipilih lagi, umumnya selama 2 kali jabatan, kalau itu tract record-nya baik.
Negara ketiga, dulunya negara
koloni (jajahan) Eropa belum terbiasa dengan sistim demokrasi. Karena
menjalankan demokrasi itu memerlukan tract
record calon pemimin tercatat dan dapat dilihat kepemimpinannya dan moral
integritasnya. Dan inti dari demokrasi adalah berjalan dengan jujur, tidak ada
kecurangan. Kalau tidak terpilih ya secara jujur legowo atau satria. Demokrasi
yang baik adalah demokrasi yang calonnya pada dasarnya berlandaskan moral
integritas yang baik yaitu jujur dan bertanggung jawab serta satria dan
tentunya juga mempunyai program, visi dan misi bagi kemakmuran rakyatnya serta
menjaga teritorial tanah airnya dari bangsa asing yang mencoba menguasainya.
Kemudian para penegak hukum seperti polisi, ahli hukum, badan pemilihan, pengawasan
pemilihan dan para politisinya juga mesti mempunyai moral integritas yang baik
pula. Karena ‘Balasan (Hasil) Amal, Sesuai dengan Amal (para pelakunya)’. ‘Baik
Pelakunya, Baik Pula Hasilnya’. Semoga yang tidak baik jangan terjadi, karena
konsekuensinya sangat berat [9][10] bagi rakyat NKRI ini. Billāhit Taufiq
wal-Hidāyah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Segala puji bagi Allāh ‘Azza wa Jalla, yang telah ‘built-in’ (menganugerahkan)
‘hati’ kepada umat manusia, yang dengan
‘hati’ itu mereka menjadi berakal (akal bekerja), mampu berfikir, merenung, dan
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Allāh ‘Azza wa Jalla berfirman: وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:
Dialah yang menjadikan kalian memiliki pendengaran, penglihatan, dan hati,
supaya kalian bersyukur [QS An-Nahl 16:78]
Ibnu Katsīr rahimahullah ketika menafsirkan ayat
ini mengatakan, “Allāh ‘Azza wa Jalla memberikan mereka telinga untuk
mendengar, mata untuk melihat, dan hati -yakni akal yang tempatnya di hati -
untuk membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan. Dan Allāh ‘Azza wa Jalla memberikan umat manusia
kenikmatan-kenikmatan ini, agar dengannya mereka dapat beribadah kepada
Rabb-nya.”
Perlu diketahui bahwa sebagian Ulama membagi
akal menjadi dua jenis yaitu akal insting dan akal tambahan. Akal insting
adalah kemampuan dasar manusia untuk berfikir dan memahami sesuatu yang dibawa
sejak lahir. Sedangkan akal tambahan adalah kemampuan berfikir dan memahami,
yang dibentuk oleh pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika dua
akal ini berkumpul pada seorang hamba, maka itu merupakan anugerah besar yang
diberikan oleh Allāh kepada hamba yang dikehendaki-Nya, urusan hidupnya akan
menjadi baik, dan pasukan kebahagiaan akan mendatanginya dari segala arah.
[Miftâhu Dâris Sa’ādah, 1/117]
Tentunya adanya pembedaan dua jenis akal di
atas, tidak berarti adanya pemisah antara akal insting dengan akal tambahan.
Karena akal tambahan pada dasarnya adalah akal insting yang telah berkembang
seiring bertambahnya ilmu dan pengalaman yang diperoleh seseorang. Bisa
dikatakan, bahwa akal tambahan melazimkan adanya akal insting. Sebaliknya, sangat
jarang adanya akal insting yang tidak berkembang seiring berjalannya waktu,
wallahu a’lam.
[2] innal lāha ya’-muru bil-’adli wal ihsāni. Artinya: “Sesungguhnya
Allah menyuruh (memerintahkan kamu): ● Berlaku adil (adli) dan ● Berbuat ihsan
(kebajikan). [QS An-Nahl 16:90]
[3] “alladzī khalaqolmauta walhayāta
liyab-luwakum ayyukum ahsanu amala”. Artinya Yang menciptakan mati dan
hidup, untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih
baik amalnya. [QS Al-Mulk 67:2]
[4] “innama bu’itstu liutammima
makarimal akhlaq”. Artinya: Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain
adalah untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik).” [HR
Al-Bukhari].
Pada sebagian riwayat: لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ Artinya: “Untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Salah satu tujuan dari penciptaan jin dan
manusia adalah hanya untuk menyembah Allah (“Wama
Kholaqtu- lJinna walInsa Illa liya’budun”) dan tujuan diturunkannya
Al-Qur’an dan Rasulullah saw adalah
untuk menyempurnakan akhlak manusia. (“Innama
bu’itstu liutammima makarimal Akhlaq”) Ajaran Islam sangat
menjunjung tinggi urgensi akhlaqul
karimah dalam rotasi kehidupan dunia, implikasinya adalah amar ma’ruf dan
nahi munkar. Sesungguhnya akhlak bertalian dengan adab, etika, sopan santun,
rasa hormat, ketaatan. Akhlak adalah harta yang sangat berharga dalam pertalian
norma - norma kehidupan manusia. Maknanya adalah bahwa “Menebarkan
rahmat dan memperbaiki akhlak itulah misi utama Nabi Muhammad saw, membangun kesalehan sosial yang
dengan itu artinya membangun peradaban.
[5] Wahai
manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu TA’ARUF (saling kenal mengenal, artinya kemauan
orang yang siap hidup bersama dengan orang atau bangsa lain dalam ‘perbedaan’).
[QS Al-Hujurāt 49:13].
Prinsip TA’ARUF ini meliputi: Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf yakni
saling mengenal; (T) Tafahum yakni saling memaklumi latar belakang hidup,
keyakinan dan pandangan hidup; namun dapat melakukan (T) Ta’awun yakni kerja
sama dalam masalah hubungan sesama manusia; (I) Itsar yakni tidak saling
bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi.
[6] Allāh Ta’ālā berfirman: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan
tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah
kepada-Nya. (bertaqwa hanya kepada-Nya, mengikuti petunjuk-Nya, perintah-Nya, menyembah-Nya)”. (QS Adz-Dzāriyāt 51:56).
[7] Dia
menciptakan kamu dari bumi [5] dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya.
[QS Hūd 11:61]
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala
sesuatu yang ada di bumi untuk kamu (olah, gunakan, manfaatkan) [QS Al-Baqarah
2:29]
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya
Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang ada di langit dan apa
yang di bumi”. [QS Luqmān 31:20]
[8]wahuwal ladzī ja’alakum
khalā-ifal ardhi. Dan Dialah yang
menjadikan kamu khalifah-khalifah (para mandataris-Nya) di bumi [QS Al-An’ām
6:165]
[9] “lahā mā kasabat wa 'alaihā
maktasabat.” Artinya: Dia (manusia) mandapat (pahala, kebahagian hidup) dari
kebajikan yang dikerjakan - sebagai agents
of development, dan sebagai agents of
change, dan dia (manusia) mendapat (dosa, kesengsaraan hidup) dari
(kejahatan, kerusakan) yang diperbuatnya. [QS Al-Baqarah 2:286]
[10] “wa idzā qīlalahum lā tufsidū fil
ardhi qōlū innamā nahnu mushlihūn. alā innahum humul mufsidūn walā killā
yas’urūn”. Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka “jangan berbuat
kerusakan di bumi!” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang
melakukan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang membuat kerusakan,
tetapi mereka tidak menyadari. [QS Al-Baqarah 2:11-12] □□