“Oleh
karena itu keuntungan (pendapatan) hanya dapat diperoleh dengan usaha dan kerja”
- yang baik (skill, rajin, dengan
ilmu atau tahu caranya). Lahā Mā Kasabat Wa ‘Alayhā Maktasabat - “Dia
mendapat (kesuksesan) dari kebajikan (usaha dan kerja yang baik) yang
dikerjakannya dan dia mendapat (kesengsaraan) dari (kemalasan, kebodohan) yang
diperbuatnya”. [QS Al-Baqarah 2:286]
“Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman
mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada
mereka dikatakan) “Makanlah oleh mu dari rizki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kepada-Nya. Baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafār” - (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman,
adil-makmur, berperadaban rahmatan
lil ‘ālamīn) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. [QS Saba’ 34:15]
Upah Buruh
I
|
bnu Khaldun juga telah membahas masalah
upah buruh dalam perekonomian. Ia menyebut istilah buruh dengan
terminologi shina’ah (pekerjaan di pabrik) sebagaimana dituliskannya
dalam buku al-Muqaddimahnya:
Pekerjaan (di pabrik/perusahaan) adalah
kemampuan praktis yang berhubungan dengan keahlian (skills). Dikatakan keahlian praktis karena berkaitan dengan kerja
fisik material, di mana seorang buruh secara langsung bekerja secara indrawi.
Dalam terminologi ekonomi modern, shina’ah tersebut
dikenal dengan istilah employment
(ketenagakerjaan). Orang yang melakukannya disebut employee atau labour
(tenaga kerja atau buruh).
Ibnu
Khaldun adalah ilmuwan pertama dalam sejarah yang memberikan penjelasan rinci
tentang teori nilai buruh. Menurutnya, buruh adalah sumber nilai. Penting
dicatat bahwa Ibnu Khaldun tidak pernah menyebut nilai buruh dengan
istilah “teori”. Meskipun demikian, penjelesan tentang buruh secara detail
dipaparkan Ibnu Ibnu Khaldun pada Bab IV buku Al-Muqaddimahnya.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang buruh
ini selanjutnya dikembangkan oleh David Hume dalam bukunya Political Discouse yang diterbitkan tahun 1752 dengan
mengatakan: “Setiap yang ada di bumi ini dihasilkan oleh buruh”. Pernyataan ini selanjutnya
dikutip Adam Smith dalam footnote,
“Segala sesuatu yang dibeli dengan uang atau barang dihasilkan oleh buruh.”
Uang atau barang menyelamatkan kita. Nilai kuantitas buruh kita tukar sesuai
dengan waktu (dan kualitas kerja) yang diperlukan untuk menghasilkan sebuah
kuantitas. Dengan demikian, nilai dari sebuah komoditas sebenarnya tidak
untuk digunakan atau dikonsumsi sendiri, melainkan untuk ditukar dengan
komoditas lain yang sebanding dengan kuantitas buruh.
Buruh dengan demikian merupakan alat
ukur dari pertukaran nilai seluruh komoditas. Jika paragraf ini yang
dipublikasikan pada tahun 1776 dianggap sebagai pemikiran Adam Smith, ternyata
pemikiran seperti ini telah dikemukakan Ibnu Khaldun lebih tiga abad sebelum
Adam Smith. Buruh sangat dibutuhkan dalam seluruh pendapatan dan keuntungan.
Tanpa buruh pendapatan dan keuntungan tidak dapat diperoleh. [68]
Artinya dalam bahasa Indonesia disalin dari
bahasa Arab tulisan Ibnu Khaldun sebagai berikut: Barang-barang hasil
industri dan tenaga kerja juga menjadi mahal di kota-kota yang telah
makmur. Kemahalan itu dikarenakan tiga hal sebagai berikut: Pertama: Karena besarnya kebutuhan yang ditimbulkan oleh meratanya
hidup mewah di suatu kota dan karena banyaknyanya penduduk; Kedua: Tenaga kerja (employee)
tidak mau menerima upah yang rendah bagi pekerjaan dan jasanya, karena
gampangnya orang mencari penghidupan/pekerjaan dan banyaknya bahan
makanan di kota-kota; Ketiga: Karena besarnya jumlah orang-orang
kaya dan besarnya kebutuhan mereka kepada tenaga kerja untuk mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan mereka, maka muncullah persaingan dalam mendapatkan
pelayanan dan tenaga kerja dan mereka berani membayar tenaga kerja lebih dari
nilai pekerjaannya. Maka posisi buruh (tenaga kerja) dan orang-orang yang
memiliki keahlian menjadi kuat, sehingga upah mereka menjadi naik (mahal).
Dalam bahasa Inggrisnya Rosental
menerjemahkannnya sebagai berikut: Crafts
and labour also are expensive in cities with an abundant
civilization. Thera are three reason for this: First, they are much needed, because of
the place luxury occopies in the city on account of its large population; Second,
industrial workers place a high value on their services and employment
(for they do not to work) since live is easy in a town because of the
abundance of food there; Third, the number of people with money to waste is great, and these
people have money needs for which they have to employ the services
of others and have to use many workers and their skills. Therefore
they pay more for (the services of) workers than their labaour is
(ordinarly considered) worth, because there is competition for (the services)
and the wish to have axclusive use of them. Thus, workers craftsmen and
professional people become arrogant, their labaour becomes expensive, and
the expenditure of the inhabitants of the city for this things,
increase.
Faktor yang paling menentukan, urgen dan
bernilai (qimah) dalam ekonomi menurut Ibnu Khaldun adalah kerja
buruh yang memilki keahlian (skills)
yang diistilahkannya dengan shina’ah. Mengenai hal ini kata Ibn Khaldun
dalam sebuah pasal al-Muqaddimah dengan judul “Realitas Rezki,
Pendapatan dan Uraian Tentang Keduanya Serta Bahwa Pendapatan Adalah
Nilai Kerja Manusia”:
“Oleh
karena itu keuntungan (pendapatan) hanya dapat diperoleh dengan usaha dan kerja”.
Ini jelas sekali dalam industri-industri di mana
faktor kerja jelas kelihatan. Demikian halnya penghasilan yang diperoleh dari
pertambangan, pertanian, atau peternakan, karena kalau tidak ada kerja dan
usaha (buruh) maka tidak akan ada hasil keuntungan.
Oleh karena itu maka penghasilan yang diperoleh
orang dari industri merupakan nilai dari kerjanya para buruh. Dalam
industri-industri tertentu harga bahan mentah harus diperhitungkan, misalnya
saja kayu dan benang dalam industri kayu dan pertenunan. Nilai kerja
buruh adalah lebih besar daripada harga bahan mentahnya, karena kerja dalam
kedua industri ini mengambil bagian yang terbanyak.
Dalam perkerjaan-pekerjaan lain dari industri
pun nilai kerja harus ditambahkan pada (harga) produksi. Sebab dengan tidak
adanya kerja maka tidak akan ada produksi.
Dalam
seluruh kegiatan produksi pekerjaan buruh (shina’ah) penting sekali. dan
karenanya nilai kerja buruh itu baik besar atau kecil, harus
dipentingkan. Dalam persoalan-persoalan lain, misalnya, persoalan harga bahan
makanan, bagian kerja itu seringkali tidak nampak. Padahal kerja buruh
itulah yang menyebebkan adanya output
(produksi). Sekali pun biaya kerja buruh (wage)
itu mempengaruhi harga bahan makanan, tetapi hal itu tak menjadi persoalan,
sebab sudah menjadi kelaziman bahwa setiap produksi membutuhkan biaya, dalam
hal ini biaya buruh. Maka jelaslah bahwa semua atau sebagian besar dari
penghasilan dan laba (profit)
menggambarkan nilai kerja manusia”. [69]
Teks di atas secara jelas mengemukakan bahwa
nilai sesuatu terletak pada kerja manusia. Dengan kata lain substansi nilai
adalah kerja para buruh (shina’ah).
Namun harus dicatat, kata Ibnu Khaldun, bahwa pencurahan tenaga kerja dalam
suatu produksi seharusnya mengeluarkan output
yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian antara shina’ah
(kerja buruh) dan hasil produksi terdapat hubungan timbal balik. Berarti bahwa
bilaman kuantitas kerja menurun maka nilai produksi akan menurun pula, dan
sebaliknya bilaman kuantitas kerja meningkat maka nilai hasil produksi juga
meningkat. Menarik sekali bahwa hal yang sama dikemukakan Marx sekitar 4 abad
sesudah Ibnu Khaldun. Kata Marx: “Kuantitas kerja untuk menghasilkan
sesuatu saja-lah yang menentukan kuantitas nilai produksi (output)”. [70]
Untuk menguatkan pendapatnya selanjutnya Ibn
Khaldun mengatakan, “Pendapatan yang dinikmati seseorang sesungguhnya merupakan
nilai dari kerjanya. Andaikan saja seseorang sepenuhnya tidak memiliki
pekerjaan (shina’ah)
niscaya ia akan kehilangan pendapatan sepenuhnya”. [71]
Jadi, menurut Ibn Khaldun faktor yang menentukan
nilai barang-barang produksi adalah kuantitas kerja yang dicurahkan kepadanya.
Hal yang serupa juga dikemukakan Lenin. [72]
Marx bukanlah orang yang pertama-tama
mengemukakan tentang nilai pada zaman modern. Hal ini sebelumnya telah
dikemukakan seorang ahli ekonomi politik Inggris yang berjaya pada sekitar masa
revolusi Prancis, William Godwin (1756-1836) berpendapat bahwa materi kekayaan
adalah kerja. Setelah itu muncul Ricardo yang dalam bab pertama karyanya Principles
of Political Economi and Taxation menyatakan sebagai berikut: “Nilai barang
terletak pada kuantitas relatif dari kerja, kuantitas yang diperlukan untuk
memproduksinya, dan bukan terletak pada upah yang diberikan dalam kerja ini”.
Sementara Adam Smith, dalam karyanya Wealth of Nation, dalam menguraikan
tentang bentuk paling umum dari hukum nilai antara lain berkata sebagai
berikut: “Kerja adalah ukuran riil nilai secara timbal balik”. [73]
Namun ternyata sebelum para pemikir di atas
muncul, telah ada seorang pemikir muslim yang menaruh perhatian terhadap
kenyataan ekonomis dan juga menaruh perhatian untuk menganalisisnya, sehingga
akhirnya ia memahami adanya hukum-hukum yang mengendalikan kenyataan itu dan
mengemukakan teori nilainya. Memang ia tidak menguraikan hukum-hukum itu secara
rinci dalam beberapa pasal, tetapi meski demikian ia telah meletakkan
prinsip-prinsip dengan secara gamblang dan ringkas. Menurut
Ibn Khaldun ‘kerja’ merupakan faktor penting dalam menciptakan kemajuan dan
semaraknya kebudayaan. Bilamana Aristoteles memandang rendah kerja
tangan, sebaliknya Ibn Khaldun memandang sebagai salah satu pertanda kemajuan
kebudayaan. Bahkan kerja buruh (shina’h)
merupakan faktor terpenting bagi pertumbuhan kemajuan dan peradaban. Jadi
setiap kali kuantitas kerja secara umum meningkat maka akan meningkat pulalah
kemakmuran suatu masyarakat, dan sebaliknya bilamana kuantitas kerja menurun
maka akan menurun pulalah kondisi ekonomi suatu masyarakat yang dapat berakibat
timbulnya disintegrasi politis.
Ibn Khaldun juga mengkaitkan antara jumlah
penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, setiap kali jumlah penduduk
meningkat maka kuantitas kerja pun akan meningkat yang berakibat meningkatnya
produksi. Sebaliknya setiap kali jumlah penduduk menurun akan menurun pulalah
kuantitas kerja yang berakibat menurunnya produksi. Kata Ibn Khaldun: “Tidakkah
anda saksikan bahwa di tempat-tempat yang kurang penduduknya kesempatan kerja
adalah sedikit atau tidak ada sama sekali, dan penghasilan rendah sebab
sedikitnya kegiatan-kegiatan manusia. Sebaliknya kota-kota yang kebudayaannya
lebih maju penduduknya lebih baik keadaannya dan makmur”. [74]
Dengan demikian Ibn Khaldun menghargai kerja dan
dampak ekonomisnya. Selain itu juga menekankan fungsi sosial dan moral kerja.
Sebab masyarakat desa, menurut Ibn Khaldun, yang banyak bekerja memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka mempunyai suatu keistimewaan, yaitu moral mereka
yang kuat. Sementara masyarakat kota, yang hidup dalam kemewahan, kemalasan,
kesantaian, dan ketenggelaman dalam berbagai kelezatan hidup, moral mereka
bobrok. Dengan demikian kerja menurut Ibn Khaldun merupakan katup pengaman
moral. Sebab ketenggelaman dalam kemewahan tanpa kerja akan mengantarkan pada
penyelewengan. [75]
Roger Garaudy, dalam kajiannya tentang Ibn
Khaldun, menyatakan bahwa teori nilai Ibn Khaldun didasarkan pada kerja dan ia
melakukan hal yang demikian ini sebelum dilakukan seorang ahli ekonomi Eropa
pada abab kedelapan belas. [76]
Memang kita tidak dapat menyatakan bahwa teori
Ibn Khaldun tentang nilai telah tuntas dan sempurna. Namun kita dapat
menyatakan bahwa bilamana pendapat-pendapatnya tentang nilai kita rangkum
semuanya, akan dapat membentuk suatu teori ekonomi. Dalam pendapat-pendapatnya
ini, seperti yang dikemukakan Muhammad ‘Ali Nasy’at, terkandung unsur-unsur penting
yang baru dicapai oleh peneliti ilmiah di bidang ekonomi pada masa jauh
setelahnya. [77]
Meskipun kajian-kajian Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah
tentang nilai demikian jelas, tetapi ada juga penulis yang menolak kontribusi
Ibn Khaldun di bidang penelitian tentang nilai. Misalnya saja Gaston Bouthoul
yang menyatakan bahwa dalam karya Ibn Khaldun tersebut tidak terdapat sama
sekali pembahasan yang berkenaan dengan apa yang kini disebut dengan ekonomi
politik teoretis dan ia tidak sama sekali mengkaji ide nilai. [78] Pendapat
yang serupa dikemukakan oleh Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jarr. Menurut kami
tampaknya pendapat kedua penulis ini dikutip dari pendapat Gaston Bouthoul.
[79] Terhadap pendapat yang demikian itu teks-teks al-Muqaddimah
merupakan jawaban yang paling tepat baginya. Tepat komentar Muhammad ‘Ali
Nasy’at tentang posisi Ibn Khaldun dalam masalah ini: “Ibn Khaldun patut
dimasukkan dalam barisan para penulis terbaik tentang masalah-masalah ekonomi,
karena pemahamannya yang mendalam atas esensi persoalan-persoalan ekonomi yang
paling pelik, di antaranya teori nilai”. [80]
Faktor-Faktor Produksi.
F
|
aktor-faktor produksi menurut Ibnu Khaldun ada
tiga, yaitu alam, pekerjaan, dan modal. Namun pendapat-pendapat Ibn Khaldun
mengenai ketiga faktor tersebut berserakan dalam al-Muqaddimah. Kajian
ini berupaya menghimpun pendapat-pendapat itu.
Pertama-tama, alam merupakan
sumberdaya yang membekali manusia berupa materi yang adakalanya dapat
dipergunakan secara langsung dan adakalanya pula setelah diolah. Kata Ibn
Khaldun dalam uraiannya tentang dampak alam atas produksi: “Penghidupan ialah
mencari dan mendapatkan jalan untuk keperluan hidup… Jalan ini bisa didapat,
adakalanya dengan kekerasan terhadap orang lain sesuai dengan hukum kebiasaanya
yang berlaku, dan cara ini terkenal dengan nama penetapan pajak atau cukai; Bisa
juga diperoleh dengan menangkap binatang-binatang buas dan membunuhnya di laut
atau di darat, suatu jalan penghidupan yang terkenal dengan nama berburu; Dengan
mengambil penghasilan dari binatang jinak yang sudah umum dilakukan orang,
seperti susu dari hewan ternak, sutera dari ulat sutera dan madu dari
lebah; Dengan menjaga dan memelihara tanam-tanaman dan pohon-pohonan dengan
tujuan dengan mengambil buahnya. Jalan penghidupan ini disebut pertanian.
Bisa juga diperoleh dari kegiatan manusia, baik
yang dilakukan dengan mempergunakan alat-alat tertentu dan terkenal dengan nama
pertukangan, seperti menulis, bertukang kayu, menjahit, menenun, naik kuda dan
sebagainya; Atau yang dilakukan dengan mempergunakan alat-alat yang tidak
tertentu, yakni segala macam pelayanan dan perburuhan, jujur, atau tidak jujur;
atau keperluan hidup itu mungkin juga diperoleh dengan menyediakan
barang-barang untuk ditukar, dengan jalan membawa barang-barang itu ke
tempat-tempat lain keseluruh penjuru negeri atau dengan jalan memonopoli pasar
bagi barang-barang itu dan menantikan geraknya pasar, dan nilai yang terkenal
dengan nama perdagangan”. [81] Dengan demikian alam merupakan azas segala
bentuk produksi.
Sedang faktor kedua, yaitu pekerjaan, hal ini
telah diuraikan di muka dalam pembahasan tentang teori nilai. Namun di sini
perlu ditambahkan bahwa faktor ini merupakan faktor utama yang melebihi kedua
faktor lainnya. Faktor pekerjaan mempunyai kelebihan dengan coraknya yang
positif. Dan ini merupakan faktor yang selalu ada dalam semua bentuk produksi,
malah hasil alam tidak mungkin diperoleh kecuali dengan pekerjaan. Pada masa
Ibn Khaldun sendiri pekerjaan mengungguli faktor-faktor produksi lainnya,
demikian pula halnya faktor ini terpisah dari modal. Sebab ketika itu pemilik
modal juga pekerja.
Ibn Khaldun tidak memisahkan modal dari kerja
seperti halnya yang dilakukan para ahli ekonomi dewasa ini. [82] Seperti
diketahui pemisahan antara modal dan kerja terjadi akibat dampak revolusi
industri dan munculnya kelompok kaum kapitalis. Oleh karena itu tidaklah aneh
bila Ibn Khaldun merangkum kedua faktor tersebut. Menurut Sobhi Mahmassani, Ibn
Khaldun tidak mengemukakan perlunya modal kecuali dalam kedudukannya sebagai
salah satu alat produksi. Atau dengan kata lain dengan kedudukannya sebagai
kekayaan dan bersaham dalam produksi di samping faktor pekerjaan dan alam. [83]
Ibn Khaldun tidak banyak membahas peran yang mungkin dilakukan para pemilik
modal. Malah ia berpendapat bahwa akumulasi harga yang besar akan mendatangkan
bahaya atas pemiliknya dari pihak penguasa dan pembesar. Kata Ibn Khaldun dalam
sebuah pasal dengan judul “Pemusatan Harta Benda tak Bergerak dan
Tanah-Tanah Perkebunan: Keuntungan dan Kejelekannya”: “Pemusatan harta
benda tak bergerak dan tanah-tanah perkebunan di tangan perseorangan dari desa
atau orang kota tidaklah terjadi dengan seketika, juga tidak dalam suatu
keturunan … Tanah perkebunan semacam itu diperoleh sedikit demi sedikit. Adakalanya
dengan jalan warisan yang mengakibatkan berpusatnya kekayaan dari beberapa
nenek-moyang dan saudara di tangan seorang pewaris. Sebab pada saat-saat
jatuhnya suatu dinasti dan bangkitnya suatu kekuasaan baru, tanah-tanah
perkebunan kehilangan daya tariknya, karana kurang terjaminnya perlindungan
yang dapat diberikan negara dan karena keadaan yang kacau balaun (chaos). Akan tetapi apabila
kekuasan baru telah tegak, keamanan dan kemakmuran telah kembali serta negeri
telah kuat lagi seperti sedia kala, maka tanah perkebunan itu sekali lagi akan
menjadi lebih menarik, karena kegunaannya yang besar dan harganya sekali lagi
akan naik … Namun penghasilan dari harta benda tak bergerak dan tanah-tanah
perkebunan tidak mencukupi penghidupan pemiliknya karena hidupnya yang penuh
kemewahan … Pada umumnya para penguasa dan pembesar merasa tertarik pada
tanah-tanah itu atau ingin membelinya dari para pemiliknya pun mendapat
malapetaka …”. [84]
Penutup
D
|
ari paparan-paparan di atas, dapat
dipahami bahwa pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi sesungguhnya sangat
brilian yang mencakup berbagai permasalahn ekonomi, baik mikro maupun makro,
apalagi pemikiran itu dikemukakannya pada abad 14 ketika Eropa masih
terkebelakang.
Ibnu Khaldun telah melakukan kajian empiris
tentang ekonomi Islam, karena ia menjelaskan fenomena ekonomi yang terjadi di
dalam masyarakat dan negara. Dari kajian makalah ini dapat disimpulkan bahwa
secara historis, pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi jauh mendahului para
sarjana Barat modern. Oleh karena itu, yang pantas disebut sebagai Bapak
ekonomi adalah Ibnu Khaldun, bukan Adam Smith.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang pajak,
perdagangan internasional, usaha membangun peradaban dan politik sangat urgen
untuk dipertimbangkan dalam konteks kekinian dalam rangka mewujudkan masyarakat
dan negara yang sejahtera.
Demikianlah
paparan dari Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun yang kemunculan ilmu ekonomi Islam
pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah mengarahkan perhatian para ilmuan
modern kepada pemikiran ekonomi Islam klasik. Salah satunya disebutkan oleh Vatican
- Kantor Pusat Agama Katolik mengatakan:
“Sistim Keuangan
Islami dapat membantu
Bank-Bank
Barat yang
dalam keadaan Krisis. (Karena) “Prinsip-prinsip etika yang didasarkan pada ‘sistim
keuangan Islam’ dapat membawa bank lebih dekat kepada nasabah
mereka dan sungguh semangat ‘sistim keuangan
Islam’ ini seharusnya
menjadi
contoh bagi setiap layanan keuangan,” (Sumber: Suratkabar
resmi Vatikan Osservatore Romano).
Berjalannya ‘Sistim Ekonomi Islam’ yang sedang
berlangsung sekarang ini, sangat kondusif dan signifikan untuk membangun
ekonomi dunia. Pemahaman sistim kehidupan islami dan implementasi pembangunan
ekonomi ummat akan mewujudkan masyarakat sejahtrera yang makmur berdasarkan sistim
ekonomi islami. Apabila umat telah makmur, mereka dapat melaksanakan
pembangunan secara lebih adil (bagi semua). Bila gerakan sistim ekonomi islami
ini, baik secara akademis maupun praktek berjalan sukses, maka akan
bermuara pada masyarakat (negara) islami yang berjalan adil dan makmur dalam ridha-Nya
- Baldatun Thayyibatun wa Rabbun
Ghafur. Billahit Taufiq wal-Hidayah.
[Tamat] □ AFM
Catatan Kaki:
[1].Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi,
Jakarta, Rajawali Pers, cetakan kedua, 1997
[2].Schumpeter, J.A.: History of Economic
Analysis, Oxford University Press, London, 1959, p.136 and p.788.
[3].Muhammad Hilmi Murad, Abu al-Iqtishad,
Ibnu Khaldun dalam A’mal Mahrajan Ibnu Khaldun, Kairo, Markaz Al-Qawmi lil
Buhuts al-Ijtimaiyah wa al-Jinaiyah, 1962, hlm. 308
[4].Shiddiqy, Muhammad Nejatullah, Muslim
Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature, dalam
buku Studies in Islamic Economics, International Centre for Research in
Islamic Economics King Abdul Aziz Jeddah and The Islamic Foundation,
United Kingdom, 1976, hlm. 261.
[5].Boulakia, Jean David C., “Ibn Khaldun: A
Fourteenth Century Economist” – Journal of Political Economiy 79 (5)
September –October 1971: 1105-1118
[6].Ibid, p. 1117
[7].Ibid, p.1118
[8].Shiddiqi, op.cit, hlm. 260
[9].Ezzat Al-Alfi, S, Production,
Distribution and Exchange in Khaldun’s Writing, Minnesota, University
of Minnesota, 1968
[10].Nash’at M. Ali, “al-Fikr al-Iqtisadi fi Muqaddimat
Ibn Khaldun (Economic Though in the
Prolegomena of Ibn Khaldun). Ph.D. Thesis. Cairo University. Matba Dar
al-Kutub al-Misriya. 1944.
[11].Rozenthal, Franz,”Ibn Khaldun the
Muqaddimah, An Introduction to History, V.I London. Routledge & Kegan
Paul, 1958. 481p. (Complete History is 3 Volumes).
[12].Spengler.J.J, “Economic Thought of
Islam: Ibn Khaldun”, Comparative Studies in Society and History (The
Hague). VI. 64: 268-309.
[13].Boulakia, Jean David C., “Ibn Khaldun: A
Fourteenth Century Economist” – Journal of Political Economiy 79 (5)
September –October 1971: 1105-1118
[14].Ali, Syed Ahmad, “Economics of Ibn
Khaldun-A Selection”, Africa Quarterly (New Delhi) 10(3) Oct.-Dec.
70:251-259.
[15].Ibn al-Sabil, Waitlif Khalid, “Islami Ishtirakiyat
fi’l Islam” (Some Aspects of Islamic
Communism) Fikr-O-Nazar (Karachi) 7(7), Jan. 70: 513-526.
[16].Abdul al-Qadir, Muhammad, “Ibn Khaldun
ke Ma’ashi Khayalat” (Economic Views
of Ibn Khaldun), Ma’arif (Azamgarh) 50(6), Dec. 42: 433-441. dan Lihat “Ibn
Khaldun ke Ma’ashirati, Siyasi, Ma’ashi Khalayat (Social, Political and Economic Ideas of Ibn Khaldun) Hyderabad
(Dn.), A’zam Steam Press, 1943.
[17].Rif’at, Sayyid Mubariz al-Din, “Ma’ashiyat
par Ibn Khaldun ke Khalayat” (Ibn Khaldun’s Views on Economics), Ma’arif
(Azamgarh) 40(1) July 37: 16-28; 40(2), Aug. 37:85-95
[18].De Somogyi, Joseph, “Economic Theory in
the Classical Arabic Literature”, Studies
In Islam (Delhi) 2(1), Jan. 1-6.
[19].Al-Tahawi, Ibrahim, “al-Iqtisad al-Islami
Madhhaban wa Nizaman wa Dirasah Muqaranh.(Islamic Economics-a School of Thought
and a System, a Comparative Study), al-Qahirah, Majma’al-Buhuth
al-Islamiyah, 1974. 2v. 616, 400p.
[20].Irving, T.B, “Ibn Khaldun on
Agriculture”, Islamc Literature (Lahore) 7 (8). Aug.55:31-31.
[21].Abdus Sattar, M. “Ibn Khaldun’s Contibution to Economic Thought” in: Contemporary Aspects of
Economic and Social Thingking in Islam. Gary. Indiana, M.S.S. of U.S &
Canada.1973: 157-168.
[22].Spengler. J.J. Ibid, dan Lihat dalam
al-Jaraf, Muhammad Kamal, “al-Nizam al-mali al-Islami (Islamic
Financial System), al-Qahirah, Maktabat al-Nahdat al-Jadidah, 1970.
[23].Abdus Sattar, M. Op.Cit
[24].Abdus Sattar, M. Op.cit, dan Lihat
dalam Yamani, Ahmad Zaki, “ ’Adalatuna’l-Ijtima’i (Our Social Justice)
al-Muslimoon (Genewa) 9(9), July 65: 12-24; 9(10), Nov. 65: 55-62.
[25].Irving, T.B, Op.Cit. dan Lihat dalam
Hasan, Hasan Ibrahim.”Islam: A Religious, Political, Social and Economic
Study, Beirut, Khayats, 1967.
[26].Abdul al-Qadir, Muhammad, Op.Cit. dan
Lihat. dalam Nadwi, Mujibullah, “Islami Qunun-e Ujrat ka ek bab” (A
Chapter of the Islamic Law of Wages), Ma’arif (Azamgath) 77(6), June
56:405-421.
[27].Abdus Sattar, M. Op.cit, dan Lihat.
Yusuf, S.M. “Economic Justice in Islam”. Lahore, Muhammad Ashraf,
1971.vii. 116p.
[28.De Somogyi, Joseph, “Economic Theory in
the Classical Arabic Literature”, Op. Cit.
[29].Abdul al-Qadir, Muhammad, Op.Cit. dan
Lihat. dalam Qureahi, ‘Abdul Majid. “Minhat ke Masa’il aur unke hal (Labour
Problems and their Solution). Ichra, Lahore, al-Habib Publications, n.d. 60p.
[30].Abdul al-Qadir, Muhammad, Op.Cit. Lihat.
dalam Khan, Muhammad Akram. “The Theory of Employment in Islam”, Islamic
Literatur (Lahore) 14(4), Apr. 68: 5-16. dan Lihat dalam Qureahi, ‘Abdul Majid.
Op.cit.
[31].Ibn al-Sabil, Waitlif Khalik, Op. cit, dan
Lihat dalam Sheikh, Nasir Ahmad, “Some Aspects of the Constitution and
the Economic of Islam”, Woking, England, The Woking Mission & Literary
Trust, 1967. 256p. (Fisst Published in 1957).
[32].Rif’at, Sayyid Mubariz al-Din, Op.cit, dan
Lihat dalam, al-Fasi,‘Allal, “al-Naqd al-Dhati (self Criticism), Beirut,
Dar al-Kashshaf, 1966. 477p.
[33].Abdus Sattar, M. Op.cit, dan Lihat
dalam Yusufuddin, Muhammad. “Islam ke Ma’ashi Nazariye (Economic Theories of
Islam) 2nd ed. Hyderabad, Matba’ Ibrahimiyah, 1950. 2v. 756p.
[34].Rif’at, Sayyid Mubariz al-Din, Op.cit, dan
Lihat dalam, al-Fasi,‘Allal, “al-Naqd al-Dhati. Op. cit.
[35].Al-Tahawi, Ibrahim, Op.cit dan Lihat
dalam Abazah, Ibrahim Dasuqi. “al-Islam wa’l-Tanmiyat al-Iqtisadiyah” (Islam
and Economic Development) al-Manhal (Jeddah) 33(11) Dec.72-Jan. 73:1123-1132.
dan juga dalam Dawalibi, Ma’ruf. “Islam versus Capitalism and Marxism”, Word
Muslim League (Singapore) 3(5), May 66: 14-24.
[36].Al-Tahawi, Ibrahim, Op.cit dan Lihat
dalam Sherwani, H.K. “Ibn-e- Khaldun and His Politico-Economic Thought”, Islamic
Culture 44(2). Apr. 70: 71-80.
[37].Boulakia, Jean David C., Op. Cit. Pp.
1107-1108
[38].Ibid, p.
1109.
[39].Gaston Bouthoul, Ibn Khaldoun, sa
Philosophie Sociale, (Paris: P. Geuthner, 1930), h. 62.
[40].Muhammad Hilmi Murat, “Abu al-Iqtishad, Ibn
Khaldun”, dalam A’mal Mahrajan Ibn Khaldun, (Kairo: al-Markaz al-Qaumi
li al-Buhuts al-Ijtima’iyyah wa al-Jina’iyyah, 1962), h. 308.
[41].Muhammad ‘Ali Nasy’at, al-Fikr
al-Iqtishadi fi Muqaddimah Ibn Khaldun, (Kairo: t.p., 1944), h. 5-6.
[42].Abd al-Rahman ibn Khaaldun, op. cit., h.
36-37
[43].Ibid.
[44].Ibid, h. 344.
[45].Thaha Hussein, La Philosophie Sociale
d’Ibn Khaldoun, (Paris: t.p., 1918), h. 195-196.
[46].‘Abd al-Rahman ibn Khaaldun, op. cit., h.
345.
[47].Ibid
[48].Ibid, h. 346.
[49].Ibid.
[50].Ibid, h. 350.
[51].Ibid, h. 346.
[52].Ibid, h. 350.
[53].Gaston Bouthoul, op. cit., h. 62.
[54].Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jarr, op.
cit., h. 491
[55].‘Abd al-Rahman ibn Khāldun, op. cit., h.
107.
[56].Ibid, h.105.
[57].Karl Marx dan F. Engels, al-I Diulujiyyah
al-Almaniyyah, terj. oleh Goerge Tharabisyi, (Damaskus: Dar Dimasyq li
al-Thiba’ah wa al-Nasyr, 1966), h. 14.
[58].Ibid, h. 53.
[59].Roger Garaudy, Ibn Khaldun”, dalam Majallah
al-Hilal.
[60].‘Abd al-Rahman ibn Khāldun, op. cit., h.
106
[61].Dikutip dari Muhammad ‘Ali Nasy’at, op.cit.,
h. 22-24.
[62].Karl Maxr, Misere de la Philosophie, (Paris:
Editions Sociale, 1946), h. 107.
[63].Muhammad ‘Ali Nasy’at, op.cit., h.
22-24.
[64].Arnold Toynbee, A Study of History,
vol 3, London, Oxford University Press, 1948, hlm 67
[65].Ibid., hlm 422. Masalah ini juga dibahas
oleh Charles Issawi, Ibnu Khaldun’S Analysis of Economics Issues dalam
Abdul Hasan M.Shadeq dan Aidit Ghazali (ed), Reading in Islamic Thought,
Malaysia, Logman, 1992, hlm. 224
[66].Ibid, hlm. 340-341
[67].M.Umer Chapra, The Future of Islamic
Economics, (terj, Masa Depan Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta, Gema Insani
Press, 2001, hlm. 138)
[68].Ibid, hlm.
334
[69].‘Abd al-Rahman ibn Khaldun, op. cit., h.
333-334.
[70].Karl Marx, Ra’s al-Mal, Vol. 1,
terj. oleh Muhammad ‘Itani, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1956), h. 50.
[71].‘Abd al-Rahman ibn Khaldun, op. cit., h.
341.
[72].V. Lenin, Marx, Egels, al-Marksiyyah, (Moscow:
Dar al-Taqaddum, 1968), h. 24-25.
[73].Roger Garaudy, Karl Marx, (Paris: Seghers,
1946), h. 166-167.
[74].‘Abd al-Rahman ibn Khaldun, op. cit., h.
334.
[75].Ibnu, Khaldun, op.cit, hlm, 432.
[76].Roger Garaudy, “Ibn Khaldun”, op. cit., h.
257.
[77].Muhammad ‘Ali Nasy’at, op.cit., h.
55.
[78].Gaston Bouthoul, op. cit., h. 31.
[79].Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jarr, op.
cit., h. 493.
[80].Muhammad ‘Ali Nasy’at, op.cit., h.
73.
[81].‘Abd al-Rahman ibn Khaldun, op. cit., h.
334-335.
[82].Muhammad ‘Ali Nasy’at, op.cit., h.
31
[83].Sobhi Mahmassani, op. cit., h. 177.
[84].‘Abd al-Rahman ibn Khaldun, op. cit., h.
321.
26 February 2011
[85].Kerajaan Hafsids (Arabic:
الحفصيون al-Ḥafṣiyūn) adalah sebuah
dinasti Muslim Sunni keturunan Berber yang memerintah Ifriqiya (Libya barat,
Tunisia, dan Aljazair timur) dari tahun 1229 hingga 1574. □□
Sumber:
en.wikipedia.org
https://shariaeconomics.wordpress.com/tag/pemikiran-ekonomi-ibnu-khaldun/
https://pistaza.wordpress.com/2011/10/11/pemikiran-ekonomi-ibnu-khaldun/
Dan sumber-sumber lain. □□□