Kata
Pengantar
M
|
enteri agama menegaskan hari Senin (15/05/2017),
Indonesia tetap mempertahankan pasal penistaaan agama, meskipun adanya protes
keras atas penggunaan pasal tersebut. Ribuan orang Indonesia di dalam dan luar
negeri ikut serta dalam aksi dukungan terhadap gubernur DKI Jakarta non
aktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), setelah pengadilan menjatuhkan
hukuman dua tahun penjara, berdasar pasal penodaan agama yang diatur
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Kelompok-kelompok
hak asasi manusia mendesak Indonesia untuk mencabut pasal penghujatan
itu, sementara Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menaruh
keprihatinan atas vonis berdasarkan pasal penodaan agama tersebut. Hingga saat
ini, aturan tertera dalam pasal 156a KUHP.
Menanggapi
tuntutan pencabutan pasal penodaan agama, pemerintah menegaskan:
"Mengingat keragaman negara kita, perlu ada mekanisme legal untuk menyelesaikan
sengketa pasal penghujatan," ujar Menteri Agama, Lukman Hakim
Saifuddin, seperti dikutip DPA dari Republika.
Dilansir
dari Detik, Lukman memaparkan: "Perlu hukum yang bisa mengatur
bagaimana silang sengketa penodaan agama harus dibawa ke ranah hukum. Kalau
dibawa ke ranah hukum perlu undang-undang, perlu ada kesepakatan bersama
menjadi acuan menyelesaikan kasus-kasus penodaan agama. Saya merasa perlu
hati-hati betul menghilangkan undang-undang dan pasal-pasal yang terkait
penodaan agama lalu pakai apa." Dijelaskan Lukman, sejumlah
pihak memiliki niat buruk memanfaatkan realita keberagamaan Indonesia, termasuk
keberagamaan agama, untuk misi yang buruk. Aturan hukum penodaan agama
diperlukan supaya misi itu tidak tercapai. Demikian dikutip dari vivanews.
"Masalahnya bukan hukum, tapi bagaimana pengadilan memberikan
keadilan," tambah Lukman.
Pengertian
Penista Agama
Dari Sudut
Hukum. Perkataan “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar
mempergunakan kata celaan . Perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan
kata-kata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa Belanda. “Nista”
berarti hina, rendah, celah, noda.
Dalam bahasa Sansekerta istilah agama
berasal dari “a” artinya kesini dan “gam” artinya berjalan-jalan. Sehingga
dapat berarti peraturan-peraturan tradisional, ajaran, kumpulan bahan-bahan
hukum. Pendeknya apa saja yang turun temurun dan ditentukan oleh adaptaasi
kebiasaan.
Menurut M. Taib Thahir Abdul Muin, agama
adalah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal,
memegang peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri untuk mencapai kebaikan
hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akherat.
Menurut Koentjaraningrat, agama merupakan
suatu sistem yang terdiri atas empat komponen:
- Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religius;
- Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud alam gaib, serta segala nilai, norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan;
- Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib;
- Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut butir b, dan yang melakukan sistem ritus dan upacara tersebut butir c.
Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 PNPS/1965
Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama bahwa penistaan agama
adalah:
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan, mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang
sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu,
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
BLASPHEMY
Oleh: Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi
Jika
orang melakukan penistaan agama dengan dalih kebebasan berfikir, maka serahkan
ketentuan benar dan salah pada suara mayoritas yang berilmu.
Dalam
suatu simposium di Tokyo saya bertemu dengan Angel Rabasa. Ia salah seorang
peneliti pada Rand Coorporation, yaitu NGO yang memberi saran dan masukan ke
Security Council Amerika Serikat (AS) bagaimana menumpas fundamentalisme dalam
Islam pasca 11 September.
Di saat
coffee break, ia sengaja menghampiri saya dan langsung “menembak”, “What
is wrong with Ahmadiyah in Indonesia?” Saya katakan “ini adalah kasus
penistaan agama (religious blasphemy)”. “Oh no, itu kan masalah
kebebasan berpendapat, bla blab bla.
Memang
ia banyak tahu tentang Indonesia dan bahkan seperti ingin ikut campur urusan
umat Islam. Saya baru teringat tulisan David E Kaplan, Hearts, Minds and
Dollars, “Washington berinvestasi puluhan juta dolar dalam kampanye untuk
mempengaruhi bukan saja masyarakat Islam, tapi juga Islam sendiri dan apa yang
terjadi dalam Islam”. Kelihatannya, Rabasa ditugaskan untuk proyek yang disebut
David.
“Baik,
kalau begitu bagaimana dengan keberatan umat Kristiani terhadap aliran Jehovah
yang dianggap sesat?” tanya saya. Dia, yang berkulit putih itu menjadi sedikit
memerah seperti menahan sesuatu. “Ya tapi orang Kristen tidak melaporkan kasus
ini ke pemerintah”, jawabnya.
Di sini
saya faham bahwa dia keberatan dengan campur tangan pemerintah dalam urusan
agama. Tentu ini mindset yang tipikal
orang Barat sekuler. Agama tidak boleh masuk ruang publik dan tidak boleh
menyatu dengan kekuasaan, apapun bentuknya.
Padahal,
yang saya tahu, aliran Children of God
(COG) dan Jehovah Witnesses dilarang
Kejaksaan Agung atas permintaan Ditjen Bimas Kristen karena dianggap sempalan
Kristen. Jika demikian itu juga berdasarkan laporan para penganut Kristen
(kepada Pemerintah).
Tapi
kemudian saya katakan, kalau Anda menyerahkan penyelesaian urusan blasphemy
ke masyarakat, akan mengakibatkan chaos, atau kegaduhan. Anda tahu
sendiri bagaimana masyarakat main hakim sendiri terhadap penganut Ahmadiyah di
daerah-daerah. Dan jumlah mereka cukup banyak. Dan perlu Anda tahu bahwa
penganut Ahmadiyah sendiri menganggap siapa pun yang tidak mengakui Mirza
Ghulam Ahmad sebagai Nabi adalah kafir. Jadi, bukan hanya umat Islam yang
menganggap Ahmadiyah salah, tapi Ahmadiyah justru menganggap umat Islam selain
mereka itu salah.
Rabasa
ternyata tidak banyak tahu tentang kepercayaan Ahmadiyah. Akhirnya dia
mengalihkan pembicaraan. “Let’s talk something else,” katanya.
Blasphemy adalah
istilah yang digunakan untuk penistaan agama di Barat. Kata blasphemy
dalam Online Etymology Dictionary, © 2001 Douglas Harper disebut sebagai
berasal dari bahasa Prancis, blasfemie; asalnya dari bahasa Latin blasphemia
atau bahkan dari Yunani blasph?mein. Artinya irreligious, pernyataan,
perkataan jahat atau menyakitkan, terkadang juga diartikan bodoh.
Secara
definitif blasphemy adalah kejahatan menghina atau menista atau
menunjukkan pelecehan atau kurang menghargai Tuhan, agama, ajarannya, serta
tulisan-tulisan-tulisan mengenainya. Juga berarti sikap menghina terhadap
sesuatu yang dianggap sakral. (Merriam-Webster’s Dictionary of Law, ©
1996). Menurut The American Heritage, blasphemy adalah aktivitas,
pernyataan, tulisan yang merupakan penghinaan, irreligius, mengenai
Tuhan atau sesuatu lainnya yang sakral.
Dalam
the Random House Dictionary dan The American Heritage menganggap
seseorang sebagai Tuhan atau mengaku memiliki kualitas seperti Tuhan termasuk
blasphemy. Pengertian Easton Bible Dictionary (1897) bahkan lebih detail
lagi. Blasphemy termasuk mengingkari adanya Roh Kudus, Bible,
kemessiahan Jesus atau menganggap mukjizat Jesus itu sebagai kekuatan setan.
Hanya
masalahnya, orang-orang liberal sekuler menuduh para pemeluk agama-agama telah
membatasi kebebasan berpendapat. Agama, menurut mereka, menggunakan dalih
blasphemy, penistaaan, bid’ah, musyrik, tabu dan sebagainya untuk
membungkam pikiran mereka. Itu pun, dalam persepsi mereka, para agamawan hanya
membatasi hak memahami agama pada otoritas keagamaan (ulama, pendeta, sami, dan
sebagainya). Di sini agama menjadi buruk muka dan diposisikan sebagai pemasung
kebebasan.
Inti
masalahnya ada pada worldview
masing-masing. Di Barat agama-agama memiliki alam pikirannya sendiri.
Sejarahnya, memang selalu bentrok dengan masyarakat Barat, khususnya masyarakat
ilmiah (scientific community).
***
John
Milton, sastrawan dan penulis politik Inggris pernah bentrok dengan parlemen.
Itu gara-gara brosur buatannya yang liar, tidak bertanggung jawab, tidak masuk
akal dan ilegal. Tapi Milton membela diri. Katanya, kesatuan suatu bangsa
diperoleh melalui gabungan pendapat individu yang berbeda ketimbang homogenitas
yang dipaksakan. Kemampuan menggali ide-ide cemerlang diperlukan dan kebenaran
tidak dapat dicapai kecuali dengan merujuk semua pendapat orang.
Jadi,
bagi pemikir non-agama, kebenaran tidak harus melalui otoritas keagamaan.
Milton bahkan menambahi pembelaannya bahwa jika fakta-fakta dibiarkan
telanjang, kebenaran akan mengalahkan kebatilan dalam kompetisi terbuka.
Tapi
siapa yang akan menentukan sesuatu itu benar dan salah? Menurut Milton bukan
individu, tapi gabungan pendapat individu-individu. Katakanlah kebenaran
ditentukan oleh suara mayoritas. Sekilas orang bisa terima, tapi ternyata ini
bermasalah. Sebab bagi Milton, meski mayoritas telah bersuara, setiap individu
dibebaskan untuk menemukan kebenaran mereka sendiri-sendiri. Jadi teori Milton
masih problematik, karena tidak ada standar kebenaran. Kebenaran itu tergantung
pada individu masing-masing.
Kebebasan
mencari dan menentukan kebenaran gaya Milton tetap saja akan memihak. Nah, tapi
Noam Chomsky mencoba merumuskan begini: “Jika Anda percaya pada kebebasan
berbicara, Anda percaya pada kebebasan berbicara untuk mendukung pendapat yang
tidak kau sukai.” (If you’re in favor of freedom of speech, that means
you’re in favor of freedom of speech precisely for views you despise). Tapi
kenyataannya Stalin dan Hitler yang
mengaku mendukung kebebasan berbicara, hanya mendukung pendapat yang mereka
sukai saja.
Kembali
ke soal blasphemy. Jika orang melakukan penistaan agama dengan dalih
kebebasan berfikir dan berpendapat, maka rumus Milton perlu digunakan. Serahkan
ketentuan benar dan salah pada suara mayoritas yang berilmu tentang itu. Bukan
kepada individu tapi kepada komunitas, dan ini harus mengikat individu.
Demikianlah
uraian tersebut diuraikan seperti tersebut diatas. Mudah-mudahan dengan tulisan
tersebut menyadarkan kepada kita sebagaimana kata bijak atau pepatah menyatakan
“mulutmu adalah harimaumu”. Jadi berhati-hatilah dalam mengutarakan pendapat,
jangan sampai menyinggung warga bangsa sendiri. □ AFM
Sumber:
http://www.dw.com/id/pemerintah-tetap-pertahankan-pasal-penodaan-agama/a-38840829
http://www.suduthukum.com/2016/11/pengertian-penistaan-agama.html
https://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2010/03/17/42917/blasphemy.html□□□