Kata Pengantar
Sering kali kita mendengar kata taqwa (bahasa Inggris: fear), terutama dalam khutbah Jum’at,
bahkan Khutbah Ied-Al-Fitr dan Adha.
Taqwa
disebutnya dalam bahasa Inggris fear
artinya ‘takut’. Fear Allah, artinya ‘takutlah
kepada Allah’ yang sering tidak diulas atau diterangkan lebih lanjut. Dengan itu boleh
jadi terasa hambar atau kehilangan makna yang dimaksudkan dengan kata tersebut
dari kebanyakan jamaah yang hadir. Jadi maknanya ‘tidak menghujam kepetala hati’
dari pada menyebut Huwa (Allāhu) al-Rahmān al-Rahīm (baca:
huwar rohmānur rohīm),
artinya: Dia (Allah) Yang Mahapengasih, (lagi) Mahapenyayang.
Apa makna sesungguhnya dari kata atau terma taqwa itu? Mari ikuti uraian berikutnya seperti yang akan dipaparkan dibawah ini. Insya Allah bertambah keImanan, keIslaman, keIhsanan kita yang dengan itu membawa keberkahan serta kebaikan hidup di dunia dan di akhirat Billāhit Taufiq wal-Hidayāh. □ AFM
MEMAHAMI KONSEP TAQWA
DALAM AL-QUR’AN
I. PENDAHULUAN
Wahai manusia! Sembahlah (a’budū,
beribadahlah) Rabbmu (Rabbakum, Tuhanmu) yang telah mencipta
kamu (khalaqakum), agar kamu bertaqwa
(tattaqūn). (QS
Al-Baqarah 2:21).
Dan jika mereka beriman
dan bertaqwa, pahala dari Allah pasti
lebih baik, sekiranya mereka tahu. (QS Al-Baqarah 2:103).
Dan dalam qishāsh (pembalasan bagi pelaku kejahatan seperti perbuatannya) itu ada
(jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal (ūlil albāb), agar kamu bertaqwa (la’allakum tattaqūn). (QS Al-Baqarah 2:179).
(2)...Barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia (Allah)
akan membukakan jalan keluar baginya. (3) Dan Dia (Allah) memberinya rezeki
dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya, niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusanNya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi
setiap sesuatu. (QS Ath-Thalāq
65:2-3).
D |
iantara
identitas seorang muslim adalah ketaqwaannya
kepada Allah. Sebagai penegasan terhadap identitas tersebut, al-Qur’an memuat
245 kali kata taqwa dengan segala
derivasinya. [1] Taqwa
memiliki barometer yang telah ditentukan Allah secara jelas sesuai dengan kadar
kemampuan manusia yang dengannya manusia terklasifikasikan menjadi orang-orang
yang beruntung dan atau orang-orang yang merugi (al-Fāizūn wa al-Khāsirūn).
Kandungan makna taqwa berkonotasi
akan terealisasikannya semua dalam Ajaran Islam dalam kehidupan seorang muslim.
Ia merefleksikan sinergitas antara rasa takut
(berbuat salah, tidak memahami maksud Ajaran Islam
yang sebenarnya), kepatuhan dan kecintaan
seorang hamba kepada Tuhannya - yang dengan
itu - membuahkan sebuah ketauhidan
yang sebenar-benarnya seperti apa yang dimaksudkan dalam bertaqwa.
Taqwa juga
menjangkau aspek yang sangat luas meliputi Iman,
Islam dan Ihsan yang berulang kali disebutkan dalam al-Qur’an dengan beragam
derivasi. Oleh sebab itu, pemahaman yang mendalam terhadap terma taqwa menjadi sangat urgen mengingat
bahwa ia hadir sebagai tema global yang telah mengundang banyak penafsiran. Maka
dari itu tulisan ini ini hadir guna mencoba untuk mengelaborasi pemaknaan
konsep taqwa yang disebut dalam
al-Qur’an.
Adapun pemahaman konsep dalam tulisan ini
terbatas dalam kualifikasi prinsip-prinsip pokok dalam taqwa sebagaimana
yang tercantum dalam al-Qur’an. Oleh karena itu penulis mencoba memulai
diskursus ini dengan menyajikan pemaknaan terma taqwa.
II. PEMBAHASAN
1. DEFINISI TAQWA
Kata taqwa berasal dari waqā-yaqī-wiqāyatan dengan struktur penyusunannya adalah huruf wa, qaf, dan ya. Dibaca waqā, dengan arti “menjaga dan menutupi sesuatu dari bahaya.” [2] Bila kata ini digunakan berdasarkan kaitannya dengan Allah (Ittaqullah), [3] maka makna taqwa adalah “melindungi diri dari azabNya dan hukumanNya.” [4] Hal ini senada dengan pendapat Sayyid Thanthawi yang menjelaskan bahwa “taqwa secara bahasa berarti melindungi dan menjaga diri dari segala sesuatu yang membahayakan dan menyakiti.” [5] Hal-hal yang membahayakan diri tersebut dapat dihindari dengan “memenuhi perintah Allah swt dan menjauhi larangan-larangan yang jika dikerjakan juga sesungguhnya dapat menjerumuskannya ke dalam neraka.” [6] Implikasi dari ketaqwaan tersebut menjadikan orang yang bertaqwa mendapatkan faedah atau manfaat yang besar serta kemuliaan dari ketaqwaannya. [7]
Mempertegas pengertian diatas, menurut
Baydhowi taqwa adalah “menjaga,
merawat atau memelihara”. Yakni sebutan bagi siapapun yang melindungi dan
mencegah dirinya dari apa yang membahayakannya di Akhirat. Taqwa
menurut Baydhowi memiliki tiga tingkatan yaitu: Pertama, adalah melindungi diri dari azab yang kekal di akhirat,
yakni dengan menghindari perbuatan syirik. Kedua,
melindungi diri dari segala perbuatan yang dapat mengotorinya, hingga
perbuatan-perbuatan yang kecil. Ketiga,
adalah memisahkan keburukan dari kebenaran. [8]
Bila
dikaitkan dengan dua pengertian sebelumnya, yang mengartikan taqwa sebagai sebuah bentuk kepatuhan
dengan cara “menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah”, maka Baydhowi
seakan menegaskan bahwa dalam perintah (bertaqwa kepada Allah) tersebut
terdapat anjuran untuk menjaga, merawat dan memelihara, yang daripadanya
manusia akan mendapatkan faedah dan manfaat dari kepatuhannya untuk menjaga,
merawat dan memelihara, serta terhindar dari bahaya dan segala larangan Allah.
Diantara bentuk kehati-hatian lainnya,
sebagai contoh seperti yang dijelaskan oleh Qurthubi, adalah sedikit berbicara.
Hal ini dipertegas oleh Abu Yazid al-Busthomi, yang mengatakan bahwa orang yang
bertaqwa adalah orang yang ketika berbicara sesuai dengan petunjuk Allah, dan
apabila berbuat, per-buatannya bersumber dari petunjuk Allah. [9] Konotasi
dari kehati-hatian adalah sikap waspada seseorang yang dengannya senantiasa
memperhatikan baik buruknya sesuatu, [10] disebut sebagai furqan. Yaitu, kemampuan untuk membedakan antara hal-hal yang baik dan buruk, atau yang
benar dengan yang batil, dengan itu menuntut seseorang untuk menguasai dan mengetahui
secara mendalam hakikat sesuatu tersebut, [11] karena dengan
pengetahuan itu ia akan benar-benar dapat memutuskan sesuatu sesuai dengan
ketetapan yang telah ditentukan oleh Ajaran Islam.
Selain itu, ketaqwaan dapat diartikan pula sebagai dicabutnya kecintaan kepada
syahwat dari diri seseorang, seperti yang dijelaskan oleh Abu Sulaiman
Ad-Darani. Taqwa juga menggambarkan
seseorang yang menghindari syirik dan lepas atau terbebas dari kemunafikan. [12]
Dari pendapat-pendapat diatas dapat
dipahami bahwa taqwa dapat diartikan
sebagai sebuah bentuk kehati-hatian, menjaga, merawat dan memelihara diri, baik
dari nafsu syahwat, perbuatan syirik, ataupun segala hal yang menyebabkan
seseorang menerima azab Allah swt di
akhirat. Lebih jauh, seorang yang bertaqwa
memiliki kemampuan untuk memisahkan antara yang haq dan yang batil, atau
dengan bahasa lain, ia memiliki sifat furqan. Jadi, pada hakikatnya
orang yang bertaqwa adalah orang yang
menjaga diri dari azab Allah swt, yaitu
mereka yang memilki pandangan dan kesadaran yang tinggi dalam memahami dan
menghayati sebab-sebab yang dapat menimbulkan azab tersebut.
2. KWALIFIKASI TAQWA DALAM
AL-QUR’AN
Setelah menilik beberapa definisi taqwa diatas, berikut akan dijabarkan beberapa
poin terkait konsep taqwa:
a. Taqwa Sebagai
Refleksi dari Iman, Islam dan Ihsan
Menurut Yunahar Ilyas, bila ajaran Islam
dibagi menjadi Iman, Islam dan Ihsan, maka pada hakikatnya taqwa adalah integralisasi ketiga dimensi tersebut. [13]
Iman adalah gabungan dari “kepercayaan, rasa takut (khauf) dan
harap (ar-rajā)”,
sedangkan rasa takut adalah substansi dari taqwa.
[14] Rasa takut yang disertai dengan harap tersebut menjadi
landasan seorang muslim untuk senantiasa bertauhid dan meninggalkan syirik.
Inilah yang menjadi acuan seseorang untuk menjalankan agamanya, sehingga ia
disebut muslim. Dan bila keislaman itu dilakukan secara
konsisten, maka timbullah ihsan dalam
diri muslim tersebut. [15] Kata ihsan
yang secara harfiah bukan berarti hanya sekedar pengertian tentang etika mana
yang baik dan mana yang buruk saja, namun perlu diaplikasikan sebagai perilakunya.
Dengan demikian, seseorang dikatakan bertaqwa
apabila ia telah beriman atau percaya dengan segenap “rasa takut dan harap”
yang terus menerus berkesinambungan, hingga akhirnya terpatri dalam dirinya dan
menjadi sebuah kebiasaan.
Kebiasaan baik dan kepatuhan (al-birru)
ini merefleksikan kepercayaanya kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan hari akhir - Iman, ketundukannya untuk menjalankan ibadah
- Islam dan kerelaannya untuk senantiasa berbuat kebajikan - Ihsan).
[16] Kualifikasi muslim seperti ini persis seperti apa yang
digambarkan dalam surat Al-Baqarah ayat 3-4 dan juga surat Āli ‘Imrān ayat
134-135 tentang ciri-ciri orang beriman, dan juga dibanyak ayat lainnya di
dalam Al-Qur’an. [17]
Maka, keimanan seseorang haruslah bersifat aktif dan menjadi penggerak bagi lahirnya perbuatan-perbuatan baik yang akan mengantarkannya pada derajat taqwa. Ini tergambar dari bagaimana setelah disebutkan berganti-ganti beberapa bagian dari Iman, Islam dan Ihsan itu, kemudian Allah menutupnya dengan kalimat: “Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa dalam ayat tersebut taqwa dicirikan dengan Iman, Islam dan Ihsan sekaligus. [18] Atau dengan kata lain, orang yang bertaqwa adalah orang yang dalam waktu bersamaan menjadi Muslim (orang yang telah memeluk agama Islam), Mu'min - orang Islam yang menganut ajaran Islam dan memiliki keteguhan iman yang tinggi, dan Muhsin - orang Islam yang memiliki keteguhan iman yang tinggi hingga mencapai kedudukan ihsan (perbuatan baik).
b. Taqwa dalam Arti
Takut Serta Waspada
Taqwa
kepada Allah swt mengisyaratkan akan
besarnya azab dan hukumanNya (bagi siapapun yang mengingkarinya), jika tidak,
maka tak mungkin ketaqwaan tersebut
mempengaruhi seseorang untuk tunduk dan patuh terhadap kekuasaan Allah. [19]
Karena perintah untuk takut kepada Allah swt
selalu muncul setelah adanya perintah untuk melaksanakan suatu ketetapan. [20]
Ini menjadi penegasan terhadap perintah tersebut agar benar-benar dilakukan,
untuk menutup kemungkinan manusia menyimpang dari perintah Allah swt. Malahan, tak jarang perintah itu
disertai dengan ancaman akan sebuah azab yang berat, baik langsung ataupun
tidak langsung. [21] Ini mengindikasikan perintah Allah swt kepada manusia untuk “senantiasa
waspada dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, agar tidak bertentangan
dengan Ajaran Islam”. Sikap “waspada, takut dan kehati-hatian” menjadikan
manusia senantiasa mencari cara untuk melindungi dirinya dari azab dan hukuman
Allah ‘Azza wa Jalla baik secara
terang-terangan maupun tersembunyi. [22]
Adapun cara untuk melindungi diri dari
azab Allah adalah dengan menjauhi apa yang menjadi laranganNya dan mengikuti
apa yang menjadi perintahNya. Yakni dengan perasaan takut terhadap azabNya dan
terhadap yang memberikan Azab. Perasaan takut terhadap azab itulah yang menjadi
sebuah dasar dari ketaqwaan kepada
Allah swt. Orang yang takut kepada
azab tersebut tentunya akan berusaha menjauhkan dirinya dari azab akibat
perilakunya tidak seperti yang digariskan dalam ajaranNya. Untuk itu, bagi yang
beriman kepadaNya perlu mengetahui apa saja yang menyebabkan dirinya
mendapatkan azab. Dengan demikian, seorang muslim yang bertaqwa akan senantiasa berhati-hati dalam melangkah dan mengambil
keputusan.
c. Taqwa dalam
Arti Furqan (Pembeda)
Diciptakan sebagai makhluk yang menjalankan
misi dari Allah sebagai pengelola bumi (wasta’marokum
fihā -
pemakmur kehidupan di bumi, sebagaimana yang disebutkan firmanNya: “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya,” QS Hūd 11:61), [23] namun
manusia kerap dihadapkan dengan berbagai pilihan dalam hidup. Bila mengamati
dari ayat-ayat al-Qur’an, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sekian banyak
pilihan-pilihan tersebut terklasifikasi kedalam dua golongan haq (benar)
dan batil (salah) yaitu:
“Dan katakanlah: “Yang benar telah datang
dan yang batil telah lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang
pasti lenyap.” [24]
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah
karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja
yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah,
Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [25]
Dari kedua ayat diatas, Allah telah
mengisyaratkan dengan jelas kepada manusia, bahwa apa saja yang diperbolehkan
Allah swt, itulah yang disebut haq,
dan apa saja yang menjadi laranganNya adalah batil. Walaupun terkadang
kedua hal tersebut menjadi samar di mata manusia, namun dengan berpegang kepada
petunjuk Allah swt berupa al-Qur’an
dan Sunnah serta ijtihad dan penjelasan dari para ulama, manusia akan mampu
mengetahui kebenaran. Itulah pentingnya manusia mencari tahu kebenaran dengan
sarana yang telah telah diberikan Allah melalui akal. [26] Dengan
demikian, seseorang yang bertaqwa tentulah seseorang yang mengetahui dengan
pasti kebenaran-kebenaran yang harus diikutinya dan kejahatan yang harus
dihindari.
Tidak berhenti
disitu, seorang yang bertaqwa juga dituntut untuk dapat melindungi kebenaran
tersebut dari kegelapan kebodohan dan menunjukannya kepada cahaya akal, serta
memperuntukannya dengan perantara yang benar. [27] Kemampuan
untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan tersebut akan didapatkannya
dari konsistensi ketaqwaanya. [28] Ini seperti sebuah jaminan
eksklusif bagi mereka yang senantiasa menjaga ketaqwaan. [29] Oleh
karena itu, kemampuan untuk membedakan (furqan) ini, akan menjadi hal
yang sangat langka dan menjadi identitas bagi orang-orang yang beriman dan
menjalankan syariat Islam dengan konsisten.
Kemampuan
‘membedakan’ ini tentunya mengindikasikan adanya pengetahuan yang seimbang
terhadap apa-apa yang menjadi kebenaran dan kebatilan. Wujud pengetahuan
tersebut merupakan sesuatu yang sangat urgen bagi seorang muslim untuk dapat
mencapai suatu kebenaran. Pasalnya, rasa takut seorang hamba kepada Allah, dan
kemampuannya untuk menghindari apa yang diharamkan Allah tidak lain adalah
karna ia mengetahui apa-apa yang menjadi larangan tersebut. Begitupun
kecintaannya kepada Allah muncul, dikarenakan pengetahuannya yang mendalam
tentang dzat Allah. Maka, terealisasikannya amal perbuatan secara benar yang
meliputi segala ketentuan dan ketetapannya, tidak lain karna pengetahuan yang
menyeluruh terhadapnya. [30] Sebaliknya, ketidakadaannya
pengetahuan manusia terhadap sesuatu menjadikanya sebagai musuh bagi manusia
itu. Dengan demikian, bila manusia tidak memiliki pengetahuan tentang Allah dan
Ajaran Islam yang ditetapkannya, maka mereka akan memusuhinya dan menentangnya.
[31] Dengan demikian, seorang yang bertaqwa adalah yang
menjalankan segala perintahNya secara konsisten dengan kesadaran yang penuh,
hingga dapat menentukan mana yang benar (jalankan) dan mana salah (tinggalkan
atau perbaiki).
d. Taqwa dalam Arti Tunduk
dan Patuh
Taqwa memiliki makna filosofis yang dalam.
Seperti yang dikatakan Tabataba’i bahwa dalam jiwa seseorang terdapat dua
potensi, yaitu potensi berbuat baik dan potensi berbuat jahat yang keduanya
tidak dapat berkumpul dalam satu waktu. [32] Maka manusia yang
bertaqwa adalah manusia yang mampu mengembangkan potensi kebaikan atau ketaatan
yang ada dalam dirinya dengan cara berbuat ihsan
dan meredam potensi buruknya. [33] Hal ini menjelaskan, bahwa
sekedar patuh saja tidak cukup untuk menempatkan manusia ke dalam derajat taqwa yang sesungguhnya. Manusia bertaqwa haruslah manusia yang produktif
dalam kebaikan. Sehingga kebaikan itu bukan hanya dirasakan untuk dirinya
sendiri, namun juga untuk sekitarnya.
Pendapat
ini diperkuat oleh Buya Hamka dalam tafsirnya al-Azhar,
yang mengatakan bahwa dalam kalimat taqwa
terkandung arti yang lebih komprehensif, yakni: cinta, kasih, harap, cemas
tawakkal, ridha, sabar, berani, dan lain-lain. [34] Ini
menunjukan betapa kompleksnya arti taqwa yang sesungguhnya. Ia bukan hanya
berarti melindungi diri dari hal-hal yang membahayakan, akan tetapi juga
berarti semangat untuk memperbaiki dan membangun hidup dan kehidupannya melalui
semangat beragama, baik dalam kehidupan sosial maupun spiritual. Terkait dengan
kedua potensi yang dimiliki manusia (baik dan buruk), taqwa mengisyaratkan akan
usaha seorang manusia untuk mereduksi keburukan yang ada dalam dirinya dan
menggantinya dengan kebaikan. Usaha tersebut dilakukan atas dasar kesadaran
total akan wujud perintah Allah terhadap kebaikan dan larangannya terhadap
keburukan, sehingga apa yang dilakukannya bersumber dari petunjuk Allah. [35]
Inilah yang kemudian disebut sebagai sebuah kepatuhan dan ketundukan total
kepada Allah.
Kepatuhan
dan ketundukan manusia kepada Allah ini mengharuskan manusia untuk menjalankan
syariat Islam yang diturunkan secara komprehensif dan universal tanpa
menambahnya atau mengurangi. [36] Ini dikarenakan, semua aturan
itu telah diatur sedemikian lengkapnya dalam al-Qur’an. Sebagai contoh, dalam
bentuk hubungan antar sesama manusia (hablum minannas), al-Qur’an
mengatur sistem perdagangan yang bersih, dan jujur, menjauhi riba ataupun
perbuatan curang dalam takaran dan timbangan. [37] Selain itu,
untuk menekan tindak kriminal, Al-Qur’an secara tegas menghadirkan solusi
dengan memberikan balasan yang setimpal kepada pelakunya (qishas) hingga
menimbulkan efek jera, yang berimplikasi meminimalisir tindak kriminal. [38]
Islam juga mengatur pengendalian hawa nafsu, [39] serta masih banyak
lagi yang tidak habis disebutkan satu-persatu. Hal ini membuktikan, bahwa dasar
hukum Islam dari Ajaran Islam sangatlah sempurna bagi manusia untuk membantu
mereka mengemban amanahnya di bumi. Oleh sebab itu, manusia hanya perlu
menjalankan dengan penuh kepatuhan, dan mengembangkannya sesuai dengan
kebutuhan.
Untuk menjaga produktivitas ketaqwaan, taqwa mengisyaratkan kepada seorang muslim agar senantiasa melakukan aktivitas yang baik dan bermanfaat, sehingga berdampak kepada kemakmuran dan kesejahteraan umat. Didalamnya juga terdapat himbauan untuk dapat menjalin ukhuwwah Islamiyah yang kuat terhadap sesama muslim dan seluruh makhluk Allah di dunia. [40] Tatanan hidup yang dibentuk oleh Islam secara universal dan komprehensif tersebut bertujuan untuk membentuk sebuah umat yang berakhlak qur’ani sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Jika seorang manusia mampu menjalankan semua peraturan yang telah ditetapkan tersebut, maka barulah ia dikatakan sebagai seorang yang bertaqwa. Implikasinya adalah munculnya akhlak yang baik dari dalam diri seorang, sebagai buah dari konsistensi ketaqwaan. [41] Oleh sebab itu, dalam pembentukan akhlaq yang baik, ketaqwaan adalah kunci utamanya. Dengan akhlak yang baik dan konsisten tersebut, seseorang akan terus menghasilkan perbuatan baik yang berakibat pada bertambahnya pahala yang ia dapatkan. Pada akhirnya, ia akan memperoleh sebuah kemenangan dan balasan yang baik berupa pengampunan dosa, derajat yang mulia, surga dan segala kenikmatannya. [42] Semua perolehan tersebut adalah hasil dari ketaqwaan yang produktif dan konsisten.
III. PENUTUP & KESIMPULAN
1. IMPLIKASI TAQWA
Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa
ketaqwaan seorang muslim merupakan hasil dari perpaduan antara kepercayaan - Iman,
kepatuhan dan pengetahuan, maka hasil dari perpaduan ini pun (ketaqwaan) juga membuahkan manfaat yang
dapat terlihat dalam diri seseorang berupa:
● Mendapatkan sikap furqan,
yaitu sikap tegas membedakan antara yang hak dan batil, benar dan salah, halal
dan haram, serta terpuji dan tercela. [43]
● Mendapatkan limpahan berkah dari langit dan bumi [44] ● Jalan keluar dari kesulitan; [45] ●Rezeki tanpa diduga-duga; [46] ● Kemudahan dalam urusannya; [47] ● Menerima penghapusan dan pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar. [48]
Keseluruhan
hasil tersebut dapat dirasakan oleh seorang muslim, semasa ia hidup di dunia,
maupun setelah ia berpulang ke akhirat. [49] Semuanya merupakan
wujud dari “hasanah fi ad-dunya dan hasanah fi al-akhirah” yang menjadi dambaan setiap
insan mukmin.
Dengan demikian, taqwa dapat dikatakan sebagai sebuah kedudukan yang merupakan
akumulasi dari Iman, Islam dan Ihsan, yang membuahkan kebaikan dan manfaat bagi
seorang muslim dan serta masyarakat sekitarnya baik lokal, regional dan dunia.
2. KESIMPULAN
Terma
taqwa mengandung beberapa arti yang
saling berkaitan satu dengan lainnya. Taqwa dapat diartikan sebagai sebuah sikap takut, waspada, dan
hati-hati terhadap apa yang menjadi larangan Allah, yang menjadi
landasan ketauhidan seorang hamba. Taqwa juga mengisyaratkan akan tunduk dan patuhnya seorang hamba
terhadap apa yang menjadi perintahNya, yang berbuah keselamatan di dunia dan
akhirat serta segala hal yang menyertainya berupa kedamaian, pertolongan dan
jaminan untuk keadaan yang lebih baik.
Selain itu, taqwa juga berarti kemampuan seseorang untuk dapat
membedakan yang haq dan batil, yang diperolehnya
dari konsistensi ketaatannya kepada Allah. Ia secara umum dapat
diartikan sebagai sebuah refleksi dari Iman, Islam dan Ihsan. Dengan demikian,
taqwa mengandung makna yang sangat mendalam yang mengindikasi sebuah kedudukan
yang hanya bisa didapatkan dengan mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Syariat Islam.
Selanjutnya akan mendapatkan sikap furqan,
yaitu sikap tegas membedakan antara yang hak dan batil, benar dan salah, halal
dan haram, serta terpuji dan tercela. (QS Al-Anfāl 8:29); Mendapatkan limpahan berkah dari langit dan bumi. (QS
Al-A’rāf 7:96); Mendapatkan jalan keluar dari kesulitan. (QS
Ath-Thalāq 65:2); Mendapatkan rezeki tanpa diduga-duga. (QS
Ath-Thalāq 65:3); Mendapatkan kemudahan dalam urusannya. (QS
Ath-Thalāq 65:4); Menerima penghapusan dan pengampunan dosa serta
mendapatkan pahala yang besar. (QS Al-Anfāl
8:29, Ath-Thalāq 65:5).
Demikianlah paparan dari tajuk “Konsep
Taqwa Dalam Al-Qur’an”. Semoga bermanfaat hendaknya bagi yang membaca artikel
pada blog ini. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. □
CATATAN KAKI:
[1] Muhamad
Fu’ad Abd. Al-Baqiy, Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim, (Mesir:
Dar al-Kutub, 1945), hal. 848-851.
[2] Luwis
Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa A’lām, (Beirut: Dār al-Masyriq,
1986), hal. 915.
[3] QS
Al-Baqarah 2:196, 203; Al-Māidah 5:4,7,8.
[4] Muhammad
Rasyid Ibnu Ali Ridho, Tafsir Al-Mannar, (Kairo: Al-Hayah al-
Mishriyyah al-‘amah lilkitab, 1990), hal. 105.
[5] Muhammad
Sayyid Thanthawi, At-Tafsir Al-Washit, Juz I (Kairo: Nahdah
Al-Misr, 1997 ), hal. 13; Lihat juga, al-Raghib al-Asfahaniy, Mu‘jam
Mufradat Alfaz Al-Qur ‘an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), hal. 568;
Lihat juga, Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al- ‘Azim, (Beirut:
Dal al-Fikr, 1992), hal. 55; Lihat juga, Muhammad Ibnu Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf
‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqdwil Fi Wujuh al-Ta ‘wii, (Beirut:
Dal al-Fikr, 1977), hal. 120.
[6] Jalaluddin
al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahali, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim,
(Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, Tanpa Tahun), hal. 8; Lihat juga,
As-Samarqhandi, Bahrul Ulum, ( ), hal. 8.
[7] As-Samarqhandi, Bahrul
Ulum, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah), hal. 8.
[8] Nashiruddin
Abu al-Khairi Abdullah Ibnu ‘Umar Ibnu Muhammad al-Baydhowi, Anwaru
At-Tanzil wa Asraru At-Ta’wil, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, 1997
), hal. 17-18.
[9] Muhammad
Ibnu Ahmad Ibnu Abu Bakar Ibnu Farh Al-Qurthubi Abu Abdillah, Tafsir
Al-Qurthubi Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Fikr, 1964), hal.
203.
[10] Ibid.
[11] Abu
Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali At-Thusi, Fadhaaihu
al-Baathinah, (Kuwait: Muassasatu Dar al-Kutub As-Tsaqaafiyyah), hal. 197.
[12] Umar
bin Khatab, mengibaratkan ketaqwaan dengan seseorang yang berjalan dijalan yang
dipenuhi duri, lalu dia berjalan dengan cepat dan menghindari duri-duri
tersebut. Ibid.
[13] Yunahar
Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999),
hal. 18.
[14] Abu
Bakar Muhammad Ibnu Abu Ishaq Ibnu Ibrahim Ibnu Ya’qub Al-Kalabadzi al-Bukhari
al-Hanafi, At-Ta’riif Li Mazhabi Ahli at-Tashaawuf, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah), hal. 98-99.
[15] QS
Muhammad 47:5
[6] Ibnu
Taymiyyah, al-Imān,
(Yordan: al-Maktab al-Islami, 1996), hal. 147.
[17] Yunahar
Ilyas, hal. 18.
[18] Ibid,
hal. 20.
[19] Muhammad
Rasyid Ibnu Ali Ridho, Tafsir Al-Mannar, hal. 105.
[20] QS
Al-Baqarah 2:150.
[21] QS
Yāsīn 36:45.
[22] Abu
Bakar Muhammad Ibnu Abu Ishaq Ibnu Ibrahim Ibnu Ya’qub Al-Kalabadzi al-Bukhari
al-Hanafi, At-Ta’riif Li Mazhabi Ahli at-Tashaawuf, hal. 98-99.
[23]
Sholat Membangun Peradaban Dunia, Ahmad Faisal Marzuki, (dalam proses
penerbitan) MCL Publisher, Jakarta.
[24] Al-Isrā’ 17:81
[25] QS
Al-Hajj 22:62
[26] Imam
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Juz I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1989),
hal. 112
[27] Al-Qusyairi, Tafsir
Al-Qusyairi, (Mesir: al-Hayatu al-Mishriyyah al-‘amah li al-Kitab, 2010),
hal. 10.
[28] Muhammad
Ibnu Ahmad Ibnu Abu Bakar Ibnu Farh Al-Qurthubi Abu Abdillah, Tafsir
Al-Qurthubi Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, hal. 203.
[29] QS
Al-Anfāl 8:29
[30] Muhammad
Ibnu Abdillah Abu Bakar Ibnu Al-‘Arabi, Annash Al-Kaamil Li Kitaabi
Al-‘Awaashimi Min Al-Qawaashimi, (Mesir: Maktabatu Darut Turats) hal.
17.
[31] QS
Al-Hajj 22:8
[32] Muhammad
Husen Tabataba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Muassasah
al-A’lamiy, 1991), hal. 375.
[33] QS
Al-A’rāf 7:7
[34] Hamka, Tafsir
al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hal. 122-123.
[35] Ibnu
Taymiyyah, Al-Imān, hal.
132
[36] Ibrahim
Ibnu Musa Ibnu Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi As-syahir bi Asy-Syathibi, al-I’tisham,
Juz III, (Saudi Arabia: Daru Ibnu Jauzi li an-Nasr wa Tauzi’, 2008), hal. 159.
[37] Masalah
perdagangan ini telah dijelaskan dalam al-Qur’an Surat: Al-Baqarah 2:275, 276,
278, 279; Ali ‘Imrān 3:130;
An-Nisā’ 4:161; Ar-Rūm 30:39; Al-An’ām 6:152; Al-A’rāf 7:85; Hūd 11:84-85; Ar-Rahmān 55:9; dan Al-Muthaffifin 83:1.
[38] Masalah
qishas dijelaskan dalam al-Qur’an dalam surat; Al-Baqarah 2:179.
[39] Mengenai
kebutuhan fiologis dan biologis manusia yang mencakup makan, minum, serta
kebutuhan seksual, yakni apa yang dihalalkan bagi manusia dan apa yang
diharamkan kepadanya, al-Qur’an telah menyebutkannya di dalam surat;
Al-A’rāf: 31; Al-Mu’min/Ghāfir 40:79; Yāsīn
36:72; Al-Mu’minūn 23: 21; An-Nahl 16:5; An-Nisā’ 4:15; Al-Isrā’ 17:32.
[40] Perintah
untuk menjalin ukhuwwah Islamiyah yang menjadi cakupan taqwa tersebut meliputi
hal-hal yang bersifat individual maupun komunal, seperti saling bantu-membantu
dalam kebaikan, berprilaku adil, menepati janji, kejujuran hingga hubungan
dalam keluarga. QS Āli ‘Imrān 3:76; Al-Baqarah 2:282; Al-Māidah 5:8; Al-Anfāl 8:58; An-Nisā’4:135, 129, 127, 105, 58.
[41] Imam
Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai “sesuatu yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan”. Hal ini mengindikasikan bahwa akhlak adalah spontanitas
seseorang yang lahir dari suatu kebiasaan. Dengan demikian, bila seseorang
membiasakan dirinya untuk berbuat baik, spontanitas yang timbul dari dirinya
adalah kebaikan. Inilah yang dinamakan akhlak yang baik. Imam Al-Ghazali, Ihya
‘Ulumuddin, hal. 58
[42] Al-Qur’an
menyebutkan banyak sekali keberuntungan yang didapatkan dari ketaqwaan
seeorang, diantaranya dalam surat An-Nūr 24:52; Al-Baqarah 2:212; Āli ‘Imrān 3:15;
An-Nisā’ 4:77; Al-A’rāf 7:35 dsb.
[43] QS
Al-Anfāl 8:29
[44] QS
Al-A’rāf 7:96
[45] QS
Ath-Thalāq 65:2
[46] QS
Ath-Thalāq 65:3
[47] QS
Ath-Thalāq 65:4
[48] QS
Al-Anfāl 8:29; Ath-Thalāq 65 5
[49] Yunahar
Ilyas, hal. 24. □□
SUMBER:
1. Program
Studi Aqidah dan Filsafat Islam, Konsep Taqwa Dalam Al-Qur’an, Lailah Alfi,
Dosen Universitas Darussalam Gontor.
2. Sholat Membangun Peradaban Dunia, Ahmad Faisal Marzuki, (dalam proses penerbitan) MCL Publisher, Jakarta. □□□